30
telah dianggap dapat mewakili dan memberikan jawaban atas permasalahan penelitian. Penentuan responden dikarenakan adanya keterbatasan waktu dan biaya
mengingat populasi yang sulit diwawancarai karena harus bekerja serta tempat tinggal yang berjauhan.
Selain responden, dalam penelitian ini juga didukung dan diperkuat pula dengan informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan narasumber informan.
Adapun narasumber informan dalam penelitian ini terdiri dari : a. Drs. Abdurrahman Kaoy, Wakil Ketua Majelis Adat Aceh MAA, Banda Aceh
b. Abdurrahman, SH, M.Hum, Manta Ketua Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
c. Tgk. Bahagia, Tokoh Adat Aceh, Di Aceh Besar d. Tgk. Ridwan Kepala Desa Peukan Seulimum Aceh Besar
e. Burhanuddin, A.Ma, Tuha Peut desa Peukan Seulimum Aceh Besar
5. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah meliputi data primer dan data sekunder, yaitu :
a. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara interview yang dilakukan terhadap :
1 Orang tua yang yang pernah memberikan hareuta peunulang 2 Anak perempuan yang pernah menerima pemberian hareuta peunulang
3 Tokoh adat dan kepala desa
Universitas Sumatera Utara
31
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dilakukan sebagai langkah awal untuk memperoleh bahan acuan untuk penulisan tesis ini,
yaitu : 1 Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari
nomor dasar, Undang-undang Dasar 1945, perundang-undangan, putusan pengadilan dan hukum yang tidak dikodifikasikan yaitu hukum adat.
2 Bahan hukum sekunder yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti Alqur’an dan Hadits, ketentuan-ketentuan dan
komentar mengenai hukum waris adat, jurnal, buku-buku petunjuk lain maupun yang diperoleh dari situs internet website yang memberikan
kejelasan terhadap penelitian ini.
6. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : a.
Studi dokumen Bahan pustaka yang dimaksud berupa peraturan perundang-undangan,
buku, laporan hasil penelitian terdahulu, makalah penataran dan bahan kepustakaan lainnya yang bermanfaat untuk penelitian ini.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap narasumber informan secara terarah dan sebelum melakukan wawancara dibuat pedoman wawancara sehingga hasil
wawancara relevan dengan permasalahan yang akan diteliti.
Universitas Sumatera Utara
32
7. Analisa data
Analisa data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.
64
Metode kualitatif dilakukan untuk memperoleh data dari responden baik yang secara lisan sehingga
menghasilkan data yang deskriptif analitis, yaitu data yang dapat menggambarkan seluruh gejala, fakta dan aspek-aspek serta akibat hukum yang diteliti. Dari
pembahasan dan analisis ini akan diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
64
Lexi K. Moloeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 103
Universitas Sumatera Utara
33
BAB II KEBERADAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG ORANG
TUA DALAM MEMBERIKAN HAREUTA PEUNULANG
DI KABUPATEN ACEH BESAR A. Deskripsi Daerah Penelitian
Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provini Aceh. Kabupaten Aceh Besar terletak di ujung barat daya Provinsi Aceh dan
merupakan titik awal dari Banda Aceh menuju daerah Aceh dan Sumatera lainnya. Adapun luas wilayah Kabupaten Aceh Besar seluruhnya sekitar 2.974,12 km² . Secara
administrasi Kabupaten Aceh Besar terbagi menjadi 23 Kecamatan yang tersebar dari 68 Kemukiman, 608 Desa, dan 5 Kelurahan. Sebelum dimekarkan di akhir tahun
70an, ibukota Aceh Besar adalah kota Banda Aceh, kemudian kota Banda Aceh berpisah menjadi kotamadya sehingga ibukota Aceh Besar pindah ke daerah Jantho di
pegunungan Seulawah. Kabupaten Aceh Besar terletak 5,2 – 5,8 LU 9,50 – 95,8 BT, dengan sisi
barat,timur dan utaranya dibatasi dengan Samudera Hindia, Selat Malaka dan Teluk Benggala, yang memisahkannya dengan Pulau Weh, tempat di mana kota Sabang
berada. Sedangkan untuk wilayah darat, Aceh Besar berbatasan dengan kota Aceh Banda Aceh di sisi utara, Kabupaten Jaya Aceh Jaya di sebelah barat daya, serta
Kabupaten Pidie di sisi selatan dan tenggara.
65
dengan batas wilayah sebagai berikut : a. Sebelah Utara: Selat Malaka Kota Banda Aceh
65
BPS Kabupaten Aceh Besar, diakses Tanggal 3 Desember 2013
33
Universitas Sumatera Utara
34
b. Sebelah Selatan: Kabupaten Aceh Jaya c. Sebelah Timur : Kabupaten Pidie
d. Sebelah Barat : Samudra Indonesia Kabupaten Aceh Besar disahkan menjadi daerah otonom melalui Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1956 dengan ibukotanya pada waktu itu adalah Banda Aceh dan juga merupakan wilayah hukum Kotamadya Banda Aceh.
Sehubungan dengan tuntutan dan perkembangan daerah yang semakin maju dan berwawasan luas, Banda Aceh sebagai pusat ibukota dianggap kurang efisien
lagi, baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Usaha pemindahan Ibukota tersebut dari Wilayah Banda Aceh mulai dirintis sejak tahun 1969, dimana
lokasi awalnya dipilih Kecamatan Indrapuri yang jaraknya 25 km dari Banda Aceh Usaha pemindahan tersebut belum berhasil dan belum dapat dilaksanakan
sebagaimana diharapkan.
66
Kemudian pada tahun 1976 usaha perintisan pemindahan ibukota untuk kedua kalinya mulai dilaksanakan lagi dengan memilih lokasi yang lain yaitu di Kecamatan
Seulimum tepatnya kemukinan Jantho yang jaraknya sekitar 52 km dari Banda Aceh. Akhirnya usaha yang terakhir ini berhasil dengan ditandai keluarnya Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1976 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dari wilayah Kotamadya Banda Aceh.
Daerah Tingkat II Banda Aceh ke kemukinan Jantho di Kecamatan Seulimum Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dengan berdasarkan hasil
66
Ibid
Universitas Sumatera Utara
35
penelitian yang dilakukan oleh team departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan Konsultan PT. Markam Jaya yang ditinjau dari
segala aspek dapat disimpulkan bahwa yang dianggap memenuhi syarat sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar adalah Kemukinan Jantho dengan
nama KOTA JANTHO. Setelah ditetapkan Kota Jantho sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II
Aceh Besar yang baru, maka secara bertahap pemindahan ibukota terus dimulai, dan akhirnya secara serentak seluruh aktifitas perkantoran resmi dipindahkan dari Banda
Aceh ke Ibukota Jantho pada tanggal 29 Agustus 1983, dan peresmiannya dilakukan oleh Bapak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada masa itu, yaitu Bapak
Soepardjo Rustam pada tanggal 3 Mei 1984.
67
Adapun pembagian wilayah administrasi Kabupaten Aceh Besar berikut luasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1.1 Luas Daerah, Jumlah Desa Kelurahan, Mukim, menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar
No. Kecamatan
Luas Area Km
Desa Mukim
1. Lhoong
125,00 28
4 2.
Lhoknga 98,95
28 4
3. Leupung
76,00 6
1 4.
Indra Puri 285,25
52 3
5. Kuta Cot Glie
230,25 32
2 6.
Seulimeum 487,26
47 5
7. Kota Jantho
274,04 13
1 8.
Lembah Seulawah 322,85
12 2
9. Mesjid Raya
110,38 13
2
67
http:www.kemendagri.go.idpagesprofil-daerahkabupatenid11namenanggroe-aceh- darussalamdetail1106aceh-besar, diakses pada tanggal 13 November 2013
Universitas Sumatera Utara
36
10. Darusalam
76,42 29
3 11.
Baitussalam 37,76
13 2
12. Kuta Baro
83,81 47
5 13.
Montasik 94,10
39 3
14. Blang Bintang
70,51 26
3 15.
Ingin Jaya 73,68
50 6
16. Krueng Barona Jaya
9,06 12
3 17.
Sukamakmur 106,00
35 4
18. Kuta Malaka
36,00 15
1 19.
Simpang Tiga 55,00
18 2
20. Darul Imarah
32,95 32
4 21.
Darul Kamal 16,20
14 1
22. Peukan Bada
31,90 26
4 23.
Pulo Aceh 240,75
17 3
Jumlah 2.974,12
601 68
Sumber : BPS Kabupaten Aceh Besar Dalam Angka 2013 Luas Kabupaten Aceh Besar adalah sekitar 2.974,12 km², dengan wilayah
terluas adalah Kecamatan Seulimeum dengan luas 487,26 km² 16,38
dan wilayah terkecil adalah Kecamatan 9,06 km² yaitu seluas
0,30. Perkembangan kepedudukan di Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat dari
jumlah, perkembangan dan penyebaran penduduk, serta kepadatan penduduk. Jumlah penduduk Kabupaten Aceh Besar dari tahun ke tahun nampak terus bertambah. Dari
data kependudukan jumlah dan kepadatan penduduk di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2013 memiliki kepadatan rata-rata sebesar 283 jiwakm2. Sedangkan kepadatan
yang tertinggi yaitu di Kecamatan Krueng Barona jaya sebesar 1.500 jiwa km2, kemudian di Kecamatan Darul Imarah yaitu 1.387 jiwakm2, kemudian kepadatan
yang terendah yaitu di Kecamatan Pulo Aceh dengan tingkat kepadatan 15 jiwa km2.
Universitas Sumatera Utara
37
Kemudian Kecamatan Kota Jantho yaitu 29 jiwa km2. Secara keseluruhan kepadatan penduduk dan penyebaranya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.2 Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin No.
Kecamatan Laki-Laki
Jiwa Perempuan
Jiwa
1
Lhoong
5.394 4.569
2
Lhoknga
7.937 7.389
3
Leupung
1.601 1.411
4
Indra Puri
10.538 10.342
5
Kuta Cot Glie
6.695 6.436
6
Seulimeum
11.599 11.034
7
Kota Jantho
4.810 4.405
8
Lembah Seulawah
6.165 5.550
9
Mesjid Raya
11.610 10.894
10
Darusalam
10.923 10.917
11
Baitussalam
11.217 9.390
12
Kuta Baro
11.834 11.593
13
Montasik
9.976 9.477
14
Blang Bintang
5.177 4.975
15
Ingin Jaya
14.648 13.842
16
Krueng Barona Jaya
7.764 7.294
17
SukaMakmur
7.445 7.300
18
Kuta Malaka
3.110 2.955
19
Simpang Tiga
3.049 2.870
20
Darul Imarah
26.288 24.891
21
Darul Kamal
3.664 3.501
22
Peukan Bada
9.676 8.526
23
Pulo Aceh
2.627 2.186
Jumlah 193.747
181.747
Sumber : BPS Kabupaten Aceh Besar Dalam Angka 2013 Tabel di atas menjelaskan bahwa Kecamatan Krueng Barona Jaya memiliki
kepadatan yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Hal ini dikarenakan kecamatan ini terletak pada perbatasan dengan Kota Banda Aceh
khususnya dengan Kecamatan Ulee Kareng yang merupakan salah satu pusat
Universitas Sumatera Utara
38
kegiatan ekonomi di Kota Banda Aceh. Selain itu Kecamatan ini juga berdekatan dengan Universitas Syiah Kuala sehingga banyak mahasiswa yang menetap di
kecamatan tersebut. Kondisi tersebut sangat mendukung dalam aktivitas penduduk mengingat kecamatan ini memiliki jalur mobilitas yang bagus sehingga meskipun
luasan daerahnya kecil tetapi tetap menjadi alternatif singgah bagi penduduk yang memiliki tingkat mobilitas tinggi.
Pendidikan merupakan salah satu kunci sukses utama dalam proses pelaksanaan pembangunan daerah, karena dengan pendidikan maka akan dicapai
sumber daya manusia yang berkualitas. Keberhasilan dalam pendidikan tidak lepas dari tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, sehingga proses belajar
mengajar dapat berjalan baik dan lancar, yang diharapkan dapat menghasilkan output yang memuaskan.
Table 2.1. Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel Pada Sekolah Negeri dan Swasta
No Kecamatan
Tidak Belum
sekolah SD
SLTP SMU
Perguruan Tinggi
Jumlah
1 2
3 Kota Jantho
Seulimeum Kuta Malaka
168 188
231 930
2351 483
609 958
235 649
700 78
132 207
187 2488
4197 1214
Sumber : BPS Aceh Besar : Aceh Besar Dalam Angka
Universitas Sumatera Utara
39
Table 2.1. Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel di bawah Departemen Agama Kabupaten Aceh Besar
No Kecamatan
Madrasah Ibtidaiyah
MI Madrasah
Tsanawiyah Mts
Madrasah Aliyah
MA
Pesantren Tradisional
Pesantren Modern
Juml ah
1 2
3 Kota Jantho
Seulimeum Kuta Malaka
232 705
321 106
94 380
1956 80
242 448
486 889
3215 946
Sumber : BPS Aceh Besar : Aceh Besar Dalam Angka Berdasarkan table 2.1 dan 2.2 dapat diketahui bahwa masyarakat di lokasi
penelitian telah menyadari peran penting pendidikan sekolah dan pendidikan agama untuk memajukan kehidupan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penduduk yang
mendapatkan pendidikan di sekolah dan pendidikan agama di pesanteren dayah serta banyaknya penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.
Mata pencaharian utama bagi penduduk di Kabupaten Aceh Besar adalah pertanian. Dari semua bidang pertanian, bersawah menanam padi menempati tempat
teratas dan dikerjakan hampir oleh semua penduduk di Kabupaten Aceh Besar. Sebagai contoh misalnya bagi mereka yang berprofesi sebagai Nelayan, bila ada
tanah yang dapat ditanami di sekitar kampung-kampung mereka, maka tanah tersebut mereka manfaatkan untuk lahan usaha tani. Hal ini lebih-lebih bila keadaan iklim
tidak memunginkan para nelayan untuk turun kelaut. Padi yang dihasilkan, disamping untuk dikonsumsi sendiri juga untuk dipasarkan, guna untuk memenuhi kebutuhan
lainnya. Selain itu juga mereka yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri dan lain-lain terutama yang tinggal di pedesaan tidak jarang pula yang
Universitas Sumatera Utara
40
mengdapatkan penghasilan dari hasil pertanian. Karena pada umumnya mereka juga mengusahakan usaha-usaha tani. Berkebun termasuk urutan kedua terpenting setelah
bersawah. Dalam mengusahakan kebun, para petani tidak mengkhususkan pada satu jenis tanaman tertentu dalam sebuah kebun, tetapi bertanam berbagai jenis tanaman,
hal ini dilakukan karena masing-masing tanaman mempunyai satu musim berbuah sendiri, sehingga dalam satu tahun ada penghasilan yang terus menerus. Mata
pencaharian lainnya yaitu pemeliharaan ternak lembu, kerbau, kambing dan lai-lain. Lembu dan kerbau selain untuk dijual, juga digunakan sebagai penarik bajak di
sawah-sawah, ladang-ladang ataupun di kebun-kebun. Selain itu di beberapa daerah kecamatan yang berbatasan dengan laut seperti kecamatan Mesjid Raya dan
Kecamatan Peukan Bada serta Kecamatan Lhok NgaLeupueng juga ada penduduk yang mengusahakan tambak-tambak ikan dan pembuatan garam, meskipun dalam
jumlah kecil.
B. Islam di Dalam Masyarakat Aceh
Dikenalnya Aceh dengan sebutan Serambi Mekkah oleh masyarakat luar Aceh bukan tanpa sebab, karena Islam tidak hanya persoalan manusia dengan Tuhan tetapi
juga merupakan panduan dalam menggerakkan segala aktivitas masyarakat Aceh . Disamping itu, Aceh menjadi pintu masuk bagi perkembangan Islam di Nusantara
dan pusat penyebaran Islam di sekitar selat Malaka. Hal ini menjadi satu fenomena penting dari catatan perkembangan sejarah Islam di dunia.
Semenjak Islam datang dan berbaur dalam masyarakat Aceh, prilaku yang nampak dalam keseharian masyarakat tak lepas dari apresiasi masyarakat terhadap
Universitas Sumatera Utara
41
Islam. Artinya masyarakat Aceh tidak hanya menganut Islam, tetapi masyarakat mencoba mengaktualisasikannya dalam kehidupannya. Kadang terlihat sikap
masyarakat yang begitu fanatik terhadap Islam, dikarenakan akulturasi watak masyarakat dengan keyakinan masyarakat.
Sifat kekerabatan yang tinggi dan silaturrahmi merupakan satu bentuk sikap mereka yang kental dalam mewujudkan Islam. Agama ini telah mendarah daging
dalam kehidupan mereka dan melingkupi semua aspek dalam kehidupan mereka. Hal ini bisa dilihat dari adat budaya yang mereka tampilkan dan juga melalui aturan atau
norma hidup yang telah mereka sepakati, seperti perkawinan, perceraian dan lainnya.
68
Bagi masyarakat Aceh, sekalipun Hukum Adatnya telah lebih dahulu ada jauh-jauh hari sebelum masuknya Islam ke Nanggroe Aceh melalui Samudera Pasei,
tetapi dewasa ini, antara Hukum Adat dan Hukum Islam telah sampai pada tingkat sinergik integrative, yang menujukkan adanya harmonisasi antara hukum adat dan
hukum Islam. Kenyataan ini telah dibuktikan oleh Syahrizal dalam meneliti hubungan kedua system hukum tersebut Hukum Islam dan Hukum Adat dalam bidang
kewarisan.
69
Secara menyeluruh, keberadaan kehidupan bermasyarakat di Aceh seutuhnya menyatu dalam semboyan kehidupan mereka sehari-hari, yang telah menjadi
68
Snouck Hurgronje,Aceh Di Mata Kolonialis, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985, Jil 1-2, sebagaimana dikutip dalam buku Syamsul Bahri Implementasi Syari’at Islam, Banda Aceh : Bandar
Publisihing, 2012, hal. 64
69
Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia Refleksi terhadap Beberapa BentukIntegrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, Lhokseumawe : Nadya Foundation,
2004, hal. 8
Universitas Sumatera Utara
42
pegangan umum; “Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana” Adat berada di tangan Sultan, hukum di
tangan Ulama, Qanun dari Putri Pahang dan Resam dari Laksamana.
70
Begitu kentalnya Islam dalam kehidupan mereka, dimana terdapat gambaran jelas melalui ungkapan-ungkapan adat. Meskipun masyarakat Aceh memiliki adat
tersendiri tetapi tak bisa dipisahkan dari Islam yang menhjadi keyakinan mereka. Pertautan keduanya antara adat dengan Islam bisa dilihat dari hadih maja ungkapan
adat yang berbunyi; “Hukum Islam ngon adat lagee zat ngon sifeut” Hukum dengan adat seperti zat dengan sifat.
71
Ungkapan ini mengandung makna sebagaimana dikemukakan Melalatoa dari Hasjmy, “… Islam dan rakyat Aceh ibarat darah dengan daging. Hal itu berlaku
dalam segala cabang kehidupan: politik, ekonomi, kebudayaan, sosial budaya dan tata susila. Segala macam ajaran dan sistem kemasyarakatan tidak boleh berlawanan
dengan ajaran Islam.”
72
Disamping ungkapan ini, juga terdapat ungkapan lain yang menjelaskan betapa pentingnya adat dalam kehidupan masyarakat Aceh, yang ditercermin sebagai
berikut; “Mate aneuk meupat jeurat gadoh adat han meho mita” Mati anak jelas kuburnya, hilang adat kemana dicari.
73
70
Syamsul Bahri Implementasi Syari’at Islam, Banda Aceh : Bandar Publisihing, 2012, hal. 64
71
Syamsul Bahri, Op. Cit, 61
72
M. Junus Melalatoa, Memahami Aceh dalam Perspektif Budaya, dalam AD Pirous, Abdul Hadi WM dkk Ed, Aceh KembaliKe Masa Depan Jakarta: IKJ Press, 2005, hal. 31
73
Ibid
Universitas Sumatera Utara
43
C. Sejarah Pemberian Hareuta Peunulang
Kedudukan rumah dalam lingkungan keluarga pada dasarnya berkolerasi dengan kebiasaan menetap setelah kawin. Pada masyarakat Aceh, khususnya Aceh
Besar dan Pidie, berlaku kebiasaan bahwa pasangan suami-istri muda menetap di lingkungan keluarga pihak istri.
74
Kebiasaan menetap secara demikian berlangsung hingga tiba saatnya pasangan muda itu dipisahkan dan membentuk keluarga batih
sendiri. Pemisahan itu biasanya dilakukan dengan suatu upacara yang disebut “Peumeukleh” pemisahan. Dengan disaksikan oleh menantu dan tetua kampung
serta beberapa anggota kerabat lainnya, orang tua istri memberikan sejumlah harta yang jenis dan nilainya tergantung kepada kemampuannya, kepada anak perempuan
yang hendak dipisahkan itu. Pemberian itu disebut “Peunulang” atau pemberian. Hareuta Peunulang pada dasarnya dikenal di seluruh Aceh, tetapi yang masih
mempraktekkan kegiatan pemberian orang tua ini hannya di tiga daerah dalam Provinsi Aceh, yaitu Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Besar dan sebagian wilayah
di Kabupaten Aceh Barat. Kegiatan pemberian hareuta peunulang ini dikenal sejak masa-masa kerajaan Aceh Darussalam atas ide atau inisitaif Putro Phang isteri dari
Sultan Iskandar Muda, Raja kerajaan Aceh Darussalam dalam rangka menyikapi keadaan dimana para wanita di Aceh yang tinggal cerai oleh suaminya, sehingga
banyak wanita yang harus menderita dengan keadaan tersebut, maka ata dasar inilah Putro Phang mengusulkan untuk diadakan suatu lembaga untuk melindungi
perempuan di saat musibah yang tidak diharapkan terjadi, seperti perceraian, dan
74
Wawancara dengan Burhanuddin, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 29 November 2013
Universitas Sumatera Utara
44
ditinggal meninggal oleh suami mareka, namun wanita masih punya tempat dan kemampuan untuk menjaga kehormatan dan usaha untuk melanjutkan kehidupan
selanjutnya setelah ditingal cerai atau ditinggal meninggal oleh suami mereka.
75
Menurut sejarah, Sulthanah Sri Safiatuddin merupakan salah seorang peletak dasar untuk meningkatkan peranan perempuan dan pengukuhan adat peunulang
berlangsung pada masa beliau berkuasa. Pada masa itu, beliau memberlakukan adat agar orang tua memberikan peunulang kepada dari setiap anak perempuan yang
sudah menikah. Selain itu, juga menetapkan bahwa harta bersama yang diperoleh dari suami istri yang bercerai mesti dibagi dua atau dibagi sama antara suami-istri
76
. Peunulang tersebut biasanya dalam bentuk rumah, tanah sawah umong, batang
kelapa, alat-alat dapur atau ternak. Besar atau banyaknya jenis peunulang tergantung kepada kemampuan orang tua.
Pendapat yang lain sejarah lembaga hareuta peunulang dibentuk di masa perjuangan Cut Nyak Dhien salah seorang pejuang perempuan Aceh di mana pada
saat perjuangannya banyak pengikutnya yang meninggalkan janda-janda dan mengadu kepadanya bahwa mereka terlantar setelah ditinggal mati suaminya yang
ikut dalam perjuangan bersama Cut Nyak Dhien, bahkan ada yang tidak lagi memiliki tempat tinggal setelah ditinggal mati suaminya, menanggapi kondisi ini maka Cut
Nyak Dhien sebagai Panglima perang di masanya berinisiatif untuk melindungi kaum
75
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua Pusat Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya, Unsyiah, di Banda Aceh, tanggal 26 September 2013.
76
Ali Hasyimi, 59 tahun Aceh Merdeka Di bawah Pemerintahan Ratu, Jakarta : Bulan Bintang, 1977, hal. 121-126
Universitas Sumatera Utara
45
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang ikut berperang, dengan membentuk lembaga hareuta peunulang, di mana beliau berharap nantinya tidak ada lagi janda-
janda yang ditinggal mati suami yang ikut berperang mengalami kesulitan dan tidak memiliki tempat tinggal.
77
Pendapat yang lain juga menjelaskan bahwa lembaga hareuta peunulang dibentuk pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam atas idea tau inisiatif Putroe Phang
isteri dari Sultan Iskandar Muda, Raja Kerajaan Aceh Darussalam, dalam rangka melindungi kaum wanita yang ditinggal cerai oleh suaminya. Ketka itu ditemui
banyak kaum wanita yang menderita akibat ditinggalkan oleh suaminya. Atas dasar inilah Putroe Phang mengusulkan diadakan lembaga hareuta peunulang.
78
D. Pengertian Pemberian Hareuta Peunulang
Pemberian menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan masyarakat adat. Menurut Soerojo Wignjodipoero, pemberian adalah pembagian keseluruhan ataupun
sebagian daripada harta kekayaan semasa pemiliknya masih hidup.
79
Eman Suparman mempersamakan hibah dengan pemberian. Menurut Eman Suparman, hibah adalah
pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaaan pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu
77
Wawancara dengan Abdurrahman Kaoy, Wakil MAA, Banda Aceh, 27 November 2013
78
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua PPISB Unsyiah, Banda Aceh, tanggal 25 November 2013
79
Soerojo Wignojidipoero, Op Cit, hal. 204
Universitas Sumatera Utara
46
penghibah masih hidup.
80
Hibah menurut hukum adat memiliki beberapa ketentuan yaitu :
1. Hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika masih hidup.
2. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan tanpa kontra prestasi dari pihak penerima hibah, atau dengan kata lain perjanjian secara cuma-cuma.
3. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah tersebut bertentangan dengan hukum adat.
4. Benda-benda yang dihibahkan adalah segala sesuatu benda milik penghibah yang telah ada pada saat dilakukan hibah, baik benda yang bergerak maupun
benda tetap. 5. Hibah dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
Menurut Soepomo, pemberian semasa hidup dilakukan oleh orang tua untuk mewajibkan para waris untuk membagi-bagikan harta dengan cara layak menurut
anggapan pewaris dan juga untuk mencegah perselisihan.
81
Menurut Ter Haar, hibah adalah pembagian harta peninggalan di waktu masih hidup dan diperuntukkan
sebagai dasar kehidupan materiil anggota keluarga dan penyerahannya dilakukan dengan seketika.
82
Menurut Hilman Hadikusuma, harta pemberian adalah harta yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau kepada suami isteri
bersama atau sekeluarga rumah tangga oleh karena hubungan cinta kasih, balas budi, atau jasa, atau karena sesuatu tujuan.
83
Bentuk-bentuk pemberian harta benda semasa hidup sebenarnya masih banyak dilakukan di daerah-daerah adat khusunya terhadap pemberian yang dilakukan oleh
80
Eman Suparman, Op. cit, Hal. 81
81
Soepomo, Op.Cit, hal. 91
82
Ter Haar, Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, 1994, hal. 210
83
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal. 51
Universitas Sumatera Utara
47
orang tua semasa hidupnya seperti di daerah Lampung ada kemungkinan isteri dalam perkawinan jujur mendapat pemberian barang tetap dari orang tua atau kerabatnya
disebut Tanoh Sesan atau Saba Bangunan.
84
Di lingkungan
masyarakat adat
Daya-Kendana Kalimantan
Barat kemungkinan pemberian orang tua kepada anak, akan lebih banyak diberikan kepada
Anak Pangkalan yaitu anak yang menjamin memelihara mengurus orang tua sampai wafatnya. Begitu pula di daerah Banten pemberian orang tua biasanya dengan cara
memberikan rumah kepada anak wanita dan suami si wanita setelah perkawinan
mengikuti si isteri. Di Aceh dikenal pemberian perhiasan, emas, rumah, pekarangan dan lainnya diantara ayah atau ibu kepada anak-anaknya ketika orang tua masih hidup
yang disebut peunulang. Jumlah peunulang yang diberikan tidak boleh lebih dari 13 jumlah keseluruhan harta peninggalan pemberi. Pemberian peunulang juga dapat
diberikan sebagai tanda balas jasa, dimana harta peunulang yang telah diberikan tidak dapat diminta kembali.
85
Menurut hukum adat, motif dari penghibah tidak berbeda dengan motif tidak memperbolehkan membagikan harta peninggalan kepada ahli waris yang tidak
berhak, yaitu harta kekayaan yang merupakan dasar kehidupan materiil yang disediakan bagi warga yang bersangkutan serta keturunannya. Penghibahan ini
merupakan cara bagi orang tuanya si penghibah untuk memberikan harta miliknya secara langsung kepada anak-anaknya. Penghibahan sebidang tanah kepada seorang
84
Ibid, hal. 161
85
Ibid
Universitas Sumatera Utara
48
anak merupakan suatu transaksi tanah, tetapi bukan merupakan transaksi jual. Penghibah tanah harus dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan supaya menjadi
sah serta terang.
86
Hibah menurut hukum adat dibedakan dengan wasiat. Hibah ini dilakukan sewaktu anak-anaknya sudah menikah dan dipisahkan dengan membuatkan rumah
atau memberikan pekarangan untuk pertanian. Hal tersebut harus dibedakan dengan weling di Jawa yang bersifat wasiat, yaitu sebelum seseorang meninggal, maka ia
mengadakan ketetapan-ketetapan yang ditujukan kepada ahli warisnya atau istrinya dengan memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana harta bendanya akan dibagi waris
jika orang tersebut meninggal. Jadi barang-barangnya itu belum dibagi-bagikan kepada ahli warisnya, melainkan masih dikuasai dan jika ia meninggal maka
pembagian harta peninggalannya harus dilakukan pembagian berdasarkan petunjuk- petunjuknya tersebut.
87
Masyarakat Aceh pada umumnya sebagaimana masyarakat yang lainnya, orang tua mempunyai kewajiban memelihara, membesarkan, bahkan sampai
mengawinkan anak setelah dewasa, hal ini merupakan perwujudan kewajiban alimentasi kewajiban timbal balik antara orang tua dan anak, namun demikian
setelah seorang kawin, tidak berarti terputus hubungan dengan keluarga orang tuanya sebagaimana pada masyarakat yang menganut system kekeluargaan patrilineal.
88
86
Suheri, Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Hibah untuk Anak di Bawah Umur, Semarang : Tesis, UNDIP, 2010, hal. 17
87
Ibid, hal. 17-18
88
R. Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hal. 11
Universitas Sumatera Utara
49
Di Aceh seperti daerah lain di Indonesia, kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih, ialah ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin. Sementara
anak-anak yang telah kawin maka membentuk lagi keluarga batih yang baru, di dalam sebuah rumah terdapat satu keluarga batih namun terkadang bisa juga dua keluarga
batih atau lebih. Hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak yang telah kawin
diwujudkan dalam berbagai bentuk, menurut daerah masing-masing. Dalam masyarakat Aceh setelah seorang anak perempuan kawin, maka anak tersebut beserta
suaminya untuk beberapa waktu tetap tinggal dalam keluarganya, mereka tetap dianggap sebagai bagian dari keluarga.
“Secara sosial mereka belum dikategorikan sebagai sebuah keluarga terpisah dari keluarga orang tuanya, konsekuensi bahwa mereka tetap berada dibawah
anggung jawab orang tua, sampai mereka dipisahkan secara adat guna membentuk keluarga sendiri”.
89
Setelah beberapa waktu, biasanya setelah umur perkawinan lebih kurang setahun atau setelah punya anak, pasangan suami isteri tersebut dipisahkan dari
keluarga orang tuanya, guna secara social membentuk keluarga sendirri. Pada saat upacara pemisahan ini dilakukan, kepada anak perempuan diberikan sesuatu benda
yang berharga atau bermanfaat sebagai bekal hidup dengan suaminya. Biasanya berupa rumah dan atau tanah lainnya. Acara pemisahan ini dalam masyarakat Aceh
89
Abdurrahman, Hareuta Peunulang Sebagai Suatu Lembaga Adat Aceh, Banda Aceh : PPISB Unsyiah, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
50
dikenal dengan istilah Peumeungkleh dan barang yang diberikan tersebut dinamakan dengan Hareuta Peunulang atau ada yang menyebutnya peunulang saja.
90
Pemahaman Peunulang itu sendiri masih beragam, menurut T. Moh Djuned, dalam masyarakat Aceh hingga saat ini masih banyak yang menyamakan Haeuta
Peunulang dengan hibah yang terdapat dalam hukum Islam.
91
Menurut Muhammad Hoesin Hareuta Peunulang sama dengan hibah, orang Aceh menyebut hibah dengan peunulang dan ini sejak dahulu telah dikenal oleh
masyarakat Aceh.
92
Peunulang merupakan pemberian dari orang tua untuk perempuan yang sudah menikah dan terpisah dengan harta warisan. Pemberian tersebut biasanya dalam
bentuk rumah beserta tanahnya, sepetak tanah sawah dan sejumlah ternak. Jumlah atau peunulang sangat tergantung kepada kemampuan orang tua si perempuan.
Tujuan peunulang adalah untuk memastikan perempuan memiliki bekal minimal untuk memulai hidup berumah tangga. Dan yang lebih penting lagi, apabila terjadi
sesuatu terhadap suaminya, seperti meninggal dunia si perempuan telah memiliki rumah sendiri yang tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun. Bahkan dalam bentuk
yang paling ekstrem, walaupun tidak diharapkan, apabila terjadi perceraian, maka
90
Ibid
91
T. Mohd. Djuned, Peunulang sebagai Salah Satu Bentuk Pewarisan di Aceh, Artikel, Buletin Kanun No. 2 Desember 1991, hal. 6
92
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Atjeh, 1970, hal.179
Universitas Sumatera Utara
51
yang turun dari rumah adalah suami lelaki dan bukan isteri aneuk inong. Karena istri adalah pemilik rumoh ureung po rumoh.
93
Penyerahan peunulang biasanya dilakukan melalui sebuah upacara yang diadakan oleh orang tua si istri. Dalam upacara tersebut diundang keuchik gampong,
teungku meunasah dan anggota tuha peut untuk menyaksikan prosesi peunulang. Pada kesempatan itu, orang tua pihak perempuan atau yang mewakili menyatakan
bahwa ia telah melepaskan anak perempuannya dengan memberikan sejumlah peunulang dan menyebutkannya satu persatu apa-apa yang dijadikan peunulang
untuk anaknya tersebut.
94
Sebagaimana penjelasan dalam buku Pola Penguasaan Pemilikan Dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang
ditebitkan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah 1984 1985. “Selain dengan cara membuka tanah baru atau menghidupkan tanah yang mati, asal-usul pemilikan atas tanah dapat pula terjadi
melalui pemberian yang dalam istilah Aceh lazim disebut peunulang”. Menurut adat masyarakat Aceh Besar, setiap anak laki-laki yang baru
memasuki jenjang perkawinan, ia tinggal di rumah keluarga isterinya rumah mertuanya. Tetapi setelah beberapa tahun perkawinan berlangsung biasanya
93
www.acehinstitute.org Sanusi M. Syarif.com, Ureung Inong Desain Tradisi Sebuah Refleksi Hari Adat Sedunia, diakses tanggal 12 Desember 2013
94
Snouck Hugronje, 1985. Aceh dimata kolonialis. Jilid I. Terj. Singarimbun, Ng. Maimoen,S Kustiniyati Muchtar. Jakarta: Yayasan Soko Guru.Nasruddin Sulaiman, Rusdi Sufi Tuanku
Abdul Jalil, 1985, hal. 408
Universitas Sumatera Utara
52
sesudah mendapatkan anak, kepada suami isteri ini dianjurkan untuk berdiri sendiri. Dalam arti suami isteri itu berpisah periuk dengan orang tua pihak si isteri.
Pemisahan seperti ini disebut dengan istilah peumeukleh.
95
Dan biasanya sebelum hal ini dilakukan, pihak orang tua isteri telah mempersiapkan harta pemberian berupa tanah sawah atau kebun ataupun benda-
benda lain yang bernilai untuk anak perempuannya. Pada saat harta ini akan diberikan, dihadiri oleh para famili, keuchiek dan pemuka masyarakat kampung
lainnya yang khusus diundang untuk diketahui oleh mereka. Pemberian harta ini dilakukan secara simbolis kepada si suami, karena dialah yang akan bertanggung
jawab untuk mengusahakan harta tanah itu. Namun secara adat harta itu tetap milik isteri, sebab sekiranya terjadi perceraian, harta yang berupa tanah itu akan kembali
kepada pihak isteri.
96
Berdasarkan penelitian di lapangan melalui wawancara tidak semua responden mampu memberikan pengertian hareuta peunulang secara mutlak, namun mereka
memahami peunulang sebagai hibah kepada anak mereka. Meskipun demikian responden tetap menghormati adat tersebut dan menjalankannya.
Hareuta peunulang dipahami oleh para responden secara hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh penulis dalam berbagai daftar bacaan. Hareuta
peunulang merupakan harta dalam wujud-wujud tertentu yang diberikan oleh orang tua kepada anak perempuannya setelah anak tersebut berumah tangga.
95
Wawancara dengan Tgk. Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 25 November 2013
96
Ibid
Universitas Sumatera Utara
53
E. Keberadaan Pemberian Pemberian Orang Tua Kepada Anak Perempuan Melalui
Hareuta Peunulang di Kabupaten Aceh Besar
Pemberian orang tua kepada anak perempuan beberapa daerah di Aceh masih dilaksanakan, khususnya Kabupaten Aceh Besar. Setiap ada acara pemisahan
peumeungkleh hampir bisa dipastikan dibarengi dengan memberikan hareuta peunulang. Masih banyak ditemukan dalam keluarga yang melakukan pemberian
hareuta peunulang kepada anak perempuannya.
97
Keberadaan pemberian harta kekayaan kepada anak perempuan melalui peunulang yang hingga kini masih terus berlangsung di Kabupaten Aceh Besar dapat
dilihat dari banyaknya prosesi peumengkleh pemisahan yang diikuti oleh keuchiek kepala desa dan tuha peut tetua kampong sebagai saksi dalam kegiatan pemberian
tersebut. “kami hampir selalu diundang oleh pihak keluarga si isteri dalam prosesi
pemengkleh, bahkan kadang kali kami juga diberi emban untuk melangsungkan pemisahan dan sekaligus menyerahkan peunulang di hadapan keluarga, sanak
family dan para ahli waris”
98
Wujud benda
yang merupakan
hareuta peunulang
dimaksud diatas
bermacam-macam dan semuanya merupakan benda yang bernilai dan bermanfaat untuk kehidupan. Benda-benda yang dimaksud adalah rumah dan tanah tempat letak
rumah tersebut dan lahan pertanian atau perkebunan, tanah sawah, perhiasan emas
97
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua PPISB, Banda Aceh, Tanggal 27 November 2013
98
Wawancara dengan Tgk. Ridwan, Kepala Desa Peukan Seulimeum, Seulimeum, tanggal 26 November,2013
Universitas Sumatera Utara
54
dan ternak. Dari semua benda tersebut yang paling banyak diberikan adalah adalah tanah kebun, dimana dari 30 orang responden 17 orang responden mendapatkan
peunulang dalam bentuk kebun yang diberikan orang tuanya dan 9 orang responden dalam bentuk tanah sawah dan sisanya mendapatkan rumah dan pekarangannya.
Hal yang menjadi objek dari pemberian orang tua kepada anak perempuan di Kabupaten Aceh Besar tersebut dapat terlihat dari tabel di bawah ini :
No Desa
Kecamatan Objek Peunulang
Jumlah Rumah
Lahan Kebun
Sawah
1 Jantho Baro
Jantho 1
2 2
5 2
Jantho Makmur
Jantho -
4 1
5
3 Peukan
Seulimuem Seulimuem
1 2
2 5
4 Lhieb
Seulimuem 1
3 1
5 5
Teudayah Kuta Malaka
1 3
1 5
6 Lam Ara
Tunoeg Kuta Malaka
- 3
2 5
Jumlah 4
17 9
30 Berdasarkan tabel diatas objek pemberian orang tua kepada anak perempuan
melalui hareuta peunulang terbanyak dalam bentuk lahan kebun ini sesuai dengan letak geografis Kabupaten Aceh Besar yang mempunyai banyak lahan pertanian di
Kabupaten Aceh Besar, dan sesuai juga dengan mata pencaharian utama sebagian besar penduduk masyarakat kabupaten Aceh Besar sebagai Petani.
Universitas Sumatera Utara
55
Kegiatan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dalam masyarakat Kabupaten Aceh Besar dilakukan dengan cara lisan
dihadapan para saksi kepala desa dan tetua kampung, dalam upacara peumeungkleh, ini dianggap sah di dalam masyarakat Aceh Besar karena masyarakat memahami
bahwa kegiatan peralihan dalam adat sah apabila didasari dengan hal jelas dan terang dalam peralihan tersebut sebagaimana pendapat Abdurrahman “peralihan secara adat
sah apabila dilakukan secara jelas dan terang dihadapan para saksi-saksi”.
99
Banyaknya kegiatan pemberian hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar sebagai bukti nyata bahwa pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui
hareuta peunulang masih berlangsung dan dihormati di dalam masyarakat di kabupaten Aceh Besar.
Pemberian hareuta peunulang kepada anak perempuan yang sudah kawin akan berakibat mengurangi sebagian dari harta dalam suatu keluarga, yang berarti
akan mengurangi jumlah harta pusaka jika orang tua meninggal dunia, padahal dalam masyarakat Aceh besar tidak dikenal adanya suatu lembaga yang mengikat secara
adat, yang menjadi dasar bagi anak laki-laki dan perempuan yang belum kawin untuk memperoleh sebagian harta dari harta pusaka. Artinya, dalam masyarakat adat Aceh
Besar hannya dikenal pemberian kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dimana anak perempuan yang telah kawin dapat memperoleh harta harta dari orang
99
Wawancara dengan Abdurrrahman, Mantan Ketua PPISB Unysiah, Banda Aceh, tanggal 26 November 2013
Universitas Sumatera Utara
56
tuanya sementara anak laki-laki dan perempuan yang belum kawin tidak ada kesempatan itu.
Untuk memenuhi unsur keadilan tersebut diatas maka dalam praktek pemberian hareuta peunulang selalu dilakukan pengontrolan oleh kepala desa, imam
menasah danatau tetua kampung lainnya agar pemberian hareuta peunulang kepada seorang anak dilakukan secara proporsional antara jumlah harta yang ada dengan
jumlah anak. Kepala desa danatau tetua kampung lainnya selau menjaga agar pemberian hareuta peunulang tidak melebih sepertiga dari harta yang ada,
sebagaimana dari syarat pemberian peunulang itu sendiri.
100
Dari semua praktek pemberian hareuta peunulang di Aceh Besar dalam penelitian ini tidak pernah ada satupun ada kasus yang menunjukkan anak laki-laki
berkeberatan, semua anak laki-laki menerima dan tidak pernah ada yang mempermasalahkan pemberian tersebut semua anak laki-laki berpersepsi positif
dalam hal pemberian peunulang tersebut.
F. Alasan-alasan Pemberian
Hareuta Peunulang
Menurut Hilman Hadikusuma, pemberian tanah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adat dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu sebagai berikut :
1. Sebagai tanda pengabdian, dimana telah diberikan kepada penghulu adat atau raja sebagai tanda pengabdian atau untuk mendapatkan perhatian sukarela
sebagaimana yang pernah berlaku di Minahasa. 2. Sebagai tanda kekeluargaan, dimana tanah diberikan sebagai tanda mengaku
saudara Mewari di daerah Lampung atau sebagai tanda mengangkat tanah yang terjadi di Minahasa.
100
Wawancara dengan Tgk. Bahagia Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 23 November 2013
Universitas Sumatera Utara
57
3. Sebagai pembayaran denda, dimana tanah diberikan kepada kerabat orang yang mati terbunuh untuk digunakan sebegai tempat perkuburan, tempat
kediaman atau usaha. 4. Sebagai pemberian perkawinan, misalnya tanah pei pamoya di Minahasa dan
sunrang sanra di Sulawesi Selatan yang berfungsi sebagai mas kawin sementara.
5. Sebagai barang bawaan dalam perkawinan di mana tanah diberikan oleh kerabat isteri ke dalam suatu perkawinan yang disebut sebagai pauseang,
bangunan atau indahan arian di Batak dan tanah sesan dalam bentuk perkawinan jujur di Lampung.
101
Berkaitan dengan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang selain dalam konteks sejarah sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, ditemui berbagai pendapat tentang latar belakang orang tua di Kabupaten
Aceh Besar
dalam memberikan
hareuta peunulang.
Adapun tujuanalasan-alasan pemberian hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar dapat
dilihat dari berbagai aspek, sebagaimana yang dapat dikelompokkan sebagai berikut ini :
1. Faktor sebagai bekal anak di kemudian hari Tidak semua anak, entah itu laki-laki maupun perempuan yang sudah
berumah tangga bila kelangsungan hidup secara mandiri, tentunya kondisi pasca nikah, bisa jadi sesuatu mengkhawatirkan bagi orang tua. Itulah
sebabnya mengapa orang tua sedini mungkin berfikir akan nasib anak-anak mereka kelak, dengan cara memilih-milih harta kekayaan mereka untuk
diberikan kepada anak perempuan, dengan suatu pemikiran bahwa bila anak perempuan dikemudian hari membina suatu rumah tangga keluarga, belum
101
Hilman Hadi Kusuma,Hukum Perjanjian Adat, Bandung : PT Alumni, 1982, hal. 149
Universitas Sumatera Utara
58
tentu suaminya mampu, sebagaimana yang di jelaskan oleh beberapa responden bahwa sebagai upaya membantu dan berjaga jika nantinya mereka
memulai membina rumah tangga baru dengan suaminya. 2. Faktor Kasih Sayang
Wujud rasa kasih sayang orang tua kepada anaknya dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah satunya adalah dengan pemberian. Pada masyarakat
Kabupaten Aceh Besar secara umum dikenal adanya pemberian yang dilakukan orang tua kepada anak perempuannya setelah melangsungkan
perkawinan, dimana pemberian ini disebut dengan hareuta peunulang. Peunulang diberikan kepada anak perempuat pada saat telah melangsungkan
perkawinan dalam proses pemengkleh dilakukan karena ingin menunjukkan rasa kasih sayangnya yang tidak putus kepada anak perempuannya walaupun anaknya
telah berumah tangga dan membentuk keluarga baru bersama suaminya.
102
Orang tua perempuan dengan suka rela memberikan bagian dari hartanya untuk keperluan hidupnya misalnya dengan memberikan lahan kebun untuk
menambah sumber mata pencaharian dari keluarga anak perempuannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh MI, warga Desa Jantho Makmur yang memberikan lahan kebun
yang dimilikinya agar anak perempuan dan menantunya tersebut dapat memenuhi
102
Wawancara dengan Tgk Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 20 November 2013
Universitas Sumatera Utara
59
kebutuhan rumah tangganya mengingat menantunya yang memiliki pekerjan berkebun sebelum menjadi menantunya.
103
3. Faktor Ekonomi
Dari aspek ekonomi pemberian hareuta peunulang dimaksudkan untuk memberi bekal bagi anaknya dalam memasuki keluarga baru dengan suaminya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Aminah terhadap anaknya yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
104
Menurut AM warga desa Lhieb yang memberikan peunulang berupa sawah karena menantunya mengalami kesulitan ekonomi karena tidak memiliki pekerjaan
tetap dan harus menghidupi anak perempuannya dikemudian hari beserta cucu- cucunya nanti, hasil dari mengusakan sawah tersebut nantinya diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka dalam keluarga. Sebagaimana diketahui bahwa setelah seorang anak perempuan kawin untuk
beberapa waktu tinggal dalam keluarga ibu bapaknya dan secara social masih dianggap satu keluarga, setelah melewati waktu, anak perempuan yang telah kawin
ini dipisahkan dipeumengkleh untuk membentuk keluarga sendiri. Sudah pasti dalam memasuki keluarga baru, mereka membutuhkan bekal dan tempat tinggal,
dalam rangka memenuhi inilah maka oleh orang tuanya diberikan atau disediakan persiapan berupa harta-harta tertentu.
105
103
Wawancara dengan M.I, penduduk Desa Jantho Makmur, Jantho, tanggal 23 November 2013
104
Wawancara dengan AM, penduduk Desa Jantho Baru, Jantho, tanggal 24 November 2013
105
Wawancara dengan Tgk. Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 22 November 2013
Universitas Sumatera Utara
60
Peunulang diberikan kepada anak perempuan sebagai modal awal dalam membina keluarga barunya bersama suaminya, orang tua yang memiliki cukup harta,
biasanya akan memberikan peunulang dalam bentuk sawah, tanah kebuh, lahan, rumah, perhiasan maupun emas. Akan tetapi bagi orang tua yang tingkat ekonominya
lemah maka yang diberikan dapat berupa hewan peliharaan, seperti sapi, lembu, ayam atau bebek, dan alat produksi lainnya seperti cangkul, pangki dan piring.
106
Tujuan lain dari pemberian peunulang aspek sosial ekonomi adalah untuk modal atau pegangan bagi seorang anak perempuan jika dalam kehidupan
berkeluarga mendapatkan musibah ditinggalkan suami, baik ditinggal meninggal atau ditinggal cerai.
107
Dalam hal ini pemberian peunulang berupa rumah tempat tinggal. Jika seorang isteri ditinggal cerai oleh suaminya, maka ia tidak akan terusir dari rumah
dan tidak akan terlantar. Seorang isteri yang menerima peunulang berupa rumah tidak akan terusir dari rumah, tidak hannya dari rumah yang diterimanya itu, tetapi juga
dari rumah lain di mana ia bertempat tinggal bersama suaminya, kalau misalnya ia dibawa oleh suami ketempat lain.
Hal inilah yang paling diperhatikan dan dijaga oleh para orang tua di Kabupaten Aceh Besar, akan merupakan aib besar kalau seseorang perempuan
106
Wawancara dengan Abdurrahman Kaoy, Wakil Sekretaris MAA, Banda Aceh, Tanggal 19 November 2013
107
Wawancara dengan SF, Penduduk Desa Teudayah, Kuta Makmur, tanggal 22 November 2013
Universitas Sumatera Utara
61
seorang perempuan harus keluar dari rumah dalam hal terjadinya perceraian atau ditinggal meninggal oleh suaminya.
108
4. Faktor Yuridis
Dari aspek yuridis pemberian hareuta peunulang adalah untuk menggantikan mas kawin yang diambil oleh orang tua untuk persiapan perkawinan anak
perempuannya.
109
Dalam masyarakat Kabupaten Aceh Besar orang tua mempunyai kebiasaan untuk mengawinkan termasuk mengadakan acara perkawinan. Dalam hal, tidak
jarang biaya untuk acara perkawinan anaknya diambil dari mas kawin yang telah diterima yang seharusnya menjadi hak anaknya. Untuk ini, sebagai ganti mas kawin
yang telah diambil tersebut kapada anak perempuan diberikan sesuatu benda yang bermanfaat dalam wujud hareuta peunulang.
Sebagaimana yang dilakukan oleh JU warga desa Teudayah terhadap anak perempuannya, dimana mas kawinnya dipergunakan untuk mempersiapkan acara
resepsi pernikahan anaknya tersebut, kemudian sebagai penggantinya bagi anak perempuan tersebut diberikan tanah sawah miliknya kepada anak perempuannya
tersebut, untuk digunakan sebagai modal dalam membina rumah tangga bersama dengan suaminya.
110
108
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua PPISB Unsyiah, Banda Aceh, tanggal 21 November 2013
109
Wawancara dengan ABD, penduduk Desa Lhieb, Seulimeum, tanggal 24 November 2013
110
Wawancara dengan JU, Penduduk Desa Teudayah, Aceh Besar, tanggal 24 November 2013
Universitas Sumatera Utara
62
Pengertian lain sebagai pengganti mas kawin adalah sebagai pihak yang menerima mas kawin, maka orang tua dari si anak perempuan memberikan sesuatu
kepada kehidupan keluarga anaknya sekalipun mas kawin tidak diambil oleh orang tua.
111
Oleh karena itu di dalam Masyarakat Kabupaten Aceh Besar penentuan mas kawin bagi anak perempuan oleh orang tuanya sangat tergantung atau sangat
memperhatikan objek apa saja dan seberapa besar nantinya orang tua dapat memberikan hareuta peunulang. Di sini berarti penentuan mas kawin didasari pada
jenis dan kuantitas dari hareuta peunulang yang dapat diberikan.
112
5. Faktor Budaya
Tujuan pemberian hareuta peunulang dari aspek budaya ini berkaitan dengan budaya pemberian hareuta peunulang yang turun-temurun, dimana orang tua yang
juga pernah menerima pemberian peunulang maka orang tua tersebut selanjutnya akan memberikan hal yang sama kepada anaknya yang perempuan juga. Sudah
menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat Aceh Besar pemberian ini sebagai budaya yang baik yang terus dipertahankan sampai dengan sekarang. Sebagaimana
yang dilakukan oleh ZU warga desa Lam Ara Tunoeng terhadap anaknya, dia
111
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua PPISB Unsyiah, Banda Aceh, tanggal 21 November 2013
112
Wawancara dengan Abdurrahman Kaoy, Wakil Ketua MAA, Banda Aceh, tanggal 23 November 2013
Universitas Sumatera Utara
63
memberikan lahan kebun yang sebelumnya juga diberikan oleh orang tua ZU kepadanya disaat melangsungkan perkawinan.
113
Tujuan lainnya dari aspek budaya berkaitan dengan hubungan darah, dalam masyarakat Aceh Besar secara emosional anak perempuan lebih dekat dengan orang
tuanya dibandingkan dengan anak laki-laki. Selain itu anak laki-laki lebih cenderung mencari nafkah jauh dari rumah, sedangkan anak perempuan tinggal dan bekerja
tidak jauh dari rumah, anak perempuan menjadi pengurus dan melayani orang tuanya. Dalam rangka menjaga kondisi ini, maka diusahakan anak perempuan tidak tinggal
jauh dari keluarga ayahibu. Untuk itu maka kepada anak perempuan yang telah kawin diberikan rumah sebagai objek dari hareuta peunulang.
114
Berkaitan dengan ini dalam masyarakat dikenal ungkapan “Ureung inoeng mate ditempat ureung agam mate beuranggapat”. Artinya orang perempuan
meninggal di rumah, orang laki-laki meninggal bisa di mana saja.
115
Maksud dari ungkapan ini adalah orang perempuan hendaknya kalau meninggal tidak jauh dari
rumah atau lingkungan keluarga dan orang laki-laki tidak ada masalah dan wajar saja kalau meninggal di mana saja, jauh dari lingungan keluarga. Untuk ini maka orang
tua merasa berkewajiban untuk menyediakan rumah bagi anak perempuan. Tujuan pemberian hareuta peunulang dari aspek budaya lainnya adalah
berkaitan dengan hubungan perkawinan. Dalam hal ini tujuan pengadaan peunulang
113
Wawancara dengan ZUJ, penduduk desa Lam Ara Tunoeng, tanggal 22 November 2013
114
Abdurrahman, Op. Cit, hal. 29
115
Ibid
Universitas Sumatera Utara
64
adalah untuk memberikan kedudukan tertentu bagi isteri dalam keluarga.
116
Dalam suatu keluarga atau rumah tangga di masyarakat Aceh Besar isteri adalah sosok
pengatur yang menjadi pengatur kehidupan rumah tangga. Dalam persoalan intern rumah tangga isteri adalah managernya. Isteri sebagai orang yang punya rumah, yang
punya wewenang mengatur persoalan intern keluarga sehari-hari. Sehingga, dalam masyarakat Aceh Besar dan masyarakat Aceh lainnya isteri disebut sebagai “po
rumoh” pemilik Rumah.
117
Dalam memposisikan dan memperkuat posisi inilah maka kepada anak perempuan yang sudah menjadi isteri seseorang diberikan hareuta peunulang berupa
rumah oleh orang tuanya. Dengan berkedudukan sebagai pemilik rumah maka isteri berkuasa mengatur persoalan intern rumah tangga, sekalipun demikian posisi suami
tetap, tidak hilang sebagai kepala keluarga. Hannya hak mengatur dan menata rumah tangga ada pada isteri. Kedudukan isteri sebagai pemilik rumah ini, tidak hannya
terbatas dalam rumah yang dia terima sebagai objek peunulang saja, tetapi terus melekat pada isteri kemanapun ia dibawa dan di manapun ia ditempatkan oleh
suaminya. Seandainya isteri dibawa ke daerah lain dan disediakan rumah lain oleh suaminya, posisi isteri sebagai pemilik rumah dengan wewenang sebagaimana
terssebut di atas tetap melekat padanya. 6.
Faktor agama
116
Wawancara dengan D.A, penduduk Desa Peukan Seulimum, Seulimeum, tanggal 25 November 2013
117
Abdurrahman, Op. Cit, hal. 30
Universitas Sumatera Utara
65
Dari aspek agama, tujuan pemberian hareuta peunulang adalah untuk memperkuat hukum syariat, maksudnya adalah untuk mencegah anak perempuan
dalam hal ini isteri yang ditinggal suami melakukan hal-hal yang dilarang agama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
118
Bagi orang-orang yang berada dalam kondisi terjepit atau kondisi sulit seperti sulit memperoleh kebutuhan pangan atau sandang lebih terbuka kemungkinan untuk
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat agama guna memenuhi kebutuhan tersebut. Bagi masyarakat Aceh, dalam hal ini masyarakat Aceh Besar
yang dikenal sangat Islami sangat menentang hal-hal begitu, apalagi kalau hal itu dilakukan oleh kaum perempuan yang diringgal suami. Syariat Islam telah mengatur
secara tegas mengenai hal ini dan masyarakat Aceh sangat berpegang pada hukum syariat. Masyarakat Aceh sejak dari kecil sudah dibekali dengan ilmu tentang syariat
untuk mencegah dilakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Untuk memperkuat pelaksanaan syariat ini, maka salah satu usaha lain yang
bisa dilakukan adalah membekali seseorang anak dalam hal ini anak perempuan dengan bekal hidup untuk mengantisipasi kemungkinan itu kalau-kalau nantinya
ditinggal suami dan tidak ada peninggalan apa-apa. Bekal hidup inilah yang diberikan melalui pemberian hareuta peunulang. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan
pemberian hareuta peunulang dalam hal ini adalah untuk memperkuat hukum syariat.
118
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua PPISB Unsyiah, Banda Aceh, tanggal 22 November 2013
Universitas Sumatera Utara
66
7. Faktor Keadilan
Dari aspek keadilan tujuan dari pemberian hareuta peunulang adalah untuk mengimbangi ketetapan hukum waris Islam faraid yang berprinsip bagian anak
laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
119
Masyarakat Aceh atau masyarakat Aceh Besar yang secara keseluruhan dapat dikatakan beraga Islam, dan patuh serta taat kepada aturan agama Islam percaya
bahwa ketetapan agama mempunyai maksud dan tujuan yang baik, begitu pula larangan dalam agama mempunyai akibat kemudharatan yang memang harus ditaati
untuk ditinggalkan
120
. Ketentuan hukum waris Islam yang memberikan bagian anak laki-laki lebih
besar bagiannya dari pada anak perempuan secara keseluruhan ditaati dan dipatuhi, namun melihat kondisi anak laki-laki yang dimiliki oleh keluarga sebagian warga
desa Jantho Baro terutama T.I yang memiliki dua anak laki-laki dan satu orang anak perempuan, dimana anak laki-laki keduanya telah memiliki kemampuan secara
ekonomi dalam menghidupi kehidupannya sendiri yang masing-masing memiliki pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pengusaha dianggap telah mapan,
sementara anak perempuannya yang selama ini membantu keluarga orang tuanya dirumah lebih sebagai pelindung orang tua dan tinggal bersama orang tuanya,
ditambah belum memiliki penghasilan atau pekerjaan yang tetap maka sudah sepantasnya diberikan tambahan harta warisan, pemberian selain dari ketentuan
119
Wawancara dengan T.I, penduduk Desa Jantho Baru, Jantho, tanggal 24 November 2013
120
Wawancara dengan Tgk Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 20 November 2013
Universitas Sumatera Utara
67
bagian warisan di dalam Hukum Islam diberikan dalam bentuk wasiat, hadiah dan hibah, maka dalam ini orang tua lebih memilih hibah, di dalam masyarakat Aceh
Besar hibah di sini bentuk peunulang, sebagai upaya memberikan keadilan terhadap ketentuan bagian anak laki-laki lebih besar dari bagian anak perempuan dalam hal
tentuan faraid. Keberadaan lembaga hareuta peunulang yang hingga kini masih dilaksanakan
di dalam masyarakat Aceh Besar ini sesuai dengan teori Urf yang digunakan dalam penelitian ini, adat kebiasaan adalah suatu yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan
dijalankan terus-menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan.
121
Lebih lanjut Urf itu sendiri dibagi menjadi dua jenis : 1. Urf Shahih benar
2. Urf Fasid salah, rusak Urf adat Shahih ialah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Sebagai mana dalam hal ini pemberian hareuta
peunulang yang diberikan kepada anak perempuan yang telah menikah, dalam hal warisan tidak menyalahi aturan syara’, dimana pemberian itu sendiri di
lakukan pengontrolan oleh kepala desa dan tetua kampung agar tidak melebihi 13 sepertiga dari keseluruhan harta yang dimiliki oleh orang tua dan
121
Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Medan : Konsentrasi Hukum Islam Program Pasca Sarja USU, 2002, hal. 32
Universitas Sumatera Utara
68
mengedepankan asas keadilan dalam keluarga secara proporsional terhadap bagian waris anak laki-laki dan semua anak dalam keluarga.
Urf adat Fasid adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berlawanan
dengan ketentuan
syari’at karena
membawa kepada
yang menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib.
122
122
Ibid, hal. 33-34
Universitas Sumatera Utara
69
BAB III STATUS HUKUM PEMBERIAN ORANG TUA MELALUI
HAREUTA PEUNULANG DI KABUPATEN ACEH BESAR
Dalam persoalan pemberian harta kekayaan orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang sebenarnya disamping terkandung aspek budaya, juga
terkandung aspek hukumnya. Pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang terdapat adanya peralihan benda di dalamnya maka hareuta
peunulang juga berdimensi hukum dalam persoalan hareuta peunulang berakibat dituntut adanya keteraturan dan ketertiban dalam proses peralihan hareuta peunulang.
A. Proses dan Syarat-syarat Pemberian Hareuta Peunulang