Durkheim dan Idealnya Lingkungan Sosial Pendidikan Islam
48
indikator penentu mengenai kualitas keamanan, kesejahteraan, dan kemakmuran masyarakat sehingga besar kecilnya tindak pidana juga
mendeskripsikan besar kecilnya tingkat penanganan keamanan serta besar kecilnya tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat.
26
Gambaran keadaan sosial bangsa Indonesia dapat dilihat pada diagram di bawah ini:
Jumlah Tindak Pidana, Angka Kemiskinan, dan Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia diolah, sumber : Statistik Indonesia
2014, Dok.Pri Sebagaimana yang dijelaskan Durkheim mengenai tindakan sosial:
The rate of occurrence wheather frequent or infrequent of a social fact may serve as an index of an uderlying social reality and of
the trends which pervade it. A scientifically measured statistical rate is a
sign of „a certain state of the collective consciouseness’.
27
Tingkat keterjadian suatu fakta sosial entah sering atau tidak dapat berfungsi sebagai indeks yang menggarisbawahi keyataan sosial
dan kecendrungan yang kuat di dalamnya. Suatu tingkat statistik yang
26
Joko Ade Nursiono, Tindak Pidana di Indonesia Masih Tinggi ini Penyebabnya, 2015, www.kompasiana.com.
27
Emile Durkheim, Sociology and Philosophy, London: Cohen West LTD, 1953, h. xviii.
49
diukur secara ilmiah merupakan suatu tanda „keadaan kesadaran kolektif tertentu‟.
28
Data statistik di atas menjadikan tantangan bagi bangsa Indonesia dari era globalisasi yang dihadapi, bagaimana bangsa ini
mempertahankan jati dirinya sebagai bangsa yang mempunyai karakter yang berbudi luhur yang merupakan warisan dan tujuan dari pendiri
bangsa Indonesia. Sebagaimana yang dikutip dari majalah Formula Vol. IV-Juni 2010, Agung Laksono menegaskan Arahan Presiden RI
dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Kesra tanggal 18 Maret 2010, arahan Presiden RI pada Rapat Kerja Nasional di Tapak Siring, Bali
tanggal 19 –20 April 2010, serta arahan Presiden RI pada Puncak
Peringatan Hari Pendidikan Nasioanal di Istana Negara tanggal 11 Mei 2010
; “Tujuan desain induk pembangunan karakter bangsa adalah membina dan mengembangkan karakter warga negara sehingga
mampu mewujudkan masyarakat yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia,
berjiwa kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh
ra kyat Indonesia”.
29
Diperkuat lagi dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang dikutip dalam majalah Formula, vol.IV-Juni
2010 bahwa : “Character Building sudah mulai kita lupakan”.
30
Jadi jelaslah terlihat kekhawatiran Durkheim mengenai nilai moralitas yang terjadi karna perubahan dalam bidang perekonomian
serta kebijakan dalam politik memberikan benturan keras akan nilai- nilai kemanusiaan yang ada pada saat itu. Dalam catatan sejarah
nasional telah diabadikan bahwa menjelang akhir pemerintahan Orde Lama ORLA pembangunan karakterbudi diluluhlantahkan oleh
“Kekuatan Politik”. Memasuki Orde Baru ORBA untuk membangun karakterbudi pekerti anak bangsa melalui Pedoman Penghayatan dan
28
Soejono Dirdjosisworo, op.cit., h. xvii
29
Maswardi Muhammad Amin, op.cit., h.13.
30
Ibid., h. 12.
50
Pengamalan Pancasila P4, namun lenyap begitu saja karna tidak adanya perilaku “Keteladanan” dari kepemimpinan nasional seperti
yang didoktrinkan dalam P4 tersebut. Pembangunan karakterbudi pekerti sebagaimana diamanahkan oleh pendiri negeri ini yang
memperjuangkan dengan jiwa, raga, dan harta menjadi terhambat. Pesan pendiri negeri ini adalah pembangunan sebagai isian dari
kemerdekaan harus
mengedepankan “national
character building
”membangun karakterbudi pekerti bangsa. Terhambatnya “national character building” disebabkan oleh penekanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara diutamakan adalah pembangunan ekonomi, fisik, material, sementara pembangunan
karakterbudi pekerti kejiwaan diabaikan.
31
Untuk itu, Durkheim melihat nilai moralitas inilah yang bisa memberikan keluwesan dalam
bermasyarakat dan memberikan keseimbangan dalam menjalankan fungsinya sebagai elemen-elemen sosial.
Kesimpulan yang bisa diambil penulis dari pokok utama pandangan Durkheim dalam membentuk lingkungan sosial agar
tercipta kesadaran kolektif yang mengarah kepada keseimbangan dan keteraturan dalam hidup berkelompok, yaitu didasarkan pada nilai
moralitas yang disepakati bersama dan mempunyai nilai kebaikan bagi individu tersebut maupun individu yang lainnya. Kejujuran, tidak
merugikan orang lain, hendaknya pendidikan Islam bermuara pada akhlak.
Seperti halnya nilai kebaikan dari sudut pandang moralitas, ajaran agama Islam yang disampaikan oleh Allah Swt kepada Nabi
Muhammad Saw dengan kitabnya Al- Qur‟an juga mengajarkan nilai-
nilai kebaikan. Bahkan diriwayatkan dalam hadist, bahwa tujuan Allah mengutus Nabi Muhammad Saw hanya untuk menyempurnakan
Akhlak tingkah laku, sebagaimana hadist Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
31
Maswardi Muhammad Amin, op.cit, h. 14.
51
َع َِِثَدَح :َلاَق ٍسْيَوُأ َِِأ ُنْب ُليِعاَِْْإ اََ ثَدَح ِنْب ِدَمَُُ ْنَع ،ٍدَمَُُ ُنْب ِزيِزَعْلا ُدْب
َِِأ ْنَع ،ٍميِكَح ِنْب ِعاَقْعَقْلا ِنَع ،َن ََْجَع ٍحِلاَص
ِناَمَسلا
َِللا َلوُسَر َنَأ ،َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع ، : َلاَق َمَلَسَو ِْيَلَع ُها ىَلَص
« َحِلاَص َمََُِِِ ُتْثِعُب اَََِإ
ِق ََْخَِْا »
32
Ismail bin Abi Uyaisi berka ta: Abdul A’ziz bin Muhammad
menceritakan kepadaku hadis dari Muhammad bin „Ajlan dari Al Qo’qa’i bin Hakim dari Abi Soleh As Samman dari Abi Hurairah
sesungguhnya Rasulullah berkata : “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak mulia” Dalam hadist tersebut ada dua poin yang harus diperhatikan,
pertama yaitu bagaimana berakhlak mulia kepada Sang Khalik dan yang ke dua bagaimana berakhlak mulia kepada sesama manusia
Suatu konsep yang biasanya dipandang mejadi karakteristik dari segala sesuatu yang religius adalah konsep supernatural. Yang
supernatural adalah tatanan hal-ihwal yang berada di luar kemampuan pemahaman kita; yang supernatural adalah dunia misteri, yang tidak
bisa diketahui atau yang tidak bisa ditangkapakan dan dicerap indra. Maka agama menjadi semacam spekulasi terhadap segala sesuatu yang
ada di luar sains atau akal sehat pada umumnya.
33
Tuhan pada awalnya adalah sesuatu yang dipandang manusia superior dari dirinya dalam hal-hal tertentu dan merupakan tempat
menggantungkan kepercayaan . apakah sesuatu tersebut berupa satu pribadi, seperti Zeus atau Yahweh, atau permainan kekuatan-kekuatan
abstrak sebagaimana yang terdapat dalam totemisme, para hamba percaya bahwa mereka terikat dengan tata laku tertentu yang dititahkan
oleh prinsip sakral kepada mereka. Masyarakat juga menimbulkan semacam rasa ketergantungan pada dalam diri kita.
34
32
Muhammad Ibnu Isma‟il Ibnu Ibrahim Ibnu Al Mugirah Al Bukhari Abu „Ubaid, Al Adab
Al Mufrad, Bairut: Daarul Bashaair Al Islamiyah, 1989, Juz 1, h. 104.
33
Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, Jogjakarta: Ircisod, 2011, Cet. I, h. 49.
34
Ibid., h. 305-306.
52
In the conclusion of Elementary Forms Durkheim argue that religion is not some historic phenomenon destined soon to fade away.
The existence of society itself depends on the recurrence of periodic ritual, and only through such events can the sentiments of individuals
be united:
35
Dalam penutup buku Elementary Forms Durkheim berpendapat bahwa agama adalah sejarah beberapa fenomena tidak ditakdirkan
untuk segera memudar. Keberadaan masyarakat itu sendiri tergantung pada ritual pengulangan periodik, dan hanya melalui peristiwa tersebut
bisa menjadi perasaan individu yang disatukan. Dengan demikian peranan agama dalam pengaplikasiannya di
masyarakat mengikat solidaritas antar individu di dalamnya, yang artinya kelompok yang terbentuk di dalam masyarakat bukan sekedar
ada kepentingan bersama, melainkan ada suatu yang dianggap baik yang ingin selalu ada dalam lingkungannya dan kebaikan tersebut
terjaga dan terlestarikan oleh penerusnya. Bahkan Durkheim mengemukakan pandangannya terhadap
peranan agama di dalam kehidupan bermasyarakat; Not until 1895 did I have a clear sense of the vital role played by
religion in social life. It was in that year that, for the first time, I found a way of approaching the study of religion through
sociology. It was a revelation. This lecture course of 1895 marks a dividing line in the development of my thinking, so much so that
all my previous research had to be re-evaluated to be brought into line with these new views.
36
Tidak sampai 1895 aku memiliki rasa yang jelas tentang peran penting yang dimainkan oleh agama dalam kehidupan sosial. Saat di
tahun itu bahwa, untuk pertama kalinya, saya menemukan cara untuk mendekati studi agama melalui sosiologi. Ini adalah sebuah wahyu.
Kuliah ini dari 1895 menandai garis pemisah dalam pengembangan
35
Emile Durkheim, Durkheim on Morality and Society Selected Writings, Chicago: The University of Chicago Press, 1973, h. xlix.
36
Emile Durkheim, Sociologist and Moralist, London: The Taylor Francis e-Library, 2005, h. 116-117.
53
pemikiran saya, begitu banyak sehingga semua penelitian saya sebelumnya harus dievaluasi kembali untuk dibawa ke sejalan dengan
pandangan-pandangan baru. Menurut Prof. Dr. H. Jalaludin dalam bukunya Psikologi Agama
fungsi agama dalam masyarakat adalah sebagai berikut: a.
Berfungsi edukatif Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang
mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang.
37
dalam ajarannya terdapat nilai-nilai kebaikan dan keburukan dalam
pengaplikasian mereka sebagai penganut agama yang sesuai dengan yang ada dalam ajaran agamanya.
b. Berfungsi penyelamat
Di mana pun manusia berada dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan meliputi bidang yang luas adalah
keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan
yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutya melalui:
pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.
38
Tuhan yang mereka sembahlah yang nantinya diharapkan sebagai penolong mereka di kedua alam tersebut.
c. Berfungsi sebagai pendamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa
dan rasa bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang pelanggar telah menebus dosanya melalui: tobat,
pensucian ataupun penebusan dosa.
39
Penyesalan dalam dosa
37
Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi XI, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005 , h. 261.
38
Ibid.
39
Ibid., h. 262.
54
memberikan pengharapan baru kepada si penganut dalam mendapatkan ketenangan beribadah dalam batinnya.
d. Berfungsi sebagai social control
Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi
maupun secara berkelompok. Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat
berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok, karena:
1 Agama secara instansi, merupakan norma bagi pengikutnya.
2 Agama secara dogmatis ajaran mempunyai fungsi yang kritis
yang bersifat profetis wahyu, kenabian.
40
e. Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan: iman dan kepercayaan.
Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa
persaudaraan yang kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.
41
Rasa solidaritas tersebut merupakan ikatan yang terbentuk dalam menyatukan frem
mereka terhadap ajaran agamanya. f.
Berfungsi sebagai trasformatif Ajaran agama dapat mengubah kehidupan keperibadian seseorang
atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya
berdasarkan ajaran agama yang dipeluknya itu, kadang kala mampu mengubah kesetiaanya kepada adat atau norma kehidupan
yang dianutnya sebelum itu.
42
40
Ibid.
41
Ibid., h. 263.
42
Ibid.
55
g. Berfungsi kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri,
tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan
tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.
43
Berkreasi dan berinovasi memberikan pandangan bahwa agama tersebut mempunyai nilai lebih, selain agama itu dipandang sebagai
hal yang sakral dalam nilai-nilai religius saja. h.
Berfungsi sublimatif Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja
yang bersifat agama ukhrawi, melainkan juga bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-
norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.
44
Keselarasan antara aturan agama dengan tata norma yang ada dalam masyarakat memberikan suatu
keharmonisan dalam menjalankan kedua aturan tersebut, supaya bisa saling beriringan dan saling bersinergi di antara keduanya .
Maka agama pun memberikan peran utama dalam menjaga ketertiaban sosial yang berada di masyarakat. Selain nilai ketaatan
yang didapat, ada nilai ibadah juga akan kita dapatkan. Ketika nilai ibadah atau amal ini diutamakan dalam lingkungan masyarakat, maka
besar kemungkinannya akan mempengaruhi nilai moralitas individu yang ada di dalamnya, seperti yang dituturkan Durkheim berikut;
While Durkheim could see no ready social or political solution to this moral problem, he believed that only a special type of
consciousness based on charity and human sympathy may overcome
43
Ibid.
44
Ibid.
56
the tendency to judge the moral worth of a person in terms of their social background.
45
Sementara Durkheim melihat tidak ada kesiapan solusi sosial atau politik untuk masalah moral, ia percaya bahwa hanya ada jenis khusus
dari kesadaran berdasarkan amal dan simpati manusia yang dapat mengatasi kecenderungan untuk menilai nilai moral seseorang dalam
hal latar belakang sosial mereka. Menurut penulis dalam hal ini Durkheim melihat bahwa, pertama
dalam menyelesaikan masalah moral dalam lingkungan sosial atau politik yaitu dengan adanya kesadaran berdasarkan amal. Kedua,
dalam menilai nilai moral seseorang harus berdasarkan nilai simpati manusia itu sendiri, yang artinya besar kecilnya nilai moral seseorang
akan terlihat dari besar kecilnya seseorang itu peduli terhadap orang lain, sehingga memberikan nilai empati untuk dirinya.
Sifat kehidupan kelompok membentuk cara orang berpikir, merasa, mengingat
– dan apa yang dianggap mereka bersifat moral.
46
Moralitas merupakan ciptaan sosial, maka representatif moralitas merupakan suatu yang masih abstrak dalam suatu lingkungan. Kapan
saja unsur-unsur
tertentu bergabung
dan dengan
demikian menghasilkan fenomena baru, jelaslah bahwa fenomena ini terletak
bukan pada unsur-unsur semula tetapi pada keseluruhan yang dibentuk oleh kesatuan mereka.
47
Jadi realitas dari sebuah fenomena berasal dari unsur-unsur yang bersatu. Satu dengan yang satu menjadi sebuah
kesatuan padanan sosial. Moralitas merupakan suatu ciri manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk selain manusia.
48
Jika Islam berpandangan hakikat terbentuknya sosial masyarakat sempurna
45
Emile Durkheim, Professional Ethics and Civic Morals, London:, The Taylor Francis e- Library, 2003, h. xxviii.
46
Lukas Ginting, Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan oleh Emile Durkheim, Jakarta: Erlangga, 1990, h. xxi.
47
Ibid., h. xxii.
48
Syaiful Sagala, Etika Moralitas Pendidikan; Peluang dan Tantangan, Jakarta: Kencana, 2013, Cet. I, h. 1.
57
diberi akal dan nafsu berasal dari nenek moyang kita yaitu Nabi Adam dan Hawa, maka tepatlah ”Buah jatuh tak akan jauh dari dari
pohonnya” sebagai pribahasa yang tepat yang mendasari unsur
ideologi terbentuknya moralitas sosial yang paling terkecil. Walaupun, tak semua proses moralitas menyerupai hukum pemantulan cahaya
dalam cermin sinar datang = sinar pantul, tetapi secara normalnya proses interaksi individu saat pertama kali menjadi bagian anggota
keluarga, baik setelah lahir maupun masih dalam kandungan yaitu kedua orang tuanya sendiri.
Unsur lain yang tak kalah pentingnya dalam pembentukan moralitas yaitu pendidikan formal dan non formal, Politik,
IndustriEkonomi, serta informasi dari luar, seperti berita kejadian sesuatu baik media masa televisi, akun sosial media dan lain-lain
maupun media cetak koran, majalah banner dan lain-lain. Jadi skema dari alur pembentukan moralitas adalah sebagai berikut:
Dari skema di atas, kita bisa melihat perputaran dari suatu proses pembentukan moralitas dalam masyarakat. Siapa yang paling kuat,
siapa yang paling mempunyai kekuasaan, siapa yang sering memberi dan siapa yang paling masuk akal untuk mempengaruhi akan
Ayah Ibu
Ayah
Ibu Ayah
Ibu
Ayah Ibu
A n
a k
A n
a k
Anak Anak
Alur Pembentukan Moralitas
58
membentuk individu dalam tatanan sosial tersebut, sesuai dengan data yang diterimanya.
Dalam Islam terdapat tiga nilai keteladanan utama, yaitu akhlak, adab dan keteladanan.
49
Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung jawab selain syari‟ah dan ajaran Islam secara umum. Sedangkan term
adab merujuk kepada sikap yang dihubungkan dengan tingkah laku yang baik. Dan keteladanan merujuk kepada kualitas karakter yang
ditampilkan oleh seorang muslim yang baik yang mengikuti keteladanan Nabi Muhammad Saw. Ketiga nilai inilah yang menjadi
pilar pendidikan karakter dalam Islam.
50
Untuk itu, karakter Islam dalam sosial menjadi dasar dari keteraturan berinteraksi. Pendidikan Islam sangatlah universal
cakupannya dan semuanya merujuk pada suatu keteraturan. Akhlak, adab dan keteladanan merupakan dasar penenaman pendidikan dalam
Islam, kesemuanya merupakan unsur yang harus ada dalam menghiasi sosial Islami. Dibutuhkan penggerak yang paham akan nilai standar
Islam, serta koordinasi yang berkesinambungan di antara pihak-pihak yang berperan dalam mencapai tujuan nilai-nilai Islami.
Maka, idealnya dalam menghasilkan fenomena sosial yang menurut Durkheim terbentuk dari unsur-unsur hingga menjadi satu
kesatuan, tak akan pernah lepas dari satuan terkecil tersebut. Sehingga satuan terkecillah yang akan menjadi pondasi dari suatu pembentukan
fenomena yang terencana. Untuk itu, diperlukan pembentukan terencana juga untuk mendapatkan hasil yang direncanakan pada
satuan terkecil dalam unsur tersebut. Satuan terkecil sebagai tokoh yang berperan aktif dalam
menciptakan fenomena sosial yang ada yang sekaligus menjadi salah satu pelopor utama dalam pembentukan karakter dan menjadi rujukan
49
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Persepektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011, Cet. I, h. 58.
50
Ibid.
59
utama dalam Islam sebagai imam dalam bersosial skala kecil yaitu orang tua.