Sendi-Sendi Akhlak Akhlak Karimah 1. Pengertian Akhlak Karimah

22 al-Ghazali memberikan definisi akhlak sebagai berikut: ٌةَرﺎَﺒِﻋ ْﻦَﻋ ٍﺔَﺌْﻴَﻫ ِﰲ ِﺲْﻔﱠـﻨﻟا ٌﺔَﺨِﺳاَر , ﺎَﻬْـﻨَﻋ ُرُﺪْﺼَﺗ َلﺎَﻌْـﻓَﻷا ْﻮُﻬُﺴِﺑ ٍﺔَﻟ ٍﺮْﺴُﻳَو ْﻦِﻣ ٍﺔَﺟﺎَﺣِْﲑَﻏ َﱃِإ ٍﺮْﻜِﻓ ٍﺔﱠﻳِوَرَو , ْنِﺈَﻓ ْﺖَﻧﺎَﻛ ُﺔَﺌْﻴَﳍا ُﺚْﻴَِﲝ ُرُﺪْﺼَﺗ ﺎَﻬْـﻨَﻋ ُلﺎَﻌْـﻓَﻷا ُﺔَﻠْـﻴِﻤَﳉا ُةَﺪُﻤْﺤَﳌا ًﻼْﻘَﻋ ﺎًﻋْﺮَﺷَو ْﺖَﻴُِﲰ َﻚْﻠِﺗ ُﺔَﺌْﻴَﳍا َوﺎًﻨَﺴَﺣﺎًﻘُﻠُﺧ ْنِإ َنﺎَﻛ ُرِدﺎﱠﺼﻟا ﺎَﻬْـﻨَﻋ ُلﺎَﻌْـﻓَﻷا ُﺔَﺤْﻴِﺒَﻘﻟا ْﺖَﻴُِﲰ ُﺔَﺌْﻴَﳍا ِﱴﱠﻟا َﻲِﻫ ُرَﺪْﺼَﳌا ًﻘْﻠُﺣ ﺎ ًﺎﺌْﻴَﺳ Artinya: “Adalah suatu sikap hay’ah yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.” 31 Berdasarkan definisi akhlak diatas, maka akhlak yang mulia al- Akhlak al-Karimahal-Mahmudah, yaitu kondisi kejiwaan seseorang yang senantiasa berada dalam kontrol ilahiyah yang dapat membawa nilai-nilai positif dan kondusif bagi kemaslahatan umat. Dengan demikian maka setiap perbuatan positif yang dilakukan seseorang secara sadar menyangkut pertanggung jawabannya dengan Tuhan.

2. Sendi-Sendi Akhlak

Dalam wujud pengamalannya, akhlak dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu akhlak terpuji dan akhlak tercela. Jika sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya yang kemudian melahirkan perbuatan yang baik, maka itulah yang dinamakan akhlak tepuji. Sedangkan jika ia sesuai dengan apa yang dilarang Allah SWT dan Rasul-Nya dan melahirkan perbuatan- 31 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Beirut: Dar Al-Fikr, 1989, Jilid III, h. 58 23 perbuatan yang buruk, maka itulah yang dinamakan akhlak tercela. 32 Berikut penjelasan mengenai kedua akhlak tersebut: a Akhlak Terpuji Mengenai akhlak yang terpuji ada empat sendi yang cukup mendasar dan menjadi induk seluruh akhlak. al-Ghazali dalam hubungan ini mengatakan: …Seperti demikian pula pada batiniah itu ada empat sendi. Tidak boleh tidak, harus bagus semuanya, sehingga sempurnalah kebagusan akhlak. Apabila sendi yang empat itu lurus, betul dan sesuai, niscaya berhasillah kebagusan akhlak. Yaitu: kekuatan ilmu, kekuatan marah, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keseimbangan diantara kekuatan yang tiga tersebut. 33 Induk-induk akhlak yang baik ummahat mahasin al-akhlak adalah sebagai berikut: 1 Kekuatan ilmu, yaitu kebaikannya terletak pada kekuatan ilmu. Dengan kekuatan ilmu itu akan mudah untuk mengetahui perbedaan kondisi jiwa seseorang antara yang jujur dan yang berdusta dalam perkataan, antara yang benar dan yang bathil dalam beri’tikad dan diantara yang baik dan yang buruk dalam perbuatan. 34 Maka apabila kekuatan ilmu ini baik niscaya akan menuai hikmah dari padanya, hikmah inilah merupakan pokok dari pada budi pekerti yang baik. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT: ِﰐْﺆُـﻳ َﺔَﻤْﻜِْﳊا ﻦَﻣ ُءﺂَﺸَﻳ ﻦَﻣَو َتْﺆُـﻳ َﺔَﻤْﻜِْﳊا ْﺪَﻘَـﻓ َِﰐوُأ اًﺮْـﻴَﺧ اًﲑِﺜَﻛ ُﺮﱠﻛﱠﺬَﻳﺎَﻣَو ﱠﻻِإ اﻮُﻟْوُأ ِبﺎَﺒْﻟَﻷْا : ةﺮﻘﺒﻟا ۲٦٩ Artinya: “Barang siapa yang dianugrahi al-hikmah itu, ia benar- benar telah dianugerahi karunia banyak.” Q.S. al- Baqarah: 269 32 Dewan Redaksi, Ensiklopedi al-Qur’an Dunia Islam Modern, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002, h. 135 33 Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin Terj. Semarang: CV. Asy Syifa’ 2003, jilid. V, h. 53 34 Dewan Editor, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Volume III, h. 332 24 2 Kekuatan marah wujudnya adalah syaja’ah keberanian, maka kebaikannya berada pada keadaan jiwa yang dapat menundukkan amarah untuk patuh kepada akal pada waktu dilahirkan atau dikekang. 3 Kekuatan nafsu syahwat wujudnya adalah ‘iffah perwira, kebaikannya ketika syahwat dalam keadaan terdidik oleh akal dan syariat agama atau situasi jiwa yang mampu menertibkan nafsu atas dasar pertimbangan akal dan syariat agama. 4 Kekuatan keseimbangan diantara kekuatan yang tiga diatas wujudnya ialah adil, yaitu kondisi jiwa yang dapat mengendalikan amarah dan syahwat sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh akal dan syara’, posisi akal disini diumpamakan seperti orang yang memberikan nasehat dan menunjukkan jalan, kekuatan keadilan itu merupakan suatu kekuasaan. Perumpamaannya seperti anjing buruan yang memerlukan pendidikan, sehingga lari dan berhentinya itu menurut isyarat. Tidak menurut kehebatan nafsu syahwatnya sendiri. Nafsu syahwat itu perumpamaannya seperti kuda yang dinaiki untuk mencari buruan, sekali waktu kuda itu terlatih dan terdidik dan sekali waktu kuda itu tidak patuh pada majikannya. 35 Dengan demikian, maka pokok-pokok akhlak dan dasar-dasarnya itu ada empat, yaitu: hikmah, keberanian, menjaga kehormatan diri dan keadilan. Yang dimaksud hikmah adalah suatu keadaan jiwa yang dapat dipergunakan untuk mengatur marah dan nafsu syahwat dan mendorongnya menurut kehendak hikmah. 36 Yang dimaksudkan dengan keberanian adalah kekuatan sifat kemarahan itu dapat ditundukkan. Adapun menjaga kehormatan diri adalah mendidik kekuatan syahwat dengan didikan akal dan syara’. 35 Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin Terj. Semarang: CV. Asy Syifa, 2003, jilid. V, h. 110-111. 36 Hikmah yang dimaksudkan disini yaitu tengah-tengah tidak berlebihan dan tidak pula kurang itulah yang khusus dengan sebutan hikmah. 25 Maka apabila keempat pokok ini lurus sesuai dengan akal dan syara’ akan memunculkan budi pekerti yang baik. Karena dari lurusnya kekuatan akal bisa menghasilkan penalaran yang baik, sehat, kejernihan hati, kecerdasan berfikir, kebenaran dugaan, kecerdasan berfikir terhadap perbuatan-perbuatan yang halus dan bahaya-bahaya jiwaa yang tersembunyi. Dari penggunaan akal yang berlebih-lebihan akan menimbulkan sifat cerdik, jahat, suka menipu, mengicuh dan panjang akal, jika berkurangnya akal akan menimbulakn kebodohan, tidak punya kepandaian, dungu dan gila. Yang dimaksudkan dengan tidak punya kepandaian adalah karena sedikitnya pengalaman dalam segala urusan, kadang-kadang manusia itu tidak pengalaman dalam satu urusan dan tidak pada urusan lain. Perbedaan antara dungu dan gila yaitu bilamana orang yang dungu bermaksudnya benar, tetapi dalam menempuh kebenarannya itu dengan jalan salah. Maka tidak ada satu pemikiran pun yang benar dalam menempuh jalan untuk bisa menyampaikan pada apa yang dimaksudkannya. Adapun gila, yaitu orang yang memilih apa yang tidak seharusnya ia pilih. Dari empat sendi akhlak terpuji itu, akan lahirlah suatu perbuatan- perbuatan baik seperti jujur, suka memberi kepada sesama, berani dalam kebenaran, menghormati orang lain, sabar, malu, pemurah, memelihara rahasia, qana’ah menerima hasil usaha dengan senang hati, menjaga diri dari hal-hal yang haram dan sebagainya. Di dalam agama Islam, hal-hal yang terpuji ini betul-betul mendapat perhatian yang istimewa, sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam itu berisi akhlak terpuji saja, sebagaimana sabda Nabi SAW: ِإ ﱠن َﷲا َﺺَﻠْﺤَﺘْﺳإ اَﺬَﻫ َﻦْﻳﱢﺪﻟا ِﻪِﺴْﻔَـﻨِﻟ َو َﻻ ُﻪُﻠْﺴَﻳ ْﻳِﺪِﺑ ِﻨ ْﻢُﻜ ﱠﻻِإ ُءﺎَﺨﱠﺴﻟا ﻩاور ﲎﻄﻗراﺪﻟا ﻦﻋ ﻦﺑا ىرﺪﳋا 26 Artinya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menerima dengan ikhlas agama ini agama Islam bagi dirinya. Dan tidak patut bagi agamamu selain kemurahan hati dan kebagusan budi. Dari itu ketauhilah Maka hiasilah agamamu dengan keduanya.” H.R. Ad-Duruqutni dari Abi Sa’id al-Khudri Sabda Nabi yang lain: ﱠنِإ َﷲا ﱠﻖَﺣ َمَﻼﺳِﻹا ِقَﻼْﺧَﻷﺎﺑ ِﺔَﻨَﺴَﳊاَو ِلﺎَﻤْﻋَﻷاو ِتَﺎﳊﺎﱠﺼﻟا Artinya: “Bahwasanya Allah telah menyelubungi Islam dengan budi- budi mulia dan dengan amal-amal yang baik.” Selanjutnya kebahagiaan yang abadi pun hanya akan dapat dicapai atau diraih dengan akhlak yang baik, sabda Nabi mengenai hal itu: ىِﺬﱠﻟاَو ﻰ ِﺴْﻔَـﻧ ِﻩِﺪَﻴِﺑ , َﻻ ُﻞُﺧْﺪَﻳ َﺔﱠﻨَﳉا ﱠﻻإ ُﻦْﺴُﺣ ِﻖُﻠُﳋا Artinya: “Demi Tuhan yang diriku ditangan-Nya, tiada masuk surga melainkan orang yang baik akhlak tinggi budi.” 37 b Akhlak Tercela Pembahasan selanjutnya ialah akhlak yang tercela, untuk akhlak ini pun ada sendi-sendi yang patut diketahui, yang menjadi sumber timbulnya perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Sendi-sendi akhlak yang tercela tersebut merupakan kebalikan dari sendi-sendi akhlak yang terpuji, yaitu: 1 Khubtsan wa Jarbazah pura-pura bodoh dan balhan bodoh, yaitu keadaan jiwa yang terlalu pintar sehingga tidak bisa menentukan mana yang benar dan mana yang salah atau berpura-pura bodohtidak tahu dalam urusan ikhtiariah. 2 Tahawwur sembrono atau berani tapi tanpa perhitungan dan pemikiran, Jubun penakut dan khauran lemah, yaitu kekuatan amarah yang tidak bisa dikendalikan walaupun sesuai dengan yang dikehendaki akal. 37 Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1969, Cet. III, h. 596 27 3 Syarhan rakus dan Jumud beku, yaitu keadaan syahwat yang tidak terdidik oleh akal dan syariat agama, yang mengakibatkan kebekuan. 4 Zalim, yaitu kekuatan syahwat dan amarah yang tidak terbimbing oleh hikmah, sekaligus kebalikan dari adil. Keempat sendi-sendi akhlak tercela ini akan melahirkan berbagai perbuatan buruk yang di kendalikan oleh hawa nafsu seperti congkak, riya’, mencaci maki, khianat, dusta, dengki, keji, serakah, ‘ujub, pemarah, malas, membukakan rahasia orang lain, kikir, dan sebagainya yang kesemuanya akan mendatangkan mudharat dan kerugian bagi individu dan masyarakat. Keadaan akhlak ini adalah pangkal yang menentukan corak hidup manusia, manusia akan mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dapat membedakan yang patut dan tak patut, yang hak dan yang bathil, boleh dan tidak boleh untuk dilakukan, meskipun ia kuasa atau mampu untuk melakukannya. Inilah suatu hal yang khusus untuk manusia. Lain halnya bagi hewan, dalam dunia hewan tidak ada pekerjaan yang baik dan buruk atau patut dan tak patut. Manusia dengan kelebihan akalnya dapat mengerti dan menginsyafi dirinya sendiri dan segala perbuatan yang baik sebelum maupun sesudah ia lakukan sehingga ia dapat dimintai pertanggung jawaban atas segala tindakannya. Akal pada manusia inilah yang mewujudkan adanya akhlak, yang sekaligus merupakan faktor utama pembeda antara hewan dan manusia. Dengan demikian akal adalah sesuatu yang istimewa pada manusia yang amat berperan bagi pembinaan akhlak. Dalam kaitannya dengan besarnya keistimewaan akal itu, al- Ghazali mengatakan: ...Bagaimana boleh diragukan tentang akal itu, sedangkan hewan dalam kepicikan tamyiznya sifat hewan dapat membedakan sesuatu, merasa kecut terhadap akal. Sehingga sesekor hewan yang bertubuh besar, berkeberanian luar biasa dan bertenaga kuat, apabila melihat rupa manusia lalu merasa kecut dan takut karena dirasakannya 28 manusia itu akan menggagahinya lantaran keistimewaan manusia memperoleh helah dan daya upaya.” 38 Pendapat al-Ghazali tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia mempunyai kelebihan dari hewan karena akalnya, yang kemudian karena akhlaknya. Jika tanpa akhlak, manusia akan lebih buas dan lebih jahat daripada hewan, kehidupannya akan kacau. Seperti di ketahui akhlak adalah suatu ukuran tentang segala perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dalam segala lingkungan pergaulan. Sekalipun rasa moral yang mendasari akhlak itu merupakan naluri yang dibawa manusia sejak lahir, namun tidak jarang setelah ia melihat kenyataan dalam kehidupan, manusia menjadi bimbang untuk memilih yang baik, hal mana memerlukan petunjuk wahyu.

3. Muara Akhlak