Teknik Permainan Dan Struktur Musik Husapi Simalungun Pada Lagu Parenjak-Enjak Ni Huda Sitajur Yang Disajikan Oleh Arisden Purba Di Huta Manik Saribu Sait Buttu Kec. Pamatang Sidamanik Kab. Simalungun

(1)

DAFTAR INFORMAN

Nama : Arisden Purba Umur : 60 tahun

Pekerjaan : Petani/ Pemusik Tradisional Simalungun

Alamat : Jl Besar Manik Saribu, Simp. Tower Nagori Sait Buttu

Nama : Alm. Djasa Tarigan Umur : 49 tahun

Pekerjaan : Pemusik Tradisional Karo Alamat : Jl Royal Sumatera

Nama : Badu Purba Umur : 60 tahun

Pekerjaan :PNS/ Pemusik Tradisional Simalungun Alamat :Pematang Siantar


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR PUSTAKA

Department of Education and Culture Directorat General of Culture North Sumatera Government Museum, 1994. The Simalungunesse Traditional Musical Instruments.

Edmund, Karl. 1996. Ilmu Bentuk Musik. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. Girsang, Dori Alam. 2011. Musik Tradisional Simalungun. Artikel Budaya.

Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach. 1961. Classification of Musical Instrumen, Translate from the original German by Antonie Banes and Klaus P. Wachsman.

Ihromi, T,O. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. Iskandar. 2009. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada. Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antropolgi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Limbong, Daniel. 2012. “Deskripsi Analitis Gaya Permainan Hasapi Sarikawan Sihotang dalam Konteks Tradisi Gondang Hasapi”. Medan: Skripsi USU.

Malm, William. P. 1976. Traditional Music Of The Pasific and The Near East. New Jersey: Prectice-Hall.

Nakagawa, Shin. 2000. Musik dan Kosmos, Sebuah Pengantar Etnomusikologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free Press of Glenco.

Purba, Setia Dermawan. 2008. Nyanyian Anak dalam Kebudayaan Simalungun. Jurnal Etnomusikologi No. 8.


(7)

Saragih, Taralamsyah. 1974. Seni Musik, Suara, dan Tarian Simalungun, Inti Sari Seminar


(8)

BAB III

HUSAPI SIMALUNGUN DALAM LAGU PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR

Masyarakat Simalungun memiliki tradisi lisan dalam bentuk nyanyian yang sifatnya bercerita yaitu parenjak-enjak ni huda sitajur. Dalam Setia Dermawan Purba kemudian dijelaskan bahwa nyanyian seperti ini dikategorikan dalam nyanyian rakyat yang bergenre atau berbentuk foklor yang disampaikan secara lisan dan berbentuk tradisional. Foklor yang dimaksud adalah cerita rakyat yang disampaikan secara tradisional. Dalam masyarakat Simalungun masih dikenal cerita-cerita rakyat atau dapat disebut sebagai foklor yang diyakini sebagai fakta maupun sebagai mitos. Ada banyak foklor yang diyakini oleh masyarakat Simalungun dengan berbagai jenis kategori pengaplikasian dalam ceritanya khususnya untuk keseniannya seperi foklor yang diceritakan untuk menciptakan sesuatu seperti membuat alat musik, foklor yang diceritakan semata-mata sebagai cerita yang harus dikenang, dan juga foklor yang diceritakaan kemudian diaplikasikan dalam sebuah konsep musikal.

Dalam tulisan ini penulis lebih terfokus terhadap foklor yang diceritakan kemudian diaplikasikan ke dalam bentuk konsep musikal. Dalam konsep musikal di sini maksudnya adalah suatu cerita yang diceritakan kepada pendengar dalam bentuk cerita yang dinyanyikan. Untuk itu penulis juga akan lebih menjelaskan instrumen musik sebagai pendukung cerita tersebut, sehingga terlihat lebih jelas


(9)

pengaplikasian yang dimaksud sebagai foklor yang diceritakan dalam sebuah konsep musikal.

3.1 Parenjak-enjak Ni Huda Sitajur

Ada begitu banyak cerita foklor yang ditradisikan oleh masyarakat Simalungun, dan salah satunya adalah parenjak-enjak ni huda sitajur. Parenjak-enjak ni huda sitajur adalah sebuah cerita rakyat yang berasal dari kecamatan Sidamanik Simalungun yang menceritakan tentang sebuah perang saudara antar kerajaan. Sebuah peperangan yang terjadi di zaman kerajaan Simalungun dulu telah memberikan sebuah cerita yang menjadi salah satu bagian kebudayaannya terkhusus menjadi bagian dari keseniannya.

Adapun kebudayaan ini diyakini sebagai tradisi yang sakral, dan tidak sembarangan orang yang dapat menuturkan ceritanya. Penulis berani beranggapan seperti itu karena pada saat pertama kali penulis melakukan penelitian ke daerah Sidamanik tepatnya di rumah bapak Arisden Purba, penulis sempat dibingungkan tentang kebenaran dari cerita tersebut. Informan penulis pada awalnya tidak mau menceritakan bagaimana cerita sejarah parenjak-enjak ni huda sitajur tersebut karena takut memberikan informasi yang salah. Dan menurut keterangan beliau bahwa cerita tersebut lebih layak diceritakan oleh keturunan marga Sidamanik untuk memberikan kepastiannya. Hal ini disebabkan oleh bagian dari cerita tersebut melibatkan raja Sidamanik yang turut membuat sejarah tersebut. Kekompleksan sejarah ini memberikan relasi antara cerita


(10)

dengan peran yang terlibat dalam cerita tersebut yang dapat dilihat dengan kondisi sekarang.

Walaupun penulis mendapat cerita ini bukan dari keturunan marga Sidamanik, tidak menjamin bahwa cerita ini tidak dinyatakan benar. Karena informan penulis bapak Arisden Purba mendapatkan sejarah cerita ini dari ayah beliau dan ayahnya tersebut mendapatkan informasinya dari seorang keturunan raja Sidamanik juga. Informasi tentang sejarah parenjak-enjak ni huda sitajur ini didapat beliau secara oral dari ayahnya. Dalam hal ini penulis tidak akan melihat titik kebenaran dari sejarah yang membentuk kebudayaan tersebut sebagaimana konsep dan sifat kebudayaan. Sehingga saat ini yang penulis utamakan bukan siapa melainkan mengapa dan bagaimana kebudayaan ini bisa lahir dalam tradisi masyarakat Simalungun. Berikut penulis akan menceritakan sejarah terjadinya kebudayaan parenjak-enjak ni huda sitajur berdasarkan informasi dari wawancara dengan informan pangkal.

Awal ceritanya dimulai pada zaman kerajaan Simalungun terdahulu yang memiliki dua orang keturunan yang juga akan memilki tahta dan bagian kekuasaan wilayah masing-masing. Anak pertama namanya raja Siattar dan anak kedua namanya raja Manik Hasian (menurut informan hal inilah yang diyakini dengan posisi wilayah kabupaten Simalungun yaitu daerah Siantar untuk raja Siattar dan daerah Sidamanik untuk raja Manik Hasian) dan singkat cerita mereka sudah mempunyai daerah kekuasaan masing-masing. Pada saat itu ada seekor kuda perang yang terkenal dengan kegesitan dan kehebatannya dalam berlari, dan di saat yang sama kuda tersebut sudah dimiliki oleh raja Manik Hasian. Kuda


(11)

tersebut berasal dari sebuah desa yaitu desa Sitajur yang dulunya berlokasi di daerah kerajaan Simalungun tersebut, sehingga kuda tersebut dipanggil dengan kuda Sitajur. Inilah yang menjadi awal timbulnya sebuah pertengkaran antar saudara karena raja Siattar tidak terima karena raja Manik Hasian memiliki kuda Sitajur tersebut, sehingga timbullah sikap iri raja Siattar untuk memiliki kuda Sitajur tersebut. Pada awalnya raja Siattar sudah meminta kuda Sitajur tersebut kepada adiknya raja Manik Hasian, tetapi raja Manik Hasian tidak mau memberikannya karena menurutnya saudaranya itu tidak pantas memilki kuda tersebut. Pernyataan ini membuat raja Siattar marah hingga menantang raja Manik Hasian dengan menunggangi kudanya itu untuk berperang. Untuk itu raja Siattar membuat sebuah taktik untuk menjebak raja manik Hasian, sehingga raja Siattar menentukan lokasi perangnya di daerah yang memiliki tumbuhan bersemak untuk dapat bersembunyi. Tiba saatnya untuk berperang, raja Siattar sudah melaksanakan rencananya dengan bersembunyi di balik semak-semak. Setibanya raja Manik Hasian di lokasi perang yang sudah diatur oleh raja Siattar, raja Manik Hasian bingung karena lokasinya kosong. Di selang waktu tersebut, raja Siattar tiba-tiba keluar dari semak-semak dan menyergap raja Siattar yang dalam posisi lengah dari belakang yang langsung menancapkan tombaknya ke badan sauaranya itu yang menembus ke leher kuda sitajur tersebut. Sehingga raja Manik Hasian dengan kudanya berakhir kematian di tangan saudaranya raja Siattar. Begitulah cerita yang disampaikan oleh informan kepada penulis yang dibawakan dalam sebuah foklor masyarakat Simalungun.


(12)

Banyak juga versi cerita yang menggunakan judul parenjak-enjak ni huda sitajur, walaupun dengan menggunakan bahasa yang berbeda dan bahkan dengan versi dari kebudayaan yang lain. Dalam hal ini kenyataan tentang kebudayaan ini masih misteri dengan diyakini oleh kebudayaan yang berbeda. Sejauh pengamatan penulis selain masyarakat Simalungun yang memiliki kebudayaan ini, masyarakat Karo juga memiliki kebudayaan ini dengan cerita yang berbeda yang mereka sebut dengan parinjak-injak kuda sitajur. Dengan pemahaman antar kebudayaan yang berbeda tidak akan membenarkan kebudayaaan yang sepihak di mana setiap kebudayaan memilki tradisi masing-masing berarti tidak menutup kemungkinan suatu kebudayaan akan memiliki persamaan mengingat kebudayaan itu sifatnya dinamis,

Adapun bentuk pengaplikasian cerita parenjak-enjak ni huda sitajur ini bukan hanya penalaran akan sebuah foklor Simalungun, melainkan penceritaan yang disampaikan secara musikal. Konsep musikal dalam hal ini dikategorikan dari salah satu bentuk kesenian Simalungun yaitu mardoding (lihat Bab II). Doding dalam hal ini bukan hanya seni vocal yang dinyanyikan oleh seseorang melainkan alat musik tradisional Simalungun yaitu husapi. Sehingga istilah ini dapat juga disebut sebagai husapi na mardoding karena alat musik ini yang mengiringi tradisi parenjak-enjak ni huda sitajur diceritakan. Dan bukan maksudnya secara fisik melainkan secara fungsional husapi tersebut yang dianggap melantunkan doding.

Penyajian alat musik husapi ini dalam memainkan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur dimainkan secara tunggal bukan dalam bentuk ansambel. Penyajian


(13)

lagu ini dilakukan dengan bercerita (secara oral) sambil memainkan alat musik husapi. Husapi di sini mengiringi cerita terlebih turut serta mendeskripsikan cerita yang disampaikan sehingga terdapat bentuk penyajian musikal yang akan membuat pendengar mengikuti dan turut mendeskripsikan ceritanya.

3.2 Husapi Simalungun

Untuk membantu dan mendukung proses mengamati teknik permainan husapi pada objek penelitian maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu kostruksi husapi tersebut. Mengingat studi ini akan melihat sebuah instrumen musik dengan konsep musikal, begitu juga dilihat susunan alat musik ataupun organologi dari husapi tersebut sebagai penghasil bunyi.

Berikut akan ditunjukkan bagian-bagian dari husapi Simalungun.

Ulu/ kepala

borgok/ leher

boltok/ badan Pinggol-pinggol/

kupingan

tali/ senar

ihur/ ekor

panggal-panggal/ bantalan


(14)

Husapi adalah alat musik tradisional Simalungun yang sumber bunyinya berasal dari getaran senarnya. Sehingga alat musik ini diklasifikasikan sebagai alat musik chordopone sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1914) dalam pengklaisifikasian alat musik bahwa sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utam bunyi. Sistem pengklasifikasian ini dibagi menjadi empat bagian yang terdiri dari idiophone (alat itu sendiri sebagai sumber penggetar utama bunyi), aerophone (udara sebagai sumber penggetar utama bunyinya), membranophone (kulit membran sebagai penggetar utama bunyinya), dan chordophone (senar sebagai sumber penggetar utamanya).

Husapi ini dulunya terbuat dari bahan kayu arang dan dapat pula dibuat dari kayu ingul dan tambalahut. Dan saat ini husapi ini sudah banyak terbuat dari kayu Jior (Cassia- Siamea Lamk) dan juga kayu Pinasa (Arto Carpus Integramer). Husapi ini terdiri dari empat bagian besar sesuai dengan konstruksinya yaitu ulu (bagian kepala), bargok (bagian leher), boltok (bagian perut), dan ihur (bagian ekor). Dari masing-masing bagian tersebut masih terdapat lagi bagian yang ada di dalamnya yaitu

a. Pada bagian ulu terdapat dua pinggol-pinggol yang digunakan untuk mengatur nada atau sebagai perenggang tali/ senarnya.

b. Pada bagian borgok terdapat satu sisi (permukaan) bagian datar yang disebut dengan fret ataupun papan jari. Dari fret ini maka akan dihasilkan nada-nada yang akan dimainkan.


(15)

c. Pada bagian boltok terdapat bagian-bagian seperti resonator (sebagai penguat suara) dengan adanya papan penutup resonator sebagai alat pnggetar suaranya. Dan pada bagian penutup badan husapi terdapat bantalan yang disebut dengan panggol-panggol sebagai ganjal sekaligus tempat penyanggah tali. Husapi memiliki dua senar dan dimainkan dengan cara memetik senar tersebut. Dulunya senar yang digunakan terbuat dari akar enau dan riman, sedangkan sekarang sudah menggunakan kawat halus atau senar gitar.

d. Pada bagian ihur husapi merupakan bagian dari ujung bagian husapi sehingga lebih tampak bentuk badan husapi dari ujung kepala sampai ujung ekornya.

Selain dari karakteristik yang menyatakan bahwa alat musik husapi ini dikategorikan ke dalam chordophone saja, maka penulis akan melihat dari fisik alat musik tersebut sehingga husapi ini dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Chordophone one or more strings are stretched between fixed points Kordopon yang memiliki satu senar atau lebih yang direnggangkan antara dua bidang batas yang sudah ditentukan.

2. Composite chordophone a string bearer and a resonator are organically united and can not be separted without destroying the instrument


(16)

Kordopon gabungan yang memiliki sebuah tempat senar dan sebuah resonator yang secara organologis disatukan dan tidak dapat dipisahkan tanpa merusak alat musiknya.

3. Lutes, yaitu rancangan senarnya paralel ataupun sejajar dengan kotak suaranya.

4. Handle lute, yaitu lute yang dipegang. Husapi ini dimainkan dengan menggunakan tangan.

5. Necked lute, yaitu lute yang berleher. Secara fisik husapi ini memiliki leher dengan letak senarnya sejajar dengan kotak resonatornya.

6. Plucked instrument, yaitu alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik dan secara teknis dipetik dengan menggunakan jari tangan kanan dan terkadang menggunakan claver.

7. Fretless, yaitu alat musik husapi ini tidak memiliki batas pemisah pada papan jari penghasil nadanya (fret).

Konstruksi bagian-bagian husapi ini merupakan satu keutuhan dari alat musik yang memberikan deskripsi alat itu sendiri dalam bentuk karakteristiknya. Penjelasan di atas dapat dilihat melalui bagan berikut ini:


(17)

HUSAPI

(CHORDOPHONE)

COMPOSITES CHORDOPHONE STRETCHED

CHORDOPHONE

LUTES

HANDLE LUTE

NECKED LUTE

PLUCKED INSTRUMENT


(18)

3.3 Setem Husapi

Dalam setem tradisi yang digunakan pada alat musik tradisi husapi ini pada umumnya menggunakan tangga nada diatonik karena dalam setem tradisi ini pemain husapi dapat memainkan dua oktaf dengan penjarian yang lebih sederhana. Terkait dengan tulisan ini yang membahas tentang lagu parenjak-enjak ni huda sitajur yang merupakan sebuah lagu tradisi yang melihat aspek musikal secara khusus, penulis juga memabahasnya dalam analisis transkripsinya (lihat Bab IV). Penulis sudah menyimpulkan bahwa lagu ini dimainkan dari nada dasar F, walaupun awalnya penulis kesulitan dalam menentukan nada dasarnya. Tapi dalam bab berikutnya sudah dapat diambil suatu keputusan dalam mengambil nada dasarnya. Sehingga dalam kenyataan yang penulis dapat selama di lapangan dengan dokumentasi berupa rekaman audio dan video, bahwa husapi tersebut dimainkan dengan nada dasar F. Penulis sudah mendeskripsikannya dengan mengatur posisi jari yang diletakkan di senar husapi untuk melihat nada-nada yang terdapat di senar tersebut.

Untuk itu penulis mendeskripsikan posisi pengambilan titik nada dari senar husapi tersebut dengan mengikuti pola nada dasar F yang pentatonis yaitu F (do), G (re), A (mi), Bes (fa), C (sol), F’ (do oktaf).


(19)

s ditekan

Untuk mendapatkan nada yang semakin tinggi, maka senar ditekan mengarah panggal-panggal husapi dan sebaliknya untuk mendapatkan nada yang lebih rendah maka senarnya ditekan mengarah ke kepala husapi. Seperti penjelasan di atas bahwa alat musik tidak memiliki fret atau disebut dengan fretless, sehingga nada-nada yang diambil tidak memiliki kaeakuratan tetap. Seperti pernyataan informan penulis, bahwa dalam pengambilan nada ataupun terlebih dalam hal penyeteman senar yang dibutuhkan hanya kemampuan nilai rasa musikal atau feeling. Sedangkan kemampuan ini dapat diperoleh dengan kebiasaan seseorang yang sering memainkan husapi ini, jadi tidak menggunakan sebuah ukuran seperti halnya dalam notasi barat.

Senar bawah dilepas nada C (sol)

Senar bawah ditekan nada F’(do oktaf) Senar atas ditekan

nada G (re)

Senar atas ditekan nada A(mi)

Senar atas ditekan nada Bes (fa)

Senar atas dilepas nada F (do)


(20)

Untuk itu penulis akan mencoba mendeskripsikan proses pengambilan nada-nada dalam husapi dengan mengukur jarak senar husapi secara manual dengan menggunakan penggaris, sehingga dapat menentukan jarak nada secara akurat.

Berikut tabel untuk jarak titik nada pada senar husapi:

Jarak Titik Nada Pada Senar Husapi

Dari tabel di atas, maka pembaca akan lebih mudah dalam pengambilan nada pada husapi terkhusus dalam penyeteman husapi tersebut. Tapi tetap ditekankan

No Nama Nada

Senar 1 & 2

Jarak (cm)

1

F– G 4

2

G – A

4

3

A – Bes

2

4

Bes – C

4

5

C – D 4

6

D – E 4


(21)

bahwa dalam hal permainan husapi ini lebih diutamakan rasa musikal si pemain husapi.

3.4 Husapi dalam Parenjak-enjak ni Huda Sitajur

Sudah dijelaskan sebelumnya bagaimana cerita foklor yang terdapat dalam masyarakat Simalungun yang menceritakan sebuah kejadian perang saudara yang terdapat dalam kerajaan Simalungun terdahulu. Jadi pertanyaannya adalah apa hubungannya alat musik husapi dengan cerita foklor tersebut. Hal inilah yang membentuk sebuah tradisi kebudayaan yang diangkat menjadi sebuah kesenian khas masyarakat Simalungun.

Kesenian jelas datang dari sebuah kebudayaan, sementara kebudayaan datang dari masyarakatnya. Hal inilah yang membuat sebuah kesenian muncul terkait dengan objek penelitian penulis yang menceritakan sebuah foklor yang terdapat dalam masyarakat Simalungun. Mengingat kembali cerita sebelumnya, bahwa raja Manik Hasian telah mati dibunuh oleh saudaranya yang membuat rakyat yang dipimpin oleh Raja Manik Hasian berduka. Dan menurut keterangan informan penulis, atas dasar kejadian ini membuat salah seorang rakyat tersebut memiliki prospek dan inisiatif sendiri untuk membuat sesuatu yang akan mengenang kejadian meninggalnya rajanya Manik Hasian. Hal inilah yang menjadi awal terbentuknya kesenian tradisi ini yang hingga sekarang foklor tersebut masih terdengar.


(22)

Adapun bentuk aktivitas budaya tersebut diaplikasikan ke dalam bentuk kesenian yang bersifat musikal sehingga menarik dan mudah untuk mengingat kejadian sejarah tersebut. Aspek musikal ini diambil dari sebuah instrumen musik dengan sifat permainannya solo yang dapat memberikan sebuah pendeskrispsian bunyi atas cerita foklor tersebut. Untuk itulah husapi digunakan untuk menyajikan kesenian ini, dan karena kesenian ini adalah suatu cerita maka kebudayaan parenjak-enjak ni huda sitajur ini dikenal menjadi sebuah lagu. Tapi lagu dalam hal ini bukan lagu secara vokal yang dinyanyikan secara langsung melainkan sebuah instrumen musik yaitu husapi yang akan mengiringi cerita parenjak-enjak ni huda sitajur tersebut.

Seperti foklor ini yang sudah diceritakan penulis sebelumnya dalam bab ini, bahwa yang diceritakan adalah bagaimana sejarah ini diceritakan dengan suatu bentuk proses sebab akibat. Tapi dalam hal penyajian lagu ini dalam bentuk permainan husapi yang disajikan bukan cerita secara keseluruhan, maksudnya bukan kenapa kedua bersaudara itu bertengkar, apa yang diperebutkan, atau apa yang membuat mereka seperti. Adapun cerita yang disajikan tersebut merupakan jalan cerita perang yang terjadi antara raja Siattar dengan raja Manik Hasian. Jalan cerita perang di sini maksudnya adalah deretan cerita dimulai dari hari tibanya perang hingga berakhirnya cerita perang tersebut dengan objek deskripsi cerita yaitu raja Siattar, raja Manik Hasian, dan kuda Sitajur. Untuk itu dalam penyajian lagu ini sebelumnya sudah paham bagaimana proses sejarah foklor ini yang kemudian akan dideskripsikan dengan cerita yang lebih spesifik.


(23)

Penyajian lagu akan diiringi dengan permainan husapi melalui teknik permainan dan struktur musik yang digunakan dalam hal pendeskripsian ceritanya. Sehingga mengingat jalan ceritanya untuk lagu ini adalah jalan perang maka dalam penyajian lagu ini disajikan dengan beberapa fase yang menjelaskan cerita tersebut. Fase-fase inilah yang menjadi rentetan cerita dengan bentuk penekanan suatu kejadian ceritanya yang memberikan gambaran bagi pendengarnya. Setiap fase yang diceritakan akan memainkan struktur musik dengan mengikuti cerita yang dibawakan agar pendengar turut ikut mengimajinasikan segala kegiatan yang ada pada cerita tersebut.

Adapun beberapa fase yang dimaksud penulis melalui hasil wawancara dengan informan adalah yang pertama dimulai dari fase pertama yang menceritakan saat raja Manik Hasian pergi ke kandang kuda sitajur untuk mempersiapkan diri. Dari sinilah permainan husapi dimulai dengan menunjukkan karakter khas dari permainan melodi husapi tersebut. Pada fase kedua akan dijelaskan lagi pada saat raja Manik Hasian bergegas untuk berperang. Setiap fase akan memberikan karakter sendiri yang akan membantu pendengar membayangkannya. Hingga pada fase ketiga menceritakan ketika raja Manik Hasian baru tiba langsung ditusuk dari belakang oleh raja Siattar. Begitulah deskripsi cerita yang akan dijelaskan dengan hubungan permainan husapi dan cerita foklor masyrakat Simalungun ini.

Untuk lebih lanjut dan agar lebih mudah dipahami, cerita tersebut harus diikutsertakan dengan permainan melodi dan terutama teknik permainan yang


(24)

akan memberikan “rasa” musikal dan “rasa” cerita yang berhubungan. Untuk itu akan lebih dijelaskan dalam bab berikutnya (bab IV).


(25)

BAB IV

TEKNIK PERMAINAN DAN STRUKTUR MUSIK HUSAPI PADA LAGU PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR OLEH ARISDEN PURBA

Pada bab IV ini penulis membicarakan tentang teknik permainan husapi pada objek penelitian penulis yaitu parenjak-enjak ni huda sitajur yang dimainkan oleh informan kunci penulis yaitu bapak Arisden Purba. Adapun teknik permainan ini juga didukung oleh pembahasan deskripsi analisis transkripsi lagu tersebut untuk membantu pembaca dalam memahami sekaligus pengaplikasian tulisan ini. Sebelumnya untuk menjelaskan teknik permainan maupun struktur musik yang penulis maksud, terlebih dahulu dipahami pola yang digunakan dalam memainkan lagu tersebut yang dijelaskan dalam bab sebelumnya (bab III).

4.1 Teknik Permainan Husapi pada Lagu Parenkjak-enjak ni Huda Sitajur oleh Arisden Purba

Teknik permainan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah teknik permainan dalam memainkan husapi oleh Arisden Purba untuk memainkan sebuah lagu yang bercerita sehingga tampak “rasa” yang dibawakan dalam penyajian lagu tersebut. Penulis mengambil lagu ini menjadi sampel dalam tulisan ini karena menurut penulis lagu ini dapat mewakili teknik permainan husapi Simalungun. Sehingga penulis akan menjelaskan teknik permainan


(26)

husapinya sesuai yang penulis dapat dan lihat dari informan kunci selama di lapangan.

4.1.1 Teknik Memegang Husapi

Foto 4.1 Arisden Purba memegang husapi dari depan

Tangan kiri memegang leher husapi dengan posisi menggenggam


(27)

Foto 4.2 Arisden Purba memgang husapi tampak dari atas

Foto 4.3 Arisden Purba mendudukkan husapi di kakinya

Dari ketiga gambar di atas dapat dilihat bagaimana cara memegang husapinya pada saat memainkan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Pada gambar 4.1 tampak bagaimana tangan kiri memegang leher husapi dengan menggenggamnya sambil memainkan melodi. Sedangkan pada gambar 4.2 menunjukkan tangan kanan berfungsi untuk memetik senar pada husapi. Pada gambar 4.3 ditunjukkan

Jari tangan kanan

digunakan untuk memetik

h i

Ekor husapi

disandarkan ke kaki pemain untuk


(28)

bahwa dalam teknik memegang husapinya menyandarkan maupun mendudukkan ekor husapi pada bagian sisi-sisi badan husapi ke bagian kaki paha si pemain husapi. Dengan begitu dalam memegang husapi untuk permainan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur, si pemain memainkannya dalam keadaan duduk mengingat posisi memegang husapi yang disandarkan ke bagian kaki si pemain. Adapun teknik memegangnya seperti itu disebabkan adanya ornamen lain yang dimainkan untuk menambah kesempurnaan lagu tersebut.

Foto 4.4 Arisden Purba menyetem husapi

Untuk penyeteman husapi, posisi husapi ditidurkan ke bagian kaki husapi dalam si pemain (lihat gambar di atas) sehingga husapi tersebut dalam keaadan badan terlentang. Dalam teknik penyeteman dapat dilihat bahwa pada saat tangan kiri memutar pinggol-pinggol husapi senar dapat disetem dan sekaligus juga tangan tangan kanan memetik-metik senar husapi untuk mengambil keakuratan nada.

Tangan kiri memutar kupingannya untuk mengambil nada yang tepat

Tangan kanan memetik senar untuk

mendengarkan nada yang tepat


(29)

Dalam penyeteman dilakukan pada saat waktu bersamaan tangan kiri memutar-mutar pinggol-pinggol dan tangan kanan memetik-metik senar husapi tersebut.

4.1.2 Teknik Penjarian

Foto 4.5 Posisi jari dalam memainkan husapi

Tampak pada gambar posisi jari saat memainkan husapi dengan menggunakan setem-an tradisi dengan bentuk formasi ketiga jari tersebut menunjukkan bentuk tersebut dominan digunakan untuk memainkan sebuah komposisi. Adapun jari yang digunakan dalam menekan senar untuk membentuk melodi hanya dengan menggunakan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Untuk memudahkan dalam memahami teknik penjarian yang dilakukan oleh Arisden Purba maka penulis akan memberikan sebuah sampel dari lagu parenjak-enjak ni huda sitjur dari satu frasa saja dan juga ditambah dengan lambang di setiap jarinya. Untuk

Jari telunjuk menekan nada Bes

Jari masni menekan nada F’

Jari tengah menekan nada C


(30)

lepas senar penulis menggunakan lambang (0), jari telunjuk (1), jari tengah (2), jari manis (3).

Sistem penjarian pada cuplikan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur.

Nada Lepas senar Jari telunjuk Jari Tengah Jari manis

F - - - 24

E - - 23 -

D - 10 - -

C 22 - - -

4.1.3 Teknik Mamiltik

Teknik mamiltik yang dimaksud adalah teknik yang digunakan dalam memetik/ mamiltik senar dengan menggunakan jari yaitu dengan menggunakan


(31)

ujung sisi kiri ibu jari yang mendekati kuku. Teknik mamiltik yang dilakukan oleh Arisden Purba juga melihat arah petikan jarinya dalam memainkan komposisi tersebut. Berikut gambar posisi jari informan dalam memetik husapi.

Foto 4.6 Posisi jari dalam mamiltik husapi

Posisi ibu jari dalam mamiltik menggunakan bagian sisi ujung sebelah kiri ibu jari dengan posisi jari yang sejajar dengan senarnya. Pada saat memetik senar, posisi mamiltik dapat dilakukan dengan posisi husapi yang tegak lurus maupun menyamping ke arah diagonal.

Untuk menjelaskan teknik mamiltik Arisden Purba, penulis akan menjelaskannya dengan bentuk lambang posisi arah ayunan jari pada saat memetik senar husapi.


(32)

Adapun untuk arah petikan ke atas menggunakan lambang , sedangkan untuk arah petikan ke arah bawah menggunakan lambang . Untuk lebih jelas perhatikan contoh pada cuplikan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur berikut ini.

Mamiltik pada cuplikan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur.

Nada Atas (up) Bawah (down)

F 12 12

E 11 12

D (grace not) - 10

C - 12

4.1.4 Martak

Martak merupakan teknik memainkan husapi dengan membunyikan suara “tak” pada badan husapi. Istilah ini penulis dapat dari informan sendiri yang menunjukkan teknik permainan husapi secara khusus untuk lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Variasi inilah yang menunjukkan ilustrasi cerita kesejarahan


(33)

tentang foklor parenjak-enjak ni huda sitajur ini, dengan membunyikan suara “tak” untuk menggambarkan suara kaki seekor kuda. Dengan teknik pemainan ini juga membantu pendengar untuk mmbayangkan cerita yang disampaikan dalam foklor tersebut. Berikut gambar posisi jari yang digunakan dalam menggunakan teknik “tak”.

Foto 4.7 Posisi jari menggunakan teknik martak

Adapun posisi jari yang digunakan dalam teknik ini menggunakan jari tengah dan jari manis yang dijatuhkan ataupun dibenturkan dengan badan husapi sehingga membentuk sebuah ketukan yang mengatur tempo lagu tersebut. Teknik ini digunakan secara bersamaan pada saat memetikkan senarnya yang kemudian disesuaikan dengan struktur lagu yang dimainkan.


(34)

Perhatikan contoh berikut ini.

4.1.5 Maringgou

Maringgou adalah teknik permainan husapi dengan memainkan beberapa ornamentasi pada saat memainkan husapi tersebut. Istilah ini penulis dapat dari informan yang menyatakan teknik permainan khas musik Simalungun. Dalam tulisan Setia Dermawan Purba juga dijelaskan bahwa secara khusus inggou adalah suatu nyanyian yang ditandai dengan irama dan melodi khas Simalungun (2008:6), sehingga penulis dapat melihat bagaimana teknik ini dinyatakan kemudian oleh informan. Menurut Arisden Purba, teknik maringgou ini adalah teknik dasar yang harus dimiliki oleh pemain husapi karena dengan teknik inilah dapat menunjukkan rasa musikal Simalungunnya.

Maringgou ini dihasilkan dari variasi ornamentasi penjarian melalui permainan melodi dengan jari yang memainkan berbagai nada ornamentasi. Apabila dilihat


(35)

dari sistem notasi barat, maka teknik permainan maringgou ini dapat dilihat dari bentuk ornamentasi musikal, antara lain:

a. Not mati (dead note)

Not mati adalah not yang dihilangkan suaranya sebelum habis nilai ketukannya. Untuk mendapatkan not mati ini dilakukan sebelum nilai ketukannya habis, not yang dibunyikan secepat mungkin dimatikan oleh tangan kanan maupun jari tangan kiri yang memberikan notnya, atau dapat juga dengan senar dipetik hanya setengah tenaga sehingga menghasilkan bunyi yang teredam atau mati.

Perhatikan contoh melodi di bawah ini.

Penulis memberikan lambang untuk melihat not mati yang dimainkan pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Ada beberapa jenis not mati yang dimainkan oleh Arisden Purba seperti contoh melodi di atas, seperti nada E dimatikan nada F, nada C dimatikan nada F, dan nada C dimatikan nada E.

b. Not hias (grace not)

Not hias di sini adalah not-not tambahan yang dibunyikan di awal ataupun di akhir not. Not hias ini tidak memiliki nilai ketukan sendiri, karena dimainkan atau dibunyikan dengan cepat pada saat sebelum atau masuknya not inti. Perhatikan contoh cuplikan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur berikut.


(36)

Dilihat jelas dari gambar di atas di sebelah kiri terdapat satu buah not bernilai ½ ketuk dan di sebelah kanannya dua buah not bernilai 1 ketuk. Not hias tersebut dibunyikan sebelum jatuhnya not yang ada di depannya, atau dengan kata lain ada tiga jenis suara yang dibunyikan untuk not bernilai 1 ketuk di atas.

c. Slur

Slur merupakan teknik yang digunakan pada gitar klasik yang juga sering disebut legato vibrato. Konsep dasar teknik ini adalah dalam satu petikan menghasilkan dua nada atau lebih yang berbeda. Dalam teknik permainan husapi dapat dilakukan dengan jari tangan kiri menekan senar dengan nada tertentu kemudian mengambil nada sebelum maupun setelah nada intinya. Perhatikan contoh berikut ini.


(37)

4.2 Struktur Musik pada Lagu Parenjak-enjak ni huda sitajur

Adapun yang menjadi salah satu topik objek penelitian ini adalah hasil analisis lagu parenjak-enjak ni huda sitajur tersebut, sehingga penulis juga menerangkan metode penulisan lagu tersebut. Dalam hal ini penulis menganalisa hasil transkripsi menggunakan notasi barat walaupun tidak semua notasi ini dapat mewakili petranskripsian lagu ini.

Dalam hal ini penulis akan menganalisa hasil transkripsi lagu parenjak-enjak ni huda sitajur yang disajikan oleh Arisden Purba yang di dalamnya terdapat unsur-unsur musik seperti tangga nada, jumlah nada, wilayah nada, dan bentuk.

4.2.1 Tangga Nada

Adapun tangga nada yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tangga nada yang digunakan dalam lagu parenjak-enjak ni huda sitajur yang meliputi nada terrendah hingga nada tertinggi.

Dapat dilihat dari gambar di atas, maka nada-nada yang dipakai pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur adalah nada F, nada Bes, nada C, nada E, dan nada F’.


(38)

Sehingga berdasarkan keterangan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini memiliki empat nada ditambah dengan satu nada oktaf dari F yaitu F’.

4.2.2 Nada Dasar

Bruno Nettl (1963:147) dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology menawarkan tujuh cara dalam menemukan nada dasar yaitu,

1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang sering dipakai dan nada mana yang jarang dipakai dalam komposisi tersebut.

2. Kadang-kadang nada-nada yang harga ritmisnya besar dianggap nada-nada dasar, biarpun jarang dipakai.

3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun bagian tengah komposisi dianggap mempunyai fungsi penting dalam tonalitas tersebut. 4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada ataupun

posisi pas di tengah-tengah dapat dianggap penting.

5. Interval-intrval yang terdapat antara nada-nadakadang-kadang dipakai sebagai patokan. Seandainya sebuah posisi yang digunakan bersama oktafnya, sedangkan nada lain tidak memakai oktaf (nada pertama tersebut boleh dianggap lebih penting).

6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga bisa dipakai sebagai patokan tonalitas.


(39)

7. Harus diingat bahwa mungkin ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-patokan sebelumnya. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu harus menggunakan pengalaman musikal.

(Terjemahan Marc Perlman 1963:147)

Untuk dapat mencari nada dasarnya dengan pendekatan yang ditawarkan oleh Nettl, maka penulis terlebih dahulu menyusun nada-nada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ke dalam tabel yang tersusun dengan ritmis yang digunakan dan jumlah pemakaian nada.


(40)

Distribusi Ritmis dan Jumlah Nada

Berdasarkan tabel di atas, maka nada F (baik itu nada F dan nada F’) merupakan nada yang paling sering muncul ataupun digunakan yaitu sebanyak 153 kali. Kemudian disusul dengan nada C muncul sebanyak 134 kali. Selanjutnya nada E muncul sebanyak 92 kali, dan yang terakhir nada Bes muncul sebanyak 6 kali.

Ritem Nada

Jumlah

F’ - - 9 4 93 106

Bes - 5 - 54 5 64

C - - - 121 13 134

E - - - 25 67 92

F 1 - - 46 - 47


(41)

Melihat susunan dari data yang tertulis di atas maka yang menjadi tonalitas berdasarkan dari ketujuh cara yang ditawarkan oleh Bruno Nettl adalah sebagai berikut:

1. Nada yang paling sering dipakai adalah nada F.

2. Nada yang memiliki nilai rtimis yang paling besar adalah nada F.

3. Nada yang banyak digunakan sebagai nada awal adalah nada F, sedangkan nada yang digunakan di akhir adalah nada Bes.

4. Nada yang memiliki posisi paling rendah adalah F.

5. Nada yang dipakai juga memiliki nada oktafnya adalah nada F. 6. Tekanan ritmis yang paling besar adalah nada F.

Dilihat dari kriteria yang ditawarkan oleh Nettl maka penulis mengambil kesimpulan bahwa nada dasar yang digunakan pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini adalah nada F.

4.2.3 Wilayah Nada

Wilayah nada adalah daerah (ambitus) antara nada yang frekuensinya paling rendah dengan nada yang frekuensinya paling tinggi dalam satu lagu. Berdasarkan dari nada-nada yang telah disusun tersebut, maka penulis dapat menentukan wilayah nada dari lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini, yaitu dari nada F ke F’ yang jaraknya 6 laras atau 1200 cent.


(42)

Jarak dari nada F ke nada F’ sama dengan satu oktaf atau 1200 cent, jarak di setiap satu laras adalah 200 cent.

4.2.4 Jumlah nada-nada

Untuk dapat melihat jumlah pemakaian nada-nada pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur maka penulis melakukan pencacahan terhadap nada-nada yang digunakan berdasarkan hasil transkripsi yang dilakukan. Dari hasil ini, maka dapat dilihat nada-nada yang digunakan serta frekuensi pemakaian nada pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur di bawah ini.

Dengan melihat tabel ritmis dan jumlah nada sebelumnya maka dapat dilihat pencacahan nadanya yaitu nada F sebanyak 47 kali, nada Bes sebanyak 64 kali, nada C sebanyak 134 kali, nada E aebanyak 92 kali, dan nada F’ sebanyak 106 kali.

4.2.5 Bentuk

Nettl dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology, mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan bentuk suatu komposisi, ada beberapa patokan yang dipakai untuk membagina ke dalam berbagai bagian, yaitu:

6 laras/ 1200 cent


(43)

1. Pengulangan bagian komposisi yang diulangi bisa dianggap sebagai satu unit.

2. Frasa-frasa istirahat bisa menunjukkan batas akhir suatu unit.

3. Pengulangan dengan perubahan (misal, transposisi lagu atau pengulangan pola ritmis dengan nada-nada yang lain).

4. Satuan teks dalam musik vokal, seperti kata atau baris.

Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis dapat melihat bahwa bentuk (form) dalam lagu parenjak-enjak ni huda sitajur terdapat dalam poin ketiga yaitu pengulangan dengan perubahan. Perhatikan contoh di bawah ini.

Melihat contoh di atas, melodi dapat dikategorikan pada poin pertama yaitu pengulangan bagian komposisi dianggap sebagai satu unit. Tapi secara keseluruhan dapat dilihat dari bentuk frasa yang digunakan merupakan pengulangan dengan perubahan.

Karl Edmund Prier SJ (1996:38) berpendapat bahwa sebuah komposisi terdiri dari beberapa bagian yang disatukan, sehingga akan membangun sebuah bentuk yang kompleks. Bagian-bagian yang dimaksud antara lain:


(44)

1. Bentuk musik

Adalah suatu gagasan yang nampak dalam sebuah komposisi (melodi, irama, harmoni dan dinamika. Ide ini mempersatukan nada-nada musik.

2. Kalimat/ Periode

Adalah sejumlah ruang birama (biasanya 8 atau 16 birama) yang merupakan satu kesatuan. Untuk kalimat lagu dibedakan dengan huruh besar (A, B, C dsb). Bila sebuah kalimat diulang dengan disertai perubahan, maka huruf besar disertai dengan tanda aksen (‘).

3. Motif lagu

Adalah unsur lagu yang terdiri dari sejumlah nada yang dipersatukan dengan satu gagasan ide. Karena merupakan unsur lagu, maka motif biasanya diulang ulang.

Dalam bagian analisa ini terhadap melodi lagu parennjak-enjak ni huda sitajur dilakukan dengan cara memperhatikan bagian-bagian frasa yang berbeda. Untuk hal tersebut dilakukan pembagian frasa dengan membuat pembagian huruf.

Adapun bentuk kalimat yang penulis gunakan dalam lagu parenjak-enjak ni huda sitajur adalah bentuk A, B, B’, A’


(45)

Bentuk melodi pada kalimat A

Bentuk melodi pada kalimat B

Bentuk melodi pada kalimat B’


(46)

Bentuk melodi pada kalimat A’

Susunan komposisi melodi ini disusun atau dibentuk dari pola-pola frase melodi secara langsung. Bentuk melodi pada kalimat A memiliki beberapa frasa yang melakukan pengulangan, dan begit juga yang terjadi pada kalimat B’ dan C’ bahwa ada beberapa frasa melodi lagu yang sama diulang.


(47)

Bervariasi berarti mengulang sebuah lagu induk yang biasanya disebut “tema” dengan perubahan–perubahan (disebut variasi-variasi) sambil mempertahankan unsur-unsur tertentu dan menambah / menggantikan unsur yang lain. Ada beberapa jenis variasi yang berpangkal dari ketiga unsur musik, yaitu:

1. Variasi melodi

Nada-nada pokok tetap dipakai sebagai nada kerangka, namun dihias dengan teknik maupun ornamentasi.

2. Variasi ritem

Variasi ritem terjadi pada saat panjang atau pendeknya nada, birama atau tempo mengalami perubahan.

3. Variasi karakter

Dalam hal ini melodi, irama dan harmoni dapat mengalami perubahan cukup banyak demi untuk mengungkapkan suatu ciri/sikap atau suatu pola yang khas.

4. Variasi bebas

Dalam variasi ini semua tema divariasikan, akan tetapi karena bebas maka sulit untuk menemukan relasinya pada tema.

Pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini dimulai dari kalimat A kemudian ke kalimat B dengan jumlah variasi melodi yang lebih banyak. Kemudian B’ sebenarnya masih merupakan bagian pengembangan dari bentuk B tetapi lebih banyak menggunakan variasi karakter yang memberikan khas melodi tersebut.


(48)

Dan pada bagian kalimat A’ merupakan “tema” dari kalimat A dengan memberikan variasi melodi dan juga variasi ritem tetapi masih tetap mempertahankan unsur-unsur tertentu dari melodi sebelumnya.


(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil deskripsi tentang teknik permainan husapi dalam lagu parenjak-enjak ni huda sitajur, maka penulis dapat melihat bagaimana teknik permainan husapi Simalungun. Karena menurut informan penulis bahwa dengan mengetahui teknik permainan lagu ini maka dapat memainkan lagu permainan husapi yang lain. Menurut informan penulis, lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini dapat dijadikan ilmu dasar dalam memainkan husapi, karena sebagian besar ataupun secara keseluruhan teknik permainan pada lagu ini sudah mencakupi lagu permainan husapi yang lain.

Teknik permainan yang disajikan oleh Arisden Purba dalam memainkan husapi parenjak-enjak ni huda sitajur memberikan karakter terhadap cerita yang dibawakan. Penyajian teknik permainan maupun struktur musik yang digunakan dalam menyajikan lagu ini ditampilkan dengan kesesuaian cerita dalam foklor Simalungun tersebut. Jadi unsur-unsur musik yang terdapat dalam permainan husapi maupun dalam teknik permainan husapinya menjadi makna dalam cerita tersebut yang memberikan sebuah pemahaman yang ilustratif terhadap cerita tersebut.


(50)

Adapun penyajian permainan husapi oleh informan terkait tulisan ini bukan menjadi patokan akan “keaslian” kesenian ini. Data yang penulis dapat selama di lapangan dan di laboratorium merupakan informasi yang akan mendukung pelestarian kesenian ini. Mengingat disiplin Etnomusikologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari musik dalam konteks kebudayaan, di mana msuik dihasilkan oleh manusia itu sendiri yang berarti bentuk kesenian suatu kebudayaan sifatnya dinamis baik itu ada yang bertambah maupun ada yang berkurang. Sehingga tulisan ini juga akan menjadi pedoman untuk melihat kesenian tradisi ini hidup.

Husapi yang digunakan untuk mengiringi cerita foklor ini disajikan bukan hanya berdasarkan kemampuan seseorang dalam memainkannya, tapi ditambah dengan bagaimana bisa mendapatkan rasa musikal yang memiliki karakter yang khas. Sehingga dalam penyajiannya dapat dilihat isi dan rasa yang disampaikan oleh permainan musik tersebut. Memang dalam permainan husapi untuk lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini harus didukung oleh teknik permainan dan struktur musik yang turut mendukungnya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bagaimana teknik permainan dengan struktur musik yang mampu memainkan satu komposisi yang digunakan untuk menceritakan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur tersebut. Hal ini dapat dilihat dari teknik permainan yang digunakan seperti mamiltik dari teknik memetik senar husapinya, martak dari teknik mengetuk badan husapinya, dan maringgou yang menjadi bunyi atau nada khas Simalungun. Sedangkan melodi yang digunakan yang kadang bersifat repetitif


(51)

juga memiliki frasa yang digunakan menjadi pemenggal setiap cerita yang dibawakan akan menunjukkan bagaimana cerita tersebut disampaikan.

Dewasa ini keberadaan pemain musik Simalungun dengan spesialisasi husapi sulit ditemukan terkhusus yang mengetahui lagu permainan solo seperti objek penelitian penulis. Arisden Purba selaku informan kunci penulis adalah salah satu musisi Simalungun yang mengetahui kebudayaan seperti objek penelitian penulis. Arisden Purba merupakan keturunan seorang seniman tradisional juga. Di samping mahir dalam memainkan husapi, beliau juga mampu memainkan alat musik tradisional lainnya seperti tulila, sulim, dan arbab. Keahlian informan penulis terkhusus dengan objek penelitian yang membahas lagu parenjak-enjak ni huda sitajur didapat secara oral dari almarhum orang tuanya. Sehingga dari pengalaman informan dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan sebuah tradisi kebudayaan hanya dilakukan dengan metode tradisi lisan. Untuk itu dengan tulisan ini dapat membantu pembaca dalam mempelajari tradisi ini terkhusus untuk masyarakat Simalungun yang memiliki kebudayaan ini.

5.2 Saran

Masyarakat Simalungun hendaknya memberikan perhatian terhadap kebudayaan-kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat sendiri. Kesenian terkhusus musik sebagai salah satu unsur kebudayaan yang berlaku di setiap masyarakat. Untuk itu masyarakat Simalungun sebaiknya mempertahankan dan


(52)

mengembangkan lagi bagaimana kebudayaan itu tetap ditradisikan dalam masyarakat. Perkembangan zaman maupun teknologi kini membuat masyarakat sekarang terkhusus untuk anak muda mengabaikan sistem-sitem tradisi yang berlaku dalam masyarakatnya seperti dalam hal kesenian tradisi juga.

Pelestarian sebuah kebudayaan sebaiknya tidak hanya dilakukan secara regenerasi saja seperti yang terjadi di lingkungan tradisi selama ini. Sehingga suatu bentuk kebudayaan tidak berada dalam satu generasi saja, seperti pengetahuan musik dengan kesenian tradisi yang hanya diturunkan kepada anak-anaknya saja yang benar-benar keturunannya. Terjadinya suatu bentuk pengenalan kesenian terhadap masyarakat akan membantu pelestarian kesenian tersebut, sesuai dengan usaha yang dilakukan oleh informan penulis yang berprofesi sebagai tenaga pengajar kesenian dalam program Revitalisasi Musik Simalungun yang sama dengan usaha penulis dalam tulisan ilmiah ini yang mencoba membantu mempertahankan kesenian ini.

Diharapkan untuk generasi selanjutnya turut mendukung perkembangan kebudayaan terutama dalam bidang kesenian. Dengan adanya kesadaran masyarakat untuk pengembangan dan pelestarian tradisi akan menunjukkan identitas masyarakat itu sendiri dengan peranannya dalam segala aktivitas budayanya.


(53)

BAB II

DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Bab II ini merupakan gambaran umum bagian dari wilayah objek penelitian penulis. Namun wilayah dalam hal ini bukan hanya lokasi penelitian yang terfokus terhadap objek penelitian saja. Penulis dalam bab ini akan lebih terfokus terhadap gambaran masyarakat Simalungun pada umumnya karena mengingat pokok permasalahan tulisan merupakan suatu cerita rakyat atau foklor pada masyarakat Simalungun dulunya. Untuk itu sebagai dasar dari tulisan ini, penulis akan menerangkan bagaimana masyarakat Simalungun pada umumnya dengan didukung lokasi penelitian yang berada di Sidamanik pada khususnya.

2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam tulisan ini berada di rumah informan penulis yaitu bapak Arisden Purba yang berada di Huta Manik Saribu, Nagori Sait Buttu, kecamatan Pamatang Sidamanik, kabupaten Simalungun. Menurut data yang didapat dari Kantor Nagori Sait Buttu, secara geografis Nagori Sait Buttu terletak terletak antara 02,58° LU – 80,05° BT. Adapun luas wilayah Nagori Sait Buttu adalah ± 1347 Ha, atau sekitar 30 % bagian dari luas kecamatan Pematang Sidamanaik yaitu 13.465 Ha.


(54)

1. Sebelah timur berbatasan dengan Nagori Sarimattim yang meliputi perkebunan PTPN IV Kebun Toba Sari.

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Nagori Bandar Manik. 3. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Dolok Pardamean. 4. Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Dolok Pardamaean.

Sedangkan Huta Manik Saribu merupakan salah satu huta dari tujuh huta yang berada di wilayah Nagori Sait Buttu. Wilayah Huta Manik Saribu berkisar ± 203 Ha atau sekitar 15% dari wilayah Nagori Sait Buttu. Berikut ini daftar luas tanah yang terdapat di desa Nagori Sait Buttu:

NO HUTA LUAS (Ha)

1. Afdeling D. Toba Sari 287

2. Afdeling B. Toba Sari 280

3. Manik Saribu 203

4. Manik Huluan 198

5. Gunung Mulia 167

6. Sait Buttu 108

7. Garbus 104


(55)

2.2 Kependudukan dan Sistem Bahasa

Asal usul kependudukan masyarakat Simalungun banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek dan juga berbagai pendapat atau teori yang berbeda untuk memberikan pembuktian terhadap kebenarannya. Sama halnya dengan kebudayaan tradisi Simalungun di zaman kerajaannya yang memiliki seribu cerita dengan beragam versi dan mitos. Hanya ada beberapa data tertulis13

Masyarakat yang mendiami desa Nagori Sait Buttu Saribu merupakan masyarakat yang heterogen karena terdiri dari berbagai suku yang di dalamnya seperti Simalungun, Toba, Jawa, Minangkabau, dan Cina. Keberagaman suku ini tidak menjadi perbedaan di dalam masyarakat untuk melakukan segala tindak aktivitas yang ada masyarakatnya. Seperti dari hasil wawancara dengan informan bapak Arisden Purba, bahwa banyaknya suku yang ada di daerahnya bukan membawa tradisi suku masing-masing melainkan menggunakan tradisi yang yang menjelaskan marga-marga pada masyarakat Simalungun, dan itupun kebanyakan mencakup sejarah keturunan-keturunan raja saja.

Sistem kependudukan dan bahasa merupakan suatu bentuk sinkronisasi untuk membentuk suatu sistem kemasyarakatan. Bahasa berperan sebagai media komunikasi antar penduduk yang tinggal di daerah tersebut sesuai dengan tradisi yang berlaku.

2.2.1 Kependudukan

13

Ada beberapa naskah kuno yang menerangkan masa lampau masayarakat Simalungun yang masih ada hingga sekarang, misalnya Partikian Tuan Bandar Harapan, Partikian Malasari yang menjelaskan asal-usul marga Purba Tambak yang menurunkan raja Silou. Pustaka Parpadan na Bolag adalah tulisan yang menerangkan kehidupan tradisioanal Simalungun pada zaman Nagur


(56)

berlaku di daerah itu yaitu tradisi Simalungun. Dalam hal ini maksudnya setiap orang yang berada di daerah tersebut baik itu di dalam maupun di luar suku Simalungun apabila menempati daerah tersebut dianggap juga sebagai suku Simalungun.

Menurut keterangan Jasasman Purba selaku kepala desa di daerah setempat menyatakan bahwa adanya keragaman suku di daerah tersebut disebabkan oleh tradisi sodduk hela yang diberlakukan dalam norma masyarakat tersebut. Sodduk hela merupakan sebuah tradisi dimana seorang menantu dari pihak laki-laki dari luar daerh tersebut tinggal dengan mertu perempuan yang bertempt inggal tetap di daerah itu juga. Sebagai contoh, ada seorang pria yang bersuku batak Toba yang berasal dari daerah Tapanuli yang ingin menikahi seorang wanita di daerah Sait Buttu Sribu. Setelah dilaksankannya acara pernikahan, si pria dan wanita tersebut bertempat tinggal di drumah si pihak perempuan yang mungkin disebabkan oleh beberapa alasan seperti kekurangan ekonomi ataupun juga karena keinginan oleh pihak perempuan. Secara langsung hal ini menjadi alasan adanyaa suku lain di daerah tersebut dengan berlanjutnya keturunan marga Toba di daerah tersebut. Tidak hanya itu saja yang menjadi alasan keberagaaman suku ini, karena masih banyak kemungkinan yang lain seperti perdagangan, pertanian, pemerintahan lokal yang dapat melingkupi system kemasyarakatan di daerah tersebut.

Banyak argumen-argumen yang menerangkan tentang kesejarahan suku Simalungun ini, baik itu data secara lisan maupun tulisan. Kebanyakan masyrakt Simalungun itu sendiri yang menjelaskan secara lisan dengan memberikan suatu


(57)

cerita kesejarahan tentang Simalungun. Adapun menurut beberapa ahli menyatakan bahwa orang Simalungun termasuk rumpun Proto Melayu yang berasal dari Hindia Belakang14

Banyaknya asumsi-asumsi yang dituturkan oleh para ahli tentang bagaimana sistem kependudukan pada masyarakat Simalungun justru menimbulkan banyak misteri dengan seluk-beluk kesejarahaannya yang rumit. Apalagi melihat asumsi zaman dulu mengenai raja-raja Simalungun yang menduduki daerahnya dengan system di luar akal pikiran manusia sekarang.. Adanya aspek-aspek yang mempengaruhi system kependudukan masyaarakat

. Keberadaan masyaraakat Simalungun itu sendiri merupakan identitas sebagai penduduknya dengan keturunan empat marga induk yaitu Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba. Ditegaskan lagi oleh M.D Purba bahwa keempat marga tersebut merupakan marga asli Simalungun. Dengan beberapa bentuk literatur-literatur yang menjelaskan bagaimana pada masa kerajaan dulu sudah menggunakan keempat marga tersebut. Adapun marga-marga di luar keempat marga-marga tersebut yang mengaku sebagai suku Simalungun merupakan suatu bentuk asimilasi dan hasil integrasi dengan marga yang ada pada masyrakat Simalungun dengan mengikuti tradisi norma-nornma tertentu.

14

Dalam buku bertajuk Prasejarah Kepulauan Indonesia yang sudah diterjemahkan karangan Peter Bellwood menerangkan masukny suku-suku ke bagian Negara Indonesia menurut penelitinnya terdiri dari du geelombang, yaitu rumpun Proto Melayu dan Deutro Melayu. Proto Melayu yaitu masuknya suku-suku bangsa Mongol-Kukaus (Austrenesia) melalui daerh Cina Selatan dengan proses migrasi dan kemudia masuk melaui Indo Cina (Hindia Belakang) terus menuju Semenanjung Malk dan akhirnya berdiam di spanjang pantai Timur Sumatera. Menururut pendapatnya bahwa kemungkina n masuknya ke daerh Simalungun melalui pantai Timur dengn melewati daerah Aceh hingga menepti daerah Simlungun sekarang. Deutro Melayu yaitu migrasi yang masuk ke daerah nusantara yang hingga masuk ke pedalaman. Mereka pada umumnya berkebudayaan tinggi.


(58)

Simalungun dulunya juga turut membantu perkembangan yang terjadi di dalam masyarakatnya.

2.2.2 Bahasa

System kemasyarakatan dalam suatu daerah tentu didasari oleh bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat di dalamnya. Hal ini dapat dilihat bagaimana system komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri dalam melakukan akivitasnya. Begitu juga yang dijelaskan oleh Arisden Purba terkait lokasi penelitian penulis bahwa keragaman suku yang berada di daerah tersebut menggunakan bahasa Simalungun untuk komunikasi sehari-harinya. Hal tersebut juga yang menyebabkan ada asumsi untuk setiap orang yang tinggal di daerah tersebut sudah dianggap sebagai suku Simaalungun.

Di desa Nagori Sait Buttu Saribu itu sendiri dengan keberagaman suku tetap menggunakan system tradisi Simalungun seperti aktivitas kebudayaan yang dilaksanakan di daerah tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Huta Manik Saribu menggunakan bahasa Simalungun, tetapi tidak menutup kemungkinan mereka menggunakan bahasa di luar masyarakat Simalungun. Selama proses penelitian penulis di rumahnya, penulis kurang fasih menggunakan bahasa setempat dan terkadang penulis menggunakan bahasa batak,Toba dan hal itu membantu karena beliau juga bisa menggunakan bahasa batak Toba juga. Ada dua asumsi yang menyebabkan hal ini terjadi yang dapat dilihat dari eksternal dan internal. Dengan didukung oleh teori Shin Nakagawa yang menyatakan bahwa adanya pengaruh terhadap suatu kebudayaan yang


(59)

didasari oleh factor yang datang dari dalam dan juga dari luar. Pengaruh yang datang dari dalam maksudnya adalah pengaruh yang disebabkan oleh masyarakat yang di dalam itu sendiri, di mana yang menjadi objek yang mempengaruhi adalah manusia yang bertempat tinggal di daerah tersebut. Sebagai contoh bahwa tidak semua masyarakat Simalungun yang ada di dalamnya menikah dengan orang Simalungun juga, pasti ada kemungkinan menikah dengan orang di luar Simalungun, apalagi mengingat beragamnya suku di dalamnya. Untuk itu tidak menutup kemungkinan masyarakat asli di daerah tersebut mengetahui bahasa di luar bahasa tradisinya. Sedangkan pengaruh dari luar maksudnya bahwa dengan melihat letak geografis daerah tersebut yang dikelilingi oleh daerah suku batak Toba, sehingga kemungkinan besar masyarakat Simalungun di derah tersebut mengerti akan bahasa btak Toba tersebut. Hal ini sering juga disebut dengan kebudayaan yang “bertetangga”, di mana ada suatu kebudayaan yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya yang berdekatan.

Di samping itu, suku Simalungun memiliki bahasa yang berbeda dengan bahasa suku-suku lainnya, walaupun menurut pendapat orang bahwa bahasa Simalungun ini seperti bahasa batak Toba juga. Dalam penelitian yang dilakukan oleh P. Voorhoeve selaku pejabat pemerintah di Simalungun sejak tahun 1937 mengungkapkan bahwa bahasa Simalungun merupakan bahasa austronesia yang lebih dekat dengan bahasa Sansekerta dan banyak mempengaruhi bahasa-bahasa di nusantara. Beliau menyebutkan relasi bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta melalui kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sehari-harinya. Dari hasil penelitin tersebut juga beliau menyimpulkan bahasa Simalungun


(60)

merupakan bahasa yang lebih tua umurnya dibandingkan dengan bahasa batak lainnya.

Dalam bahasa Simalungun dikenal ragam jenis pemakaian bahasa menurut penggunaannya,

1. Bahasa Tingkatan

Bahasa tingkatan adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi kepada orang lain, di mana dalam hal ini bahasa yang digunakan memiliki posisi sendiri untuk disampaikan kepada orang lain. Orang yang dimaksud dalam komunikasi ini dilihat dari bentuk strata yang digunakan dalam sistem tradisi masyarakat Simalungun. Bahasa tingkatan dalam masyarakat Simalungun yaitu:

 Bahasa Simalungun yang digunakan khusus untuk raja maupun keluarga kerajaan seperti paramba (hamba), dongan (baginda), modom (mangkat), dll.

 Bahasa Simalungun yang digunakan dengan melihat tingkatan usia, dimana dalam hal ini bahasa yang digunakan juga melihat bagaimana menggunakan bahasa komunikasi dengan posisi usia, bahasa yang digunakan dengan usianya lebih muda, usianya lebih tua, usianya sebaya, dan bahkan juga melihat tingkatannya dalam partuturan (hubungan kekerabatan). Misalnya kata yang digunakan untuk penyebutan tunggal ataupun jamak seperti kata ho dipakai untuk orang yang lebih muda usianya, kata ham digunakan untuk orang yang lebih tua usianya. Sedangkan untuk partuturan


(61)

digunakan kata hanima untuk sebutan sekumpulan orng dalam posisi yang rendah derajatnya dan kata nasiam ditujukan kepada sekolompok orang yang lebih tua.

2. Bahasa Simbol

Bahasa simbol merupakan bahasa yang digunakan sebagai media untuk mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan medium ataupun benda-benda dengan tujuan untuk menyampaika maksud-maksud tertentu. Bahasa yang digunakan dalam hal ini bukan semata-mata dengan menggunakan olahan kata yang diucap dari mulut secara langsung, melainkan menunjukkan suatu pergerakan, mimik, dan bahkan suatu benda yang pada umumnya masyarakat tersebut sudah mengerti arti dan maksudnya. Misalnya dalam permainan onja-onja di mana seorang pemuda memakai benang merah untuk menyatakan maksud bahwa sampai mati akan teap berjuang untuk mendapatkan cinta gadis idamannya.

3. Bahasa Simalungun Ratap Tangis

Bahasa Simalungun ratap tangis merupakan bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan sedih dalam bentuk sebuah ratapan tangis dan pada umumnya bahasa ini sering dipakai ketika ada yang meninggal dunia sesuai dengan hubungan kekerabatannya. Bahasa ini sering juga disebut sebagai guruni hata karena bahasa yang digunakan untuk mengucapkan sesuatu yang dianggap lebih halus. Misalnya, inang na umbalos artinya bibi, si humoyon artinya perut, simanuhot artinya mata, dan lain-lain. 4. Bahasa Simalungun Kasar


(62)

Bahasa Simalungun kasar ini sebenarnya merupakan suatu bentuk penyampaian bahasa yang berbeda dengan penggunaan bahasa yang lainnya. Bahasa ini sering juga disebut sebagai sait ni hata yaitu karena bahasa ini digunakan ketika seseorang sedang marah ataupun sedang menghina seseorang, dan pada umumnya bahasa ini digunakan karena sedang tersinggung oleh sesuatu. Misalnya kata panjamah (tangan) bahasa kassarnya tipput, mulut (babah) bahasa kasarnya tursik, dan masih banyak lagi.

5. Bahasa datu

Bahasa datu adalah bahasa yang digunakan oleh dukun dengan menggunakan bahasa tabas-tabas yang merupakan campuran dari berbagai bahasa dengan maksud-maksud tertentu seperti untuk mengobati orang, mencelakai orang, dan untuk persyaratan ritual tertentu. Bahasa yang digunakan oleh datu ini bukan secara umum diketahui oleh masyarakat Simalungun karena hanya sebagian orang yang terpilih untuk menjadi seorang datu.

Dengan demikian perbedaan penyampaian suatu bahasa akan memberikan makna yang berbeda dan disesuaikan kondisi, waktu, dan tempat tertentu. Adanya bahasa yang berbeda dalam suatu komunitas seperti di desa huta Manik Saribu bukan menjadi suatu asumsi bahwa bahasa Simalungun hanya dibedakan dengan dialeknya saja dengan bahasa batak Toba. Masyarakat Simalungun sendiri memiliki kebudayaan, adat istiadat , dan bahasa sendiri untuk melaksanakan segala aktivitasnya.


(63)

2.3 Kesenian

Kesenian adalah bagian dari kebudayaan dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Kesenian sangat dekat dengan kebudayaan suatu masyarakat, dan hal ini juga dapat digunakan sebagai identitas diri suatu masyarakat dimana keberadaan suatu bentuk kesenian menjadi pengenal diri dalam wujud ciri dan karakter yang terdapat dalam kesenian tersebut yang disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat tersebut. Penulis memberikan gambaran berdasarkan tulisan ini yang berbicara tentang foklor dalam konsep musikal. Dalam hal ini foklor memberikan peran tertentu untuk masyarakatnya bahwa sebuah cerita dapat menentukan norma untuk perilaku yang teratur serta meneruskan adat dan nilai-nilai kebudayaan yang ada pada masyarakat tersebut.

Kesenian merupakan suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan di mana kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakatnya dan biasanya berwujud benda-benda deskriptif yang dihasilkan oleh manusia (Koentjaraningrat, 1980:395:397). Kesenian pada masyarakat Simalungun beragam dengan pengkategorian jenis kesenian yang digunakan oleh masyarakatnya. Taralamsyah Saragih dalam Seminar Kebudayaan Simalungun 1964 mengatakan bahwa kesenian Simalungun dibagi atas seni musik (gual), seni tari (tor-tor), dan seni suara (doding). Pembagian wujud kesenian dalam masyarakat Simalungun ini dikembangkan dalam bentuk aktivitas kebudayaan yang terdapat dalam tradisi Simalungun. Berikut akan dideskripsikan bentuk kesenian masyarakat Simalungun.


(64)

2.3.1 Seni Musik (Gual)

Seni musik (gual) dalam masyarakat Simalungun pada umumnya digunakan untuk acara-acara hiburan, upacara adat, dan bahkan untuk bentuk persyaratan dalam upacara ritual tertentu. Untuk melengkapi upacara-upacara tersebut harus menggunakan alat-alat musik tradisional Simalungun yang sudah memiliki konsep penggunaan tertentu yang sesuai dengan fungsinya. Masyarakat Simalungun memiliki alat musik yang bentuk penyajiannya dimainkan secara ansambel dan dimainkan secara tunggal/ solo instrument. Alat musik yang bentuk penyajiannya dimainkan secara ansambel yaitu gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu. Gonrang sidua-dua dapat diiringi dengan alat musik sarunei bolon, sarunei buluh, tulila, sulim, ogung, mongmong, dan sitalasayak. Sedangkan gonrang sipitu-pitu dapat diiringi dengan alat musik sarunei bolon, ogung baggal, mongmong etek, dan sitalasayak. Ansambel ini dimainkan dalam upacara adat Simalungun, baik upacara suka cita (malas ni uhur) maupun upacara duka cita (pusok ni uhur). Sedangkan alat musik yang dimainkan secara tunggal/ solo instrument antara lain sordam, saligung, sulim, tulila, sarune, garattung, arbab, dan husapi. Alat musik tunggal ini pada umumnya digunakan sebagai alat hiburan seperti pada saat menggembala kerbau, menjaga padi di ladang, dan hiburan pemuda-pemuda di malam hari. Berikut akan ditampilkan tabel instrumen musik Simalungun yang dilihat dari bentuk penyajiannya.

Alat musik yang yang dimainkan secara ansambel


(65)

Satu buah sarune Bolon (pembawa melodi)

Dua buah gonrang (pembawa ritem) Dua buah mongmongan (pembawa ritem)

Dua buah ogung (pembawa ritem)

Satu buah sarune bolon (pembawa melodi)

Tujuh buah gonrang (pembawa ritem) Dua buah mongmongan (pembawa ritem)

Dua buah ogung (pembawa ritem)

Alat musik yang dimainkan secara tunggal/ solo intrumen Alat Musik

Surdam Sejenis flute yang dimainkan dengan

miring (oblique flute)

Saligung Sejenis alat musik flute yang terbuat

dari bambu yang ditiup dengan hidung (nose flute)

Sulim Sejenis alat musik flute yang dimainkan

dengan tiupan ke samping (side blow)

Tulila Sejenis alat musik recorder yang terbuat

dari bambu dan dimainkan secara vertikal.

Sarune Sejenis alat musik berlidah ganda yang

ditiup secara vertikal


(66)

kayu yang memiliki tujuh bilah kayu dengan nada yang berbeda

Arbab Sejenis alat musik yang badannya

terbuat dari tempurung kelapa yang memiliki senar sejajar dengan badannya yang dimainkan dengan cara digesek menggunakan penggesek ijuk

Husapi Sejenis alat musik lute yang memiliki

leher yang dimainkan dengan memetik senarnya.

Alat-alat musik tradisional Simalungun ini pada umumnya digunakan untuk upacara-upacara tertentu yang disesuaikan berdasarkan perannya. Dalam hal ini penulis memberikan sub-kategori peran alat musik ansambel untuk aktivitas budaya masyarakat Simalungun sehingga dapat dilihat tradisi apa saja yang ada pada masyarakat Simalungun. Adapun alat musik ansambel ini dapat digunakan dalam suatu upacara-upacara tertentu yaitu upacara religi, upacara adat, dan upacara ataupun acara hiburan.

Upacara religi merupakan upacara yang dilakukan dalam bentuk sistem keperrcayaan masyarakat Simalungun yang sudah diyakini sejak zaman dahulu dan bahakan mungkin sampai sekarang. Adapun upacara yang digunakan untuk upacara religi antara lain:


(67)

1) Manombah, yaitu suatu upacara yang dilakukan untuk mendekatkan diri terhadap sembahannya. Berdasarkan keyakinannya masyarakat Simalungun dulu percaya bahwa kehidupannya di dunia ini diberikan oleh Tuhannya dan oleh sebab itu mereka juga yakin akan keselamatan dengan melakukan upacara ini. Begitu juga dengan agama sekarang yang sudah diyakini dengan kebenaran mutlak shingga dituntut untuk dekat kepada Tuhannya.

2) Marranggir, yaitu upacara yang dilakukan untuk membersihkan badan dari perbutan-perbuatan yang tidak baik atauoun dari bentuk gangguan roh-roh jahat. Kegitan ini merupakan semacam ritual yang digunakan untuk menhindarkan diri dari bentuk-bentuk kejahatan dan kesialan diri yang datang pada dirinya sendiri. Mengingat masyarakat Simalungun dulu menganut paham animisme, bahwa kekuatan roh selalu ada baik itu roh baik maupun roh jahat. Jadi untuk menghindari kekuatan yang datang dari roh jahat maka dilkukanlh ritual marranggir ini. Adapun property-properti utama yang umumnya dipakai untuk upacara ini adalah jeruk purut, bunga, tujuh rupa, dan air. Upacara ini dilakukan dengan cara memandikan diri menggunakan campuran property tersebut dan bahkan dapat diminum. 3) Ondos Hosah, yaitu upacara khusus yang dilakukan oleh suatu desa

ataupun keluarga agar terhindar dari marabahaya. Upacara ini dilakukan karena keluarga atau desa tersebut mengalami musibah ataupun masalah, sehingga diperlukan ritual ini untuk menggenapi keinginan mereka.


(68)

Upacara adat adalah upacara yang dilkukan oleh masyrakat Simalungun terkhusus dalam system tradisinya untuk melengkapi suatu bentuk sistem kemasyarakatan yang berlaku. Adapun upacara-upacara yang dilkukan dengan menggunakan ansambel tersebut adalah:

1) Marhajabuan, yaitu acara yang dilakukan untuk pemberkatan pernikahan. Acara ini merupakan suatu bentuk persyaraatn sacral yang harus dipenuhi seseorang untuk melangsungkan pernikhan, dan dalam hal ini dinyatakan bahwa pernikahan dinyatakan resmi apabila upacara ini dilakukan.

2) Mangiliki, yaitu acara yang diadakan untuk menghormati seseorang yang meninggal dunia yang usianya sudah tua dan sudah memilki cucu. Acara ini dilakukan sebagai tanda penghormatan keluarga terhadap orang yang meninggal tersebut dan hal ini dijadikan untuk melihat keberadaan kelurga tersebut di tengah-tengah masyarakatnya. 3) Bagah-bagah Ni Sahalak, yaitu acara yang dilaksanakan oleh

seseorang karena adanya keinginan ataupun niatnya untuk melkukan pesta. Acara ini merupakan acara pra-pesta yang dilakukan untuk perencanaan pesta yang akan dilakukan di hari ke depan sehingga periapan-persiapan yang dibutuhkan untk hari selanjutnya sudah dapat dipersiapkan.

4) Mamongkot Ruma Bayu, yaitu acara memasuki rumah baru agar orang yang menempati rumah tersebut mendapatkan rejeki dan terhindar dari segala bentuk masalah. Dan acara ini sekaligus menjadi suatu bentuk


(69)

partisipasi orang yang menempati rumh tersebut terhadap warga di lingkungan setempat dan menjadin salah satu bentuk silahturami. 5) Patuekkon, yaitu acara untuk memberi nama seseorang dengan cara

memandikannya dengan air. Hal ini dilakukan untuk pemberin nama yang cocok untuk orang tersebut karena masyarakat Simalungun meyakini bahwa nama memberikan makna terhadap orang tersebut sehingga dibutuhkan acara ini untuk pembuatan namanya.

Acara hiburan maksudnya adalah acara yang dilakukan untuk menghibur diri maupun orang lain tanpa ada aturan yang harus diikuti seperti upacara-upacara adat dan religi. Adapun ansambel tersebut digunakan dalam acara:

1) Rondang Bittang, pada awalnya merupakan acara tahunan yang diadakan oleh masyarakat Simalungun karena mendapatkan hasil panen yang baik. Dan di sini menjadi kesempatan para muda-mudi untuk mendapatkn jodoh. Tapi sekarang rondang bittang digunakan dalam bentuk pesta tahunan dengan rangka silahturahmi antar desa di Simalungun sekaligus suatu bentuk pelestarian kebudayaan Simalungun karena dalam acara ini diadakan juga pentas kesenian tradisional Simalungun.

2) Marilah, yaitu acara muda-mudi yang bernyanyi bersama di suatu desa. Kegiatan ini dilakukan untuk mempererat hubungan antar muda-mudi sehingga keakraban yang ada di desa membentuk kemakmuran di desa tersebut.

3) Mangalo-alo tamu, yaitu acara yang digunakan untuk menyambut tamu dari luar daerah. Acara ini digunakan sekedar hiburan ramah tamah


(70)

kepada tamu yang datang dari luar daerah sehingga menunjukkan suatu bentuk silahturahmi.

2.3.2 Seni Tari (Tor-tor)

Seni tari (tor-tor) dalam masyarakat Simalungun merupakan suatu bentuk identitas khas yang menunjukkan cirri Simalungun. Hal ini dapat dilihat dari pergerakan-pergerakan yang dilakukan saat melakukan tor-tor yang berbeda dengan tari yang yang dilakukan oleh kebudayan lain. Tor-tor pada umumnya digunakan dalam upacara-upacara adat maupun ritual dengan diiringi oleh music untuk melengkapinya. Adapun tor-tor Simalungun yang sering dipertunjukkan antara lain:

1) Tor-tor Huda-huda/ Toping-toping, yaitu tarian yang dilakukan untuk menghibur keluarga maupun orang yang melayat di mana orang yang meninggal tersebut sudah sayurmatua atau sudah berusia uzur (lanjut usia). Tarian ini dulunya digunakan untuk menghibur keluarga raja karena anaknya meninggal agar tidak larut dalam kesedihan. Dan sekarang juga tarian ini sudah digunakan dalam konteks pertunjukan seperti yang diadakan dalam pestaa Rondang Bittang. Tarian ini menggunakan media topeng dengan sepasang pemain toping-toping dan satu orang pemain huda-huda yang menirukan gerakan kuda.

2) Tor-tor Turahan, yaitu tor-tor yang dilakukan untuk menarik batang pohon ataupun kayu yang ada di hutan yang digunakan untuk membangun istana kerajaaan. Salah seorang dari penari tersebut akan mengambil dedaunan dengan rantingnya dan kemudian mengibaskannya ke batang


(71)

kayu dan ke badan orang-orang yang menariknya untuk memberi semangat. Kegiatan ini dilakukan sambil menari agar para pekerja tersebut tidak mudah lelah dan akan lebih semangat lagi.

3) Tor-tor Sombah, yaitu tor-tor yang digunakan untuk menyambut tanu (tondong) yang datang dalam sebuah acara maupun upacara. Tor-tor ini dilakukan sebagai tanda penghormatan terhadap keluarga maupun tamu yang datang.

2.3.3 Seni Suara (doding)

Seni suara atau masyarakat Simalungun sebutkan dengan doding merupakan seni vokal yang melantunkan rasa Simalungun. Rasa dalam hal ini maksud penulis merupakan sebuah teknik yang dapat menghasilkan suara khas Simalungun yang disebut dengan inggou (lihat Bab I hal.4). Hal ini juga dapat disebut sebagai identitas musikal Simalungun yang membedakannya dengan gaya tradisi kebudayaan daerah lainnya.

Seni suara/ doding dalam masyarakat Simalungun memiliki jenis yang berbeda dengan peran yang berbeda pula yang disesuaikan berdasarkan penggunaanya. Adapun jenis doding tersebut antara lain:

1) Taur-taur, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sepasang muda-mudi untuk mengungkapkann perasaan mereka satu sama lain. Dalam melakukan taur-taur, sepasang muda-mudi tersebut akan melakukan dialog musikal yang membicarakan tentang perasaan mereka (asmara) dan mereka melakukannya secara bergantian.


(72)

2) Ilah, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda-pemudi untuk menunjukkan suatu bentuk keakraban dalam komunitas tersebut. Nyanyian ini dilakukan dengan bertepuk tangan bersama dalam posisi membentuk lingkaran.

3) Doding-doding, yaitu nyanyian yang dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang untuk menyampaikan sesuatu baik itu dalam bentuk pujian, sindiran, dan bahkan dalam bentuk cerita. Nyanyian ini dinyanyikan untuk mengungkapkan sesuatu baik itu perasaan sedih, sepi, dan juga untuk menyampaikan pesan. Terkait tulisan ini yang membahas tentang sebuah lagu yang sifatnya bercerita dengan judul parenjak-enjak ni huda sitajur akan menambah pemahaman tentang doding tersebut.

4) Urdo-urdo, yaitu nyanyian yang digunakan untuk menidurkan seorang anak. Hal ini biasanya dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya maupun seorang anak perempuan kepada adiknya. Urdp-urdo ini merupakan suatu bentuk kebiasaan yang dilkukan oleh masyarakat Simalungun untuk menidurkan anaknya karena hal itu diyakini akan membuat si anak dapat tidur lebih nyenyak dan bahkan membantu si anak untuk lebih merespon kepada orang tuanya.

5) Tihtah, yaitu nyanyian yang digunakan untuk mengajak seorang anak untuk bermain. Tihtah hampis sama dengan urdo, bedanya urdo-urdo untuk menidurkan anak sementara tihtah untuk bermain.

6) Tangis-tangis, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang istri karena suaminya telah meninggal. Nyanyian ini digunakan untuk meratapi


(73)

kesedihannya atas meninggalnya suaminya. Tangis-tangis ini juga digunakan oleh seorang gadis yang akan menikah yang ditujukan kepada keluarga yang akan ditinggalkannya untuk mengungkapkan kesedihannya. 7) Manalunda/ Mangmang, yaitu mantra yang dinyanyikan oleh seorang datu

dalam melakukan ritual tertentu seperti dalam menembuhkan suatu penyakit. Manalunda/ mangmang ini dulunya digunakan untuk menobatkan seorang raja agar diberi berkat dalam menjalani tahtanya sebagai seorang raja.

Di luar dari ketiga bentuk kesenian yang diungkapkan oleh Taralamsyah Saragih, masih ada bentuk kesenian lain Simalungun yang sampai saat ini masih dapat dilihat. Berdasarkan pengalaman penulis dalam pesta rondang bittang15

1) Dihar, yaitu seni bela diri yang dipelajari untuk melindungi dirinya dari ancaman orang lain.

di Saribu Dolok, masih ada kesenian-kesenian Simalungun yang perlu dilestarikan seperti

2) Gorga, yaitu seni ukir yang terdapat di dinding-dinding rumah dengan motif-moif khas Simalungun. Dan untuk menambahi estetikanya rumah tersebut juga dihiasi dengan seni patung yang terbuat dari batu maupun kayu.

3) Hiou, yaitu seni tenun yang dibentuk dari benang-benang untuk membuat sebuah selendang dengan motif-motif khas Simalungun. Seni dilakukan

15

Dalam pesta rondang bittang menampilkan segala bentuk kegiatan aktivitas budaya terlebih dalam bidang kesenian. Acara ini diselenggrakan oleh pihak instansi-instansi daerah Kabupaten Simalungun yang dilakukan setiap tahunnya dengan didukung oleh msyarakat Simalungun secara keseluruhan yang terdiri dari 32 kecamatan. Dalam pesta rondng bittang tersebut setiap kecamatannya menampilkan setiap kesenian Simalungun yang ada untuk dipertandingkan dengan kecamatan yang lainnya. Dalam kegiatan inilah dapat dilihat kekayan kebudayaaan Simalungun terutama dalam bidang kesenian.


(74)

dengan tradisional ataupun buatan tangan dan bukan buatan pabrik. Seni ini massih dipertahankan hingga saat ini melihat mutu buatan tangan tersebut lebih bagus daripada buatan pabrik.

Bentuk-bentuk kesenian Simalungun tersebut merupakan kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Melihat eksistensi sebuah tradisi yang sudah melemah dalam ruang lingkup perkembangan zaman sekarang ini membuat keberadaanya susah dijangkau bahkan oleh masyarakatnya sendiri. Melihat bahan pembahasan tulisan ini (tradisi parenjak-enjak ni huda sitajur) yang membahas tentang suatu bentuk kesenian yang sudah hampir tidak terlihat keberadaannya. Kesenian tradisi seperti ini baik di luar kebudayaan Simalungun akan segera hilang apabila tidak didukung oleh masyarakatnya sendiri. Mengingat kesenian tradisional sekarang ini banyak ditinggalkan oleh masyarakatnya karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman.


(75)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat Simalungun memiliki alat musik yang bentuk penyajiannya dimainkan secara ansambel dan dimainkan secara tunggal/ solo instrument. Alat musik yang bentuk penyajiannya dimainkan secara ansambel yaitu gonrang sidua-dua1 dan gonrang sipitu-pitu2. Gonrang sidua-dua dapat diiringi dengan alat musik sarunei bolon, sarunei buluh, tulila, sulim, ogung, mongmong, dan sitalasayak. Sedangkan gonrang sipitu-pitu dapat diiringi dengan alat musik sarunei bolon, ogung baggal, mongmong etek, dan sitalasayak. Ansambel ini dimainkan dalam upacara adat Simalungun, baik upacara suka cita (malas ni uhur) maupun upacara duka cita (pusok ni uhur)3

1

Gonrang sidua-dua terdiri dari dua buah gendang, masing-masing gendang mempunyai dua buah kulit membran yaitu pada bagian atas dan pada bagian bawah gendang. Cara

memainkan gonrang ini dipalu dengan alat pemukul atau stik dan terkadang dipukul dengan telapak tangan kanan dan tangan kiri.

2

Gonrang sipitu-pitu adalah seperangkat tujuh buah gendang yang dimainkan dengan dipalu dengan alat pemukul atau stik

3

Upacara adat pada suku Simalungun dibagi atas dua bagian yaitu upacara adat di kala suka yang disebut malas ni uhur seperti kelahiran, perkawinan, dan memasuki rumah baru, dan upacara di kala duka yang disebut mandingguri seperti kematian lanjut usia (tidak semua acara kematian diiringi musik tradisional, hanya bila yang meninggal tersebut sudah lanjut usia/ sayur matua). Dalam menggunakan gonrang sipitu-pitu dan gonrang sidua-dua tidak ada unsur kekhususan tertentu, dan semua masyarakat Simalungun berhak menggunakan gonrang sipitu-pitu dan gonrang sidua-dua baik pada upacara kematian maupun pada upacara malas ni uhur. Akan tetapi bila menggunakan gonrang sipitu-pitu pada acara umum (bukan kematian) hanya menyertakan enam buah gonrang, sedangkan pada upacara kematian menggunakan tujuh buah gendang. Hal ini berdasarkan kepercayaan animisme suku Simalungun.

. Sedangkan alat musik yang dimainkan secara tunggal/ solo instrument antara lain sordam, saligung, sulim, tulila, sarune, garattung, arbab, dan husapi. Alat musik tunggal ini pada


(1)

ABSTRAKSI

Skripsi ini membahas sebuah kebudayaan Simalungun yang merupakan suatu cerita rakyat atau foklor yaitu parenjak-enjak ni huda sitajur. Foklor ini kemudian disajikan dalam bentuk musikal dan instrumental (husapi) untuk menceritakan cerita tersebut. Dalam penyajiannya akan ditunjukkan unsur-unsur musikal yang membangun kesan ilustratif dari cerita yang disajikan. Sehingga secara khusus tulisan ilmiah ini membahas tentang teknik permainan husapi dan struktur musik yang digunakan dalam penyajiannya. Teknik permainan yang dimaksud adalah teknik permainan husapi yang digunakan untuk mendeskripikan cerita rakyat tersebut. Sedangkan struktur musik adalah gaya musikal yang disajikan dalam teknik permainan husapi tersebut.

Bagian penting yang dikaji dalam skripsi ini adalah bagaimana teknik permainan yang dilakukan oleh informan penulis Arisden Purba dan bagaimana gaya musikal yang disajikan untuk mendeskripsikan cerita rakyat tersebut. Untuk itu penulis melihat teknik permainan husapi dengan bunyi melodi yang dimainkan berhubungan dengan emosi-emosi khusus, melambangkan suatu bentuk aktivitas budaya, atau suatu tanda-tanda tertentu.

Proses pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan metode, teknik, serta teori dalam disiplin ilmu Etnomusikologi yang tentunya menjawab pokok permasalahan dalam tulisan ini. Data hasil penelitian yang menjadi bahan analisis meliputi husapi dalam parenjak-enjak ni huda sitajur, teknik permainan

husapinya, dan struktur melodi yang disajikan. Kemudian pada akhir tulisan ini dilakukan penarikan kesimpulan dari semua data yang sudah dikerjakan untuk menyelesaikan pokok permasalahan baik dari teknik permainan husapi maupun struktur musik yang disajikan.


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan pencerahan dan berkat yang melimpah kepada penulis dalam mengerjakan segala aktivitas dan kegiatan terkhusus dalam proses pengerjaan skripsi.

Tulisan ini berjudul TEKNIK PERMAINAN HUSAPI PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR YANG DISAJIKAN OLEH ARISDEN PURBA DI HUTA MANIK SARIBU KECAMATAN PAMATANG SIDAMANIK KABUPATEN SIMALUNGUN, yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Sarjana Seni (Ssn) dari Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga berterima kasih kepada orang tua penulis yaitu J. Purba dan P. Sinaga yang tetap mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Syahron Lubis, M.Si,Ph.D, selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya USU, Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, selaku ketua Departemen Etnomusikologi. Begitu juga kepada Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si, sebagai dosen pembimbing I dan Drs. Muhammad Fadlin, M.A. sebagai dosen pembingbing yang telagh banyak memberikan bombingan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta dosen-dosen lainnya yang menjadi staff pengajar di departemen Etnomusikologi yang juga telah membantu penulis dalam menyelesaikan mata kuliah selama di perkuliahan.


(3)

Penulis juga tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak Arisden Purba sebagai informan pangkal penulis yang telah bersedia dengan kemurahan hati membantu penulis dalam mengumpulkan data selama melakukan penelitian.

Penulis telah berusaha memberikan yang tebaik untuk menyelesasikan tulisan ini, akan tetapi penulis tetap menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dalam penyempurnaan tulisan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan meminta maaf kepada pembaca apabila terdapat kesalahaan dalam tulisan yang diluar kesengajaan penulis.

Medan, 18 Oktober 2013 Penulis


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 8

1.3Tujuan dan Manfaat ... 8

1.3.1 Tujuan ... 8

1.3.2 Manfaat ... 9

1.4 Konsep dan Teori ... 9

1.4.1 Konsep ... 9

1.4.2 Teori ... 11

1.5Metode Penelitian ... 14

1.5.1 Studi Kepustakaan ... 15

1.5.2 Pengumpulan Data ... 17

1.5.3 Kerja Laboratorium ... 18

BAB II DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN 2.1 Lokasi Penelitian ... 19

2.2 Kependudukan dan Sistem Bahasa ... 21

2.3.1 Kependudukan ... 21


(5)

2.3 Kesenian ... 29

2.3.1 Seni Musik (Gual) ... 30

2.3.2 Seni Tari (Tor-tor) ... 36

2.3.3 Seni Suara (Doding) ... 37

BAB III HUSAPI SIMALUNGUN DALAM LAGU PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR 3.1 Parenjak-enjak Ni Huda Sitajur ... 42

3.2 Husapi Simalungun ... 46

3.3 Setem Husapi ... 51

3.4 Husapi dalam Parenjak-enjak Ni Huda Sitajur ... 54

BAB IV TEKNIK PERMAINAN HUSAPI DAN STRUKTUR MUSIK PADA LAGU PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR OLEH ARISDEN PURBA 4.1 Teknik Permainan Husapi pada Lagu parenjak-enjak Ni Huda Sitajur Oleh Arisden Purba ... 58

4.1.1 Teknik Memegang Husapi ... 59

4.1.2 Teknik Penjarian ... 62

4.1.3 Teknik Mamiltik ... 63

4.1.4 Teknik Martak ... 65

4.1.5 Maringgou ... 67

4.2 Struktur Musik pada Lagu Parenjak-enjak Ni Huda Sitajur ... 70

4.2.1 Tangga Nada ... 70


(6)

4.2.3 Wilayah Nada ... 74

4.2.4 Jumlah Nada ... 75

4.2.5 Bentuk ... 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 82

5.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86

DAFTAR INFORMAN ... 88


Dokumen yang terkait

Analisis Nilai Tambah dan Strategi Pengembangan Produk Olahan Kopi Bubuk Arabika (Coffea arabika) Kelompok Tani Simalungun Jaya Desa Sait Buttu Saribu Kabupaten Simalungun

30 124 98

Pengaruh Kegiatan Optimasi Lahan Terhadap Pengembangan Wilayah Di Kabupaten Simalungun (Studi Kasus Nagori/Desa Naga Saribu, Kecamatan Pamatang Silima Huta)

0 30 8

Kajian Organologis Arbab Simalungun Buatan Bapak Arisden Purba Di Huta Maniksaribu Nagori Sait Buttu Saribu Kec. Pamatang Sidamanik Kab. Simalungun

3 88 115

TEKNIK PERMAINAN DAN STRUKTUR MUSIK HUSAPI SIMALUNGUN PADA LAGU PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR DI KECAMATAN PAMATANG SIDAMANIK KABUPATEN SIMALUNGUN.

0 9 26

ANALISIS PENERAPAN ORNAMEN SIMALUNGUN PADA GEREJA KATOLIK SANTO PIO PURBA HINALANG KEC. PURBA KAB. SIMALUNGUN DITINJAU DARI UNSUR BENTUK, WARNA DAN MAKNA SIMBOLIK.

1 22 19

TEKNIK PERMAINAN ALAT MUSIK TRADISIONAL SIMALUNGUN TULILA. PROGRAM STUDI SENI MUSIK.

6 35 24

2. Kelapa sawit - Analisis Nilai Tambah dan Strategi Pengembangan Produk Olahan Kopi Bubuk Arabika (Coffea arabika) Kelompok Tani Simalungun Jaya Desa Sait Buttu Saribu Kabupaten Simalungun

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN - Analisis Nilai Tambah dan Strategi Pengembangan Produk Olahan Kopi Bubuk Arabika (Coffea arabika) Kelompok Tani Simalungun Jaya Desa Sait Buttu Saribu Kabupaten Simalungun

0 1 20

BAB I PENDAHULUAN - Analisis Nilai Tambah dan Strategi Pengembangan Produk Olahan Kopi Bubuk Arabika (Coffea arabika) Kelompok Tani Simalungun Jaya Desa Sait Buttu Saribu Kabupaten Simalungun

0 0 5

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUK OLAHAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) DI TINGKAT KELOMPOK TANI SIMALUNGUN JAYA DESA SAIT BUTTU SARIBU KABUPATEN SIMALUNGUN SKRIPSI

0 0 11