Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
2. Saluran komunikasi; alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari
sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, ada sumber yang paling tidak perlu memperhatikan a tujuan diadakannya komunikasi
dan b karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar
luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap
atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
5
3. Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui
sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak
dimensi waktu terlihat dalam a proses pengambilan keputusan inovasi, b keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima
inovasi, dan c kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
6
4. Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat
dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.
7
Sistem sosial ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap terciptanya pendidikan yang telah diinovasi.
Pelaksanaan pembelajaran yang erat kaitannya dengan penanaman nilai, juga sangat erat sekali dengan bagaimana cara interaksi sosial yang terjadi di
dalamnya, sehingga nilai-nilai baik tak dipandang tabu lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Pastinya, diperlukan suatu pembiasaan yang terus berulang-ulang
yang berujung kepada adanya tindakan berpolavalue yang berada di dalam bawah sadar individu. Maka respon yang keluar baik secara tindakan, kelakuan, maupun
ucapan akan terealisasikan secara spontanitas, tanpa adanya suatu rekayasa kelakuan maupun ucapan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka peranan lingkungan memberikan pengaruh luar biasa dalam terealisasikannya interaksi sosial. Untuk itu, perlu
5
Ibid.
6
Ibid., h. 48.
7
Ibid.
diketahui beberapa pandangan para tokoh tentang peranan lingkungan yang mempengaruhi perilaku maupun kemampuan manusia dalam lingkungannya. Tiga
dari empat aliran pendidikan, mempercayai akan peran penting pengaruh eksternal lingkungan dalam membentuk kepribadian anak. Ada empat aliran pendidikan
yang sering dibicarakan, yaitu: Empirisme, Nativisme, Naturalisme dan Konvergensi.
Pertama, aliran Empirisme yang diperkenalkan oleh Jhon Locke. Aliran empirisme mengutamakan perkembangan manusia dari segi empiris yang secara
eksternal dapat diamati dan mengabaikan pembawaan sebagai sisi internal manusia. Dengan kata lain pengalaman adalah sumber pengetahuan, sedangkan
pembawaan yang berupa bakat tidak diakui.
8
Kedua, nativisme merupakan aliran yang di perkenalkan oleh Arthur Schopenhauer. Aliran nativisme menyatakan
bahwa perkembangan seseorang merupakan produksi dari pembawaan yang berupa bakat. Bakat yang merupakan pembawaan seseorang akan menentukan
nasibnya. Aliran ini merupakan kebalikan dari aliran empirisme.
9
Ketiga, naturalisme yang dipelopori oleh J.J. Rousseau. Aliran naturalisme menyatakan
bahwa semua anak yang dilahirkan pada dasarnya dalam keadaan baik. Anak menjadi rusak atau tidak baik karena campur tangan manusia masyarakat.
Pendidikan hanya memiliki kewajiban untuk memberikan kesempatan pada anak untuk tumbuh dengan sendirinya. Pendidikan hendaknya diserahkan kepada alam.
Dalam mendidik seorang anak hendaknya dikembalikan kepada alam agar pembawaan yang baik tersebut tidak dirusak oleh pendidik.
10
Keempat, aliran konvergensi yang dipelopori oleh William Stern. Aliran ini menyatakan bahwa
bakat, pembawaan dan lingkungan atau pengalamanlah yang menentukan pembentukan pribadi seseorang. Pendidikan dijadikan sebagai penolong kepada
anak untuk mengembangkan potensinya. Yang membatasi hasil pendidikan anak adalah pembawaan dan lingkungan.
11
8
Syarif Hidayat, Toeri dan Prinsip Pendidikan, Jakarta: Pustaka Mandiri, 2013. h. 6.
9
Ibid.
10
Ibid., h. 7.
11
Ibid.
Membahas mengenai lingkungan, tidak akan pernah terlepas dari pembahasan sosial. Jika penjelasan para tokoh di atas melihat dari segi perkembangan
kemampuan dalam lingkungan, maka kita juga harus melihat bagaimana pandangan para tokoh lingkungan atau sosialis dalam melihat suatu
perkembangan bagi individu yang ada di dalamnya. Dengan demikian, pendapat dari para tokoh sosial sangat dibutuhkan sebagai rujukan pembahasan ini.
Salah satu tokoh sosial yang membahas tentang pendidikan yaitu Karl Marx, dengan alirannya yang disebut Marxisme. Marxisme menyediakan pandangan
untuk melihat bagaimana fungsi pendidikan dalam masyarakat berkelas, secara historis dan juga memiliki formulasi dan strategi pendidikan untuk menjadikan
perubahan menuju kehancuran, ketimpangan dan ketidak adilan sistem kapitalisme.
12
Tokoh lain yang membahas sosial pendidikan ialah tokoh terkemuka yang berasal dari Brasil, yaitu Paulo Friere. Paulo Friere mengusulkan suatu sistem dan
orientasi pendidikan yang membebaskan dari budaya yang serba –verbal,
mekanistik, dan dangkal. Budaya seperti ini, menurut Paulo Friere, tidak mungkin akan mengantarkan manusia pada kehidupan yang lebih autentik dan lebih
manusiawi. Bahkan, han ya akan mengantar manusia pada “kepicikan” yang
menjadi manusia sebagai robot yang tidak kenal akan eksistensi kemanusiaannya sendiri.
13
Dari sekian banyak tokoh sosial, Durkheim merupakan tokoh sosial menarik perhatian penulis. Dalam teorinya tentang fakta sosial social fact, yaitu suatu
teori yang membahas tentang realita sosial yang terbentuk dari sebuah pembiasaan lingkungan individu yang terjadi di dalamnya. Teori Durkheim ini mirip dengan
teori riadhahnya Imam Ghazali yang mengacu pada nilai- nilai Al Qur‟an dan
Hadist, sedangkan Durkheim melihat dari sudut kekhawatiran dirinya sebagai mahluk sosial Zoon Politicon. Bukan berarti penulis mengesampingkan azas
pemahaman yang berlandaskan Al qur‟an dan Al hadist, hanya saja penulis
12
Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan: Tradisional, Neo Liberal, Marxis-Sosialis, Postmodern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2010, h. 325.
13
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Persepektif Barat dan Timur, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011, h. 11.
menaruh p erhatian khusus bagaimana hakikat pengamalan dari Al qur‟an dan Al
hadist ini dalam persepektif sosial. Durkheim tak membahas langsung tentang pengaruh lingkungan untuk
pemahaman atau kemampuan individu, hanya saja kegelisahan Durkheim inilah membuat penulis merasa penting untuk diangkat dalam menyelaraskan Tujuan
Pendidikan Nasional dengan kurikulum yang barunya K13 yang lebih mengacu pada penanaman nilai value dari pendidikan itu sendiri yang terpusat pada
penanaman moralitas bagi setiap individu para penerus bangsa Indonesia. Durkheim memang non muslim, dan tidak pernah membahas tentang sosial
pendidikan Islam, namun i denya mengenai “fakta sosial” menginspirasi penulis
untuk mengambil pelajaran dalam memahami lingkungan, terutama lingkungan pendidikan Islam. Adapun fakta sosial dalam perspektif Durkheim secara singkat
merupakan setiap cara bertindak, baik yang ditentukan maupun tidak memiliki kemampuan untuk menguasai individu dengan tekanan yang berasal dari luar,
atau setiap cara bertindak yang bersifat umum pada masyarakat tertentu, namun pada saat yang sama fakta sosial, mandiri serta bebas dari individu.
14
Adapun fokus penelitian penulis adalah lingkungan sosial pendidikan Islam Indonesia. Degradasi moral, baik terkikisnya nilai keIslaman atau mulai lunturnya
budaya bangsa yang terjadi pada abad 20 ini, selalu dikaitkan dengan pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan agama semestinya mampu
mencetak anak didik yang religius, yaitu manusia yang selalu menjalankan kehidupan sesuai dengan kandungan nilai agama yang dianutnya. Begitu juga
dengan pendidikan kewarganegaraan semestinya mampu mencetak anak didik yang cinta tanah air, mencintai bangsa ini yang kaya dengan budaya. Namun
faktanya, nilai bangsa dan religiusitas sudah terkikis di kalangan anak muda yang sedang berkembang, bahkan pada kalangan dewasa yang sudah menjadi produk
pendidikan. Misalnya nilai kejujuran yang sudah menghilang pada jiwa penduduk Indonesia, sehingga banyak pemimpin yang korup, menteri korup, guru korup,
padahal mereka sudah banyak mengenyam bangku sekolah. Ada apa dengan pendidikan kita? Apakah pendidikan Indonesia memang sudah tidak sanggup
14
Fuad Ardlin, Waktu Sosial Emile Durkheim, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2013, h. 56.
mencetak orang-orang baik? Kenapa? Jika melihat penuturan Paulo Friere, jangan-jangan memang pendidikan tidak lebih dari penjara yang mengekang
tawanannya peserta didik, sehingga ketika mereka keluar dari penjara, mereka berbuat sebebas-bebasnya? Keresahan-keresahan tersebut yang menghantui
penulis, sehingga penulis memfokuskan penelitian pada lingkungan pendidikan Islam Indonesia. Sepertinya memang corak lingkungan pendidikan yang ideal
memang belum ditemukan oleh lembaga-lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Memfokuskan pembahasan pada pendidikan Islam Indonesia merupakan bentuk tanggungjawab penulis sebagai umat Islam yang nasionalis. Penulis juga
menyadari bahwa lingkungan pendidikan yang ideal, adalah lingkungan pendidikan yang diharapkan oleh lembaga pendidikan manapun, termasuk
lembaga pendidikan Islam Indonesia. Selain itu, lembaga pendidikan Islam Indonesia adalah pendidikan yang unik, yang berbeda dengan lembaga pendidikan
Islam di negara lain. Berdasarkan pada alasan-alasan tersebut, dalam menyelesaikan tugas akhir kuliah skripsi, penulis tertarik untuk membuat karya
tulis ilmiah mengenai :
“FAKTA SOSIAL EMILE DURKHEIM DALAM MEMBENTUK
LINGKUNGAN SOSIAL
PENDIDIKAN ISLAM
INDONESIA”