28
manusia itu akan menggagahinya lantaran keistimewaan manusia memperoleh helah dan daya upaya.”
38
Pendapat al-Ghazali tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia mempunyai kelebihan dari hewan karena akalnya, yang kemudian karena
akhlaknya. Jika tanpa akhlak, manusia akan lebih buas dan lebih jahat daripada hewan, kehidupannya akan kacau. Seperti di ketahui akhlak
adalah suatu ukuran tentang segala perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dalam segala
lingkungan pergaulan. Sekalipun rasa moral yang mendasari akhlak itu merupakan naluri yang dibawa manusia sejak lahir, namun tidak jarang
setelah ia melihat kenyataan dalam kehidupan, manusia menjadi bimbang untuk memilih yang baik, hal mana memerlukan petunjuk wahyu.
3. Muara Akhlak
Al-Qur’an dan al-Hadits mendasari seluruh ajaran al-Ghazali dan menjadi sumber utama inspirasi dari nilai-nilai pribadi dan sikap dalam
kehidupannya, begitu juga mengenai konsep akhlak yang dikemukakan beliau.
39
Berbicara mengenai akhlak tidak akan terlepas dari sendi-sendi akhlak sebagaimana telah dikemukakan diatas yaitu akhlak mulia dan akhlak
tercela, Baik Akhlak mulia ataupun akhlak tercela tersebut tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Adapun akhlak yang dipandang tinggi nilainya dan dicita-citakan oleh segenap lapisan masyarakat adalah akhlak
mulia. Akhlak selalu merujuk kepada keadaan atau suasana jiwa seseorang.
Bila seseorang melakukan suatu perbuatan, bukan hasil atau perbuatannya yang dilihat melainkan suasana kejiwaannya, tetapi bagaimana mungkin
38
Moh. Ardani, Nilai-Nilai AkhlakBudi Pekerti Dalam Ibadat, Jakarta: CV. Karya Mulia, 2001, Cet. I, h. 58.
39
Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali, terj., Anas Mahyuddin dari judul asli The Concept of Man in Islam in The Writings of Al-Ghazali, Bandung: Pustaka, 1981, Cet. I,
h. 1-2
29
keadaan jiwa seseorang itu bisa diketahui. Kejiwaan seseorang bisa dilihat dari segi sikap atau kesungguhannya, karena dalam akhlak akhlak mulia
yang didasari sifat ke-Tuhan-an tidak akan bersikap hipokrit dan kepura- puraan. Akhlak mestilah dilakukan tanpa rekayasa yang benar-benar muncul
dari dalam diri seseorang. Oleh karena itu persoalan akhlak merupakan persoalan batin seseorang yang tidak mudah untuk ditebak.
40
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa al-Khalqu ciptaan, makhluk dan al-Khuluqu budi pekerti itu adalah dua ibarat yang dipergunakan
bersama-sama. Seperti diucapkan bahwa Fulan itu bagus tingkah laku atau perangainya. Yang dimaksud al-Khalqu adalah tingkah laku lahiriyah dan
yang dimaksudkan dengan al-Khuluqu adalah tingkah laku batiniyah. Karena manusia terdiri dari jasad yang dapat dilihat oleh mata dan dari ruh serta jiwa
yang dapat dilihat dengan penglihatan hati. Masing-masing dari keduanya mempunyai eksistensi dan bentuk, ada kalanya buruk dan ada kalanya baik.
Adapun jiwa yang dapat dilihat dengan penglihatan hati itu lebih besar tingkatannya dari pada jasad yang dapat dilihat dengan mata.
41
Karena ruh roh atau jiwa menunjukan kelembutan Ilahi, dan seperti halnya Si “hati”, ia juga berada di dalam hati badaniah roh di masukkan ke
dalam tubuh melalui “saringan yang halus”. Pengaruhnya terhadap tubuh ialah seperti lilin di dalam kamar. Tanpa meninggalkan tempatnya,
cahayanya memancarkan sinar kehidupan bagi seluruh tubuh. Pada dasarnya, roh merupakan lathifah dan oleh karenanya ia
merupakan suatu unsur Ilahi. Sebagai sesuatu yang halus, ia merupakan kelengkapan
pengetahuan yang
tertinggi dari
manusia, yang
bertanggungjawab terhadap sinar dari penglihatan yang murni, apabila manusia bebas seluruhnya dari kesadaran fenomenal.
42
40
http: www. Mubarok. Institute. Blogspot. com
41
Imam al-Ghazali, c, Terj. Semarang: CV. Asy Syifa’ 2003, Jilid. ke-5. h. 107-108
42
Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali, terj., Anas Mahyuddin dari judul asli The Concept of Man in Islam in The Writings of Al-Ghazali, Bandung: Pustaka, 1981, Cet. I, h.
132
30
Allah mengagungkan urusan jiwa dengan disandarkan kepada-Nya. Allah berfirman:
اَذِﺈَﻓ ُﻪُﺘْـﻳﱠﻮَﺳ
ُﺖْﺨَﻔَـﻧَو ِﻪﻴِﻓ
ﻦِﻣ ﻲِﺣوﱡر
اﻮُﻌَﻘَـﻓ ُﻪَﻟ
َﻦﻳِﺪِﺟﺎَﺳ ص
۳٨
:
٧٢
Artinya: “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila
telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya ruh ciptaan-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan sujud
kepadanya.” Q.S. Shaad38 : 71-72
Berdasarkan ayat diatas, al-Ghazali menyatakan bahwa manusia mempunyai dua unsur: yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani berupa
tubuh yang dihubungkan atau disandarkan dengan tanah thin, sedangkan unsur Ruhani berupa jiwa dihubungkan dengan Allah SWT.
43
Yang dimaksudkan dengan ruh dan jiwa pada tempat ini adalah satu. Maka al-Khuluqu budi pekerti itu suatu ibarat tentang keadaan dalam jiwa
yang menetap di dalamnya. Dari keadaan dalam jiwa itu muncul perbuatan- perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan penelitian. Maka
apabila dari tingkah laku seseorang itu muncul perbuatan-perbuatan baik dan terpuji secara akal dan syara’, maka itu disebut budi pekerti yang baik.
Tetapi sebaliknya apabila tingkah laku itu memuncul perbuatan buruk, maka keadaan yang menjadi tempat munculnya tingkah laku itu disebut budi
pekerti yang buruk. Maka budi pekerti itu adalah satu perumpamaan tentang keadaan jiwa
dan bentuknya yang batin. Sebagaimana bagusnya bentuk lahir itu secara mutlak tidak akan sempurna apabila hanya dengan dua mata saja tanpa
hidung, mulut dan kedua pipi, bahkan akan lebih sempurna apabila kesemua bentuk lahiriyah itu lengkap tanpa cacat. Demikian pula dalam batiniyah
seseorang itu harus ada empat rukun yang tidak boleh tidak harus bagus atau pun baik semua sehingga akan sempurna budi pekertinya, dan apabila
keempat rukun itu sama, lurus sejalan dan sesuai, niscaya akan berhasillah dalam mencapai budi pekerti yang baik. Yaitu kekuatan ilmu, kekuatan
43
Imam Al-Ghazali, Ihya ulum al-din, jilid III, h. 52
31
marah, kekuatan
nafsu syahwat
dan ketekunan
bertindak adil
keseimbangan.
44
Berbicara mengenai hati sebagaimana telah diterangkan oleh Imam al- Ghazali, selalu dikepung oleh sifat-sifat baik dan buruk tergantung dari
bisikan yang menghampirinya. Seolah-olah hati itu sasaran yang selalu diincar dari segala penjuru. Apabila hati itu tertimpa oleh suatu yang
membekas padanya, maka sesuatu itu akan menimpa pada hati lagi dari penjuru lain yang berlawanan dengan yang pertama. Kemudian berobahlah
sifat hati, dan apabila syetan turun pada hati dan mengajak hati melakukan hawa nafsu, maka turun pula malaikat pada hati lalu memalingkannya dari
syetan. Apabila syetan itu mengajaknya kepada kejahatan, niscaya hati itu ditarik oleh syetan lain kepada kejahatan lain, dan apabila hati itu ditarik
oleh malaikat kearah kebajikan, niscaya hati itu ditarik pula oleh malaikat lain kepada kebajikan lain. Maka disini dapat dilihat bahwa dalam satu
waktu hati dapat berlawanan antara dua malaikat, sekali waktu antara dua syaitan dan sekali waktu antara malaikat dan syetan. Hati tidak akan
dibiarkan sama sekali. Mengenai penjelasan ini Allah memberi isyarat dengan firman-Nya:
ُﺐﱢﻠَﻘُـﻧَو ْﻢُﻬَـﺗَﺪِﺌْﻓَأ
ْﻢُﻫَرﺎَﺼْﺑَأَو مﺎﻌﻧﻷا
٦
:
١١٠
Artinya: “Dan Kami
bolak-balikan hati
dan penglihatan
mereka”. Q.S. al An’aam6 : 110
Hati yang tetap pada kebajikan dan keburukan serta mondar-mandir antara keduanya itu terbagi menjadi tiga:
Pertama, hati yang dibangun dengan dasar taqwa, yang bersih dengan latihan dan suci dari kekejian-kekejian akhlak, tergores didalamnya lintasan-
lintasan kebajikan dari simpanan-simpanan barang yang samar dan tempat- tempat masuk alam malakut. Maka berpalinglah akal kepada berfikir tentang
yang terlintas padanya agar dapat diketahui kehalusan-kehalusan kebajikan
44
Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, Terj, Jilid V, h. 109-114
32
dan dapat disingkap rahasia-rahasia faidahnya. Kemudian tersingkaplah untuk itu mukanya dengan cahaya penglihatan mata hati. Maka ia
meneguhkan bahwa ia tidak boleh tidak untuk melakukan. Lalu ia tertarik kepadanya dan mengajaknya untuk melakukannya ketika itu malaikat
melihat kepada hati. Ia menemukan hati itu dalam keadaan bersih pada jauharnya, suci dengan ketaqwaannya, bersinar dengan cahaya akalnya dan
dibangun dengan cahaya-cahaya ma’rifah. Maka malaikat melihat bahwa hati itu patut dijadikan sebagai tempat ketetapan dan singgahannya. Pada
keadaan demikian malaikat membantunya dengan tentara yang tidak terlihat dan diberinya petunjuk kepada kebajikan-kebajikan yang lain. Demikian
seterusnya, tidak akan habis pertolongan dan memudahkan urusan kepadanya.
Hati yang demikian selalu akan memancarkan cahaya ke-Tuhan-an, akan membuahkan rasa syukur, sabar, takut, fakir, zuhud, kasih sayang,
ridha, rindu, tawakkal, tafakkur, mengoreksi diri. Itu merupakan hati yang selalu menghadapkan diri kepada Allah SWT dengan wajahnya.
Hati yang kedua, adalah hati yang hina, bercampur dengan hawa nafsu yang kotor, dengan akhlak-akhlak yang tercela dan keji. Pada hati itu terbuka
pintu-pintu syetan dan tertutup pintu-pintu bagi malaikat. Permulaan kejahatan pada hati ini tertanam hawa nafsu dan terukir di dalamnya. Hati
dengan lintasan hawa nafsu ini akan meminta fatwapetunjuk pada akal tetapi akal melayani hawa nafsu yang semakin berkembang yang
melemahkan iman sehingga nafsu syahwat mendominasi hati untuk menguasainya.
Hati yang ketiga, adalah hati yang didalamnya tertanam hawa nafsu yang mengajaknya kepada kejahatan, tetapi lintasan iman masih berperan
yang mengajaknya kepada kebajikan, ajakan lintasan iman membangkitkan nafsu dengan syahwat-syahwatnya untuk membantu lintasan kejahatan.
Maka nafsu semakin meningkatkan kesenangan dan kenikmatan. Akal berperan dengan kebajikannya yang menolak pihak nafsu syahwat.
33
Jelaslah bahwa muara akhlak atau pun budi pekerti itu bersumber dari hati, baik itu budi pekerti yang mulia atau budi pekerti yang tercela. Karena
hati tidak terlepas dari nafsu syahwat, bisikan syaitan, bisikan malaikat, posisi akal. Tergantung dari hati tersebut dapat dengan mudah atau tidak
untuk tunduk kepada nafsu syaitan atau malaikat. Jadi keadaan hati itu selalu terkurung dan diincar dengan berbagai bisikan. Posisi hati disini harus lebih
cenderung kepada
sifat-sifat ke-Tuhan-an,
dibangun dengan
dasar ketaqwaan, dan melatihnya riyadhah dengan mencegah nafsu syahwat dan
sifat marah.
4. Pembinaan Manusia Menuju Akhlak Mulia