Pengertian Kebijakan Kesehatan Kerangka Konsep dalam Kebijakan Kesehatan

13 proses melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil; 5 Evaluasi kebijakan yaitu proses untuk menilai hasil atau kinerja kebijakan yang telah dibuat. James Anderson 1979 yang dikutip Subarsono 2009, juga menetapkan bahwa proses kebijakan publik dibagi atas 5 tahapan yaitu: 1 Formulasi masalah problem formulation , 2 Formulasi kebijakan formulation, 3 Penentuan kebijakan adoption, 4 Implementasi implementation dan 5 Evaluasi evaluation. Dari berbagai pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu kebijakan dihasilkan melalui suatu proses yang kompleks dan saling berkaitan serta saling memengaruhi. 2.2. Kebijakan Kesehatan

2.2.1. Pengertian Kebijakan Kesehatan

Ilmu kebijakan adalah ilmu yang mengembangkan kajian tentang hubungan antara pemerintah dan swasta, distribusi, kewenangan dan tanggung jawab antar berbagai level pemerintah, hubungan antara penyusunan kebijakan dan pelaksanaannya Buse, 2009. Ada banyak pendapat mengenai defenisi kebijakan kesehatan, misalnya di bidang ekonomi mengartikan bahwa kebijakan kesehatan adalah segala sesuatu tentang pengalokasian sumberdaya yang langka bagi kesehatan. Sementara kebijakan kesehatan menurut seorang perencana adalah cara untuk memengaruhi faktor-faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas Universitas Sumatera Utara 14 kesehatan masyarakat, dan dari sisi seorang dokter maka kebijakan kesehatan diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan Buse, 2009. Menurut Walt 1994 yang dikutip oleh Buse 2009, kebijakan kesehatan serupa dengan politik dan segala penawaran terbuka kepada orang yang berpengaruh pada penyusunan kebijakan dan bagaimana mereka memanfaatkan pengaruh tersebut. Kebijakan kesehatan merupakan hal yang sangat penting karena sektor kesehatan sangat berperan bagi perekonomian suatu negara, kesehatan juga mempunyai posisi yang lebih istimewa dibanding masalah sosial yang lain. Kebijakan kesehatan juga sangat dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada kaitannya dengan layanan kesehatan, misalnya kemiskinan, pencemaran udara, kurangnya akses air bersih dan sanitasi yang buruk Buse, 2009.

2.2.2. Kerangka Konsep dalam Kebijakan Kesehatan

Untuk menganalisis suatu kebijakan kesehatan dapat dilakukan melalui segitiga analisis kebijakan. Gambar 2.1. Segitiga Kebijakan Sumber: Buse, K 2009 Proses IsiKonten Aktor Individugrup organisasi Konteks Universitas Sumatera Utara 15 Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang sudah sangat disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks dan bukan saling terpisah. Misalnya pelaku dapat dipengaruhi dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja. Konteks dipengaruhi oleh banyak faktor seperti ketidakstabilan atau ideologi, sejarah dan budaya serta proses penyusunan kebijakan. Bagaimana suatu isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan dan bagaimana isu tersebut dapat berharga sangat dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan dan struktur kekuatan, norma dan harapan mereka. Dari isi kebijakan menunjukkan sebagian atau seluruh bagian ini. Jadi, segitiga tidak hanya mampu membantu dalam berpikir sistematis tentang pelaku yang berbeda yang mungkin memengaruhi kebijakan tetapi juga berfungsi sebagai peta yang menunjukkan jalan Buse, 2009. Melalui analisis kebijakan akan diketahui mengenai apa dan bagaimana hasil outcome kebijakan dan sekaligus sebagai piranti untuk membuat model kebijakan yang akan datang dan mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan lebih efektif Buse, 2009. Selanjutnya, Buse 2009 juga mengemukakan bahwa kebijakan kesehatan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor kontekstual, antara lain: a. Faktor situasional, merupakan faktor yang tidak permanen atau khusus yang dapat berdampak pada kebijakan, misalnya sedang terjadi peperangan atau bencana. Universitas Sumatera Utara 16 b. Faktor struktural, merupakan bagian dari masyarakat yang relatif tidak berubah. Faktor ini meliputi sistem politik, mencakup pula keterbukaan sistem tersebut dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan kebijakan, kondisi demografi atau kemajuan teknologi. c. Faktor budaya juga berpengaruh seperti hierarki, gender, stigma terhadap penyakit tertentu, dan lain-lain. d. Faktor internasional atau eksogen, faktor ini menyebabkan meningkatnya ketergantungan antar negara dan mempengaruhi kemandirian dan kerjasama internasional dalam bidang kesehatan. 2.3. Implementasi Kebijakan Publik Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Implementasi dianggap sebagai wujud utama dan sangat menentukan dalam proses suatu kebijakan. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan Winarno,2012. Menurut Akib 2010 yang mengutip pernyataan Edwards III 1984 menyatakan bahwa tanpa implementasi yang efektif keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan merupakan aktifitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcome bagi masyarakat Akib,2010. Universitas Sumatera Utara 17 Menurut Winarno 2012 yang mengutip pendapat Ripley dan Franklin 1982 bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan benefit, atau suatu jenis keluaran yang nyata tangible output. Implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Menurut Akib 2010 yang mengutip pendapat Grindle 1980 bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Proses implementasi dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun, dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran Akib,2010. Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn 1975 yang dikutip oleh Winarno 2012 membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah ataupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang telah digariskan. Dari defenisi-defenisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan diawali dari adanya tujuan atau sasaran, kemudian proses pelaksanaan untuk mencapai tujuan dan akhirnya diperoleh hasil atau dampak dari implementasi kebijakan tersebut. Hal ini senada dengan pandangan Van Meter dan Van Horn 1980 yang dikutip oleh Akib 2010, bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik Universitas Sumatera Utara 18 direalisasikan melalui aktifitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Jika divisualisasikan akan terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki tujuan yang jelas yang diformulasikan ke dalam program pelaksanaan yang dilaksanakan berpedoman pada rencana. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran output program berdasarkan tujuan program. Luaran program dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu , kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan adalah adanya perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran Akib, 2010 Keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Ada banyak faktor yang dinyatakan oleh para ahli, diantaranya menurut Edwards III 1984 yang dikutip oleh Tangkilisan 2003, bahwa ada 4 faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi kebijakan yakni faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi dan disposisi. Pendapat lain diutarakan oleh Grindle 1980 yang dikutip Subarsono 2009, menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 2 variabel besar yakni isi kebijakan content of policy dan lingkungan implementasi context of implementation. Variabel isi kebijakan mencakup : 1 Kepentingan kelompok sasaran atau target groups, 2 Jenis manfaat yang diterima oleh target groups masyarakat, 3 Perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. 4 Universitas Sumatera Utara 19 Letak pengambilan keputusan, 5 Pelaksanaan program, dan 6 Sumber daya yang dilibatkan. Sedangkan variabel lingkungan context mencakup : 1 Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, 2 Karakteristik lembaga dan penguasa, 3 Kepatuhan dan daya tanggap. Mazmanian dan Sabatier 1983 juga mengemukakan pendapatnya yang dikutip oleh Subarsono 2005, bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 3 variabel yaitu : 1 Karakteristik dari masalah tractability of the problems, 2 Karakteristik kebijakanundang-undang ability of statue to structure implementation, 3 Variabel lingkungan nonstatutory variables affecting implementation. Karakteristik masalah mencakup 1 Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan, 2 Keragaman perilaku kelompok sasaran, 3 Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, 4 Cakupan perubahan perilaku. Karakteristik kebijakan mencakup 1 Kejelasan isi kebijakan, 2 Dukungan teoritis, 3 Besarnya alokasi sumber daya, 4 Keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana, 5 Kejelasan dan konsistensi aturan, 6 Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan, dan 7 Akses formal. Sementara variabel lingkungan meliputi : 1 Kondisi sosial ekonomi masyarakat, 2 Dukungan publik terhadap kebijakan, 3 Sikap dari kelompok pemilih, 4 Tingkat komitmen dan keterampilan implementor. Selain faktor-faktor di atas , Korten 1980 menambahkan pendapat yang dikutip oleh Akib 2010, bahwa suatu program akan berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari 3 unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian Universitas Sumatera Utara 20 antara program dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran pemanfaat. Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang dipersyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran program. Berdasarkan pola pikir Korten dapat dipahami bahwa jika tidak terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi kebijakan maka kinerja program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika output program tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran maka jelas outputnya tidak dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh program maka organisasinya tidak dapat menyampaikan output program dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh karena itu, kesesuaian antara 3 unsur implementasi kebijakan mutlak diperlukan agar program berjalan sesuai rencana yang telah dibuat Akib, 2010. Hampir sama dengan Korten, Grindle 1980 dan Quade 1984 yang dikutip oleh Akib 2010 juga menyatakan bahwa dalam implementasi kebijakan memerlukan 3 variabel yang bekerja sinergis demi keberhasilan implementasi Universitas Sumatera Utara 21 kebijakan tersebut. Konfigurasi ketiga variabel itu disebut hubungan segitiga variabel yaitu variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan kebijakan. Melalui pemilihan kebijakan yang tepat, maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan kebijakan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih perlu diwadahi oleh organisasi pelaksana yang memiliki kewenangan dan sumber daya yang mendukung pelaksanaan program. Penciptaan situasi dan lingkungan kebijakan yang mendukung sangat dibutuhkan dalam pencapaian keberhasilan. Karena diasumsikan bahwa jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan maka diharapkan akan menghasilkan dukungan positif yang sangat berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif akan dapat mengancam kesuksesan implementasi kebijakan Akib, 2010. 2.4. Implementasi Kebijakan Model George Edwards III Teori yang dikemukakan oleh Edwards ini disebut juga dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. Menurut Edwards, ada 4 empat faktor yang memengaruhi implementasi suatu kebijakan yang antara satu faktor dengan faktor lain saling memengaruhi, yaitu: a. Faktor Komunikasi Suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan Akib, Universitas Sumatera Utara 22 2010. Semua hal tersebut dapat diperoleh melalui komunikasi yang efektif. Ada beberapa hal yang memengaruhi komunikasi, yaitu : 1. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi hambatan dalam mentransmisikan perintah-perintah implementasi. Hambatan-hambatan tersebut dapat terjadi antara lain karena adanya pertentangan pendapat antara pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan, penyampaian informasi yang melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi dan adanya persepsi dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan suatu kebijakan Winarno, 2012 2. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh implementor haruslah jelas, akurat, dan tidak membingungkan, sehingga dapat dihindari terjadinya interpretasi yang salah. Menurut Edwards ada 6 faktor yang mendorong ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu: kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan dan sifat pembentukan kebijakan pengadilan Winarno,2012. 3. Konsistensi; perintah-perintah yang diberikan harus konsisten dan jelas karena perintah yang tidak konsisten akan mendorong pelaksana Universitas Sumatera Utara 23 mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin cermat keputusan dan perintah pelaksanaan diteruskan kepada pelaksana, maka semakin tinggi probabilitas keputusan dan perintah kebijakan tersebut untuk dilaksanakan dengan baik Winarno,2012. b. Faktor Sumber daya Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan dengan jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif Subarsono,2009. Indikator untuk menilai kecukupan sumberdaya adalah: 1. Staf; sumber daya yang paling esensial dalam mengimplementasikan kebijakan adalah staf. Sumberdaya yang efektif tidak hanya dinilai dari sisi jumlah staf namun juga kompetensi atau kecakapan sumber daya manusianya. 2. Informasi; dalam mengimplementasikan suatu kebijakan, informasi ada dalam 2 bentuk. Pertama, informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Kedua, data dalam bentuk peraturan pemerintah. Para implementor mesti mengetahui apakah orang lain yang terlibat didalam mengimplementasikan kebijakan melengkapi undang-undang yang diperlukan sebagai dasar legitimasi. Universitas Sumatera Utara 24 3. Wewenang; kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Kewenangan harus bersifat formal untuk menghindari gagalnya proses implementasi karena dipandang oleh publik implementor tersebut tidak terlegitimasi. c. Faktor Disposisi Disposisi diartikan sebagai sikap atau perspektif implementor dalam melaksanakan kebijakan. Jika para implementor bersikap baik atau mendukung suatu kebijakan maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Namun sebaliknya, bila tingkah laku atau perspektif implementor berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan sulit. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan disposisi ini adalah : 1. Pengangkatan birokrat; dalam memilih atau mengangkat pejabat pelaksana kebijakan sebaiknya berdasarkan kemampuan atau kapabilitas bukan berdasarkan atas kepentingan-kepentingan lain. Karena personil yang tidak mendukung akan menghambat dalam pelaksanaan kebijakan. 2. Insentif; mengubah personil dalam birokrasi pemerintah merupakan pekerjaan yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan lancar. Salah satu teknik yang dikemukakan Edwards adalah dengan memanipulasi insentif. Dengan memberikan insentif diharapkan Universitas Sumatera Utara 25 akan menjadi faktor pendorong yang membuat implementor melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi self-interest, organisasi atau kebijakan substantif. d. Faktor Struktur Birokrasi Pada dasarnya, para implementor mungkin mengetahui apa yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan serta mempunyai cukup sumber daya dan keinginan namun terkadang mereka masih terhambat dengan struktur birokrasi dimana mereka menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards III ada 2 karakteristik yang dapat meningkatkan kinerja struktur birokrasi, yaitu membuat Standard Operating Procedures SOP dan fragmentasi Winarno, 2012 dan Tangkilisan, 2003 2.5. Evaluasi Program

2.5.1. Pengertian Evaluasi