tingkat recovery yang dapat disetorkan kembali kepada negara. Menurut data BPKP, tingkat penyelesaian uang pengganti yang diputuskan oleh pengadilan.
C. Penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti Melalui Instrumen Hukum Perdata.
Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat UU Korupsi,
baik yang lama yaitu UU No.3 Tahun 1971 maupun yang baru UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan
negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi. Menurut UU Korupsi tersebut, pengembalian kerugian keuangan negara
dapat dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen hukum pidana dan instrumen hukum perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan
menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut agar dirampas oleh Hakim. Instrumen perdata dilakukan oleh Jaksa Pengacara
Negara JPN atau instansi yang dirugikan terhadap pelaku korupsi tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana meninggal dunia. Instrumen
pidana lebih lazim dilakukan karena proses hukumnya lebih sederhana dan mudah.
1. Proses Perdata
Penggunaan instrumen perdata dalam perkara korupsi, berupa proses perdata sepenuhnya tuntuk kepada ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik
materil maupun formil.
Universitas Sumatera Utara
UU korupsi lama yaitu UU No. 3 Tahun 1971, tidak menyatakan digunakannya instrumen perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan
negara. Tetapi dalam praktek instrumen perdata ini digunakan oleh jaksa, berkaitan denga adanya hukuman tambahan yaitu pembayaran uang pengganti
terhadap terpidana vide pasal 34 C UU tersebut. Dalam hal ini Jaksa Pengacara Negara melakukan gugatan perdata terhadap terpidana, agar membayar uang
pengganti sebagaimana ditetapkan oleh Hakim pidana yang memutus perkara korupsi yang bersangkutan.
UU Korupsi yang berlaku saat ini, yaitu UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 dengan tegas menyatakan penggunaan instrumen perdata,
sebagaimana pada pasal 32, 33, 34 UU No.31 Tahun 1999 dan pasal 38 C UU No.20 Tahun 2001.
Proses perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan instrumen perdata tersebut adalah sebagai berikut:
96
a. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan
unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik menghentikan penyidikan yang dilakukan.
Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang
dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut pasal 32 ayat 1 UU
No.21 Tahun 1999
96
Efi Laila Kholis, Loc.Cit, hal 45-46
Universitas Sumatera Utara
b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi, meskipun secara nyata telah ada kerugian negara, karena unsur-unsur
pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini penuntut umum PU menyerahkan putusna Hakim kepada Jaksa Pengacara Negara atau
kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan negara pasal
32 ayat 2 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka
meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik menyerahkan
berkas hasil penyidikannya ke pada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata
terhadap ahli waris tersangka pasal 33 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001
d. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan berkas berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang
dirugikan untuk dilakukan gugatan terhadap ahli waris terdakwa pasal 34 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001
e. Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harat benda milik terpidana
korupsi yang belum dikenakan perampasan sedangkan di sidang pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut
Universitas Sumatera Utara
diperoleh bukan karena korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya pasal 38 C UU No.20
Tahun 2001. Dalam kasus ini instansi yang dirugiakn dapat memberi kuasa kepada Jaksa Pengacara Negara atau kuasa hukum yang
mewakilinya. Sebagaimana disinggung di atas, bahwa upaya pengembalian kerugian
keuangan negara menggunakan instrumen perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata materiil maupun formil, meskipun berkaitan dengan tindak
pidana korupsi. Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem pembuktian
materiil, maka proses perdata menganut sistem pemuktian formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit daripada pembuktian materiil. Dalam tindak pidana
korupsi khususnya, disamping penuntut umum, terdakwa juga mempunyai beban beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib membuktikan bahwa harta benda
miliknya diperoleh bukan karena korupsi. Beban pembuktian pada terdakwa ini disebut “pembuktian terbalik terbatas” penjelasan pasal 37 UU No.31 Tahun
1999 jo UU No 20 Tahun 2001 Dalam proses perdata beban pembuktian merupakan kewajiban penggugat,
demikian halnya untuk kasus-kasus tersebut angka 4a-e di atas, beban pembuktian ada pada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan sebagai penggugat.
Dalam hubungan ini penggugat berkewajiban membuktikan antara lain: a. Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.
b. Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka terdakwa atau terpidana.
Universitas Sumatera Utara
c. Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.
Untuk melaksanakan gugatan perdata tersebut sungguh tidak gampang. Ihwal yang menghadang dalam praktek dapat dicontohkan seperti di bawah ini.
a. Dalam pasal 32, 33, dan 34 UU No. 31 Tahun 1999 joUU No 20 Tahun 2001 terdapat rumusan “secara nyata telah ada kerugian negara”. Penjelasan pasal
32 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik.” Pengertian “nyata” di sisni didasarkan pada adanya kerugian negara yang
sudah dapat dihitung jumlahnya oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik. Jadi pengertian “nyata” disejajarkan atau diberi bobot hukum sama
dengan pengertian hukum “terbukti”. Dalam sistem hukum kita, hanya hakim dalam suatu persidangan
pengadilan mempunyai hak untuk menyatakan sesuatu terbukti atau tidak terbukti. Perhitungan instansi yang berwenang atau akuntan publik tersebut
dalam sidang pengadilan tidak mengikat hakim. Hakim tidak akan serta merta menerima perhitungan tersebut sebagai perhitungan yang benar, sah dan
karenanya mengikat. Demikian halnya dengan tergugat tersangka, terdakwa atau terpidana juga dapat menolaknya sebagai perhitungan yang benar, sah
dan dapat diterima, siapa yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang”, juga tidak jelas; mungkin yang dimaksud seperti BPKP, atau BPK. Mengenai
“akuntan publik”, juga tidak dijelskan siapa yang menunjukkan akuntan publik tersebut; penggugat atau tergugat atau pengadilan?
Universitas Sumatera Utara
b. Penggugat Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan harus dapat membuktikan bahwa tergugat tersangka, terdakwa, atau terpidana telah
merugikan keuangan negara dengan melakukan perbuatan tanpa hak onrechmatige daad, factum illicitum. Beban ini sungguh tidak ringan, tetapi
penggugat harus berhasil untuk bisa menuntut ganti rugi. c. Kalau harta kekayaan tergugat tersangkar, terdakwa atau terpidana pernah
disita, hal ini akan memudahkan penggugat Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk melacaknya kembali dan kemudian
dimohonkan oleh penggugat agar Hakim melakukan sita jaminan conservatoir beslag. Tetapi bila harta kekayaan tergugat belum tidak
pernah disita, maka akan sulit bagi penggugat untuk melacaknya; kemungkinan besar hasil korupsi telah diamankan dengan diatasnamakan
orang lain. d. Pasal 38 C UU No.20 Tahun 2001 menyatakan bahwa terhadap “harta benda
milik terpidana yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara. Maka negara dapat
melakukan gugata n perdata. Dengan bekal “dugaan atau patut diduga” saja
penggugat Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan pasti akan gagal menggugat harta benda tergugat terpidana. Penggugat harus bisa
membuktikan secara hukum bahwa harta benda tergugat berasal dari tindak pidana korupsi; “dugaan atau patut diduga” sama sekali tidak mempunyai
kekuatan hukum dalam proses perdata. e. Proses perkara perdata dalam prakteknya berlangsung dengan memakan
waktu panjang, bahkan bisa berlarut-larut. Tidak ada jaminan perkara perdata
Universitas Sumatera Utara
yang berkaitan dengan perkara korupsi akan memperoleh prioritas. Disamping itu, sebagaimana pengamatan umum bahwa putusan hakim
perdata sulit diduga unpredictable Penyelesaian melalui gugatan perdatalitigasi yaitu penyelesaian uang
pengganti dengan cara mengajukan gugatan perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum yang ditujukan kepada terpidana sebagai tergugat. Penyelesaian
uang pengganti melalui instrumen perdata dapat dilakukan melalui gugatan perdata yang didasarkan Pasal 3 KUH Perdat
a: “tidak ada hukuman yang membuat seseorang mati perdatanya” dan pasal 1365 KUH Perdata.
Untuk mengoptimalkan penagihan uang pengganti harus dilakukan gugatan perdata, dan harus didukung anggaran yang mencukupi, karena beracara
perdata membutuhkan biaya yang tidak sedikit mulai pendaftaran gugatan di Pengadilan Negeri sampai persidangan. Dan biasanya perkara perdata terus
melalui upaya hukum banding, Kasasi sampai dengan Peninjauan Kembali. Setelah perkara inkracht pun untuk mengajukan permohonan eksekusi juga
membutuhkan biaya. Dalam mengajukan gugatan perdata harus dipilih dengan cermat.
Mengingat biaya yang besar tersebut, maka penentuan perkara yang perlu diajukan dalam gugatan perdata adalah perkara yang didasarkan jumlah uang
penggantinya minimal Rp.100.000.000,- seratus juta rupiah dan harta benda terpidana masih ada untuk dujadikan obyek gugatan.
Kesulitan melakukan perdata terhadap uang pengganti berdasarkan perbuatan melawan hukum pasal 1365 biasanya disebabkan beberapa alasan
sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Terpidana melarikan diri;
2. Terpidana dan ahli warisnya sudah tidak diketahui alamatnya lagi sehingga
tidang mungkin diajukan gugatan perdata atau terpidana sudah meninggal dunia dan tidak diketahui ahli warisnya;
3. Aset terpidana sudah tidak ada lagi untuk dijadikan obyek gugatan, sehingga
gugatan perdata akan sia-sia karena tidak ada lagi untuk dilakukan sita jaminan;
4. Aset terpidana dilarikan ke luar negeri; 5. Harta bendanya telah dipindah tangankan kepada pihak ketiga;
6. Anggaran untuk melakukan perdata perkasus yang dilimpahkan ke bidang Datun belum mencukupi;
7. Perkara perdata membutuhkan biaya yang besar dalam penyelesaiannya sehingga akan rugi jika dipaksakan melakukan gugatan jika uang pengganti
kecil. Menurut Suhadbroto, Mantan JAM Datun menyatakan secara teknis yuridis
terdapat beberapa kesulitan yang akan dihadapi jaksa pengacara negara dalam melakukan gugatan perdata, antara lain hukum acara perdata yang digunakan
sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata biasa, antara lain menganut asas pembuktian formal. Beban pembuktian terletak pada pihak yang mengendalikan
Jaksa Pengacara Negara yang harus membuktikan, kesetaraan para pihak, kewajiban hakim untuk membuktikan secara nyata bahwa telah ada negara, yakni
kerugian negara akibat atau berhubungan dengan perbuatan tersangka, terdakwa atau terpidana, adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang
dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.
Universitas Sumatera Utara
Disamping itu ada sejumlah masalah lain yang timbul diantaranya bukan saja faktor kesulitan Jaksa Pengacara Negara atau institusi sejenis sebagai
penggugat yang sangat mungkin kalah dan berakibat munculnya kerugian materiil. Diantara masalah tersebut adalah:
1. Adanya asas hukum yang berbeda antara hukum pidana dan perdata. Hukum pidana mencari kebenaran materiil sedangkan hukum perdata
mengutamakan kebenaran formiil. Hal ini mempersulit Jaksa Pengacara Negara dalam upaya pengembalian kerugian negara uang pengganti
karena harta yang diduga milik terpidana korupsi ternyata dapat dibuktikan secara formil milik orang lain, sehingga harapan untuk menyita menjadi
musnah; 2. Dalam hukum perdata, para pihak mempunyai hak, kedudukan dan
kesempatan yang sama, sehingga penggugat asal Jaksa Pengacara Negara dalam rekonpensi dapat menjadi tergugat dan tidak menutup kemungkinan
Jaksa Pengacara Negara akan kalah bahkan dapat dijatuhi membayar ganti rugi kepada Penggugat rekonpensi terpidana;
3. Proses litigasi perkara perdata di pengadilan berlangsung lama dan berlarut-larut sampai banding, kasasi, dan peninjauan kembali, berbeda
dengan proses pidana yag diprioritaskan dan dibatasi waktu penyelesaiannya di pengadilan;
4. Dalam litigasi perkara perdata dikenal istilah intervensi dan perlawanan pihak ketiga yang akan menambah beban Jaksa Pengacara Negara dalam
menanggapi dalil-dalil para pihak.
Universitas Sumatera Utara
Untuk dapat mengoptimalkan penyelesaian uang pengganti melalui instrumen perdata, maka kejaksaan Jaksa Pengacara Negara harus berani membuat gebrakan
untuk mengajukan gugatan perdata khususnya terhadap uang pengganti yang telah mempunyai kekeuatan hukum tetap. Untuk mengajukan gugatan perdata ini
didasarkan pada perbuatan melawan hukum pasal 1365 KUHPerdata. “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Terhadap perkara yang akan dilakukan gugatan perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum pasal 1365 KUHPerdata harus dipilah sebagai
berikut: 1.
Perkara yang uang penggantinya minimun sebesar Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah;
2. Harus diperhatikan terpidana masih mempunyai harta kekayaan sebagai
obyek sengketa dan untuk dapat dilakukan sita jaminan untuk memenuhi uang pengganti yang dijatuhkan melalui peradilan pidana;
3. Terpidana masih diketahui alamatnya dengan jelas.
2. Upaya Konvensional