134
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Implementasi Kebijakan BOK
Implementasi merupakan salah satu tahapan kebijakan yang sangat penting karena suatu kebijakan tidak akan berarti apa-apa jika tidak dilaksanakan dengan
baik dan benar, jadi implementasi merupakan suatu tahapan pelaksanaan kebijakan secara maksimal agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Akib 2010 bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan
yang dilakukan oleh organisasi pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Tujuan akan
dapat tercapai dengan melaksanakan kebijakan tersebut dengan baik dan benar. Berkaitan dengan hal tersebut peneliti akan membahas hasil penelitian
implementasi kebijakan BOK di Kota Sibolga berdasarkan perencanaan, pencairan dana, pemanfaatan dana serta pencatatan dan pelaporannya.
A. Perencanaan di Puskesmas
Perencanaan merupakan hal yang sangat vital dalam suatu manajemen, termasuk dalam manajemen kesehatan dan merupakan landasan dasar dari fungsi
manajemen secara keseluruhan. Jadi, dengan kata lain perencanaan merupakan pedoman atau tuntunan terhadap pencapaian tujuan secara efisien dan efektif.
Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004, perencanaan adalah merupakan
Universitas Sumatera Utara
suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan dalam suasana keterbatasan sumber daya. Perencanaan pada hakekatnya
adalah merupakan bentuk rancangan pemecahan masalah. Proses perencanaan diawali dari identifikasi masalah, yang dalam hal ini adalah masalah kesehatan,
penentuan prioritas masalah kesehatan, perencanaan alternatif pemecahan masalah, penentuan intervensi yang dilakukan, pelaksanaan kegiatan dan
evaluasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, maka dapat dinilai
bahwa puskesmas telah membuat perencanaan yang diawali dengan identifikasi masalah berdasarkan analisa pencapaian cakupan program yang diusulkan oleh
penanggung jawab program dan disesuaikan dengan petunjuk teknis BOK. Namun penentuan masalah tersebut tidak dilanjutkan dengan proses penentuan
prioritas masalah dan alternatif intervensinya. Hal ini terungkap melalui pernyataan Kepala Puskesmas yang menyatakan tidak pernah melaksanakan
proses penentuan prioritas masalah karena belum pernah mengetahui cara pembuatannya. Pada juknis BOK tahun 2012 dijelaskan bahwa perencanaan
diawali dengan identifikasi permasalahan kesehatan di puskesmas kemudian dilanjutkan dengan penetapan prioritas permasalahan kesehatan di tiap wilayah
puskesmas karena permasalahan untuk masing-masing puskesmas tidaklah sama. Pemilihan penentuan prioritas masalah adalah hal yang sangat penting dalam
membuat perencanaan karena dalam suasana keterbatasan sumber daya. Kesalahan dalam penentuan prioritas masalah dapat menyebabkan tidak
Universitas Sumatera Utara
efektifnya dana yang dikeluarkan. Demikian juga dalam pemilihan intervensi masalah yang diambil akan sangat menentukan dalam keberhasilan pemecahan
masalah kesehatan tersebut. Lokakarya mini sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memantau kegiatan
puskesmas sekaligus penyusunan perencanaan puskesmas sudah diselenggarakan setiap bulan oleh seluruh puskesmas, namun pada bulan Januari dan Februari
2013 ini masih ada puskesmas yang belum melaksanakan akibat keterlambatan dana. Kegiatan pelaksanaan lokakarya mini ini sudah semakin baik sesuai dengan
pengakuan staf puskesmas yang mengaku bahwa lokakarya mini sudah dilaksanakan setiap bulan dan bukan lagi menjadi ajang pertengkaran namun
sudah lebih terarah dengan melaksanakan evaluasi pencapaian program. Hal ini tak lepas dari adanya dukungan dana sehingga pelaksanaan lokakarya mini dapat
diselenggarakan secara rutin dan mulai adanya pembinaan dari dinas kesehatan. Output dari pelaksanaan lokakarya mini adalah Plan Of Action POA
yang merupakan susunan rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh puskesmas. Seluruh puskesmas sudah membuat POA baik itu POA bulanan maupun POA
tahunan atau disebut juga Rencana Pelaksanaan Kegiatan RPK. Namun demikian penyusunan POA tidak dilakukan pada saat lokakarya mini melainkan
disusun setelah itu, baik oleh Kepala Puskesmas maupun Pengelola BOK. Demikian juga dengan RPK yang seharusnya disusun berdasarkan hasil lokakarya
mini pada bulan pertama tahun berjalan, namun menurut beberapa informan dan
Universitas Sumatera Utara
hasil observasi yang dilakukan peneliti pada saat pelaksanaan lokakarya mini puskesmas, hal ini tidak berjalan.
Pihak dinas kesehatan juga menyadari akan masih kurang tepatnya perencanaan yang dibuat oleh puskesmas, namun mereka juga mengungkapkan
bahwa kondisi perencanaan tersebut sudah jauh lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya ketika BOK belum ada. Dinas kesehatan memang telah melakukan
upaya pembinaan pada saat lokakarya mini puskesmas, namun mengingat pentingnya sebuah perencanaan sebaiknya dinas kesehatan dapat lebih memberi
perhatian dengan melaksanakan pelatihan manajemen puskesmas terutama mengenai pembuatan perencanaan. Selain itu pihak dinas kesehatan juga
sebaiknya melaksanakan pendampingan dalam pembuatan perencanaan puskesmas.
B. Pencairan Dana
Mekanisme pencairan dana BOK diawali dari pengajuan SPU oleh puskesmas beserta POA bulanan ke KPA Dinas Kesehatan KabupatenKota
untuk kemudian dilakukan verifikasi POA oleh tim verifikator dinas kesehatan. Setelah POA disetujui verifikator, bendahara pengeluaran akan memproses
pencairan dana tersebut untuk kemudian diterima puskesmas. Mekanisme ini mengalami perubahan di pertengahan tahun 2012, dari yang semula puskesmas
menerima langsung dari Bendahara Pengeluaran BOK di dinas kesehatan, kemudian berubah menjadi melalui rekening puskesmas. Pencairan dana ini
menurut para informan memakan waktu antara 1 hingga 2 minggu.
Universitas Sumatera Utara
Pencairan dana yang tepat waktu sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan puskesmas karena berhubungan dengan urgensi pemecahan masalah
kesehatan yang timbul. Menurut para informan, dana yang turun tidak pernah sesuai dengan rencana waktu pelaksanaan kegiatan misalnya pada tahun 2012
dana baru turun pada bulan Mei 2012 dan ini dialami juga pada tahun-tahun sebelumnya. Dana untuk bulan-bulan berikutnya juga terlambat tidak sesuai
dengan bulan yang berjalan, misalnya dana untuk kegiatan bulan Juni 2012 baru diterima pada bulan Juli 2012. Keterlambatan ini menimbulkan masalah seperti
yang diungkapkan oleh para informan yang menyatakan bahwa keterlambatan dana menyebabkan lokakarya mini dan beberapa kegiatan penting yang
selayaknya dilaksanakan di awal tahun menjadi tidak bisa dilaksanakan, demikian juga dengan pemecahan masalah yang bersifat urgen misalnya masalah gizi
buruk, gizi kurang dan bumil KEK yang menjadi terkendala sehingga selama ini puskesmas menyiasati masalah ini dengan menggunakan dana sendiri yang
merupakan suatu hal yang sebenarnya tidak bisa dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan penelitian tentang BOK di Kabupaten Ende NTT yang dilakukan oleh
Mariane Evelyn Pani, dkk 2012 yang menemukan keterlambatan dana sehingga pihak puskesmas menggunakan dana pribadi dan pinjamanhutang untuk
mendahulukan dananya. Berdasarkan wawancara terungkap bahwa penyebab keterlambatan dana
itu sendiri adalah karena terlambat turun dana dari pusat, keterlambatan puskesmas memasukkan POA dan dokumen pertanggungjawaban serta adanya
Universitas Sumatera Utara
perbaikan POA. Menurut KPA Dinas Kesehatan Kota, keterlambatan dana dari pusat terjadi oleh karena masalah administrasi dan birokrasi anggaran. Sementara
keterlambatan penyerahan POA puskesmas disebabkan oleh keterlambatan penyusunan POA dan banyaknya dokumen pertanggungjawaban yang harus
disiapkan. Apabila POA yang diserahkan belum dianggap tepat oleh verifikator maka akan menambah proses lamanya pencairan dana. Perbaikan POA yang
diinstruksikan oleh verifikator menunjukkan masih kurangnya kemampuan puskesmas dalam membuat perencanaan yang baik. Kesalahan yang sering
dijumpai oleh verifikator adalah mengenai perhitungan jumlah uang, jumlah kebutuhan dana yang terlalu besar, dan pemilihan kegiatan yang ternyata juga
dibiayai dari dana APBD. Kegiatan yang direncanakan dari dana APBD memang tidak direncanakan oleh puskesmas sehingga puskesmas tidak mengetahui rencana
kegiatan yang akan dilaksanakan, hal ini menyebabkan terjadinya kemungkinan tumpang tindih pembiayaan kegiatan. Hal ini seharusnya dapat dihindari apabila
dinas kesehatan pada awal tahun anggaran dapat mengkoordinasikan kepada puskesmas perihal penyusunan perencanaan kegiatan yang dibiayai dari dana lain
selain BOK. Keterlambatan penyerahan laporan pertanggungjawaban keuangan oleh
puskesmas ke dinas kesehatan disebabkan antara lain oleh banyaknya pertanggungjawaban yang harus disiapkan, berkas SPT yang belum selesai
ditandatangani lurah atau camat, kegiatan yang belum selesai dilaksanakan, waktu penyelesaian yang terlalu singkat dan pembagian tugas yang tidak maksimal.
Universitas Sumatera Utara
Waktu yang diberikan dinas kesehatan selama 2 atau 3 minggu untuk menyelesaikan pertanggungjawaban 1 bulan dianggap terlalu singkat oleh
puskesmas. Selain mengenai keterlambatan dana ternyata para informan juga
mengeluhkan tentang masalah turunnya dana yang sekaligus beberapa bulan, hal ini merepotkan pengelola yang harus menyelesaikan pertanggungjawaban
sekaligus. Kemudian memasuki triwulan terakhir tahun 2012 dana turun sekaligus untuk 3 bulan kedepan yakni Oktober, November dan Desember 2012 sehingga
POA yang masuk juga harus dibuat untuk 3 bulan ke depan, hal ini juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Ketika dikonfirmasikan tentang hal ini pihak Dinas
mengatakan bahwa itu dilakukan untuk efisiensi sehingga puskesmas tidak perlu repot berulang-ulang meminta dana. Kebijakan seperti ini selayaknya harus
dibicarakan terlebih dahulu agar tidak memberatkan salah satu pihak. Dinas kesehatan juga harus mempertimbangkan pembuatan POA yang sekaligus 3 bulan
ke depan sehingga membuka kemungkinan pembuatan POA yang hanya sekedar menyesuaikan dengan juknis tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.
C. Pemanfaatan Dana
Pemanfaatan dana BOK merupakan hal yang sangat penting karena sangat berhubungan dengan pencapaian tujuan. Tujuan untuk meningkatkan pencapaian
indikator SPM dan MDGs sangat tergantung pada aspek pemanfaatan ini. Pemilihan kegiatan tentu diharapkan dapat mencapai tujuan yang diharapkan,
namun berdasarkan hasil wawancara terungkap bahwa sebagian besar informan
Universitas Sumatera Utara
belum mengetahui indikator cakupan SPM dan MDGs bidang kesehatan. Sejauh ini pemanfaatan dana BOK di seluruh puskesmas di Kota Sibolga telah sesuai
dengan Juknis tahun 2012 namun masalah ketepatan pemanfaatan dan prioritas pemilihan intervensi kesehatan masih perlu dipertanyakan.
Pemanfaatan dana BOK tahun 2012 dialokasikan untuk upaya kesehatan di puskesmas, kegiatan penunjang upaya kesehatan, manajemen puskesmas serta
barang upaya kesehatan. Upaya kesehatan di puskesmas meliputi upaya wajib yakni KIA dan KB, imunisasi, perbaikan gizi masyarakat, promosi kesehatan,
kesehatan lingkungan dan pengendalian penyakit,selain upaya wajib tersebut dana BOK juga boleh digunakan untuk upaya pengembangan sesuai masalah setempat.
Berdasarkan rekapitulasi POA tahun 2012, seluruh puskesmas mengalokasikan dananya terbesar untuk upaya kesehatan di puskesmas dan
Puskesmas Sambas adalah puskesmas yang paling besar mengalokasikan pada upaya ini yakni mencapai 63,73 sedangkan Puskesmas Aek Habil yang paling
rendah yakni 48,1. Masing-masing puskesmas berbeda prioritas pemanfaatannya pada upaya kesehatan di puskesmas. Upaya perbaikan gizi
masyarakat menjadi pilihan 3 puskesmas sebagai prioritas terbesar alokasi dana pada upaya kesehatan. Hanya Puskesmas Pintu Angin yang menempatkan upaya
promosi kesehatan sebagai upaya prioritas. Seluruh Kepala Puskesmas mengungkapkan pada saat wawancara bahwa
upaya prioritas pilihan mereka adalah KIA dan gizi dengan pertimbangan menyesuaikan dengan sasaran BOK yakni pada target MDGs. Pada juknis
Universitas Sumatera Utara
sebenarnya disebutkan bahwa kegiatan tidak hanya diprioritaskan pada sasaran MDGs namun juga pada target SPM bidang kesehatan. Pemilihan upaya juga
disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masing-masing puskesmas. Meskipun menurut pengakuan para kepala puskesmas yang menyatakan bahwa
mereka mengutamakan pada upaya KIA dan gizi namun ternyata berdasarkan rekapitulasi POA puskesmas, tak ada satu pun puskesmas yang benar-benar
mengalokasikan dana nya terbesar pada upaya KIA bahkan hanya Puskesmas Sambas yang menempatkan upaya KIA pada urutan kedua 16,28 dan
Puskesmas Pintu Angin yang meletakkan KIA pada urutan ketiga 7,98 setelah Upaya Perbaikan Gizi , sementara Puskesmas Aek Habil justru menempatkan
upaya KIA pada urutan terakhir penyerapan dana pada upaya puskesmas yakni hanya sebesar 3,28 dari dana BOK yang diterima, sedangkan Puskesmas
Pelabuhan Sambas menempatkan KIA pada posisi ke 5 yakni sebesar 6,23 dari dana BOK yang diterima. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian Kepala
Puskesmas tidak mengetahui secara pasti pemanfaatan dana BOK yang telah dituangkan di dalam POA.
Kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing puskesmas hampir sama, misalnya dalam upaya perbaikan gizi yang dilakukan adalah pemberian PMT
pemulihan pada balita gizi kurang dan gizi buruk, pemberian PMT pada bumil KEK, home visit pada balita gizi buruk, pemberian PMT penyuluhan serta
pembayaran transport petugas gizi ke posyandu. Namun Puskesmas Pelabuhan yang sedikit berbeda dengan memasukkan pembagian vit A dan tablet Fe ke
Universitas Sumatera Utara
sekolah, penyuluhan tentang garam berjodium serta penyisiran pembagian vit A. Bila dihubungkan dengan indikator cakupan SPM bidang gizi, hanya Puskesmas
Aek Habil yang melaksanakan pemberian PMT pada balita dari keluarga miskin sebagai salah satu indikator yang selalu rendah sejak tahun 2010. Namun hal itu
pun tak jua mampu mendongkrak naik angka cakupan pemberian PMT pada balita usia 6-24 bulan dari keluarga miskin.
Puskesmas Aek Habil paling besar mengalokasikan dananya untuk pemberian makanan tambahanpemulihan untuk balita gizi kurang dan gizi buruk
yakni sebesar Rp 11.250.000,00 dengan sasaran balita gizi kurang sebanyak 7 orang dan balita gizi buruk 18 orang. Jumlah balita gizi buruk dapat tertangani
seluruhnya namun untuk balita gizi kurang hanya 1,79 yakni 7 orang dari 392 orang balita gizi kurang. Mereka memberikan susu, telur, kacang hijau dan roti
selama 90 hari. Selanjutnya, Puskesmas Sambas menjadi urutan kedua mengalokasikan untuk pemberian makanan tambahan hanya bagi balita gizi
kurang karena balita gizi buruk tidak ada. Dana yang digunakan adalah sebesar Rp 7.940.000,00 dengan sasaran 21 orang selama 90 hari dari 43 orang balita gizi
kurang 48,84. Pada urutan ketiga Puskesmas Pelabuhan yang juga tidak memiliki kasus balita gizi buruk, mengalokasikan Rp 3.450.000,00 untuk
pemberian makanan tambahan bagi 25 orang balita gizi kurang dari sasaran seluruhnya sebesar 39 orang 64,1. Sementara itu Puskesmas Pintu Angin tidak
ada mengalokasikan dananya untuk pemberian makanan tambahan bagi balita gizi kurang, mereka lebih memilih memberikan makanan tambahan untuk bumil KEK
Universitas Sumatera Utara
sebanyak 15 orang. Jumlah balita gizi buruk memang tidak ada di wilayah ini tetapi balita gizi kurang dijumpai sebanyak 47 orang.
Bila dilihat kecenderungan jumlah balita gizi buruk dan gizi kurang untuk 3 puskesmas yakni Puskesmas Sambas, Puskesmas Pintu Angin dan Puskesmas
Pelabuhan Sambas menunjukkan penurunan, hanya Puskesmas Aek Habil yang mengalami peningkatan. Jumlah kasus balita gizi buruk di wilayah Puskesmas
Sambas pada tahun 2009 tidak ada, kemudian tahun 2010 ada 1 orang, tahun 2011 dijumpai 1 orang dan tahun 2012 tidak ada. Untuk Puskesmas Pintu Angin, pada
tahun 2009 dijumpai 2 orang balita gizi buruk, tahun 2010 ada 1 orang, kemudian pada tahun 2011 dan 2012 tidak ada. Selanjutnya di wilayah Puskesmas
Pelabuhan pada tahun 2009 ada 22 orang balita gizi buruk, tahun 2010 hanya 1 orang, pada tahun 2011 meningkat menjadi 4 orang dan pada tahun 2012 tidak ada
dijumpai. Puskesmas Aek Habil pada tahun 2009 ditemukan 2 orang balita gizi buruk, pada tahun 2010 tidak ada, kemudian meningkat pada tahun 2011 menjadi
9 orang dan akhirnya pada tahun 2012 kembali meningkat menjadi 18 orang. Kasus balita gizi kurang juga mengalami peningkatan di wilayah
Puskesmas Aek Habil. Pada tahun 2009 ditemukan 280 orang balita gizi kurang, kemudian menurun pada tahun 2010 menjadi 174 orang, namun pada tahun 2011
kembali meningkat menjadi 378 orang hingga pada tahun 2012 sebanyak 392 orang. Pemilihan pada upaya gizi yang telah dilakukan Puskesmas Aek Habil
sudah tepat namun pemilihan intervensi yang dilakukan masih perlu dipertanyakan. Jumlah balita gizi kurang yang diberikan PMT sangat sedikit yakni
Universitas Sumatera Utara
hanya 1,79. Alokasi untuk pemberian PMT penyuluhan sebesar Rp 5.900.000,00 juga sebaiknya dapat dialihkan untuk balita gizi kurang. Selain itu
upaya promosi kesehatan sebaiknya lebih ditingkatkan dengan penekanan pada masalah gizi sehingga kasus gizi kurang dan gizi buruk dapat ditekan.
Selanjutnya upaya KIA yang kegiatannya berupa kunjungan rumah bumil resiko tinggi, AMP, penempelan stiker P4K, pemeriksaan laboratorium ibu hamil
meliputi golongan darah, Hb, protein urine dan glukosa urine. Dari sekian banyak kegiatan pada upaya KIA ini, hanya Puskesmas Aek Habil yang memasukkan
kegiatan penimbangan murid PAUD dan TK yang tentu diharapkan dapat meningkatkan cakupan pelayanan balita, sementara kegiatan untuk meningkatkan
cakupan pelayanan bayi belum ada dilaksanakan oleh seluruh puskesmas. Untuk upaya pengendalian penyakit, kegiatan yang dilakukan adalah
berupa home visit serta pelacakan kasus penderita TB Paru, kusta, DBD dan diare, serta pembagian bubuk abate. Pemanfaatan ini belum mencakup semua penyakit
yang masuk ke dalam indikator cakupan pengendalian penyakit di dalam SPM yaitu penyakit AFP, pneumonia, diare, TB Paru dan DBD sementara pada
indikator MDGs yang masuk adalah penyakit malaria, TB Paru dan HIV AIDS. Kenyataannya, puskesmas lebih memilih memasukkan kegiatan penyuluhan
pemberantasan penyakit Rabies, Influenza dan ISPA sementara cakupan untuk penemuan kasus Diare dan Pneumonia masih rendah pada tahun 2011. Hal yang
sama juga terjadi dengan upaya imunisasi, meskipun cakupan Desa UCI masih jauh di bawah target namun ternyata upaya ini tidak dimasukkan dalam 3 besar
Universitas Sumatera Utara
upaya prioritas puskesmas dan bahkan menjadi urutan terakhir pemanfaatannya di Puskesmas Pelabuhan Sambas.
Pemanfaatan dana yang kedua setelah upaya kesehatan di puskesmas adalah untuk manajemen puskesmas. Puskesmas Pintu Angin paling banyak
mengalokasikan dana nya untuk kegiatan ini yakni mencapai 43,9, selanjutnya Puskesmas Sambas sebesar 31,36, urutan ketiga Puskesmas Pelabuhan Sambas
dengan alokasi 30,01 dan yang paling sedikit adalah Puskesmas Aek Habil dengan alokasi 27,27. Dana untuk kegiatan manajemen ini sebagian besar
dimanfaatkan untuk biaya pelaksanaan lokakarya mini . Menurut rekapitulasi POA, dana yang dihabiskan untuk pelaksanaan lokakarya mini ini cukup besar.
Puskesmas Pelabuhan menjadi puskesmas yang paling banyak menghabiskan dana untuk lokakarya mini yakni mencapai Rp17.830.000,00 atau sekitar 26
dari seluruh dana BOK yang diterima, dan sebagian besar digunakan untuk biaya konsumsi. Selanjutnya Puskesmas Pintu Angin yang menghabiskan dana
Rp17.480.000,00 atau sekitar 25 dari alokasi dana BOK yang diterima, kemudian Puskesmas Aek Habil dengan jumlah Rp14.080.000,00 atau 14,8 dan
yang paling sedikit adalah Puskesmas Sambas dengan jumlah Rp11.730.000,00 atau 17 dari dana BOK yang diperoleh. Alokasi dana untuk lokakarya mini
memang dibutuhkan karena pelaksanaan lokakarya mini adalah salah satu proses manajemen yang sangat penting terutama berhubungan dengan pembuatan
perencanaan, namun sebaiknya puskesmas dapat menekan pembiayaan ini
Universitas Sumatera Utara
seminimal mungkin agar dana dapat dialokasikan untuk program yang membutuhkan.
Selain untuk pelaksanaan lokakarya mini, dana yang dimanfaatkan untuk kegiatan manajemen ini digunakan untuk uang transport pengantaran laporan ke
dinas kesehatan, transport konsultasi teknis ke dinas kesehatan, transport pengambilan laporan dari bidan praktek swasta dan transport supervisi.
Komposisi pemanfaatan dana BOK untuk tahun 2012 memang tidak diatur dalam juknis, namun pada juknis BOK tahun 2013 telah memuat pembatasan
proporsi pemanfaatan dana BOK di puskesmas dengan aturan minimal 60 dari total alokasi dana BOK digunakan untuk upaya kesehatan prioritas yakni kegiatan
yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk pencapaian target MDGs. Kemudian, maksimal 40 digunakan untuk upaya kesehatan lainnya dan manajemen
puskesmas. Bila dibandingkan dengan pemanfaatan yang dibuat oleh Puskesmas Pintu Angin yang mengalokasikan dana untuk manajemen saja hingga 43,9
dapat dianggap sudah terlalu besar. Pada Puskesmas Pintu Angin ini, selain untuk biaya makan dan transport dalam pelaksanaan lokakarya mini, dana juga sangat
banyak digunakan untuk pengambilan data ke bidan praktek swasta yakni sebesar Rp12.000.000,00. Dana sebesar ini seharusnya dapat dikurangi agar dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan lain yang lebih bermanfaat dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Demikian juga dengan kegiatan supervisi dan penilaian
posyandu, seharusnya dapat dikurangi jumlah orang yang turun melaksanakan supervisi agar biaya yang dikeluarkan dapat diminimalkan. Selayaknya, dalam
Universitas Sumatera Utara
menentukan proporsi pemanfaatan dana di puskesmas lebih memperhatikan komposisi yang lebih baik sehingga dana yang dihabiskan memang tepat sesuai
dengan tujuan dana tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan dana yang dilakukan oleh
puskesmas masih belum sesuai dengan kebutuhan pencapaian indikator SPM dan MDGs sebagai tujuan dari diluncurkannya dana BOK. Peran Dinas Kesehatan
sangat diharapkan disini agar dapat berfungsi sebagai pembina dan pengontrol agar dana dapat termanfaatkan sesuai dengan tujuan yang diharapkan
D. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan yang harus disiapkan oleh puskesmas dikeluhkan oleh 2 orang Pengelola Puskesmas sangat banyak dan rumit. Pekerjaan
ini juga mengganggu tugas pokok mereka sebagai staf fungsional di puskesmas dan ini diakui oleh seluruh pengelola puskesmas. Mereka menyarankan bahwa
sebaiknya yang memegang jabatan sebagai pengelola BOK ini sebaiknya adalah staf yang khusus hanya mengurusi urusan BOK jadi bukan staf fungsional yang
memiliki beban tugas fungsional dalam pelayanan. Keadaan ini menyebabkan seringnya keterlambatan penyampaian laporan puskesmas ke dinas kesehatan.
Secara umum pelaksanaan pencatatan dan pelaporan BOK sudah dilaksanakan sesuai dengan Juknis namun ada beberapa pelaporan yang tidak
dibuat oleh puskesmas dengan alasan pihak Dinas Kesehatan tidak ada memintanya. Pelaporan yang tidak dibuat tersebut adalah laporan pelaksanaan
kegiatan dan laporan tahunan. Laporan pelaksanaan kegiatan hanya dibuat oleh 2
Universitas Sumatera Utara
puskesmas yakni Puskesmas Sambas dan Pintu Angin, sedangkan laporan tahunan hanya dibuat oleh Puskesmas Sambas. Pembuatan laporan pelaksanaan kegiatan
tidak saja sebagai upaya tertib administrasi namun juga sebagai kontrol dari kemungkinan terjadinya penyimpangan yang dapat dilakukan oleh petugas
kesehatan yang melaksanakan tugas ke lapangan, sementara laporan tahunan juga sangat penting karena merupakan rekapitulasi pemanfaatan dana yang telah
dilakukan selama 1 tahun, sehingga diharapkan melalui rekapitulasi ini puskesmas dapat mengevaluasi pemanfaatan dana yang telah mereka laksanakan. Peran Dinas
Kesehatan kembali sangat diharapkan agar melakukan pengawasan terhadap administrasi pencatatan dan pelaporan keuangan BOK puskesmas untuk
mengurangi potensi penyimpangan. 5.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan BOK
A. Komunikasi
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu kebijakan. Komunikasi ini diperlukan agar mereka mengetahui
kegiatan yang dilaksanakan, cara pelaksanaannya serta tujuan dan sasaran kebijakan tersebut. George Edwards III yang dikutip oleh Hessel 2003
menyebutkan bahwa komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam implementasi kebijakan karena jika implementor tidak mengetahu dengan jelas
tentang kebijakan tersebut maka akan menimbulkan kesalahpahaman dan
Universitas Sumatera Utara
kebingungan yang akan meningkatkan kemungkinan tidak terlaksananya suatu kebijakan dengan baik.
Komunikasi yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah:
1 Adanya kejelasan informasi mengenai kebijakan BOK
Menurut George Edwards yang dikutip oleh Hessel 2003 bahwa jika kebijakan harus diimplementasikan dengan baik, maka petunjuk implementasi
bukan saja dapat diterima tetapi juga harus jelas untuk menghindarkan distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran implementasi tidak jelas atau bahkan
tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran maka dapat terjadi resistensi pada kelompok sasaran Subarsono, 2009.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa informasi mengenai kebijakan BOK telah diketahui dengan jelas oleh pelaksana kebijakan dan
petunjuk teknis kebijakan BOK tersebut sudah dengan cukup jelas dapat dipedomani oleh pihak puskesmas sebagai implementornya.
2 Intensitas Sosialisasi Kebijakan BOK
Sosialisasi sebagai upaya penyampaian informasi kebijakan telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan, dan komunikasi bukan hanya dijalin melalui
sosialisasi namun juga dilakukan melalui pembinaan, kegiatan monitoring dan evaluasi serta melalui lokakarya mini puskesmas. Hal ini terungkap dari
wawancara terhadap informan dari puskesmas dan dari dinas kesehatan serta dari studi dokumentasi di dinas kesehatan. Upaya ini dilakukan dinas kesehatan untuk
semakin meningkatkan pemahaman puskesmas tentang kebijakan BOK.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian untuk faktor komunikasi dalam implementasi kebijakan BOK di Kota Sibolga ini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk kejelasan
informasi telah dapat diterima dengan baik dapat dinilai melalui jawaban yang diberikan informan dan Juknis sudah cukup jelas untuk memberikan pedoman
dalam pelaksanaan kebijakan BOK. Sementara untuk intensitas sosialisasi juga sudah cukup karena sosialisasi telah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan kepada
puskesmas sebagai pelaksana kebijakan. Komunikasi juga tidak hanya dijalin melalui sosialisasi namun juga melalui pembinaan ketika kebijakan sudah
diimplementasikan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap komunikasi tersebut maka dapat
diketahui beberapa faktor pendukung keberhasilan implementasi kebijakan BOK tersebut yakni:
a. Adanya sosialisasi dan penyampaian informasi yang baik oleh dinas
kesehatan kepada pihak puskesmas. b.
Adanya kejelasan informasi yang diberikan oleh dinas kesehatan. c.
Adanya Petunjuk Teknis kebijakan yang cukup jelas untuk dipedomani oleh puskesmas.
B. Sumberdaya
Sumber daya mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan kebijakan karena walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan dengan sangat baik dan
jelas kepada implementor namun bila implementor kurang memiliki sumber daya
Universitas Sumatera Utara
untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi tidak akan berjalan efektif Subarsono, 2009.
Islamy 1998 juga menyebutkan bahwa pentingnya kesiapan agen pelaksana atau sumber daya dalam melaksanakan suatu kebijakan tidak bisa
terlepas dari sumber daya yang memadai seperti human resources, financial resources, technological resources maupun psychological resources.
Penelitian yang dilakukan terhadap sumber daya ini adalah penilaian terhadap SDM, dana dan fasilitas pendukung, dengan hasil sebagai berikut:
1 Sumber Daya Manusia
Menurut Hessel 2003 bahwa kemungkinan sumber daya yang paling esensial dalam mengimplementasikan kebijakan adalah staf dengan jumlah yang
cukup dan keterampilan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa dari sisi kuantitas SDM di
puskesmas sudah cukup dan cenderung berlebih sedangkan dari sisi kualitas masih kurang. Penilaian kualitas menurut Kepala Puskesmas dinilai melalui
kompetensi dan kinerja yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, dan untuk mengatasi hal ini Kepala Puskesmas berupaya melakukan pembinaan internal dan
pembinaan yang bekerjasama dengan pihak dinas kesehatan. Masalah kurangnya kualitas SDM ini juga dapat dinilai melalui
perencanaan yang dibuat oleh puskesmas terutama dari kondisi POA yang sering harus diperbaiki karena dianggap verifikator belum tepat. Untuk menyelesaikan
permasalahan kualitas SDM ini, Dinas Kesehatan Kota sebaiknya lebih
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kemampuan SDM puskesmas melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan Dinas Kesehatan KabupatenKota dan Dinas Kesehatan Propinsi
baik itu pelatihan yang bersifat teknis fungsional maupun manajerial.
2 Fasilitas
Fasilitas juga menjadi sumber daya yang penting dalam melaksanakan suatu kebijakan karena walaupun sudah disertai dengan SDM yang cukup dan
berkualitas namun bila tidak disertai dengan fasilitas pendukung untuk melaksanakan tugas maka tujuan tak dapat tercapai.
Penelitian ini menilai dari fasilitas pelayanan puskesmas serta fasilitas administrasi pengelolaan BOK, dan berdasarkan hasil observasi, wawancara dan
studi dokumentasi diketahui bahwa fasilitas untuk pelayanan puskesmas sudah sangat memadai demikian juga dengan fasilitas administrasi. Keluhan yang
muncul mengenai fasilitas administrasi lebih disebabkan karena ketidaktepatan penempatan suatu fasilitas sesuai dengan kebutuhan. Jumlah komputer 2 dan
komputer jinjing juga 2 untuk masing-masing puskesmas seharusnya sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan administrasi puskesmas. Kepala Puskesmas
sangat diharapkan kemampuan dan kejeliannya dalam pemanfaatan sumber daya dalam situasi keterbatasan.
3 Dana
Peran dana dalam implementasi suatu kebijakan sangatlah penting, meskipun SDM dan sarana pendukung telah tersedia dengan baik dan komunikasi
Universitas Sumatera Utara
telah tersampaikan dengan jelas, namun bila dana tidak tersedia akan menghalangi terlaksananya kebijakan tersebut dengan baik.
Kebijakan BOK sendiri dibuat oleh Pemerintah Pusat dilatarbelakangi oleh keterbatasan dana operasional yang diperoleh puskesmas yang dikhawatirkan
akan mengurangi kinerja yang tentu saja akan berdampak pada terhambatnya tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia.
Pemerintah Kota Sibolga sejak tahun 2009 juga telah menganggarkan dana operasional untuk puskesmas yang pemanfaatannya digunakan untuk membiayai
pelaksanaan lokakarya mini bulanan dan tribulanan, pembelian ATK, fotocopy, transport petugas kesehatan ke posyandu, pembelian bahan bakar Puskesmas
Keliling dan incenerator puskesmas. Adanya dana ini sangat membantu terutama dalam pembiayaan mini lokakarya sehingga kegiatan manajemen yang sangat
penting ini dapat terlaksana secara rutin. Namun meskipun demikian kegiatan operasional luar gedung masih belum dapat dibiayai oleh APBD Kota Sibolga.
Kehadiran dana BOK tentu saja memberi angin segar bagi Puskesmas untuk dapat lebih bersemangat dalam melaksanakan kegiatan luar gedung yang bersifat
promotif dan preventif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepala puskesmas sudah merasa
cukup dengan dana yang diperoleh namun tidak menutup kemungkinan bila ada penambahan dana BOK dengan harapan dapat lebih meningkatkan kinerja.
Tambahan dana tidak terlalu diharapkan dari APBD oleh karena keterbatasan dana di dinas kesehatan. Meskipun demikian, BOK tetaplah hanya berupa bantuan
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembangunan kesehatan di daerahnya, tetapi kewajiban utama tetap pada Pemerintah Daerah
sesuai dengan Undang-Undang desentralisasi. Aspek yang paling penting dalam masalah finansial ini adalah perencanaan dan pemanfaatan dana yang tepat
sasaran sehingga dana yang dikeluarkan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tidak mengalami kesia-siaan belaka.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap faktor sumber daya maka dapat disimpulkan beberapa faktor sumber daya yang mendukung dan menghambat
keberhasilan implementasi kebijakan BOK. Adapun faktor yang mendukung, yaitu:
a. Adanya kecukupan SDM dari sisi kuantitas.
b. Kelengkapan fasilitas dalam mendukung pelaksanaan kebijakan BOK.
c. Adanya dukungan dana yang mencukupi dalam melaksanakan kegiatan.
Sedangkan faktor penghambatnya adalah masalah kualitas SDM yang belum sesuai dengan yang diharapkan.
C. Disposisi atau Sikap
Sikap atau disposisi implementor memiliki peran yang tak kalah penting dengan faktor lain, para pelaksana tidak hanya harus mengetahui apa yang harus
dilakukan dan memiliki kemampuan untuk melaksanakannya dengan dukungan segala sumber daya, tetapi juga implementor harus memiliki kemauan untuk
melaksanakan kebijakan tersebut. Apabila implementor memiliki sikap yang baik, maka kebijakan akan mampu dilaksanakan dengan baik seperti yang diinginkan
Universitas Sumatera Utara
oleh pembuat kebijakan namun ketika implementor memiliki sikap dan perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka implementasi kebijakan akan
menjadi tidak efektif Subarsono, 2009. Berkaitan dengan kebijakan BOK, maka hasil penelitian yang menilai dari
respon dan kejujuran pelaksana kebijakan serta tindakan nyata yang telah dilakukan sebagai perwujudan komitmen terhadap kebijakan BOK ini. Penjelasan
mengenai hasil penelitiannya sebagai berikut:
1 Respon Pelaksana
Respon pelaksana kebijakan BOK yakni puskesmas sangatlah baik, antusias dan mendukung pelaksanaan dan keberlanjutannya. Hal ini terbukti dari
berbagai komentar baik dari Kepala Puskesmas, Pengelola BOK Puskesmas, Pengelola BOK Dinas Kesehatan dan staf puskesmas. Semua menjadi sangat
bersemangat dalam melaksanakan tugasnya ke lapangan, bahkan menurut pengakuan Pengelola BOK Puskesmas terkadang petugas yang aktif mengusulkan
agar programnya dimasukkan ke dalam POA. Selama ini tak dapat dipungkiri bahwa upaya promotif dan preventif ke luar gedung menjadi terkendala karena
ketiadaan dana puskesmas. Adanya antusiasme dan semangat dari petugas kesehatan tentu saja
berefek sangat baik dengan pelaksanaan tugas. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu staf puskesmas yang juga adalah bidan koordinator, merasa senang
dengan adanya uang transport untuk melaksanakan tugas ke lapangan sehingga banyak sasaran yang dapat dicapai. Kemudian banyak kegiatan yang semula tidak
Universitas Sumatera Utara
dapat dilaksanakan karena keterbatasan dana puskesmas menjadi terlaksana setelah adanya dana BOK. Penambahan kegiatan ini sekaligus menjadi tambahan
pendapatan bagi petugas kesehatan dan hal ini tentu saja sangat menambah motivasi dalam melaksanakan tugas. Hal ini juga ditemukan oleh Handry
Mulyawan 2012 dalam penelitiannya tentang pelaksanaan BOK di Dinas Kesehatan Rejang Lebong, bahwa terjadi peningkatan motivasi kerja dengan
adanya uang transport yang berasal dari dana BOK. Meskipun demikian, menurut beberapa informan masih ada sebagian kecil
petugas kesehatan di puskesmas yang tidak peduli dengan kebijakan BOK karena menganggap tidak berkepentingan langsung dengan dirinya yang bukan
penanggung jawab program. Keadaan ini hendaknya tidak dibiarkan berkepanjangan karena hasil yang baik dari suatu organisasi adalah berasal dari
kerjasama tim yang baik. Kepala Puskesmas harus dapat menumbuhkan kepedulian bagi petugas puskesmas untuk dapat memberi dukungan dan masukan
demi tercapainya tujuan organisasi dan tujuan kebijakan BOK.
2 Kejujuran Pelaksana
Masalah kejujuran pelaksana menjadi sangat penting tatkala implementasi suatu kebijakan terutama yang berhubungan dengan keuangan. Banyak kejadian
yang menunjukkan kegagalan suatu program atau kebijakan karena penyimpangan yang dilakukan oleh implementor. Kejadian ini tidak hanya terjadi di negara kita
namun juga banyak dialami oleh negara dunia ketiga yang komitmen dan kejujuran aparatnya rendah.
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan kebijakan BOK ini, maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejujuran pelaksana sudah cukup baik, sesuai dengan
pernyataan dari Kepala Puskesmas, Pengelola BOK Puskesmas, Pengelola BOK Dinas Kesehatan dan staf puskesmas. Namun, Kepala Puskesmas sebagai
penanggung jawab pelaksanaan BOK di puskesmas juga tidak menutup kemungkinan bila penyimpangan itu bisa saja terjadi dan untuk itu mereka tetap
melakukan monitoring bekerjasama dengan lintas sektor terkait dan sejauh ini mereka masih menilai kalau kejujuran itu masih terjaga.
Salah satu bentuk monitoring yang dilakukan adalah melalui pembuatan laporan pelaksanaan dan dokumentasi kegiatan. KPA di dinas kesehatan juga
mendukung pernyataan tentang kejujuran para petugas namun untuk mencegah hal yang tidak diinginkan dinas kesehatan meminta agar semua
pertanggungjawaban keuangan dilengkapi. Petugas kesehatan yang ditanyakan mengenai hal tersebut juga menyangkal akan kemungkinan tersebut karena selain
jujur, dalam pelaksanaan tugas juga tidak pernah sendirian namun selalu bersama dengan petugas lain yang memperkecil kemungkinan terjadinya kecurangan.
3 Pelaksanaan atau Tindakan Pelaksana
Komitmen terhadap suatu kebijakan diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata atau melaksanakan dengan baik kebijakan tersebut. Penilaian terhadap
komitmen hanya dapat dilakukan melalui adanya tindakan nyata, karena bila hanya komitmen berupa ucapan tanpa tindakan belum menunjukkan komitmen
yang sesungguhnya.
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan hasil wawancara dan studi dokumentasi dapat dinilai bahwa komitmen pelaksana kebijakan BOK sudah cukup baik terbukti dari sudah
terlaksananya semua kegiatan dan sudah dimanfaatkannya semua dana sesuai dengan Juknis.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap faktor disposisi ini maka dapat diketahui faktor pendukung dan penghambat kebijakan BOK. Adapun faktor yang
mendukung tersebut adalah: a.
Adanya respon pelaksana kebijakan yang sangat mendukung kebijakan BOK.
b. Adanya kejujuran dari pelaksana kebijakan.
c. Adanya tindakan nyata berupa pelaksanaan sebagai perwujudan dukungan
terhadap kebijakan BOK. Sementara yang menjadi faktor penghambat adalah masih adanya sebagian
kecil petugas yang kurang peduli dengan kebijakan BOK.
D. Struktur Birokrasi
Implementasi kebijakan juga dipengaruhi oleh struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikannya karena meskipun semua faktor lain sudah
terpenuhi meliputi adanya komunikasi yang baik, sumber daya yang cukup dan sikap implementor yang mendukung namun bila tidak didukung oleh struktur
birokrasi yang baik maka implementasi kebijakan tersebut bisa menjadi tidak efektif karena kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama dari
banyak orang.
Universitas Sumatera Utara
Struktur birokrasi seharusnya mendukung dan berupaya untuk mencapai tujuan dari kebijakan, karena konsep kebijakan yang bagus akan menjadi tanpa
arti tanpa dukungan semua aktor yang terkait. Penelitian terhadap struktur birokrasi ini dikaitkan dengan pembentukan
struktur organisasi, adanya petunjuk pelaksanaan tugas dan adanya pembagian tugas dalam struktur organisasi. Pembahasan hasil penelitian tersebut dapat
dijelaskan berikut ini.
1 Pembentukan Struktur Organisasi
Struktur organisasi yang ditetapkan bertujuan untuk mengkoordinir pelaksanaan sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Struktur organisasi
seharusnya mendukung dan berupaya maksimal agar tujuan dapat tercapai melalui dukungan dari semua pihak yang terkait serta dengan mempertimbangkan faktor-
faktor yang memengaruhi kebijakan tersebut. Sehubungan dengan kebijakan BOK, struktur organisasi pengelola
keuangan BOK di Kota Sibolga sudah dibentuk dengan Surat Keputusan Walikota Nomor 440372013 demikian juga dengan struktur organisasi di puskesmas yang
ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Sibolga dengan Surat Keputusan Nomor 440.4.4.2702II2013. Pemilihan anggotanya untuk tingkat Kota
didasarkan pada jabatan dan tanggung jawab sedangkan pemilihan untuk tingkat puskesmas dilakukan oleh Kepala Puskesmas berdasarkan kinerja, loyalitas,
kemampuan, keterampilan, pengalaman dan profesi jabatan. Pemilihan ini dilakukan dengan pertimbangan banyak hal karena mengingat jabatan sebagai
Universitas Sumatera Utara
Pengelola BOK di puskesmas adalah jabatan dengan beban yang cukup berat dan rawan karena berhubungan dengan dana. Struktur organisasi yang telah dibentuk
ini diharapkan mampu melaksanakan tugasnya untuk mengkoordinir pelaksanaan kebijakan BOK di Puskesmas dan Kota Sibolga.
2 Adanya Petunjuk Pelaksanaan Tugas
Petunjuk pelaksanaan tugas dibutuhkan untuk memandu pelaksanaan agar tetap berada pada koridornya. Petunjuk pelaksanaan ini diharapkan dapat
mencegah kebingungan dan timbulnya perspektif yang berbeda dari implementor sehingga membuka peluang timbulnya kebijakan baru sebagai upaya pemecahan
masalah yang timbul yang pada akhirnya dapat bertentangan dengan tujuan kebijakan yang sesungguhnya.
Petunjuk pelaksanaan tugas dalam kebijakan BOK sudah ada dan tertera dengan sangat jelas pada Juknis BOK tahun 2012, dan dengan adanya petunjuk
pelaksanaan tugas ini diharapkan tidak akan terjadi kesalahan dalam pelaksanaan kebijakan BOK.
3 Adanya Pembagian Tugas
Pembagian tugas atau fragmentasi diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan tugas sehingga tidak menghalangi kelancaran pelaksanaan kebijakan.
Pembagian tugas dalam pelaksanaan kebijakan BOK di puskesmas sudah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan masing-masing Kepala Puskesmas meski
sebagian belum optimal. Hal ini terungkap dari pengakuan Pengelola BOK Puskesmas, Bendahara Pengeluaran BOK di Dinas Kesehatan dan Pejabat
Universitas Sumatera Utara
Pembuat Komitmen PPK di Dinas Kesehatan yang mengemukakan bahwa sebagian besar laporan dan pertanggungjawaban Puskesmas selalu terlambat
disampaikan ke Dinas Kesehatan. Keterlambatan ini disebabkan oleh banyak hal, misalnya pekerjaan yang
menumpuk karena pengelola BOK tidak hanya mengurusi masalah BOK tetapi juga mengerjakan administrasi pengelolaan dana APBD dan Jamkesmas, SPT
yang belum siap ditandatangani oleh Lurah atau Camat serta batas waktu yang terlalu sempit diberikan oleh dinas kesehatan, yakni antara waktu cairnya dana
dengan penyampaikan laporan pertanggungjawaban. Masalah ini sebaiknya jadi pertimbangan oleh dinas kesehatan untuk mempercepat waktu pencairan dana
sehingga puskesmas masih memiliki waktu yang cukup untuk menyelesaikan pertanggungjawaban keuangannya.
Menurut hasil penelitian terhadap struktur birokrasi tersebut maka dapat diketahui beberapa faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan
kebijakan BOK. Faktor yang mendukung tersebut adalah sebagai berikut: a.
Adanya struktur organisasi pengelolaan BOK b.
Adanya petunjuk pelaksanaan tugas yang jelas Sedangkan faktor yang menghambat tersebut adalah belum optimalnya
pembagian tugas yang dibuat oleh Kepala Puskesmas sehingga dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan kebijakan BOK.
Universitas Sumatera Utara
5.3. Evaluasi
Output Kebijakan BOK Terhadap Pencapaian Indikator SPM
Evaluasi menurut Rossi et al yang dikutip oleh Harris 2010 adalah penggunaan pengujian atau penelitian sosial untuk mengetahui efektifitas suatu
program. Notoatmodjo 2003 juga menyebutkan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dan usaha pencapaian
suatu tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
efektifitas kebijakan BOK terhadap pencapaian indikator SPM sebagai salah satu output kebijakan BOK. Penilaian dilakukan dengan menilai pencapaian indikator
SPM sejak sebelum adanya kebijakan BOK yakni tahun 2009 hingga tahun 2012. Secara umum pencapaian indikator SPM untuk seluruh puskesmas
mengalami penurunan namun untuk Puskesmas Sambas lebih berfluktuasi, peningkatan sempat terjadi pada tahun 2010 dan 2011 namun kemudian menurun
tajam pada tahun 2012. Jumlah pencapaian indikator yang paling sedikit pada seluruh puskesmas terjadi pada tahun 2012 dan puskesmas yang paling rendah
pencapaiannya adalah Puskesmas Pelabuhan Sambas. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.1 Grafik Pencapaian Indikator SPM di Puskesmas se Kota Sibolga Tahun 2009-2012
1 Puskesmas Aek Habil
Pada grafik pencapaian indikator SPM di puskesmas tersebut dapat dilihat bahwa pencapaian indikator SPM di Puskesmas Aek Habil tetap pada tahun
2009 hingga tahun ke 2 pelaksanaan kebijakan BOK, namun mengalami sedikit penurunan pada tahun 2012 meskipun kenaikan angka juga terjadi. Indikator yang
sudah baik di tahun 2011 ternyata menurun pada tahun 2012, sebaliknya indikator yang rendah mengalami peningkatan pada tahun 2012.
Sebaiknya pencapaian indikator yang sudah baik dapat dipertahankan dan ditingkatkan dan
tentu saja indikator yang rendah dapat dinaikkan. Bila dihubungkan dengan pemanfaatan dana BOK, pemilihan intervensi pada upaya gizi sudah tepat dengan
pertimbangan rendahnya angka cakupan pemberian MP-ASI pada anak usia 6-24
2 4
6 8
10 12
14
Pusk. Aek Habil
Pusk.Sambas Pusk.
Pintu Angin Pusk.
Pelabuhan Sambas
2009 2010
2011 2012
Universitas Sumatera Utara
bulan dari keluarga miskin, namun ternyata pemanfaatan yang dilakukan tersebut tidak mampu meningkatkan cakupan tersebut.
Kemudian pemanfaatan pada upaya pengendalian penyakit juga sudah tepat namun sasaran penemuan kasus penyakit yang dipilih belum tepat. Upaya
penemuan kasus penyakit yang dilakukan hanya terbatas pada penyakit DBD, TB paru dan kusta sementara untuk diare dan pneumonia yang masih rendah angka
penemuan kasusnya tidak dilakukan. Promosi kesehatan yang dilakukan juga semestinya diharapkan dapat mendukung peningkatan cakupan beberapa
indikator, namun promosi yang dilakukan masih tertuju hanya kepada anak sekolah tanpa memperluas jangkauan kepada masyarakat misalnya mengenai
imunisasi dan masalah antenatal care dan tumbuh kembang balita, sehingga diharapkan dapat meningkatkan cakupan KIA dan cakupan desa UCI.
Pemanfaatan dana pada upaya KIA semestinya dijadikan prioritas mengingat indikator KIA adalah yang paling banyak dan upaya ini termasuk dalam target
MDGs sebagai salah satu tujuan dikeluarkannya dana BOK. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa pemanfaatan dana sangat
berpengaruh terhadap pencapaian indikator SPM. Pemanfaatan dana tentu saja berhubungan erat dengan perencanaan, dengan perencanaan dan pemanfaatan
dana yang tepat maka berpengaruh terhadap pencapaian tujuan Berdasarkan hasil pencapaian indikator SPM di Puskesmas Aek Habil tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa dana BOK tidak efektif dalam meningkatkan cakupan indikator SPM di Puskesmas Aek Habil.
Universitas Sumatera Utara
2 Puskesmas Sambas
Pencapaian indikator SPM di Puskesmas Sambas lebih fluktuatif dibandingkan dengan puskesmas lain. Peningkatan yang signifikan terjadi pada 2
tahun pertama dilaksanakannya kebijakan BOK. Namun penurunan yang juga signifikan terjadi pada tahun 2012, hampir seluruh indikator KIA mengalami
penurunan. Seharusnya dengan peningkatan jumlah dana BOK yang diperoleh puskesmas maka diiringi juga dengan peningkatan cakupan indikator SPM.
Apabila dikaitkan dengan pemanfaatan dana BOK, maka pilihan terhadap upaya gizi juga sudah tepat namun kegiatan yang dilakukan kurang ditujukan
kepada anak usia 6-24 bulan dari keluarga miskin, sehingga angka cakupan tersebut tidak dapat meningkat. Alokasi pada upaya KIA juga merupakan pilihan
yang tepat, kegiatan yang dipilih juga tepat namun tidak memasukkan bayi dan balita sebagai sasaran sehingga cakupan kunjungan bayi dan pelayanan anak
balita mengalami penurunan. Upaya promosi kesehatan yang dilakukan juga sebaiknya dapat menjangkau lebih luas masyarakat terutama target group yakni
ibu hamil serta ibu bayi dan balita untuk dapat meningkatkan cakupan di bidang KIA dan imunisasi.
Berdasarkan hasil pencapaian indikator SPM selama 4 tahun tersebut, dapat disimpulkan bahwa dana BOK efektif pada awal diberlakukannya kebijakan
namun tidak efektif setelah tahun ke 3 adanya dana BOK. Ketidakefektifan ini sangat berhubungan erat dengan perencanaan dan pemanfaatan dana yang kurang
tepat.
Universitas Sumatera Utara
3 Puskesmas Pintu Angin
Pencapaian indikator SPM di Puskesmas Pintu Angin mulai tahun 2009 hingga 2012 menunjukkan trend penurunan. Indikator yang mencapai target pada
tahun 2012 hanya ada 4 indikator, sedangkan indikator KIA tidak ada yang tercapai.
Bila dicermati pemanfaatan dana di Puskesmas Pintu Angin pada tahun 2012 maka pemilihan kegiatan pada upaya promosi kesehatan sebaiknya lebih
difokuskan kepada ibu hamil, ibu bersalin serta ibu bayi dan balita sehingga dapat mendongkrak pencapaian indikator KIA dan imunisasi. Kegiatan pada upaya
perbaikan gizi juga sebaiknya tidak hanya untuk ibu hamil KEK tetapi juga untuk balita gizi buruk dan anak usia 6-24 bulan dari keluarga miskin. Sehingga
pemanfaatan pada upaya ini tidak memiliki pengaruh terhadap peningkatan cakupan. Demikian juga dengan kegiatan pada upaya KIA seharusnya lebih
dipilih kegiatan yang benar-benar dapat meningkatkan cakupan indikator KIA. Berdasarkan hasil cakupan indikator SPM di Puskesmas Pintu Angin
selama 4 tahun tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dana BOK kurang efektif dalam menaikkan pencapaian indikator SPM di Puskesmas Pintu Angin. Hal ini
masih sangat berkaitan dengan perencanaan dan pemanfaatan yang masih kurang tepat.
Universitas Sumatera Utara
4 Puskesmas Pelabuhan Sambas
Puskesmas Pelabuhan Sambas adalah Puskesmas yang cakupan indikator SPM nya paling rendah pada tahun 2012. Hanya 3 indikator yang dapat mencapai
target yakni cakupan balita gizi buruk yang mendapat perawatan, cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat serta cakupan penderita DBD yang
ditangani. Menurut hasil wawancara dengan informan, Kepala Puskesmas Pelabuhan
Sambas lebih memilih menyerahkan kepada Pengelola BOK di Puskesmas untuk membuat perencanaan bersama dengan penanggung jawab program. Bila diamati
pemanfaatan dana yang dilakukan oleh Puskesmas Pelabuhan Sambas sudah cukup bervariasi. Namun sebaiknya untuk upaya gizi lebih ditambah dengan
sasaran pada anak usia 6-24 bulan dari keluarga miskin, selanjutnya sama hal nya dengan puskesmas lain untuk upaya promosi kesehatan sebaiknya dipilih kegiatan
yang lebih berkontribusi terhadap peningkatan cakupan indikator KIA, imunisasi dan gizi, jadi tidak hanya tentang PHBS, cuci tangan dan kesehatan gigi mulut
yang memakan dana cukup besar. Untuk upaya KIA juga sebaiknya menambah sasaran pada bayi dan balita untuk dapat meningkatkan cakupan kunjungan bayi
dan pelayanan anak balita. Hal yang sedikit menjadi perhatian adalah pada upaya imunisasi yang melakukan kegiatan OJT sebagai satu-satunya puskesmas yang
melaksanakan kegiatan ini namun ternyata cakupan desa UCI menurun hingga
Universitas Sumatera Utara
0. Pemanfaatan dana pada puskesmas ini lebih luas namun tidak menghasilkan tujuan yang diharapkan.
Menurut hasil evaluasi terhadap pencapaian indikator SPM di Puskesmas Pelabuhan Sambas selama 4 tahun maka dapat disimpulkan bahwa dana BOK
belum efektif dalam menaikkan cakupan indikator SPM di Puskesmas Pelabuhan Sambas. Kenyataan ini juga sangat dipengaruhi oleh kualitas perencanaan dan
pemanfaatan dana yang dibuat oleh puskesmas. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap cakupan SPM pada masing-masing
puskesmas tersebut, dapat disimpulkan bahwa dana BOK belum efektif dalam meningkatkan cakupan indikator SPM di puskesmas. Hal ini sangat berkaitan
erat dengan perencanaan dan pemanfaatan dana yang dilaksanakan oleh puskesmas.
Hasil evaluasi terhadap pencapaian SPM untuk tingkat Kota Sibolga selama 4 tahun yakni dari tahun 2009 sebelum ada dana BOK hingga tahun 2012
sebagai tahun ketiga diberlakukannya kebijakan BOK , menunjukkan trend penurunan, meskipun sempat meningkat pada tahun 2010 yaitu ada 8 indikator
yang tercapai dari hanya 6 indikator pada tahun 2009 . Peningkatan ini kemungkinan besar juga bukan disebabkan oleh adanya bantuan dana BOK
karena jumlah dana pada tahun 2010 hanya sebesar Rp 7.000.000,00 untuk masing-masing puskesmas dan dana tersebut baru diterima pada bulan September
2010. Hasil pencapaian indikator kembali menurun pada tahun 2011 menjadi 7 indikator yang tercapai dan semakin menurun menjadi hanya 5 indikator pada
Universitas Sumatera Utara
tahun 2012. Hasil ini menunjukkan bahwa kebijakan BOK belum berhasil mencapai targetnya. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa kondisi ini
disebabkan oleh perencanaan dan pemanfaatan dana yang belum tepat dan hal ini berkaitan dengan masalah SDM. Hal ini juga tak lepas dari kurangnya pembinaan
dan pengawasan yang dilakukan oleh pengelola BOK tingkat kabupatenkota terhadap pelaksanaan kebijakan BOK di puskesmas.
Selain hal tersebut peran Kepala Puskesmas juga sangat besar dalam keberhasilan program BOK. Pada tahun 2012 terjadi pergantian Kepala
Puskesmas di seluruh puskesmas, hal ini tentu sangat berkaitan erat dengan kinerja yang dihasilkan oleh puskesmas. Hal ini diakui oleh Kuasa Pengguna
Anggaran BOK di Dinas Kesehatan yang sekaligus adalah Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan di Dinas Kesehatan Kota Sibolga yang menyatakan bahwa
pergantian Kepala Puskesmas menyebabkan perubahan pada kinerja puskesmas. Para Kepala Puskesmas juga menyatakan bahwa mereka masih belajar
dalam hal perencanaan dan pemanfaatan dana BOK, bahkan 2 orang Kepala Puskesmas lebih memilih menyerahkan masalah perencanaan kepada
Pengelola BOK di Puskesmas dan pengelola program. Sejatinya Kepala Puskesmas diharapkan dapat lebih meningkatkan perannya sebagai pemimpin
organisasi yang menentukan maju mundurnya roda suatu organisasi.
Universitas Sumatera Utara
171
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan