Demikianlah diputuskan pada hari, Kamis, tanggal 04 Maret 2010, dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Fakfak, oleh kami
MARSUDI, SH sebagai Hakim Ketua, ALFONSUS NAHAK, SH dan YUNIANTO A. NURCAHYO, SH masing-masing sebagai Hakim Anggota,
putusan mana diucapkan pada hari Senin, tanggal 22 Maret 2010 dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Majelis Hakim tersebut dengan
dibantu oleh YONESRIAN WASSE PALETTE Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Fakfak serta serta dihadiri oleh ARFAN HALIM, SH Jaksa Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Fakfak dan dihadapan Terdakwa serta Penasehat Hukum terdakwa .
Hakim Anggota :
ttd
1. ALFONSUS NAHAK, S.H
ttd
2. YUNIANTO A. NURCAHYO, S.H
Hakim Ketua, ttd
MARSUDI, S.H
Panitera Pengganti ttd
YONESRIAN WASSE PALETTE
Universitas Sumatera Utara
Salinan Putusan tersebut sesuai dengan aslinya, belum berkekuatan hukum tetap karena terdakwa menyatakan banding pada hari Kamis, tanggal 25 Maret 2010 ;
Pengadilan Negeri Fakfak Panitera Sekretaris,
MUHAMMAD BIARPRUGA, S.H. NIP : 040 050 848
Universitas Sumatera Utara
Daftar pertanyaan kepada pihak kejaksaan :
1. Pengertian Uang Pengganti yang sebenarnya dalam Tindak Pidana Korupsi ?
2. Bagaimanakah sebenarnya yang dimaksud dengan uang pengganti dalam perkara Tindak Pidana Uang Pengganti ?
3. Ada berapakah jumlah putusan dalam Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai putusan uang pengganti dan telah mempunyai hukum tetap
dan telah di eksekusi oleh pihak kejaksaan Fak-Fak? 4. Apakah semua kasus Tindak Pidana Korupsi tersebut dalam putusannya
menyebutkan Uang Pengganti sebagai putusannya? 5. Apa dasar dan tujuan pengenaan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana
Korupsi ? 6. Bagaimanakah penghitungan dan penetapan jumlah Uang Pengganti
terhadap terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi ? 7. Kapan dan bagaimana proses pembayaran Uang Pengganti tersebut harus
dipenuhi Terdakwa ? 8. Apakah hambatan-hambatan yang sering di hadapi oleh pihak kejaksaan
mengenai pembayaran Uang Pengganti oleh terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi, dan bagaimana solusi penyelesaian yang dilakukan oleh
pihak kejaksaan negeri Fak-Fak ?
9. Apa yang akan dilakukan Kejaksaan Negeri Fak-Fak apabila Uang Pengganti tidak dapat dipenuhi terdakwa sesuai dengan jangka waktu yang
ditentukan oleh Pengadilan? 10. Apakah ada hukuman pengganti apabila Uang Pengganti tersebut tidak
bisa dibayarkan oleh terdakwa ? 11. Apakah pembayaran Uang Pengganti juga mengikat pihak keluarga dan
ahli waris terdakwa ? 12. Terkait dengan kasus tindak pidana korupsi no.79 Pid. B 2009 PN. F
atas nama Donny Steven Sonny ST, apakah ada kendala dalam hal penyelesaian
proses pembayaran
uang pengganti,
apabila ada
bagaimanakah proses penyelesaiannya?
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahmad Gunaryo, Kendala Penanganan Korupsi, Kolusi, an Nepotisme KKN Sebuah Pergulatan Teori dan Makna, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000. Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi Di
Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2011. Arif, Barda Nawawi , Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung, Bandung,
2001. ,Masalah
Penegakan Hukum
dan Kebijakan
Penangggulangan Kejahatan,2001, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing, Depok, 2010.
Fahrojih, Ikhwan, dkk, Mengerti dan Melawan Korupsi, Yappika dan Malang CorruptionWatch MCW, Jakarta, 2005.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996.
, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, PT. Gramedia, Jakarta, 2001.
Harahap, Krisna, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, PT. Grafiti, Bandung, 1985.
Hartanti,Evi, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Ikhwan, Fahrojih, dkk, Mengerti dan Melawan Korupsi, Yappika dan Malang Corruption Watch MCW, Jakarta, 2005.
Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984.
Michael, Barama, Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam Perkara Korupsi, Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2011.
Noeh, Munawar Fuad , Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Zikrup Hakim, Jakarta, 1997.
Pope, Jeremi, Strategy Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003.
Prakoso, Djoko, Peranan Pengawasan Dalam Penangkalan Tindak Pidana Korupsi, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1990.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1992.
Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2011.
Sumaryanto, Djoko, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Prestasi Belajar
Publisher, Jakarta, 2009. Sunaryo, Sidik, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang, 2005. Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
Universitas Sumatera Utara
Wiyono, R, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Yunara, Edi , Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Internet
http:www.kejaksaan.go.idunit_kejaksaan.php?idu=31sm=2
www.bangkapos.com
http: vivanews.comberita200177-kenapa-hakim--hanya--vonis-7-tahun-.htm, http:fakfakjamak.wordpress.com
http:vanplur.wordpress.com20110423hukum-pidana-khusus
Lampiran
Wawancara dengan Bapak Arfan Halim, SH, selaku KAPIDSUS di Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak.
Universitas Sumatera Utara
Copy Putusan Tindak Pidana Korupsi No. 79PID.B2009PN.F. atas nama terdakwa Donny Steven Sonny, ST.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN PEMBAYARAN
UANG PENGGANTI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKEJAKSAAN KABUPATEN FAK-FAK
A. Peranan Kejaksaan dalam Penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi Dikejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak
Dalam Tindak Pidana Korupsi Tugas dan wewenang dari
Kejaksaan
dapat terlihat jelas dalam Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 39 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 serta Pasal 39 UU No. 30 Tahun 2002 dimana di undang-undang tersebut dikatakan bahwa tugas dan
wewenang dari pihak kejaksaan yaitu berupa Penyelidikan, Penyidikan, serta Penuntutan dalam kasus tindak pidana korupsi.
Menurut Pasal 43 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan mengenai penyelidikan. Yang
menjadi dasar bahwa pihak kejaksaan berhak melakukan penyidikan dalam tindak pidana korupsi didukung argumentasi adalah :
1. Bahwa sebagai bagian dari hukum pidana khusus Ius Speciale, Ius Singulare Bijzonder Strafrecht, modus operandi dan aspek pembuktian dari Tindak
Pidana Korupsi harus ditangani secara lebih spesifik sehingga dibutuhkan keterampilan dan profesionalisme tertentu. Dimana hukum pidana khusus
adalah mempelajari suatu hukum dibidang pidana yang pada umumnya berada ketentuannya diatur diluar KUHP yang berhubungan dengan hukum
pidana umum.
2. Ketentuan Pasal 26 UU No.31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa : “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang ini.” 3. Ketentuan Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang
menentukan bahwa : “Dalam menentukan tindak pidana korupsi yang sulit
Universitas Sumatera Utara
pembuktiannya, dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.”
4. Pada ketentuan Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menentukan bahwa :
“Jaksa Agung mengkoordinasi dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.” Yang dimaksud dengan mengkoordinasi yang terdapat
dalam Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia dan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU No. 30 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa :
“Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang ini.” 5. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat 1 huruf d Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa: “Di bidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang.”
Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebgaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
68
Berdasarkan Pasal 1 KUHAP, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.
Ketentuan dalam Pasal 33 UU No. 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan
kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya”, adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama
dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan
68
R. Wiyono, Loc.Cit, hal. 30
Universitas Sumatera Utara
dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. Dimana menurut Marjono Reksodiputro sistem peradilan peradilan pidana adalah
sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Hubungan kerja sama ini dilakukan
melalui koordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing.
Kerja sama antara Kejaksaan dengan instansi penegak hukum lainnya dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asas
cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara
69
. Menurut ketentuan hukum positifnya di Indonesia, ada beberapa instansi atau lembaga lain untuk melakukan koordinasi dengan
Kejaksaan yaitu pihak kepolisian, tim koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tim Tastipikor, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK,
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan
hukum. Tetapi ada lembaga lain bisa ikut membantu pihak Kejaksaan dalam
melakukan penyidikan yaitu Pihak Bank misalnya pemblokiran rekening tersangka mengenai penyitaan barang bukti. Begitu juga halnya di lingkungan
Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak, jaksa melakukan koordinasi dengan instansi lain.
Disamping Jaksa mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan, jaksa juga mempunyai wewenang untuk melakukan penuntutan perkara tindak pidana
69
Penjelasan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Universitas Sumatera Utara
korupsi Pasal 27 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 jo. Pasal 14 huruf e dan g KUHAP atau Jaksa Penuntut Umum Pasal 51 ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Sebelum dilakukannya proses penuntutan, Jaksa Penuntut Umum mempunyai hak untuk melakukan prapenuntutan yang merupakan salah satu wewenang dari
Jaksa Penuntut Umum apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan melakukan tindakan pengembalian berkas perkara yang dilakukan oleh penuntut
umum disertai dengan petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan oleh penyidik guna melengkapi hasil penyidikannya. Proses terjadinya prapenuntutan harus
menghubungkan Pasal 8 ayat 3, Pasal 14, Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP sehingga akan terlihat suatu rangkain yang berupa :
1. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; 2. Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut
masih belumkurang lengkap, Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk-petunjuk guna
melengkapi hasil penyidikan, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan;
3. Penyidikan dianggap selesai apabila dalam batas waktu 14 hari Penuntut Umum tidak mengembalikan berkas perkara, atau apabila sebelum batas
waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik;
4. Penuntut umum setelah menerima berkas perkara segera mempelajari dan meneliti berkas perkara dan dalam waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum;
5. Apakah hasil
penyidikan belum
lengkap, penuntut
umum mengembalikan berkas perkara dengan petunjuk tentang hal yang harus
dilengkapi dan dalam batas waktu 14 hari sejak penerimaan kembali berkas perkara, penyidik harus sudah menyampaikan berkas perkara itu
kepada Penuntut Umum.
70
Dengan kata lain, apabila hasil penyidikan tersebut telah lengkap, maka Penuntut Umum wajib memberitahukan hal itu kepada pihak penyidik dan
70
Evi Hartanti, Loc.Cit, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
meminta agar tersangka dan barang bukti segera diserahkan kepada pihak Penuntut Umum. Sebaliknya apabila penelitian itu ternyata hasil belum lengkap,
maka penuntut umum dapat mengembalikan berkas perkara kepada penyidik guna melengkapi hasil penyidikan tersebut.
Apabila dari hasil penelitian tersebut ternyata berkas perkara tersebut telah mencakupi segala persyaratan yang diperlukan guna melakukan penuntutan, maka
Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa hasil penyidikan perkara yang bersangkutan sudah lengkap dengan menerbitkan pemberitahuan bahwa hasil
penyidikan sudah lengkap. Kemudian berkas perkara yang dinyatakan belum lengkap itu disertai dengan petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan,
dengan menerbitkan Pegembalian Berkas Perkara. Sesuai ketentuan Pasal 110 ayat 3 jo Pasal 138 ayat 2 KUHAP, dalam hal demikian wajib melaksanakan
pemeriksaan tambahan dan menyampaikan kembali berkas perkara yang telah dilengkapi dengan hasil pemeriksaan tambahan itu kepada Penuntut Umum dalam
batas waktu 14 hari setelah diterimanya pengembalian berkas perkara dari Penuntut Umum. Dengan demikian Undang-undang telah memberikan waktu
yang sama baik bagi Penuntut Umum untuk mempelajarimeneliti hasil penyidikan, maupun bagi penyidik untuk melaksanakan tambahan yakni dalam
batas waktu 14 hari. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bahwa pembayaran uang pengganti harus dilaksanakan oleh terpidana paling lama dalam waktu 1
satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan tersebut selanjutnya jaksa selaku pelaksana putusan
Universitas Sumatera Utara
pengadilan Pasal 270 KUHAP akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Terpidana akan dipanggil untuk membicarakan masalah pembayaran uang pengganti.
2. Melakukan negosiasi mengenai kesanggupan pembayaran uang pengganti dengan cara pembayaran yang dilakukan oleh terpidana secara bertahap.
3. Melakukan penelusuran dan penyelidikan terhadap harta benda milik terpidana yang diduga diperoleh dari tindak pidana korupsi.
4. Apabila dalam waktu yang telah disepakati antara jaksa dan terpidana, pembayaran uang pengganti tidak dilaksanakan oleh terpidana, maka jaksa
akan melakukan penyitaan terhadap harta benda milik terpidana dan mengajukan permohonan kepada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang
Negara KP2LN untuk melakukan lelang eksekusi terhadap barang yang disita tersebut.
5. Uang pengganti yang telah dibayarkan oleh terpidana atau hasil dari lelang eksekusi selanjutnya oleh jaksa disetorkan kepada Kantor Kas Negara atau
Bank yang telah ditunjuk oleh negara sebagai penerimaan negara dari pembayaran uang pengganti.
6. Setelah semua penyelesaian pembayaran uang pengganti telah dilaksanakan oleh jaksa, maka kemudian jaksa membuat laporan tentang penyelesaian
pembayaran uang pengganti yang disampaikan kepada pengadilan.
71
Apabila dalam praktiknya Uang Pengganti tersebut yang telah ditetapkan dan diputuskan pihak pengadilan tetapi terdakwa tidak dapat melaksanakan
pembayaran Uang Pengganti sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, maka akan dikenakan hukuman pengganti yaitu penambahan hukuman penjara sesuai
dengan perhitungan pengganti sesuai dengan jumlah Uang Pengganti yang belum dibayarkan. Apabila si terpidana meninggal dunia sebelum Uang Pengganti
dibayarkan maka pihak keluarga dan ahli waris terpidana tersebut bertanggung jawab atas pengembalian Uang Pengganti terpidana apabila terbukti bahwa ada
harta dari keluarga atau ahli waris yang ternyata merupakan hasil dari Tindak Pidana Korupsi.
72
71
Wawancara dengan Bapak Arfan Halim, SH, Loc.Cit.
72
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Terhadap uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 tahun 1971 dan dirubah menjadi UU No.31 Tahun 1999 dan mengalami perubahan lagi
menjadi UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penghapusan uang pengganti diusulkan kepada Menteri Keuangan RI melalui
Jaksa Agung RI dengan melengkapi : 1. Surat perintah pencairan harta benda milik terpidana ;
2. Laporan pencairan harta benda milik terpidana dengan lampiran surat keterangan dari lurah atau Kepala Desa bahwa terpidana tidak mempunyai
harta benda yang dapat disita untuk membayar uang pengganti.
73
Terhadap uang pengganti yang dibayar sebagian oleh terpidana tetap diusulkan penghapusan melalui Jaksa Agung RI dengan melengkapi:
1. Tanda terima pembayaran uang pengganti D3; 2. Bukti penyetoran uang pengganti ke Kas Negara;
3. Laporan pencairan harta benda milik terpidana dengan lampiran surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa bahwa terpidana tidak
mempunyai harta benda yang dapat disita untuk membayar uang pengganti.
74
Terhadap uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, apabila terpidananya tidak membayar maka harus ada bukti bahwa terpidana telah menjalani pidana pengganti. Hal ini harus dibuktikan dengan
berita acara pelaksananaan hukuman pengganti, apabila terpidana sedang menjalani hukuman atau telah menjalani hukuman padahal berita acara
73
Efi Laila Kholis, Loc.Cit. hal. 35.
74
Ibid, hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan hukuman pengganti belum dibuat maka KAJARI harus memerintahkan Kasi Pidsus atau Jaksa Penuntut Umum koordinasi dengan Kepala
Lembaga Pemasyarakatan untuk mendapat surat keterangan bahwa terpidana sudah menjalani hukuman pidana pengganti. Surat Keterangan harus dilampirkan
dalam berkas perkara. Apabila tidak bisa ditemukan bukti bahwa terdakwa telah menjalani
hukuman pengganti maka Jaksa Penuntut Umum harus melaksanakan eksekusi terhadap terpidana berupa pembayaran uang pengganti atau pidana pengganti.
Penghapusan uang pengganti yang diatur dalam UU No.3 tahun 1971 maupun UU No.31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
berpedoman pada Peraturan Pemerintah RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang NegaraDaerah.
Proses penyelesaian uang pengganti yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan KEP-518J.A112001 tanggal 1 Nopember 2001
dilakukan dengan cara berikut: 1. Dibuatkan surat panggilan D-1 dengan perihal tagihan uang pengganti
kepada terpidana untuk menghadap kepada Jaksa eksekutor di kantor Kejaksaan setempat;
2. Terpidana setelah dipanggil dan menghadap jaksa eksekutor ditanya tentang kesanggupan membayar uang pengganti yang telah dijatuhkan
oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada tahap ini terpidana dibuatkan surat pernyataan D-2 yang isinya sanggup atau
tidak sanggup membayar uang pengganti;
3. Pada saat membayar uang pengganti, maka dibuatkan Tanda Terima Pembayaran D-3 uang yang telah diterima dari terpidana dan ditanda
tangani oleh Kasi Pidana Khusus atas nama Kepala Kejaksaan Negeri; 4. Setelah diterima uang pengganti dari terpidana maka Kepala Kejaksaan
negeritinggi setempat membuat surat perintah D-4 yang memerintahkan kepada Jaksa EksekutorKasi Pidana KhususKasubsi Penuntutan Pidsus
untuk menyerahkan uang pengganti atas nama terpidana yang bersangkutan kepada Kasubag Bin Kejaksaan setempat. Bendahara
khususPenerima dalam waktu 1x 24 jam setelah diterima.
5. Bendahara KhususPenerima setelah menerima uang pengganti dalam waktu 1x 24 jam harus menyetorkan uang pengganti dengan blanko Surat
Penerimaan Negara Bukan Pajak SSBP ke kas negara dengan Mata Anggaran Penerimaan MAP 423473 melalui bank. Namun berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
Surat Jambin No : 005CCu0108 dan Permen Keu No. 91PMK.052007 MAP dirubah menjadi Nomor: 423614 berlaku sejak Januari 2008.
75
Mekanisme pemeriksaan tindak pidana korupsi secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 tiga tahap, yaitu :
1. Pemeriksaan pendahuluan 2. Penuntutan
3. Pemeriksaan akhir Menurut Pasal 39 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa : 1. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan
berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang- undang ini.
2. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama
Komisi Pemberantasan Korupsi 3. Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Adapun penjelasan secara rinci dari masing-masing tahap tersebut adalah sebagai berikut :
75
Ibid, hal 38.
Universitas Sumatera Utara
1. Pemeriksaan pendahuluan Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan hasil-hasil inventarisasi
yang dibuat secara tertulis dari pihak tersangka. Dalam tahapan ini dikumpulkan bahan-bahan yang menjadi barang bukti atau alat-alat bukti dalam suatu rangkaian
berkas perkara, serta kelengkapan pemeriksaan lainnya dengan maksud untuk dapat menyerahkan perkara ke pengadilan. Proses pemeriksaan pendahuluan ini
berupa kegiatan yang rincinya merupakan pemeriksaan persiapan, yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan merupakan tindakan awal
pemeriksaan perkara dan pembatasan lainnya dari tugas penyidikan. Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP menentukan bahwa
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara- cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti,
dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangka.
Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menentukan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan
atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan.
76
a. Penahanan Penahanan merupakan salah satu bent perampasan kemerdekaabn nergerak
seseorang. Jadi disini terdapat pertentanga antara dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di situ pihak
dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus dipertahankan untuk
76
Evi Hartanti, Loc.Cit., hal. 14
Universitas Sumatera Utara
orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka. Terkenallah ucapan Larnaudate dalam redenya tahun 1901: “C’est l’eternel conflit entre la liberte et
l’autorite.”
77
Ketentuan tentang sahnya penahanan dicantumkan dalam Pasal 21 ayat 4 KUHAP, sedangkan perlunya penahanan dalam ayat 1 pasal itu. Di dalam Ned.
Sv. Yang baru kedua ketentuan tersebut diatur dalam pasal yang sama juga yaitu Pasal 64 ayat 1 mengatur tentang perlunya penahanan sedangkan ayat 2
tentang sahnya penahanan. Hal ini berbeda , dengan HIR, di mana sahnya penahanan diatur dalam Pasal 62 ayat 2, sedangkan perlunya penahanan diatur
Pasal 75 dan 83 c HIR.
78
Istilah penahanan mempunyai arti penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini Pasal 1 butir 21 KUHAP.
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti yang cukup, dalam hal ini adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan
diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut
umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau
77
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hal. 132
78
Ibid., hal. 132-133
Universitas Sumatera Utara
terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim harus diberikan kepada keluarganya.
b. Syarat Penahanan Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana danatau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut seperti halnya dalam bunyi Pasal 21 ayat 4 KUHP, yaitu:
1 Tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
2 Tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 282 ayat 3, Pasal 296, Pasal 335 ayat 1, Pasal 353 ayat 1, Pasal 372, Pasal 379 a,
Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, dan Pasal 506 KUHP, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie pelanggaran
terhadap ordonasi bea dan cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang
Tindak Pidana Imigrasi Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8, Pasal 36 ayat 7, Pasal 41,
Pasal 42., Pasal 43, Pasal 47, Pasal 48 Undang-undang Nomor 38
Tahun 2009 Tentang Narkotika dan lain-lain.
79
c. Jenis Penahanan Jenis-jenis penahanan Pasal 22 KUHAP dapat berupa :
1 Penahanan rumah tahanan negara.
79
Ibid., hal. 134
Universitas Sumatera Utara
2 Penahanan rumah, penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan
mengadakan pengawasan terhadapnya untuk segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kesulitan dalam
penyidikan, penuntutan,
atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penahanan tersebut 13 dari jumlah
lamanya waktu penahanan. 3 Penahanan kota, penahanan kota dilakukan di kota tempat tinggal atau
tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.
Untuk penahanan kota pengurangan tersebut 15 dari jumlah lamanya waktu penahanan.
80
Perbedaan jenis – jenis penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat 1 KUHAP, dapat juga dilihat perbedaan cara pengurangannya dari pidana yang dijatuhkan. Dalam Pasal 22 ayat 4 KUHAP dinyatakan bahwa masa
penangkapan dan penahanan rutan dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan. Kemudian dalam ayat 5 pasal tersebut dinyatakan pula bahwa
penahanan rumah hanya dikurangkan 13 dan tahanan kota dikurangkan 15 dari pidana yang dijatuhkan.
2. Penuntutan Pasal 1 butir 7 KUHAP menjelaskan bahwa penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur undang-undang dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
80
Ibid., hal.135
Universitas Sumatera Utara
Menurut Pasal 1 butir 6 KUHAP : a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang melakukan penuntutan serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang telah diberi wewenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dalam kasus atas nama Donny Steven Sonny, ST juga terdapat penuntutan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut agar
Hakim Pengadilan Negeri Fak-Fak yang memeriksa dan mengadili perkara ini, sehingga dalam perkara ini Haikim Pengadilan Negeri Fak-Fak memutuskan :
1. Menyatakan terdakwa DONNY STEVEN SONNY bersalah melakukan tindak pidana Korupsi melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 ayat 1, 2 dan
3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana dalam surat dakwaan ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 7 tujuh tahun dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara dengan
perintah terdakwa tetap ditahan dan membayar denda sebesar Rp. 250.000.000,- dua ratus lima puluh juta rupiah subsidair hukuman kurungan
selama 6 enam bulan ; 3. Membayar uang pengganti sebesar Rp. 120.028.172,77 seratus dua puluh juta
dua puluh delapan ribu seratus tujuh puluh dua rupiah tujuh puluh tujuh sen jika terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut paling lama dalam
waktu 1 satu bulan sesudah putusan Pengadilan yang telah memperoleh
Universitas Sumatera Utara
kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta
benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana dengan pidana penjara selama 6 enam bulan ;
Menurut Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa : 1 Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut : a Yang nilainnya Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum; 2 Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua
puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu milyar
rupiah. Proses yang disebutkan diatas juga digunakan oleh pihak Kejaksaan
Negeri Kabupaten Fak-Fak khususnya dalam kasus Tindak Pidana Korupsi No. 79PID.B2009PN.F dengan terdakwa Donny Stevan Sony, ST, dimana majelis
Universitas Sumatera Utara
hakim memutuskan bahwa terdakwa terbukti bersalah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi, sehingga terdakwa dijatuhkan hukuman pidana
berupa hukuman pidana penjara selama 4 empat tahun penjara, denda terhadap terdakwa sebesar Rp. 200.000.000,- dua ratus juta rupiah dengan ketentuan
apabila terdakwa tidak mampu membayar maka akan dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6 enam bulan, serta terdakwa
dikenakan hukuman tambahan berupa pembayaran Uang Pengganti sebesar Rp. 119.232.072 Seratus sembilan belas juta dua ratus tiga puluh dua ribu tujuh puluh
dua rupiah dengan ketentuan apabila dalam waktu selama 1 satu bulan setelah putusan ini memperoleh kekuatan hukum tetap terdakwa tidak dapat
membayarnya maka harta benda terdakwa akan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dan jika terdakwa tidak memiliki harta benda yang cukup
untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 6 enam bulan. sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan KAPIDSUS di
Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak yaitu Bapak Arfan Halim, SH
81
Dasar hukum mengenai penetapan uang pengganti tersebut dapat dilihat dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana didalam Pasal tersebut dikatakan bahwa pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Jelas dikatakan didalam pasal 18 Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
81
Wawancara dengan Bapak Arfan Halim, SH, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
Tindak Pidana Korupsi bahwa penetapan uang pengganti tersebut jumlahnya sebesar jumlah harta benda yang didapat dari tindak pidana korupsi. Seperti dalam
kasus No. 79PID.B2009PN.F dengan terdakwa Donny Steven Sony, ST yang penulis teliti di Kejaksaan Negeri Fak-Fak, bahwa si terdakwa terbukti melakukan
Tindak Pidana Korupsi dalam peningkatan jalan Ruas Gewerpe – Jalan Kokas
yang setelah diselidiki ada terdapat penyelewengan dana oleh terdakwa sehingga setelah melakukan penghitungan oleh pihak penyidik dengan rincian :
Nilai kontrak Rp.
955.500.000,- Uang muka 30
30 x 955.500.000,- = Rp. 286.650.000,-
Ppn 10 Rp.
28.665.000,- Pph 1,5
Rp. 4.299.750,- -
Terima bersih Rp. 253.685.250,-
Daya serap fisik 15,88 Rp.
134.453.178,- -
Selisih dana kerugian Rp. 119.232.072,-
Dengan didapatnya kerugian negara dari hasil penghitungna pihak penyidik maka dianggap adanya Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh
terdakwa dan hasil kerugian tersebut yang menjadi Penetapan jumlah dari uang pengganti yang akan dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa.
82
Mengenai proses pembayaran uang pengganti tersebut, setelah adanya Putusan yang inkrah dari Hakim Pengadilan Negeri, terdakwa dapat melakukan
pembayaran uang Pengganti sejak dari proses Penyidikan hingga sebelum kasus
82
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diputus oleh pihak Pengadilan. Apabila Terpidana melakukan pembayaran setelah ada putusan yang inkrah dari Hakim Pengadilan Negeri maka jangka
waktu yang diberikan kepada Terpidana yaitu selama 1 satu tahun seperti yang di tetapkan pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembayaran uang pengganti dapat berupa benda
bergerak serta benda tidak bergerak yang merupakan hasil dari Tindak Pidana Korupsi.
83
Jaksa dalam melakukan penyitaan mempunyai beberapa prosedur yang harus dilakukan agar tindakan penyitaan itu sah berdasarkan hukum. Adapun
prosedur pelaksanaan penyitaan barang bukti terhadap kekayaan tersangka terdiri dari:
a. Harus ada surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Dalam melakukan penyitaan, jaksa harus memiliki surat izin dari ketua
pengadilan negeri tempat benda yang disita berada. Surat izin penyitaan dari ketua pengadilan negeri ini diperlukan dalam hal penyitaan yang dilakukan terhadap
barang bukti benda tidak bergerak, sedangkan penyitaan yang dilakukan terhadap barang bukti benda bergerak, hanya memerlukan penetapan persetujuan dari ketua
pengadilan negeri setempat. Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001, penyitaan barang bukti terhadap surat atau kiriman pos yang dilakukan oleh jaksa penyidik dalam tindak pidana korupsi,
tidak memerlukan izin dari ketua pengadilan negeri. Namun tetap saja dalam
83
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
praktiknya, adanya izin penyitaan barang bukti dari ketua pengadilan negeri menjadi dasar dalam melakukan penyitaan barang bukti oleh penyidik. Penyitaan
dapat dilakukan tanpa adanya izin ataupun penetapan persetujuan penyitaan dari ketua pengadilan setempat, apabila penyitaan tersebut dilakukan penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi. b. Memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal
Penyidik dalam melakukan penyitaan, harus menunjukkan tanda pengenal jabatan dari penyidik yang melakukan penyitaan kepada orang darimana benda itu
disita. Nama petugas yang melakukan penyitaan ini nantinya juga di cantumkan dalam berita acara penyitaan.
c. Memperlihatkan Benda Yang Disita Penyidik harus memperlihatkan benda yang disita kepada orang dari mana
benda itu disita, atau kalau orang bersangkutan tidak ada, dapat juga dilakukan terhadap keluarganya.hal ini dilakukan untuk menjamin adanya kejelasan terhadap
benda yang disita. d. Penyitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan dan dua
orang saksi
Penyidik dalam melakukan penyitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan, dan dua orang saksi. Nama saksi-saksi dalam pelaksanaan
penyitaan tersebut nantinya dituangkan dalam berita acara penyitaan. Syarat orang yang dapat menjadi saksi tidak diatur dalam KUHAP. Namun jika diikuti
penjelasan dari Pasal 33 ayat 4 KUHAP, yang menegaskan bahwa yang menjadi saksi dalam melakukan pengeledahan harus diambil dari warga lingkungan yang
bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
e. Membuat berita acara penyitaan Pembuatan berita acara penyitaan diatur dalam Pasal 129 ayat 2
KUHAP. Adapun hal-hal yang dituangkan dalam berita acara penyitaan terdiri dari:
a. Kop berita acara penyitaan; b. Nama petugas yang ditugaskan melakukan penyitaan;
c. Nomor dan tanggal surat perintah penyitaan; d. Nama saksi-saksi;
e. Dokumen atau barang-barang disita; f. Nama dan alamat orang dari mana benda itu disita;
g. Tujuan penyitaan; h. Penutup;
i. Tanda tangan petugas yang melakukan penyitaan dan nama-nama saksi. j. Menyampaikan turunan berita acara penyitaan.
Turunan berita acara tersebut dibuat dan disampaikan kepada kepala desa dari mana benda tersebut disita dan dimana tempat tersebut disita. Penyampaian
berita acara tersebut dimaksudkan agar terdapat pengawasan atas kinerja kerja dari pihak Penyidik.
Rangkaian tindakan dari pihak penyidik tidak hanya cukup sampai dipembuatan berita acara saja tetapi selain melakukan penyitaan maka pihak jaksa
penyidik melakukan penyimpanan hasil dari pengembalian Tindak Pidana Korupsi. Setelah hasil dari Tindak Pidana Korupsi terkumpul maka pihak jaksa
penyidik akan menyetorkan hasil Tindak Pidana Korupsi tersebut kepada pihak atau instansi yang telah ditunjuk oleh Negara.
Peranan kejaksaan dalam penyelesaian uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Pasal 38 hingga Pasal 42 undang-undang
No.30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan korupsi, dimana di pasal tersebut tertulis peranan kejaksaan tersebut dimulai dari penyelidikan, penyidikan hingga
Universitas Sumatera Utara
penuntutan. Selain dari tugas penyelidikan, pentidikan dan penuntutan, kejaksaan memiliki peran didalam pengembalian uang pengganti.
Kejaksaan memiliki tugas akhir sebagai pengeksekusi putusan dari pihak pengadilan Negeri dalam pembayaran Uang Pengganti.
84
Menurut hasil penelitian di Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak Papua Barat, prosedur dari pihak kejaksaan dalam kasus Tindak Pidana Korupsi No.
79PID.B2009PN.F atas nama Donny Steven Sony, ST sama dengan prosedur dari pihak kejaksaan sesuai dengan teorinya, dimana dapat dilihat bahwa pihak
Kejaksaan memiliki peranan yang penting dalam penyelesaian pembayaran Uang Pengganti. Pihak Kejaksaan sesuai tugasnya memiliki tugas dalam melakukan
penyidikan dimana selama persidangan berlangsung pihak kejaksaan melakukan pemeriksaan dan penyidikan. Pada Donny Streven Sony, ST pihak kejaksaan juga
melakukan tahapan-tahapan yang sesuai dengan prosedurnya. Dimana pihak kejaksaan melakukan penyidikan dalam pemeriksaan kasus tindak pidanan
korupsi dalam kasus Donny Streven Sony, ST. Pihak penyidik melakukan perhitungan jumlah dari Tindak Pidana Korupsi yang telah merugikan Negara
sesuai dengan bukti yang didapat oleh pihak penyidik. Dalam penghitungan jumlah uang negara yang telah dirugikan pihak penyidik dapat meminta tolong
kepada pihak BPK yang merupakan sebagai saksi keterangan ahli apabila pihak kejaksaan tidak dapat menghitung jumlah Tindak Pidana Korupsi.
Pihak kejaksaan selanjutnya apabila telah memiliki bukti yang cukup mengenai kerugian negara yang telah dirugikan maka pihak kejaksaan akan
melakukan penuntutan kepada terdakwa. Dalam proses di kasus Donny Streven
84
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Sony, ST ini, Terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dalam Proyek Peningkatan Jalan Gewerpe - Jalan Kokas senilai Rp. 955.500.000,00 Sembilan
ratus lima puluh lima juta lima ratus ribu rupiah yang bersumber dari DAU Dana Alokasi Umum DPA
– SKPD Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Fakfak T.A. 2007 sesuai perjanjian. Dalam kasus tersebut setelah pihak kejaksaan
melakukan penyidikan dan memberikan penuntutan maka didapat putusan hakim berupa hukuman pidana yang salah satunya berupa pembayaran uang pengganti.
Disinilah pihak kejaksaan memiliki peran sebagai pengeksekusi pihak terpidana dalam hal pengembalian Uang Pengganti.
85
B. Hambatan Yang dihadapi Oleh Pihak Kejaksaan dan Upaya Penyelesaiannya
Masalah-msalah yang dimaksud disini adalah berupa hambatan-hambatan dalam melakukan penuntutan pertanggung jawaban perdata oleh jaksa selaku
pengacara negara terhadap pelaku tindak pidana korupsi atau ahli warisnya serta hambatan-habatan yang dihadapi jaksa dalam melaksanakan putusan hakim
tentang pembayaran uang pengganti kerugian terhadap negara dalam perkara tindak pidana korupsi. Secara tehnis operasional ada 2 dua macam faktor yang
menjadi penghambat yaitu : 1. Faktor-faktor yuridis
2. Faktor-faktor nonyuridis
1. Faktor-faktor yuridis
Faktor-faktor yuridis yang ditemui anatra lain adalah sebagai berikut :
85
Wawancara dengan Bapak Arfan Halim, SH, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
a. Kesulitan dalam pembuktian Di dalam hukum perdata dikenal asas jika seseorang menyatakan sesuatu
haknya maka ia berkewajiban untuk membuktikan haknya tersebut. Artinya penggugat haruslah berkewajiban untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya
apalagi jika dalil-dalil gugatannya tersebut dibantah oleh tergugat. Jika asas tersebut di atas diterapkan dalam suatu proses gugatan perdata perkara korupsi
dikuatirkan negara atau jaksa yang bertindak sebagai pengacara negara akan menemui kesulitan dalam pembuktiannya. Hal inin antara lain disebabkan oleh
karena perbuatan korupsi tersebut sering diketahui jauh sesudah korupsi berlangsung sehingga sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Gunaryo bahwa
“dalam periode antara selesainya perbuatan dan ditemukannya peristiwa tersebut dapat terjadi tindakan-
tindakan yang dapat menghambat pemeriksaan”. Kesulitan ini bisa sedikit teratasi jika pemeriksaan tentang berapa banyak
uang negara yang dikorupsi oleh tersangka atau terdakwa tersebut digabungkan dengan pemeriksaan perkara pidananya dan selanjutnya jaksa penuntut umum
yang menyidangkan langsung menuntut kerugian yang diderita negara tersebut bersamaan dengan tuntutan pidananya dan hal tersebut hanya dapat dilakukan
terhadap pelaku yang masih hidup dan dapat diajukan ke persidangan tetapi tidak terhadap pelaku yang meninggal dunia sebelum sempat disidangkan atau terhadap
pelaku yang dihentikan penyidikannya atau penuntutannya dengan alasan tidak terpenuhinya unsur-unsur dari pasal-pasal tindak pidana korupsi dan secara nyata
telah ada kerugian negara akibat perbuatannya sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 32, 33 dan 34 UU No.31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
Universitas Sumatera Utara
b. Terpidana menggunakan upaya hukum dan grasi Kendala lain yang sering dihadapi jaksa adalah kesulitan dalam
mengeksekusian putusan hakim khususnya terhadap hukuman pelaksanaan pembayaran uang pengganti kerugian yang diderita negara dari terpidana perkara
korupsi karena terpidana tersebut mempergunakan haknya untuk melakukan upaya hukum seperti banding dan kasasi. Sehingga putusan tersebut belum
berkekuatan hukum yang pasti. Grasi yang diajukan terpidana kepada Presiden juga menjadi salah satu
kendala dari pelaksanaan eksekusi karena dalam praktek setiap permohonan grasi selalu diikuti dengan permohonan penangguhan pelaksanaan eksekusi putusan
hakim. Hukuman berupa pembayaran uang pengganti kerugian tersebut oleh hakim tidak disusiderkan dengan hukuman perampasan kemerdekaan maka
berdasarkan Pasal 4 ayat 1 UU No.3 Tahun 1950 tentang grasi hukuman pembayaran uang pengganti kerugian tersebut dapat dilaksanakan lebih dahulu
meskipun terpidana mengajukan grasi kepada Presiden RI. c. Jaksa penyidik tidak melakukan penyitaan terghadap harta benda pelaku
tindak pidana korupsi Dasar hukum untuk menyita harta benda pelaku tindak pidana korupsi dapat
dilihat dalam Pasal 39 UU No.8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan sebagai berikut :
1 Yang dapat dikenakan penyitaan adalah : a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau
sebahagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
Universitas Sumatera Utara
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan. 2 Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit
dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana sepanjang memenuhi ayat 1.
86
Dari ketentuan Pasal 39 ayat 1 huruf a dan huruf e dapat diketahui bahwa jaksa penyidik pada saat dilakukannya penyidikan terhadap tersangka pelaku
tndak pidana korupsi dapat melakukan penyitaan terhadap harta benda tersangka tersebut, tetapi sebagaimana ditemui dalam penelitian ini dalam beberapa kasus
jaksa penyidik tidak melakukannya tetapi hanya menyita surat-surat yang berhubungan dengan tindak pidana yang disangkakan terhadap tersangka tersebut.
Akibatnya pada saat pelaksanaan putusan hakim khususnya tentang hukuman pembayaran uang pengganti kerugian terhadap negara yang timbul karena
perbuatan korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi tersebut menemui kendala karena tidak adanya lagi harta terpidana yang dapat disita untuk memenuhi isi
putusan hakim. Hal ini dapat dilihat dari perkara No.79Pid.B2009PN.F, atas nama terdakwa Donny Steven Sonny, ST, dimana hakim di dalam putusannya
86
Ahmad Gunaryo, Kendala Penanganan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN Sebuah Pergulatan Teori dan Makna, lebih jelas dapat dilihat dalam buku wajah hukum di Era
Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah menyambut 70 Tahun Prof.sutjipto Rahardyo, SH, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 84
Universitas Sumatera Utara
tidak hanya menghukum terdakwa dengan hukuman perampasan kemerdekaan tetapi juga menjatuhkan hukuman berupa kewajiban untuk membayar uang
pengganti kepada negara sebesar Rp.119.232.072,- seratus sembilan belas juta dua ratus tiga puluh dua tujuh puluh dua rupiah. Khusus terhadap hukuman
berupa kewajiban untuk membayar uang pengganti kerugian kepada negara sampai saat penelitian ini dilakukan tidak bisa terlaksana karena tidak ditemui lagi
harta benda pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Untuk menanggulangi kendala tersebut dimana yang akan datang jaksa penyidik
pada saat penyidikan dimulai segera melakukan inventarisasi terhadap harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi tersebut dan melakukan penyitaan
sehingga pelaksanaan putusan hakim tentang kewajiban pelaku untuk membayar
uang pengganti kerugian terhadap negara tidak menemui kesulitan-kesulitan.
d. Hambatan dari segi Undang-Undang Dikemukaan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa masalah pembangunan dan
penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan, baik secara nasional dan internasional. Masalah ini akan selalu dan
selalu patut dibicarakan, sepanjang kita masih mengakui adanya penegakan hukum sebagai salah satu sarana untuk mengatur dan menyelesaikan masalah-
masalah kehidupan bermasyarakat. Terlebih dalam era reformasi saat ini, masalah “wibawa hukum” dan “pemerintahan yang bersih dan berwibawa” sedang
mendapat tantangan dan sorotan tajam.
87
Dilihat dari sudut lembaga pendidikan hukum yang berperan membentuk kualitas Sumber Daya Manusia
SDM dibidang hukum, maka”peningkatan
87
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penangggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
kualitas penegakan hukum” diharapkan ada “peningkatan wibawa hukum”. Meningkatnya kualitas penegakan hukum tentunya juga diharapkan dapat
menunjang dan meningkatkan “kualitas pemerintahan yang bersih dan berwibawa” serta meningkatkan “kualitas lingkungan hidupkualitas kehidupan
bermasyarakat.
88
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dibuat dan disahkan sengaja sebagai dasar hukum dari Tindak Pidana Korupsi. Dimana isi dari Undang-Undang tersebut dibuat dan disahkan dengan peraturan-
peraturan yang mengikat bagi para pelaku Tindak Pidana Korupsi. Apabila dilihat dari segi undang-undang yang berlaku jika dilihat didalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dapat dilihat
bahwa didalam Tindak Pidana Korupsi telah memiliki dasar hukum yang kuat sehingga tidak memiliki hambatan apabila dilihat dari segi hukumnya.
Sehubungan dengan kasus Tindak pidana Korupsi di Kabupaten Fak-Fak yang penulis teliti tidak ada hambatan apabila dilihat dari segi Undang-Undang.
Seperti yang dikatakan oleh Bapak Arfan Halim, SH selaku KAPIDSUS di Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak mengatakan bahwa untuk kasus Tindak
Pidana Korupsi didaerah Kabupaten Fak-Fak masih belum ada hambatan dari segi Undang-Undang, dikarenakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan
88
Ibid., hal. 3
Universitas Sumatera Utara
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 telah dirasa memiliki dasar hukum yang kuat.
89
2. Faktor-Faktor Nonyuridis