atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 telah dirasa memiliki dasar hukum yang kuat.
89
2. Faktor-Faktor Nonyuridis
Faktor-faktor nonyuridis yang ditemuai antara lain adalah sebagai berikut : a. Harta terpidana tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti kerugian
terhadap negara Tidak cukupnya harta terpidana untuk membayar uang pengganti kerugian
yang diderita negara sebagai akibat perbuatan korupsinya tersebut merupakan kendala yang sering ditemui jaksa pada saat eksekusi pelaksanaan putusan hakim.
Timbulnya kendala ini adalah disebabkan sulitnya melacak harta benda terpidana yang antara lain disebabkan karena rapinya perbuatan yang dilakukan
terpidana. Selain itu juga disebabkan karena lamanya proses terungkapnya perbuatan korupsi tersebut sehingga pelaku mempunyai cukup waktu untuk
menyembunyikan hasil korupsinya seperti memindahtangankan hartanya kepada pihak lain atau merubah dokumen kekayaannya.
Untuk menanggulangi kendala ini pada tahap penyidikan harus segera menginvetarisasi harta kekayaan pelaku dan segera melakukan tindakan
penyitaan. b. Tidak tersedianya anggaran biaya untuk mengajukan gugatan
Terhadap kerugian negara yang timbul akibat perbuatan korupsi yang harus ditagih atau dituntut pada pelakunya dengan cara mengajukan gugatan perdata ke
pengadilan negeri maka kendala yang sering dihadapi oleh penggugat yakni
89
Wawancara dengan Bapak Arfan Halim, SH, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
instansi yang dirugikan adalah hak tersedianya anggaran biaya yang khusus untuk itu.
Dalam proses suatu gugatan perdata maka pengguagat haruslah terlebih dahulu membayar panjar ongkos perkara yang diperuntukkan untuk biaya
panggilan para pihak yang berperkara atau biaya penyampaian gugatan dan surat- surat lainnya kepada pihak-pihak yang berperkara. Selain itu penggugat juga
harus menyiapkan biaya transportasi, konsumsi dan biaya-biaya untuk honor dari penerima kuasanya. Biaya tersebut akan semakin membengkak jika proses
persidangan sering dan berlarut-larut sementara jarak antara domisili pengugat dengan gedung pengadilan jauh.
Untuk menanggulangi kendala tersebut instansi-instansi yang rawan korupsi sebaiknya mengalokasikan dana anggarannya khusus untuk biaya pemberantasan
tindak pidana korupsi dan pengembalian dana hasil korupsi melalui gugatan perdata.
c. Kurangnya sumber daya manusia yang potensial Praktek korupsi sering melibatkan banyak pelaku baik sebagai pleger maupun
sebagai medepleger dan mereka sama-sama menikmati hasil korupsi tersebut. Menurut Gunaryo, ini sering menimbulkan perasaan senasib sehingga diantara
mereka ada usaha untuk saling menutupi satu sama lain.
90
Untuk membongkar praktek korupsi yang demikian rapi diperlukan ilmu dan strategi yang memadai dari petugas kejaksaan. Tanpa ilmu dan strategi yang
memadai niscaya tidak akan dapat membongkar kasus-kasus korupsi sehingga
90
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
akan mustahil pula untuk dapat mengembalikan keuangan negara yang telah dikorupsi para pelaku korupsi tersebut.
Oleh karena itu ilmu dan pengetahuan petugas kejaksaan perlu diperdalam diantaranya melalui pendidikan dan penataran-penataran serta sekaligus membina
watak dan moral yang tinggi. Dengan demikian diharapkan akan lahir jaksa-jaksa dan petugas-petugas kejaksaan yang berkualitas dan potensial dalam
melaksanakan tugas-tugasnya. Hambatan yang didapat dari segi aparat dapat dilihat dari segi pihak-pihak
yang membentuk maupun menerapkan hukum. Pencapaian supremasi hukum harus diukur dari seberapa baik penegakan hukum. Berbicara mengenai
penegakan hukum, maka hal paling penting dan mendasar adalah bagaimana kemampuan aparat penegak hukum khususnya dalam bidan Tindak Pidana
Korupsi, dalam sistem peradilan dapan mengakomodasikan dan mengapresiasi tuntutan keadilan baik yang menjadi hukum formal maupun tuntutan rasa keadilan
olehj masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan suatu kebutuhan dasar.
91
Dikemukakan oleh Soejono Soekanto, sebagai salah satu faktor yang menentukan proses penegakan hukum adalah tidak hanya pihak-pihak yang
membuat hukum. Dalam pembahasan ini dibicarakan mengenai pihak-pihak yang terkait langsung dengan penerapan hukum. Pihak-pihak dalam proses penegakan
hukum dimaksud yaitu kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan kepengacaraan.
92
91
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2005, hal.10
92
Soerjono soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
Jaksa selaku eksekutor untuk mencari cara bagaimana melakukan putusan. Dalam kaitannya dengan perkara ini Jaksa tidak ada hambatan dalam melacak
ataupun mendata harta benda mulik terpidana yang diperoleh dari hasil Tindak Pidana Korupsi. Terpidana dengan secara sukarela melakukan pengembalian dan
pembayaran uang pengganti yang telah ditetapkan, sehingga memudahkan pihak kejaksaan selaku eksekutor untuk melakukan penyitaan dan selanjutnya akan
dibayar ke instansi yang di tunjuk dan melporkan ke pihak pengadilan negeri. Dari keterangan tersebut dapat dilihat bahwa aparat-aparat hukum khususnya
jaksa yang ada di Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak melakukan prosedur sesuai dengan yang telah ditentukan oleh peraturan yang ada.
93
Bila dikaitkan dengan kasus yang penulis teliti tentang Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak, maka hambatan-hambatan yang
diterima oleh pihak kejaksaan yaitu:
94
1. Terdakwa pernah melarikan diri pada saat penyidikan sehingga pihak kejaksaan melakukan pencarian terlebih dahulu.
2. Terdakwa tidak mampu melakukan pembayaran uang pengganti dan tidak ada harta benda dari pihak terdakwa yang dapat disita oleh sehingga menyulitkan
pihak kejaksaan dalam melakukan penyitaan pembayaran uang pengganti. Hambatan tersebut yang dihadapi oleh pihak kejaksaan dalam melakukan
eksekusi pembayaran uang pengganti oleh terdakwa dalam kasus Tindak Pidana Korupsi No. 79PID.B2009PN.F atas nama DONNY STEVEN SONY, ST.
Penyelesaian hambatan yang dilakukan oleh pihak kejaksaan selaku pihak
93
Wawancara dengan Bapak Arfan Halim, SH, Loc.Cit.
94
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pengeksekusi Tindak Pidana Korupsi yaitu terdakwa dikenakan pidana penjara selama 6 enam bulan.
95
Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti merupakan kebijakan kriminal yang tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu
“kebijakan sosial” social policy yang terdiri dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat social walfare dan kebijakan untuk perlindungan
masyarakat social defence. Oleh karena itu pidana tambahan pembayaran uang pengganti harus dapat ditarikdari terpidana korupsi agar tercapainya kesejahteraan
masyarakat. Pidana tambahan pembayaran uang pengganti dari Undang-Undang No.31
tahun 1999 yang telah ditambah dan dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan tujuan
dalam rangka menyelamatkan kekayaan keuangan negara yang telah diambil oleh pelaku korupsi juga untuk menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi.
Pidana tambahan uang pengganti yang diatur dalam Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta dalam penjelasan
umum menyatakan “Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang
pengganti kerugian negara. Namun dalam prakteknya pelaksanaan putusan pengadilan terhadap uang pengganti ternyata banyak mengalami kendala karena
terpidana tidak mau membayar dan lebbih memilih pidana penjara pengganti atau tidak mampu membayar dengan alasan harat bendanya sudah tidak ada lagi.
95
Wawancara dengan Bapak Arfan Halim, SH, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
Untuk dapat memaksimalkan agar uang pengganti nantinya dibayar oleh terpidana, dapat diusahakan melalui tahapan-tahapan penyelesaian perkara dalam
sistem peradilan pidana sebagai berikut : 1. Tahapan Penyidikan Pra Ajudikasi
Pada tahap ini adalah tahap yang paling menentukan keberhasilan dalam menghitung harta terdakwa, istri atau suami dan anak-anaknya. Pada tahap
penyidikan, penyidik mempunyai upaya paksa baik itu penggeledahan dan penyitaan. Pasal 28 UU No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001. “Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga
mempunyai hubungan dengan tindakan pidana korupsi yang dilakukan tersangka.”
Keterangan tentang seluruh harta kekayaan tersangka, istri dan anak- anaknya ini akan sangat membantu di dalam penyelesaian pembayaran uang
pengganti yang dijatuhkan oleh pengadilan nantinya. Karena dari awal penyidikan sudah diketahui seluruuh aset harta benda terpidana, sehingga terpidana tidak lagi
dapat mengelak untuk membayar uang pengganti dengan alasan tidak mempunyai harta benda lagi.
Adanya kewajiban tersangka melaporkan harta bendanya tersebut, penyidik dapat melaksanakan penyitaan harta benda yang ada hubungannya
dengan tindak pidana korupsi. Upaya penyitaan ini merupakan upaya paksa yang diatur dalam pasal 38 dan 39 KUHAP untuk menentukan barang sitaan menjadi
Universitas Sumatera Utara
barang bukti. Barang bukti tersebut di dalam putusan pengadilan menjadi barang rampasan.
Barang rampasan yang berasal dari penyitaan ini haruslah diperhitungkan terhadap uang pengganti yang dijatuhkan oleh pengadilan. Hal ini untuk
menjamin keadilan hukum, karena barang-barang yang disita tersebut berasal dari tindak pidana korupsi yang telah dinikmati atau digunakan oleh terpidana. Dalam
praktek sering timbul masalah dimana barang rampasan yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi, dinyatakan dirampas untuk negara namun tidak
diperhitungkan sama sekali dengan pidana tambahan uang pengganti. Artinya, barang-barang rampsan dianggap terpisah dengan uang pengganti kerugian
negara.. Pasal 29 ayat 1 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001:
“Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan disidang
pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa”.
Pasal 29 ayat 1 tersebut juga akan membantu dalam menginventarisir harta benda tersangka yang disimpan dalam rekening-rekening bank, bahkan di
dalam Pasal 29 ayat 4 penyidik, penuntut umum atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa
yang diduga hasil korupsi sehingga uang tersebut tidak dapat dilarikan melalui transfer antar bank. Dengan demikian uang milik tersangka dapat dilakukan
penyitaan nantinya dapat digunakan untuk membayar uang pengganti yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
2. Tahap Penuntutan Ajudikasi Pada tahap penuntutan yang harus diperhatikan adalah pembuktian pada
unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa dan pembuktian pada harta benda terdakwa. UU No.31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
menggunakan dua sistem pembuktian. Yakni sistem pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang dan kedua menerapkan sistem pembuktian negatif
menurut undang-undang. Pembuktian terbalik ini berimbang artinya terdakwa mempunya hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya
atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunya hubungan dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukannya. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan perolehan harta bendanya
yang tidak wajar ataupun terdakwa tidak menggunakan hak untuk membuktikan terbalik, hal ini dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan penuntut umum tetap wajib membuktikan tentang kerugian negara akibat tindak pidana
korupsi yang dilakukan terdakwa yang dijadikan dasar untuk mengajukan tuntutan berupa pidana tambahan uang pengganti Pasal 18 Ayat 1 huruf b UU No. 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Barang sitaan harta benda terdakwa yang berasal dari tindak pidana
korupsi dalam tahap pra ajudikasi jika tidak dapat dibuktikan bukan dari tindak pidana korupsi maka jaksa penuntut umum akan menuntut dirampas untuk negara.
Universitas Sumatera Utara
Dalam tahap penuntutan, jaksa harus dapat menuntut secara maksimal besarnya uang pengganti yang terbukti dipemeriksaan persidangan kepada
terdakwa, jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi. Jumlah uang pengganti yang dituntut tentunya didasarkan dari fakta-fakta
hasil pemeriksaan persidangan baik berdasarkan keterangan saksi-saksi, ahli dan terdakwa.
Adanya penyitaan barang bukti yang telah dituntut untuk dirampas negara, akan memudahkan dalam melaksanakan putusan pengadilan uang pengganti
melalui penyitaan karena barang bukti tersebut di bawah kekuasaan lembaga penegak hukum. Dalam praktek, apabila berupa uang maka akan disetor ke kas
negara melalui bank, namun apabila berupa barang bergerak atau tidak bergerak harus melalui prosedur lelang. Hasil lelang terhadap barang bukti tersebut
disetorkan ke kas negara. 3. Tahap Pelaksanaan Putusan Pengadilan Pasca Ajudikasi
Tahap ini merupakan akhir dari tahap penuntutan pidana. Dalam tahap inilah ditentukan tentang kepastian hukum. Artinya keberhasilan proses peradilan
dari penyidikan sampai dengan putusan pengadilan menjadi tidak berarti jika putusan tersebut tidak dilaksanakan. Keadilan hukum dan kepastian hukum tidak
dapat ditegakkan karena ternyata putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan. Eksekusi denda dan uang pengganti sangat penting dalam upaya
pemulihan kerugian negara. Kemampuan dalam melakukan pelacakan aset menjadi kunci dalam pemulihan kerugian negara dan sangat memerlukan forensic
accounting. Persoalan utama penyelesaian uang pengganti adalah rendahnya
Universitas Sumatera Utara
tingkat recovery yang dapat disetorkan kembali kepada negara. Menurut data BPKP, tingkat penyelesaian uang pengganti yang diputuskan oleh pengadilan.
C. Penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti Melalui Instrumen Hukum Perdata.
Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat UU Korupsi,
baik yang lama yaitu UU No.3 Tahun 1971 maupun yang baru UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan
negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi. Menurut UU Korupsi tersebut, pengembalian kerugian keuangan negara
dapat dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen hukum pidana dan instrumen hukum perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan
menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut agar dirampas oleh Hakim. Instrumen perdata dilakukan oleh Jaksa Pengacara
Negara JPN atau instansi yang dirugikan terhadap pelaku korupsi tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana meninggal dunia. Instrumen
pidana lebih lazim dilakukan karena proses hukumnya lebih sederhana dan mudah.
1. Proses Perdata