42
pengaplikasian yang dimaksud sebagai foklor yang diceritakan dalam sebuah konsep musikal.
3.1 Parenjak-enjak Ni Huda Sitajur
Ada begitu banyak cerita foklor yang ditradisikan oleh masyarakat Simalungun, dan salah satunya adalah parenjak-enjak ni huda sitajur. Parenjak-
enjak ni huda sitajur adalah sebuah cerita rakyat yang berasal dari kecamatan Sidamanik Simalungun yang menceritakan tentang sebuah perang saudara antar
kerajaan. Sebuah peperangan yang terjadi di zaman kerajaan Simalungun dulu telah memberikan sebuah cerita yang menjadi salah satu bagian kebudayaannya
terkhusus menjadi bagian dari keseniannya. Adapun kebudayaan ini diyakini sebagai tradisi yang sakral, dan tidak
sembarangan orang yang dapat menuturkan ceritanya. Penulis berani beranggapan seperti itu karena pada saat pertama kali penulis melakukan
penelitian ke daerah Sidamanik tepatnya di rumah bapak Arisden Purba, penulis sempat dibingungkan tentang kebenaran dari cerita tersebut. Informan penulis
pada awalnya tidak mau menceritakan bagaimana cerita sejarah parenjak-enjak ni huda sitajur tersebut karena takut memberikan informasi yang salah. Dan
menurut keterangan beliau bahwa cerita tersebut lebih layak diceritakan oleh keturunan marga Sidamanik untuk memberikan kepastiannya. Hal ini disebabkan
oleh bagian dari cerita tersebut melibatkan raja Sidamanik yang turut membuat sejarah tersebut. Kekompleksan sejarah ini memberikan relasi antara cerita
Universitas Sumatera Utara
43
dengan peran yang terlibat dalam cerita tersebut yang dapat dilihat dengan kondisi sekarang.
Walaupun penulis mendapat cerita ini bukan dari keturunan marga Sidamanik, tidak menjamin bahwa cerita ini tidak dinyatakan benar. Karena
informan penulis bapak Arisden Purba mendapatkan sejarah cerita ini dari ayah beliau dan ayahnya tersebut mendapatkan informasinya dari seorang keturunan
raja Sidamanik juga. Informasi tentang sejarah parenjak-enjak ni huda sitajur ini didapat beliau secara oral dari ayahnya. Dalam hal ini penulis tidak akan melihat
titik kebenaran dari sejarah yang membentuk kebudayaan tersebut sebagaimana konsep dan sifat kebudayaan. Sehingga saat ini yang penulis utamakan bukan
siapa melainkan mengapa dan bagaimana kebudayaan ini bisa lahir dalam tradisi masyarakat Simalungun. Berikut penulis akan menceritakan sejarah terjadinya
kebudayaan parenjak-enjak ni huda sitajur berdasarkan informasi dari wawancara dengan informan pangkal.
Awal ceritanya dimulai pada zaman kerajaan Simalungun terdahulu yang memiliki dua orang keturunan yang juga akan memilki tahta dan bagian
kekuasaan wilayah masing-masing. Anak pertama namanya raja Siattar dan anak kedua namanya raja Manik Hasian menurut informan hal inilah yang diyakini
dengan posisi wilayah kabupaten Simalungun yaitu daerah Siantar untuk raja Siattar dan daerah Sidamanik untuk raja Manik Hasian dan singkat cerita mereka
sudah mempunyai daerah kekuasaan masing-masing. Pada saat itu ada seekor kuda perang yang terkenal dengan kegesitan dan kehebatannya dalam berlari, dan
di saat yang sama kuda tersebut sudah dimiliki oleh raja Manik Hasian. Kuda
Universitas Sumatera Utara
44
tersebut berasal dari sebuah desa yaitu desa Sitajur yang dulunya berlokasi di daerah kerajaan Simalungun tersebut, sehingga kuda tersebut dipanggil dengan
kuda Sitajur. Inilah yang menjadi awal timbulnya sebuah pertengkaran antar saudara karena raja Siattar tidak terima karena raja Manik Hasian memiliki kuda
Sitajur tersebut, sehingga timbullah sikap iri raja Siattar untuk memiliki kuda Sitajur tersebut. Pada awalnya raja Siattar sudah meminta kuda Sitajur tersebut
kepada adiknya raja Manik Hasian, tetapi raja Manik Hasian tidak mau memberikannya karena menurutnya saudaranya itu tidak pantas memilki kuda
tersebut. Pernyataan ini membuat raja Siattar marah hingga menantang raja Manik Hasian dengan menunggangi kudanya itu untuk berperang. Untuk itu raja
Siattar membuat sebuah taktik untuk menjebak raja manik Hasian, sehingga raja Siattar menentukan lokasi perangnya di daerah yang memiliki tumbuhan
bersemak untuk dapat bersembunyi. Tiba saatnya untuk berperang, raja Siattar sudah melaksanakan rencananya dengan bersembunyi di balik semak-semak.
Setibanya raja Manik Hasian di lokasi perang yang sudah diatur oleh raja Siattar, raja Manik Hasian bingung karena lokasinya kosong. Di selang waktu tersebut,
raja Siattar tiba-tiba keluar dari semak-semak dan menyergap raja Siattar yang dalam posisi lengah dari belakang yang langsung menancapkan tombaknya ke
badan sauaranya itu yang menembus ke leher kuda sitajur tersebut. Sehingga raja Manik Hasian dengan kudanya berakhir kematian di tangan saudaranya raja
Siattar. Begitulah cerita yang disampaikan oleh informan kepada penulis yang dibawakan dalam sebuah foklor masyarakat Simalungun.
Universitas Sumatera Utara
45
Banyak juga versi cerita yang menggunakan judul parenjak-enjak ni huda sitajur, walaupun dengan menggunakan bahasa yang berbeda dan bahkan dengan
versi dari kebudayaan yang lain. Dalam hal ini kenyataan tentang kebudayaan ini masih misteri dengan diyakini oleh kebudayaan yang berbeda. Sejauh
pengamatan penulis selain masyarakat Simalungun yang memiliki kebudayaan ini, masyarakat Karo juga memiliki kebudayaan ini dengan cerita yang berbeda
yang mereka sebut dengan parinjak-injak kuda sitajur. Dengan pemahaman antar kebudayaan yang berbeda tidak akan membenarkan kebudayaaan yang sepihak di
mana setiap kebudayaan memilki tradisi masing-masing berarti tidak menutup kemungkinan suatu kebudayaan akan memiliki persamaan mengingat kebudayaan
itu sifatnya dinamis, Adapun bentuk pengaplikasian cerita parenjak-enjak ni huda sitajur ini
bukan hanya penalaran akan sebuah foklor Simalungun, melainkan penceritaan yang disampaikan secara musikal. Konsep musikal dalam hal ini dikategorikan
dari salah satu bentuk kesenian Simalungun yaitu mardoding lihat Bab II. Doding dalam hal ini bukan hanya seni vocal yang dinyanyikan oleh seseorang
melainkan alat musik tradisional Simalungun yaitu husapi. Sehingga istilah ini dapat juga disebut sebagai husapi na mardoding karena alat musik ini yang
mengiringi tradisi parenjak-enjak ni huda sitajur diceritakan. Dan bukan maksudnya secara fisik melainkan secara fungsional husapi tersebut yang
dianggap melantunkan doding. Penyajian alat musik husapi ini dalam memainkan lagu parenjak-enjak ni
huda sitajur dimainkan secara tunggal bukan dalam bentuk ansambel. Penyajian
Universitas Sumatera Utara
46
lagu ini dilakukan dengan bercerita secara oral sambil memainkan alat musik husapi. Husapi di sini mengiringi cerita terlebih turut serta mendeskripsikan
cerita yang disampaikan sehingga terdapat bentuk penyajian musikal yang akan membuat pendengar mengikuti dan turut mendeskripsikan ceritanya.
3.2 Husapi Simalungun