Durkheim dan Idealnya Lingkungan Sosial Pendidikan Islam

48 indikator penentu mengenai kualitas keamanan, kesejahteraan, dan kemakmuran masyarakat sehingga besar kecilnya tindak pidana juga mendeskripsikan besar kecilnya tingkat penanganan keamanan serta besar kecilnya tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat. 26 Gambaran keadaan sosial bangsa Indonesia dapat dilihat pada diagram di bawah ini: Jumlah Tindak Pidana, Angka Kemiskinan, dan Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia diolah, sumber : Statistik Indonesia 2014, Dok.Pri Sebagaimana yang dijelaskan Durkheim mengenai tindakan sosial: The rate of occurrence wheather frequent or infrequent of a social fact may serve as an index of an uderlying social reality and of the trends which pervade it. A scientifically measured statistical rate is a sign of „a certain state of the collective consciouseness’. 27 Tingkat keterjadian suatu fakta sosial entah sering atau tidak dapat berfungsi sebagai indeks yang menggarisbawahi keyataan sosial dan kecendrungan yang kuat di dalamnya. Suatu tingkat statistik yang 26 Joko Ade Nursiono, Tindak Pidana di Indonesia Masih Tinggi ini Penyebabnya, 2015, www.kompasiana.com. 27 Emile Durkheim, Sociology and Philosophy, London: Cohen West LTD, 1953, h. xviii. 49 diukur secara ilmiah merupakan suatu tanda „keadaan kesadaran kolektif tertentu‟. 28 Data statistik di atas menjadikan tantangan bagi bangsa Indonesia dari era globalisasi yang dihadapi, bagaimana bangsa ini mempertahankan jati dirinya sebagai bangsa yang mempunyai karakter yang berbudi luhur yang merupakan warisan dan tujuan dari pendiri bangsa Indonesia. Sebagaimana yang dikutip dari majalah Formula Vol. IV-Juni 2010, Agung Laksono menegaskan Arahan Presiden RI dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Kesra tanggal 18 Maret 2010, arahan Presiden RI pada Rapat Kerja Nasional di Tapak Siring, Bali tanggal 19 –20 April 2010, serta arahan Presiden RI pada Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasioanal di Istana Negara tanggal 11 Mei 2010 ; “Tujuan desain induk pembangunan karakter bangsa adalah membina dan mengembangkan karakter warga negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh ra kyat Indonesia”. 29 Diperkuat lagi dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang dikutip dalam majalah Formula, vol.IV-Juni 2010 bahwa : “Character Building sudah mulai kita lupakan”. 30 Jadi jelaslah terlihat kekhawatiran Durkheim mengenai nilai moralitas yang terjadi karna perubahan dalam bidang perekonomian serta kebijakan dalam politik memberikan benturan keras akan nilai- nilai kemanusiaan yang ada pada saat itu. Dalam catatan sejarah nasional telah diabadikan bahwa menjelang akhir pemerintahan Orde Lama ORLA pembangunan karakterbudi diluluhlantahkan oleh “Kekuatan Politik”. Memasuki Orde Baru ORBA untuk membangun karakterbudi pekerti anak bangsa melalui Pedoman Penghayatan dan 28 Soejono Dirdjosisworo, op.cit., h. xvii 29 Maswardi Muhammad Amin, op.cit., h.13. 30 Ibid., h. 12. 50 Pengamalan Pancasila P4, namun lenyap begitu saja karna tidak adanya perilaku “Keteladanan” dari kepemimpinan nasional seperti yang didoktrinkan dalam P4 tersebut. Pembangunan karakterbudi pekerti sebagaimana diamanahkan oleh pendiri negeri ini yang memperjuangkan dengan jiwa, raga, dan harta menjadi terhambat. Pesan pendiri negeri ini adalah pembangunan sebagai isian dari kemerdekaan harus mengedepankan “national character building ”membangun karakterbudi pekerti bangsa. Terhambatnya “national character building” disebabkan oleh penekanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara diutamakan adalah pembangunan ekonomi, fisik, material, sementara pembangunan karakterbudi pekerti kejiwaan diabaikan. 31 Untuk itu, Durkheim melihat nilai moralitas inilah yang bisa memberikan keluwesan dalam bermasyarakat dan memberikan keseimbangan dalam menjalankan fungsinya sebagai elemen-elemen sosial. Kesimpulan yang bisa diambil penulis dari pokok utama pandangan Durkheim dalam membentuk lingkungan sosial agar tercipta kesadaran kolektif yang mengarah kepada keseimbangan dan keteraturan dalam hidup berkelompok, yaitu didasarkan pada nilai moralitas yang disepakati bersama dan mempunyai nilai kebaikan bagi individu tersebut maupun individu yang lainnya. Kejujuran, tidak merugikan orang lain, hendaknya pendidikan Islam bermuara pada akhlak. Seperti halnya nilai kebaikan dari sudut pandang moralitas, ajaran agama Islam yang disampaikan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dengan kitabnya Al- Qur‟an juga mengajarkan nilai- nilai kebaikan. Bahkan diriwayatkan dalam hadist, bahwa tujuan Allah mengutus Nabi Muhammad Saw hanya untuk menyempurnakan Akhlak tingkah laku, sebagaimana hadist Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. 31 Maswardi Muhammad Amin, op.cit, h. 14. 51 َع َِِثَدَح :َلاَق ٍسْيَوُأ َِِأ ُنْب ُليِعاَِْْإ اََ ثَدَح ِنْب ِدَمَُُ ْنَع ،ٍدَمَُُ ُنْب ِزيِزَعْلا ُدْب َِِأ ْنَع ،ٍميِكَح ِنْب ِعاَقْعَقْلا ِنَع ،َن ََْجَع ٍحِلاَص ِناَمَسلا َِللا َلوُسَر َنَأ ،َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع ، : َلاَق َمَلَسَو ِْيَلَع ُها ىَلَص « َحِلاَص َمََُِِِ ُتْثِعُب اَََِإ ِق ََْخَِْا » 32 Ismail bin Abi Uyaisi berka ta: Abdul A’ziz bin Muhammad menceritakan kepadaku hadis dari Muhammad bin „Ajlan dari Al Qo’qa’i bin Hakim dari Abi Soleh As Samman dari Abi Hurairah sesungguhnya Rasulullah berkata : “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” Dalam hadist tersebut ada dua poin yang harus diperhatikan, pertama yaitu bagaimana berakhlak mulia kepada Sang Khalik dan yang ke dua bagaimana berakhlak mulia kepada sesama manusia Suatu konsep yang biasanya dipandang mejadi karakteristik dari segala sesuatu yang religius adalah konsep supernatural. Yang supernatural adalah tatanan hal-ihwal yang berada di luar kemampuan pemahaman kita; yang supernatural adalah dunia misteri, yang tidak bisa diketahui atau yang tidak bisa ditangkapakan dan dicerap indra. Maka agama menjadi semacam spekulasi terhadap segala sesuatu yang ada di luar sains atau akal sehat pada umumnya. 33 Tuhan pada awalnya adalah sesuatu yang dipandang manusia superior dari dirinya dalam hal-hal tertentu dan merupakan tempat menggantungkan kepercayaan . apakah sesuatu tersebut berupa satu pribadi, seperti Zeus atau Yahweh, atau permainan kekuatan-kekuatan abstrak sebagaimana yang terdapat dalam totemisme, para hamba percaya bahwa mereka terikat dengan tata laku tertentu yang dititahkan oleh prinsip sakral kepada mereka. Masyarakat juga menimbulkan semacam rasa ketergantungan pada dalam diri kita. 34 32 Muhammad Ibnu Isma‟il Ibnu Ibrahim Ibnu Al Mugirah Al Bukhari Abu „Ubaid, Al Adab Al Mufrad, Bairut: Daarul Bashaair Al Islamiyah, 1989, Juz 1, h. 104. 33 Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, Jogjakarta: Ircisod, 2011, Cet. I, h. 49. 34 Ibid., h. 305-306. 52 In the conclusion of Elementary Forms Durkheim argue that religion is not some historic phenomenon destined soon to fade away. The existence of society itself depends on the recurrence of periodic ritual, and only through such events can the sentiments of individuals be united: 35 Dalam penutup buku Elementary Forms Durkheim berpendapat bahwa agama adalah sejarah beberapa fenomena tidak ditakdirkan untuk segera memudar. Keberadaan masyarakat itu sendiri tergantung pada ritual pengulangan periodik, dan hanya melalui peristiwa tersebut bisa menjadi perasaan individu yang disatukan. Dengan demikian peranan agama dalam pengaplikasiannya di masyarakat mengikat solidaritas antar individu di dalamnya, yang artinya kelompok yang terbentuk di dalam masyarakat bukan sekedar ada kepentingan bersama, melainkan ada suatu yang dianggap baik yang ingin selalu ada dalam lingkungannya dan kebaikan tersebut terjaga dan terlestarikan oleh penerusnya. Bahkan Durkheim mengemukakan pandangannya terhadap peranan agama di dalam kehidupan bermasyarakat; Not until 1895 did I have a clear sense of the vital role played by religion in social life. It was in that year that, for the first time, I found a way of approaching the study of religion through sociology. It was a revelation. This lecture course of 1895 marks a dividing line in the development of my thinking, so much so that all my previous research had to be re-evaluated to be brought into line with these new views. 36 Tidak sampai 1895 aku memiliki rasa yang jelas tentang peran penting yang dimainkan oleh agama dalam kehidupan sosial. Saat di tahun itu bahwa, untuk pertama kalinya, saya menemukan cara untuk mendekati studi agama melalui sosiologi. Ini adalah sebuah wahyu. Kuliah ini dari 1895 menandai garis pemisah dalam pengembangan 35 Emile Durkheim, Durkheim on Morality and Society Selected Writings, Chicago: The University of Chicago Press, 1973, h. xlix. 36 Emile Durkheim, Sociologist and Moralist, London: The Taylor Francis e-Library, 2005, h. 116-117. 53 pemikiran saya, begitu banyak sehingga semua penelitian saya sebelumnya harus dievaluasi kembali untuk dibawa ke sejalan dengan pandangan-pandangan baru. Menurut Prof. Dr. H. Jalaludin dalam bukunya Psikologi Agama fungsi agama dalam masyarakat adalah sebagai berikut: a. Berfungsi edukatif Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. 37 dalam ajarannya terdapat nilai-nilai kebaikan dan keburukan dalam pengaplikasian mereka sebagai penganut agama yang sesuai dengan yang ada dalam ajaran agamanya. b. Berfungsi penyelamat Di mana pun manusia berada dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutya melalui: pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan. 38 Tuhan yang mereka sembahlah yang nantinya diharapkan sebagai penolong mereka di kedua alam tersebut. c. Berfungsi sebagai pendamaian Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang pelanggar telah menebus dosanya melalui: tobat, pensucian ataupun penebusan dosa. 39 Penyesalan dalam dosa 37 Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi XI, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005 , h. 261. 38 Ibid. 39 Ibid., h. 262. 54 memberikan pengharapan baru kepada si penganut dalam mendapatkan ketenangan beribadah dalam batinnya. d. Berfungsi sebagai social control Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok, karena: 1 Agama secara instansi, merupakan norma bagi pengikutnya. 2 Agama secara dogmatis ajaran mempunyai fungsi yang kritis yang bersifat profetis wahyu, kenabian. 40 e. Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan: iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan. 41 Rasa solidaritas tersebut merupakan ikatan yang terbentuk dalam menyatukan frem mereka terhadap ajaran agamanya. f. Berfungsi sebagai trasformatif Ajaran agama dapat mengubah kehidupan keperibadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluknya itu, kadang kala mampu mengubah kesetiaanya kepada adat atau norma kehidupan yang dianutnya sebelum itu. 42 40 Ibid. 41 Ibid., h. 263. 42 Ibid. 55 g. Berfungsi kreatif Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru. 43 Berkreasi dan berinovasi memberikan pandangan bahwa agama tersebut mempunyai nilai lebih, selain agama itu dipandang sebagai hal yang sakral dalam nilai-nilai religius saja. h. Berfungsi sublimatif Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi, melainkan juga bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma- norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah. 44 Keselarasan antara aturan agama dengan tata norma yang ada dalam masyarakat memberikan suatu keharmonisan dalam menjalankan kedua aturan tersebut, supaya bisa saling beriringan dan saling bersinergi di antara keduanya . Maka agama pun memberikan peran utama dalam menjaga ketertiaban sosial yang berada di masyarakat. Selain nilai ketaatan yang didapat, ada nilai ibadah juga akan kita dapatkan. Ketika nilai ibadah atau amal ini diutamakan dalam lingkungan masyarakat, maka besar kemungkinannya akan mempengaruhi nilai moralitas individu yang ada di dalamnya, seperti yang dituturkan Durkheim berikut; While Durkheim could see no ready social or political solution to this moral problem, he believed that only a special type of consciousness based on charity and human sympathy may overcome 43 Ibid. 44 Ibid. 56 the tendency to judge the moral worth of a person in terms of their social background. 45 Sementara Durkheim melihat tidak ada kesiapan solusi sosial atau politik untuk masalah moral, ia percaya bahwa hanya ada jenis khusus dari kesadaran berdasarkan amal dan simpati manusia yang dapat mengatasi kecenderungan untuk menilai nilai moral seseorang dalam hal latar belakang sosial mereka. Menurut penulis dalam hal ini Durkheim melihat bahwa, pertama dalam menyelesaikan masalah moral dalam lingkungan sosial atau politik yaitu dengan adanya kesadaran berdasarkan amal. Kedua, dalam menilai nilai moral seseorang harus berdasarkan nilai simpati manusia itu sendiri, yang artinya besar kecilnya nilai moral seseorang akan terlihat dari besar kecilnya seseorang itu peduli terhadap orang lain, sehingga memberikan nilai empati untuk dirinya. Sifat kehidupan kelompok membentuk cara orang berpikir, merasa, mengingat – dan apa yang dianggap mereka bersifat moral. 46 Moralitas merupakan ciptaan sosial, maka representatif moralitas merupakan suatu yang masih abstrak dalam suatu lingkungan. Kapan saja unsur-unsur tertentu bergabung dan dengan demikian menghasilkan fenomena baru, jelaslah bahwa fenomena ini terletak bukan pada unsur-unsur semula tetapi pada keseluruhan yang dibentuk oleh kesatuan mereka. 47 Jadi realitas dari sebuah fenomena berasal dari unsur-unsur yang bersatu. Satu dengan yang satu menjadi sebuah kesatuan padanan sosial. Moralitas merupakan suatu ciri manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk selain manusia. 48 Jika Islam berpandangan hakikat terbentuknya sosial masyarakat sempurna 45 Emile Durkheim, Professional Ethics and Civic Morals, London:, The Taylor Francis e- Library, 2003, h. xxviii. 46 Lukas Ginting, Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan oleh Emile Durkheim, Jakarta: Erlangga, 1990, h. xxi. 47 Ibid., h. xxii. 48 Syaiful Sagala, Etika Moralitas Pendidikan; Peluang dan Tantangan, Jakarta: Kencana, 2013, Cet. I, h. 1. 57 diberi akal dan nafsu berasal dari nenek moyang kita yaitu Nabi Adam dan Hawa, maka tepatlah ”Buah jatuh tak akan jauh dari dari pohonnya” sebagai pribahasa yang tepat yang mendasari unsur ideologi terbentuknya moralitas sosial yang paling terkecil. Walaupun, tak semua proses moralitas menyerupai hukum pemantulan cahaya dalam cermin sinar datang = sinar pantul, tetapi secara normalnya proses interaksi individu saat pertama kali menjadi bagian anggota keluarga, baik setelah lahir maupun masih dalam kandungan yaitu kedua orang tuanya sendiri. Unsur lain yang tak kalah pentingnya dalam pembentukan moralitas yaitu pendidikan formal dan non formal, Politik, IndustriEkonomi, serta informasi dari luar, seperti berita kejadian sesuatu baik media masa televisi, akun sosial media dan lain-lain maupun media cetak koran, majalah banner dan lain-lain. Jadi skema dari alur pembentukan moralitas adalah sebagai berikut: Dari skema di atas, kita bisa melihat perputaran dari suatu proses pembentukan moralitas dalam masyarakat. Siapa yang paling kuat, siapa yang paling mempunyai kekuasaan, siapa yang sering memberi dan siapa yang paling masuk akal untuk mempengaruhi akan Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu A n a k A n a k Anak Anak Alur Pembentukan Moralitas 58 membentuk individu dalam tatanan sosial tersebut, sesuai dengan data yang diterimanya. Dalam Islam terdapat tiga nilai keteladanan utama, yaitu akhlak, adab dan keteladanan. 49 Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung jawab selain syari‟ah dan ajaran Islam secara umum. Sedangkan term adab merujuk kepada sikap yang dihubungkan dengan tingkah laku yang baik. Dan keteladanan merujuk kepada kualitas karakter yang ditampilkan oleh seorang muslim yang baik yang mengikuti keteladanan Nabi Muhammad Saw. Ketiga nilai inilah yang menjadi pilar pendidikan karakter dalam Islam. 50 Untuk itu, karakter Islam dalam sosial menjadi dasar dari keteraturan berinteraksi. Pendidikan Islam sangatlah universal cakupannya dan semuanya merujuk pada suatu keteraturan. Akhlak, adab dan keteladanan merupakan dasar penenaman pendidikan dalam Islam, kesemuanya merupakan unsur yang harus ada dalam menghiasi sosial Islami. Dibutuhkan penggerak yang paham akan nilai standar Islam, serta koordinasi yang berkesinambungan di antara pihak-pihak yang berperan dalam mencapai tujuan nilai-nilai Islami. Maka, idealnya dalam menghasilkan fenomena sosial yang menurut Durkheim terbentuk dari unsur-unsur hingga menjadi satu kesatuan, tak akan pernah lepas dari satuan terkecil tersebut. Sehingga satuan terkecillah yang akan menjadi pondasi dari suatu pembentukan fenomena yang terencana. Untuk itu, diperlukan pembentukan terencana juga untuk mendapatkan hasil yang direncanakan pada satuan terkecil dalam unsur tersebut. Satuan terkecil sebagai tokoh yang berperan aktif dalam menciptakan fenomena sosial yang ada yang sekaligus menjadi salah satu pelopor utama dalam pembentukan karakter dan menjadi rujukan 49 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Persepektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011, Cet. I, h. 58. 50 Ibid. 59 utama dalam Islam sebagai imam dalam bersosial skala kecil yaitu orang tua.

4. Fakta Sosial dan Pembentukan Karakter dalam Islam

a. Pembentukan karakter Emile Durkheim dalam fakta sosial Fakta sosial menurut Emile Durkheim merupakan suatu rangkaian kegiatan dan interaksi individu dalam suatu masyarakat dalam kurun waktu tertentu, sehingga mendapatkan suatu pola kegiatan yang disepakati bersama dalam lingkungan masyarakat tersebut yang nantinya membentuk sebuah kebiasaan, peraturan, norma dan lain sebagainya. Pola tersebut menjadi sebuah ciri khas dari adanya masyarakat tersebut dan hal itu akan diwariskan secara turun-temurun kepada para calon anggota masyarakat yang berada disana nantinya. Pembentukan karakter berawal dari sebuah interaksi kehidupan beberapa individu yang berada dalam suatu tempat. Karakter juga merupakan hasil dari berbagai keragaman kelakuan yang disepakati bersama. Sehingga dasar dari adanya karakteristik berasal dari adanya kehidupan. Durkheim pernah mendefinisikan dasar dari kehidupan. Its life is uniform, languishing and dull. But when the tribe gathers together and a corrobbori takes place, everything changes. 51 Hidup adalah seragam, mendekam dan membosankan. Tetapi ketika suku berkumpul bersama-sama dan corrobbori mengambil tempat, semuanya berubah.” Jadi, menurut penulis bentuk sederhana alur sebuah kehidupan seseorang menurut Durkheim yang seragam yaitu, dikandung, dilahirkan, tumbuh menjadi anak-anak, tumbuh dewasa, menikah, mencari tempat tinggal, punya keturunan dan meninggal. 51 Emile Durkheim, On Morality and Society, London: The University of Chicago Press, 1973, h. xlv. 60 Perubahan terjadi ketika ada perkumpulan dari beberapa orang bermasyarakat dan adanya “corrobbori”. Corrobbori merupakan nama acara ritual mistik yang ada pada suku pedalaman Australia. Artinya dengan adanya kegiatan di dalam suatu kelompok dan kegiatan itu dianggap sakral bagi kelompoknya, maka akan saling menyatukan diantara setiap anggota kelompok yang ada di dalamnya. Dalam pembentukan kesepakatan kelakuan atau tata tertib yang ada di dalam kelompok masyrakat terdapat peranan tokoh masyarakat sebagai pemberi keputusan terhadap kebijakan yang ada di dalam masyarakat itu. Selain sebagai pemberi kebijakan, seorang tokoh masyarakat akan mencerminkan nilai-nilai yang harus ada di kelompok masyarakatnya untuk nantinya diikuti oleh anggota masyarakatnya. Durkheim was not saying that the role of the scholar is to carry out his research without regard to his society, but he did argue for the autonomous worth and vitality of the intellectual role. The intellectual is called to hold a mirror to his society, to make conscious its deepest values. 52 Durkheim tidak mengatakan bahwa peran pelajar tokoh masyarakat adalah untuk melakukan penelitian tanpa memperhatikan masyarakat, tapi ia berpendapat untuk nilai otonom dan daya peran intelektual. Intelektual diberikan kepada yang memberikan cerminan kepada masyarakatnya, untuk membuat sadar nilai-nilai terdalam. Maka jelaslah, pembentukan karakter menurut Durkheim tersusun atas suatu aturan tertulis maupun tidak tertulis yang diberlakukan pada kelompok masyarakat yang mendiami suatu daerah atas kesepakatan para pemegang tokoh yang berpengaruh untuk mengikuti aturan tersebut. Pemberlakuan aturan tersebut 52 Ibid,. h. xxxvii. 61 selanjutnya menjadi suatu pembiasaan yang mengikat pada setiap anggotanya dalam melakukan sesuatu, sehingga sadar ataupun tidak sadar pembiasaan itulah yang akan menjadi sebuah karakter seseorang. b. Pembentukan karakter dalam Islam Kita mengetahui bahwa sumber pembentukan karakter utama dalam Islam yaitu al-quran dan al-hadits. Tapi jika kita mengaitkan bahwa bagaimana karakter itu bisa disampaikan di lingkungan sosial, tentunya membutuhkan peran utama sebagai panutan. Panutan yang paling sempurna dalam Islam sendiri yaitu Nabi Muhammad saw, selain sebagai penyampai berita dari Allah sekaligus sebagai pemberi contoh dalam penanaman karakter Islam. Tingkahlaku Rasulullah merupakan gambaran al-quran dalam kehidupan sehari-harinya, selain itu ada hadits sebagai pelengkap dalam menyempurnakan karakter dalam Islam. Karna dalam pembentukan karakter sangat erat kaitannya dengan apa yang didengar dan yang dilihat, maka pelengkap atau hadits jika dilihat dari segi bentuknya terbagi menjadi 5 bagian, diantaranya: 1 Hadits qauli Merupakan segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi saw. Dengan kata lain hadits qauli hadits berupa perkataan Nabi saw. 53 َع ْن َر ِب ْب يع ِن ِح َر َأ شا َن ُ َِْ َع َع ِل ي َر ا ِض َي ُها َع ِ َْي ُط ُب َق َلا َق : َلا َر ُس ُلو ها َص َل ُها ي َع َل ْي ِ َو َس َل م َل ََ ْك ِذ ُب َع او َل َي َف ِا َن ُ َم ْن َي ْك ِذ ُب َع َل َي َي ِل ُج َلا َرا 54 Dari Rab’iy bin Hirasy sesungguhnya dia mendengar Ali ra sedang khutbah dan berkata bahwa Rasulullah saw bersabda “Janganlah kalian berdusta atas namaku karena 53 M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2011, Cet II, h. 21. 54 Majid Khon dkk, Ulumul Hadits, Jakarta: Pusat Studi Wanita PSW, 2005, h. 132.