sampai lewat fase akut jika diduga hasil pengukuran glukosa plasma puasa yang meningkat tersebut disebabkan oleh stres karena penyakit akut Bravata dkk, 2003; Gray dkk, 2004.
Beberapa penelitian sebelumnya telah memperlihatkan bahwa hiperglikemia setelah stroke akut berhubungan dengan
outcome yang buruk termasuk meningkatnya mortalitas setelah
stroke. Walaupun demikian belum ada batas nilai glukosa yang spesifik yang ditetapkan untuk menentukan hiperglikemia demikian juga batas nilai yang digunakan secara konsisten pada
penelitian sebelumnya. American Diabetes Association
tidak menetapkan nilai glukosa spesifik untuk keadaan hiperglikemia, tetapi telah menetapkan keadaan normal sebagai konsentrasi
glukosa puasa 110 mgdl 6,1 mmoll, atau pengukuran glukosa 140 mgdl 7,8 mmoll selama 2 jam
oral glucose tolerance test .
American Diabetes Association juga telah menetapkan
diabetes sebagai glukosa puasa ≥ 126 mgdl 7 mmoll, atau pengukuran glukosa ≥ 200 mgdl
11,1 mmoll selama 2 jam oral glucose tolerance test
, atau setiap pengukuran glukosa ≥ 200
mgdl 11,1 mmoll dengan gejala-gejala diabetes Bravata dkk, 2003.
II.4. Faktor Resiko
Resiko stroke akan meningkat seiring dengan beratnya dan banyaknya faktor resiko. Data epidemiologi menyebutkan resiko untuk timbulnya serangan ulang stroke adalah 30 dan
populasi yang pernah menderita stroke memiliki kemungkinan serangan ulang adalah 9 kali dibandingkan populasi normal. Tekanan darah tinggi dan diabetes masih merupakan faktor resiko
jangka panjang yang penting. Kira-kira 40 - 60 pasien diabetes terkomplikasi dengan hipertensi yang mana merupakan faktor resiko yang paling kuat untuk stroke. Apabila diabetes
dan hipertensi terjadi bersamaan, resiko untuk stroke semakin meningkat secara drastis Gilroy,
2000; Eguchi dkk, 2003; Kelompok Studi Serebrovaskuler Perdossi, 2004; Hu dkk, 2005; Harmsen dkk, 2006; Goldstein, 2006.
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
pada kemungkinannya untuk dimodifikasi nonmodifiable
, modifiable
, or
potentially modifiable dan
bukti yang kuat well documented or less well documented
Goldstein, 2006.
I. Nonmodifiable risk factors:
1. Age
2. Sex
3. Low birth weight
4. RaceEthnicity
5. Genetic
II. Modifiable risk factors
A. Well-documented and modifiable risk factor
1. Hypertension
2. Exposure to cigarette smoke
3. Diabetes
4. Atrial fibrillation and certain other cardiac conditions
5. Dyslipidemia
6. Caroted artery stenosis
7. Sickle cell disease
8. Postmenopausal hormone therapy
9. Poor diet
10. Physical inactivity
11. Obesity and body fat distribution
B. Less well- documented and modifiable risk factor
1. Metabolic syndrome
2. Alcohol abuse
3. Oral contraceptive use
4. Sleep-disordered breathing
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
6. Hyperhomocysteinemia
7. Elevated lipoproteina
8. Elevated lipoprotein-associated phospholipase
9. Hhypercoagulability
10. Inflamation
11. Infection
Efek faktor resiko pada insidens stroke biasanya bertambah atau berlipat ganda, sehingga dengan adanya beberapa faktor resiko akan menempatkan seseorang pada resiko
tinggi. Pada tabel 2 diperlihatkan frekuensi relatif faktor resiko infark serebral pada satu community-based population
pasien dengan stroke iskemik pertama Hankey dan Lees, 2001.
Tabel-6. Prevalence of vascular risk factors in 244 patients with a first- ever- in – a - lifetime
ischaemic stroke cerebral infarction in the Oxfordshire Community Stroke Project.
n Hypertension BP 16090 mmHg on 2 occassions pre-stroke
123 52
Angina andor myocardial infarction 92
38 Current smoker
66 27
Claudication andor absent foot pulses 60
25 Major cardiac embolic source
50 20
Transient ischaemic attack 35
14 Cervical arterian bruit
33 14
Diabetes mellitus 24
10 Any of the above
196 80
Dikutip dari: Hankey, G.J., Lees, K.R. 2001. Stroke Management in Practice. Mosby International Limited. London.
Penyakit serebrovaskuler merupakan komplikasi vaskuler jangka panjang dari diabetes tipe 1 dan tipe 2 disamping penyakit jantung iskemik dan penyakit arteri perifer. Diabetes adalah
salah satu faktor resiko yang paling penting untuk stroke iskemik, khususnya pada pasien-pasien dengan umur kurang dari 65 tahun. Diperkirakan bahwa 37 – 42 dari semua stroke iskemik di
Amerika diakibatkan oleh efek diabetes sendiri atau kombinasi dengan hipertensi. Kissela dkk,
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
gangguan metabolisme glukosa, dan pada kebanyakan kasus keadaan ini tidak diketahui. Karena diabetes akan memperburuk
outcome stroke akut, maka setelah selesai fase akut stroke,
pemeriksaan oral glucose tolerance test
harus direkomendasikan pada semua pasien stroke tanpa riwayat diabetes sebelumnya Matz dkk, 2006.
Diabetes militus adalah faktor resiko untuk stroke iskemik pada penyakit pembuluh darah besar intrakranial dan ekstrakranial dan
penetrating artery tetapi masih menjadi pertanyaan
penting pada penyakit pembuluh darah kecil. Atheroma pada percabangan arteri intrakranial terutama pada
paramedian pontine penetrating arteries ,
anterior choroidal arteries , dan
anterior inferior cerebellar arteries
khususnya sering terjadi pada pasien-pasien diabetes. Kira-kira 30 pasien dengan aterosklerosis otak terbukti adalah diabetes mellitus dan insidens stroke dua kali
lipat lebih tinggi pada pasien diabetes dari pada nondiabetes Caplan, 2000; Gilroy, 2000; Hankey dan Lees, 2001.
Diseluruh dunia kelihatannya terjadi peningkatan yang luar biasa pada diabetes tipe 2, dari yang ditaksir 124 juta kasus pada tahun 2000 diperkirakan menjadi 221 juta kasus pada tahun
2010, dengan hanya 3 dari semua kasus adalah diabetes tipe 1 Sacco dan Boden-Albala, 2001. Pada tahun 2001, 11,1 juta orang Amerika didiagnosa diabetes oleh dokter, dan
diperkirakan tambahan 5,1 juta yang tidak terdiagnosa Goldstein, 2006. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2, resiko komplikasi diabetes sangat kuat berhubungan dengan keadaan
hiperglikemia sebelumnya dan setiap pengurangan HbA
1c
akan mengurangi resiko komplikasi dengan resiko yang paling kecil adalah pada mereka dengan nilai HbA
1c
dalam rentang normal 6,0 Stratton dkk, 2000.
Diperkirakan 20,8 juta penduduk Amerika menderita diabetes. Kira-kira 14,6 juta penduduk telah didiagnosa sebagai diabetes dan 6,2 juta masih belum terdiagnosa. Data terakhir
2005 dari Centers for Disease Control and Prevention
memperlihatkan terjadi peningkatan yang dramatis prevalensi diabetes mellitus di
United State ; lebih tinggi pada populasi etnik tertentu.
Misalnya non-Hispanic black
dan Mexican American
berturut-turut 1,8 kali dan 1,7 kali lebih sering menderita diabetes dari pada
non-Hispanic white Rodbard dkk, 2007
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
sebagai faktor resiko stroke berulang lebih jarang. Frekuensi diabetes diantara pasien-pasien stroke adalah 3 kali lebih sering dibanding kontrol. Resiko stroke meningkat 150 - 400 pada
pasien-pasien dengan diabetes, dan buruknya kontrol gula darah berhubungan langsung dengan resiko stroke Sacco dkk, 2006; Beckman dkk, 2002.
Proporsi yang tinggi pasien-pasien yang mengalami stres akut seperti stroke atau infark miokard dapat berkembang hiperglikemia, bahkan pada keadaan dimana sebelumnya tidak ada
diagnosis diabetes. Penelitian-penelitian yang dilakukan pada manusia dan binatang diduga bahwa hal ini bukan peristiwa yang tidak berbahaya dan bahwa hiperglikemia yang di induksi stres
berhubungan dengan tingginya mortalitas setelah stroke dan infark miokard. Lebih lanjut, bukti terbaru bahwa kadar glukosa yang diturunkan dengan insulin mengurangi kerusakan otak yang
mengalami iskemik pada stroke dengan model binatang, diduga bahwa hiperglikemia yang diinduksi stres adalah faktor resiko yang dapat dimodifikasi untuk kerusakan otak Capes dkk,
2001. Penelitian prospektif telah menunjukkan bahwa sindroma metabolik yaitu peninggian
glukosa puasa, tekanan darah dan trigliserida, rendahnya high density lipoprotein cholesterol
HDL, dan obesitas abdominal berhubungan dengan peningkatan yang bermakna resiko morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler. Komponen sindroma metabolik dengan
hubungan yang paling kuat dengan stroke iskemik dan Transient Ischemic Attack
TIA adalah hipertensi dan gangguan glukosa puasa. Walaupun sindroma metabolik tanpa diabetes adalah
faktor resiko yang kurang kuat untuk stroke iskemik dan TIA dari pada diabetes Koren-Morag dkk, 2005.
Diabetes secara nyata meningkatkan resiko aterosklerosis di pembuluh koroner, serebral dan perifer dengan konsekuensi klinis berupa infark miokard, stroke, iskemia ekstremitas
dan kematian Luscher dkk, 2003.
Pada penderita diabetes tipe 2, resiko untuk terjadinya infark miokard atau stroke meningkat 2 – 3 kali lipat dan resiko kematian meningkat 2 kali lipat Almdal
dkk, 2004. Perkiraan resiko stroke pada populasi diabetes tipe 2 dibandingkan dengan populasi tanpa diabetes paling tinggi terladi pada wanita muda, walaupun resiko ini menurun dengan
bertambahnya usia dan pasien-pasien yang berumur lebih dari 75 tahun masih berada pada resiko
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2 dan bahwa diabetes tipe 1 berhubungan dengan resiko stroke hemoragik yang berlebihan. Resiko stroke juga berhubungan dengan lamanya menderita diabetes
tipe 2 Janghorbani dkk, 2007 Meskipun patogenesis stroke pada pasien-pasien dengan diabetes belum jelas,
hiperglikemia dan diabetes berpengaruh pada outcome
yang lebih buruk dari pada mereka yang bukan hiperglikemia dan diabetes Kagansky dkk, 2001; Beckman dkk, 2002; Air dan Kissela,
2007. Candelise dkk, menemukan bahwa hiperglikemia sebagai petanda dari stroke yang lebih berat. Sehingga
outcome yang buruk diantara pasien-pasien dengan hiperglikemia dapat
merupakan sebagian dari gambaran keseriusan yang terjadi pada pembuluh darah itu sendiri.Adam dkk, 2007
Diabetes berhubungan dengan meningkatnya resiko stroke iskemik dan meningkatnya mortalitas pasien-pasien dengan stroke. Resiko yang tinggi ini telah dihubungkan dengan
perubahan patofisiologi yang dilihat pada pembuluh darah otak pasien dengan diabetes. Caplan, 2000; Sacco dan Boden-Albala, 2001; Magherbi dkk, 2003; Air dan Kissela, 2007 . Beberapa
penelitian secara umum telah menemukan peningkatan angka mortalitas 30 hari dan 1 tahun diantara pasien-pasien hiperglikemia walaupun peningkatan angka mortalitas ini tidak ditemukan
pada penelitian lain. Morbiditas yang ditetapkan sebagai perbaikan outcome
fungsional dan neurologis, juga mengalami perburukan dalam kasus-kasus dengan hiperglikemia dan diabetes
Air dan Kissela, 2007. Stroke hamoragik relatif lebih sedikit pada individu dengan diabetes dari pada yang
bukan diabetes. Glukosa darah yang tinggi pada saat masuk meramalkan peningkatan angka kasus fatal 28 hari pada pasien perdarahan intrakranial baik yang nondiabetes maupun yang
diabetes. Peningkatan resiko stroke dijumpai pada pasien diabetes yang tergantung insulin dan yang tidak tergantung insulin dan tidak menurun dengan meningkatnya umur dan jenis kelamin
Caplan, 2000; Broderick dkk, 2007.
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
Kemajuan yang pesat dan kompleks di bidang patofisiologi stroke sangat mempengaruhi strategi menejemen stroke. Keadaan ini berhubungan dengan intervensi terapeutik
yang didasarkan pada proses patofisiologi yang jelas. Sehingga pengobatan diharapkan akan memperbaiki proses yang menyebabkan kematian sel-sel saraf akibat iskemia global maupun
fokal. Oleh karena itu setiap terobosan dan pengetahuan baru tentang patofisiologi stroke akan mempengaruhi pengobatan. Sehubungan dengan itu pengetahuan mengenai patofisiologi stroke
merupakan hal dasar yang harus diketahui oleh dokter supaya dapat mengerti sasaran penyakit yang dilakukan serta keterbatasannya Misbach, 1999.
Otak hanya terdiri dari 2 dari masa tubuh, namun untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya yang besar, ia membutuhkan hingga 20 dari
output jantung dan tergantung pada
suplai oksigen dan glukosa yang terus menerus. Otak secara unik rentan terhadap injury
iskemik. Jika perfusi ke otak terhenti atau berkurang secara kritis, terjadi keterbatasan kemampuan untuk
mengkompensasi dan meminimalkan ketersediaan energi Ahmed-Fisher, 2001. Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia
daerah regional otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel- sel otak dan unsur-unsur pendukungnya Misbach, 2007.
Neuron yang iskemik menjadi terdepolarisasi oleh karena kurangnya ATP dan sistim transport ion pada membran menjadi gagal,
terjadi influks kalsium yang menyebabkan pelepasan sejumlah neurotransmiter, termasuk sejumlah besar glutamat yang mengaktivasi
N-methy-D-aspartate NMDA dan reseptor eksitatori
lainnya pada neuron-neuron yang lain. Influks kalsium yang banyak ini juga mengaktivasi berbagai enzim perusak yang menyebabkan destruksi membran sel dan struktur neuron penting lainnya
Sacco, 2000. Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti
core dengan
tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Diluar daerah
core iskemik terdapat darah
penumbra iskemik. Sel-
sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi-fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan.
Daerah penumbra
iskemik, diluarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat
berangsur-angsur mengalami kematian Misbach, 2007 Iskemia otak akan mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap
sebagai berikut Sjahrir, 2003: Tahap 1.
a. Penurunan aliran darah b. Pengurangan O
2
c. Kegagalan energi d. Terminal depolarisasi dan kegagalan hemostasis ion
Tahap 2. a. Eksitoksitas dan kegagalan hemostasis ion
b. Spreading dapression
Tahap 3. Inflamasi Tahap 4. Apoptosis
II.5.1. Peranan Diabetes dan Hiperglikemia pada Stroke Akut
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolik dengan banyak penyebab yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang
disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau kombinasi keduanya Ryden dkk, 2007.
Patogenesis terjadinya kelainan vaskular pada diabetes mellitus meliputi terjadinya imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah maupun sel
mesangial , keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut juga berespon terhadap berbagai substansi vasoaktif dalam darah terutama angiotensin II. Di pihak lain adanya
hiperinsulinemia seperti yang tampak pada diabetes tipe 2 ataupun juga pemberian insulin eksogen ternyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan yang
terjadi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot pembuluh darah maupun sel mesangial. Jelas
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
vaskular diabetes Waspadji, 2006. Jaringan kardiovaskular, demikian juga jaringan lain yang rentan terhadap terjadinya
komplikasi kronik diabetes jaringan saraf, sel endotel pembuluh darah dan sel retina serta lensa mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitar tanpa harus
memerlukan insulin insulin independent
, agar dengan demikian jaringan yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum glukosa tersebut dipakai
untuk energi di otot maupun untuk kemudian disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi dalam keadaan hiperglikemia kronik, tidak cukup terjadi down regulation dari sistim transportasi glukosa
yang non-insulin dependent ini, sehingga sel akan kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai hiperglisolia. Selanjutnya keadaan hiperglisolia krinik ini akan mengubah
homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kemuadian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur
reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur pleotropik protein kinase C dan terbentuknya spesien glikosilasi lanjut intraseluler. Proses-proses lain yang juga berperan dalam
dalam pembentukan komplikasi kronik diabetes adalah proses patobiologik seperti proses inflamasi, peran peptida vasoaktif, prokoagulasi dan sistim renin angiotensin Waspadji, 2006.
Diabetes berhubungan dengan peningkatan resiko stroke, dengan relative risk
berkisar antara 1,5 dan 6,0 tergantung pada studi populasi dan tipe dan beratnya diabetes. Kontrol gula
darah yang ketat tidak terbukti mengurangi resiko stroke pada pasien diabetes, walaupun kontrol hiperglikemia yang agresif dapat mengurangi komplikasi mikrovaskular yang lain, seperti
diabetic nephropathy
, retinopathy
dan peripheral neuropathy
. Pasien dengan diabetes sering berkembang penyakit yang lain yaitu hipertensi dan penyakit jantung yang mana akan meningkatkan resiko
stroke. Hipertensi dijumpai 40 – 60 pada penderita DM tipe 2 dewasa dan beberapa penelitian telah menunjukkan adanya pengurangan komplikasi kardiovaskuler dan stroke dengan
pengurangan tekanan darah secara agresif pada pasien-pasien ini Fitzsimmons, 2007. Hiperglikemia setelah puasa dan peningkatan yang berlebihan konsentrasi glukosa
setelah pemberian glukosa oral merupakan kriteria untuk diagnosa Diabetes Mellitus tipe 2. Pada kedua keadaan ini dijumpai tiga kerusakan penting yang telah dilihat pada subjek dengan diabetes
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
peningkatan kecepatan pelepasan glukosa endogen hati, dan 3 penggunaan glukosa jaringan perifer yang tidak efisien. Lingkaran umpan balik yang terdiri dari islet pankreas, hati, dan jaringan
perifer secara bersama-sama bertanggung jawab terhadap pengaturan glukosa plasma Khan dan Porte, 2005.
Penyebab utama kematian dan besarnya persentasi morbiditas pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2 adalah penyakit pembuluh darah. Diabetes tipe 2 mengenai
pembuluh darah kecil microangipathy
atau pembuluh darah besar macroangiopathy
. Penyakit pembuluh darah kecil ditandai dengan
retinopathy ,
neuropathy , dan
nephropathy , sementara
macroangiopathy pada diabetes dimanifestasikan dengan kecepatan terjadinya
atherosclerosis ,
yang mengenai organ-organ vital jantung dan otak. Atherosclerosis
pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 adalah multifaktor dan meliputi intereaksi yang sangat kompleks antara
hiperglikemia, hiperlipidemia, stress oksidatif, pertambahan umur, hiperinsulinemia, danatau hiperproinsulinemia, dan perubahan dalam koagulasi dan fibrinolisis Calles-Escandon dan
Cipolla, 2001. Keadaan metabolik yang abnormal yang menyertai diabetes menyebabkan disfungsi
arteri. Faktor-faktor ini menyebabkan arteri mudah mengalami atherosklerosis. Diabetes merubah banyak tipe sel, termasuk
endothelium ,
smooth muscle cells , dan
platelets , yang mengindikasikan
luasnya kerusakan pada penyakit ini Beckman dkk, 2002. Disfungsi endothel dapat dijumpai pada pasen-pasien dengan diabetes tipe 2 dan juga
pada individu dengan diabetes tipe 1 khususnya jika secara klinis dijumpai mikroalbuminuria. Disfungsi endothel dapat juga dijumpai pada individu yang mengalami resistensi insulin, atau pada
mereka dengan resiko tinggi terjadinya diabetes tipe 2 impaired glucose tolerance
, metabolic
syndrome , dan pada pasien-pasien yang sebelumnya adalah diabetes gestasional Calles-
Escandon dan Cipolla, 2001. Penderita dengan diabetes dan impaired glucose tolerance
mengalami gangguan vasodilatasi pembuluh darah akibat kerusakan endothel yang disebabkan oleh berkurangnya produksi
nitric oxide atau kerusakan metabolisme
nitric oxide .
Nitric oxide dalam keadaan normal mempunyai efek proteksi terhadap agregasi platelet dan memainkan
peranan penting dalam respon terhadap keadaan iskemia otak Air dan Kissela, 2007.
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
global akut, terapi insulin mengurangi kerusakan otak yang iskemik dan dapat bersifat neuroprotektif dimana insulin menurunkan kadar glukosa sehingga mengurangi efek merusak dari
glukosa tersebut Garg dkk, 2006. Pada keadaan iskemia fokal, glukosa darah harus dinormalkan dengan insulin, tetapi tetap menghindari terjadinya hipoglikemia, untuk memperkecil daerah infark
otak. Batas kadar gula darah yang dianggap masih aman pada fase akut stroke iskemik non lakuner adalah 100 – 200 mg. Batas tertinggi kadar gula darah paling optimal dengan keluaran
terbaik pada fase akut stroke non lakunar adalah 150 mg Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2004.
Kadar glukosa darah yang sebenarnya yang membutuhkan intervensi segera tidak diketahui. Satu pendekatan yang beralasan adalah memulai pengobatan pasien-pasien dengan
kadar gula darah 200 mgdL. Secara umum, kadar glukosa darah yang diinginkan adalah berkisar antara 80 sampai 140 mgdL. Sering memonitor kadar glukosa darah dan penyesuaian
dengan dosis insulin adalah dibutuhkan. Beberapa studi mengenai hal ini telah memperlihatakan pengurangan angka kematian dan komplikasi penting, meliputi infeksi dan gagal ginjal, dengan
penatalaksananan agresif hiperglikemia Adam dkk, 2007. Gangguan metabolik yang timbul pada fase akut stroke dapat memperburuk keadaan
penderita stroke terutama stroke berat. Keadaan ini harus segera diatasi karena akan mempengaruhi prognosis dan kembalinya fungsi neurologis. Salah satu gangguan metabolik
tersebut adalah hiperglikemia dan hipoglikemia dimana kenaikan kadar glukosa darah ditemukan pada 43 penderita stroke akut dimana kebanyakan pasien mengalami peningkatan kadar
glukosa yang sedang dan 25 diantaranya adalah penderita diabetes dan jumlah yang sama 25 ditemukan kenaikan Hemoglobin A1c pada serum. Setengahnya lagi 50 yaitu penderita
nondiabetes dengan respon hiperglikemia akibat stroke. Riwayat menderita diabetes melitus juga berhubungan dengan
outcome yang lebih buruk setelah stroke Misbach, 1999; Adam dkk, 2007.
Hiperglikemia selama fase akut stroke terjadi pada kira-kira sepertiga pasien-pasien tanpa diagnosa diabetes mellitus sebelumnya. Sementara diabetes mellitus jelas adalah faktor
resiko untuk terjadinya stroke dengan prognosisnya yang jelek, hiperglikemia tanpa riwayat diabetes melitus sebelumnya juga dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
menyebabkan outcome
stroke yang jelek. Walaupun demikian, 3 bulan setelah stroke akut, lebih dari 23 pasien yang sebelumnya tidak diketahui diabetes mengalami gangguan metebolisme
glukosa. Pasien-pasien stroke tanpa diagnosa diabetes sebelumnya harus diperiksa adanya metabolisme glukosa yang abnormal sehingga dapat dilakukan terapi yang agresif untuk
mencegah penyakit pembuluh darah otak dikemudian hari Vancheri dkk, 2005; Garg dkk, 2006. Kebanyakan penelitian pada manusia memperlihatkan bahwa pada stroke akut,
keadaan hiperglikemia pada waktu masuk pada pasien-pasien dengan atau tanpa diabetes berhubungan dengan
outcome klinis yang buruk dari pada pasien-pasien tanpa hiperglikemia.
Efek hiperglikemia lebih jelas pada stroke nonlakunar daripada stroke lakunar. Pada suatu penelitian yang melibatkan 1259 pasien dengan stroke iskemik akut, hiperglikemia berhubungan
dengan buruknya outcome
klinis hanya pada stroke nonlakunar Bruno dkk, 1999. Penelitian pada binatang percobaan mendukung penemuan ini dimana diperlihatkan bahwa baik pada model
post iskemik global atau fokal, hiperglikemia menyebabkan proses kerusakan yang berlebihan sebagai berikut:
intracellular acidosis ,
accumulation of extracellular glutamate ,
brain edema formation
, blood-brain barrier disruption
, dan tendency for hemorrhagic transformation
Kagansky dkk, 2001.
Gentile dkk pada satu penelitian retrospektif di Amerika selama periode 40 bulan yang bertujuan untuk menentukan pengaruh kontrol gula darah pada mortalitas setelah stroke akut
pada pasien-pasien yang keluar dengan diagnosa stroke iskemik menemukan bahwa hiperglikemia yang terjadi pada waktu masuk rumah sakit berhubungan dengan buruknya
outcome setelah stroke dibandingkan dengan keadaan
euglycemia . Menormalkan kadar gula darah selama
48 jam pertama perawatan memberikan keuntungan harapan hidup yang lebih besar pada pasien- pasien dengan stroke
thromboembolic Gentile dkk, 2006.
Penelitian yang dilakukan oleh Capes dkk pada tahun 2001 mendapatkan bahwa pada pasien-pasien stroke iskemik tanpa riwayat diabetes sebelumnya, stres hiperglikemia dengan
kadar glukosa masuk 6,1 – 7,0 mmolL 110 – 126 mgdL berhubungan dengan peningkatan resiko mortalitas sebesar 3 kali. Resiko yang lebih besar perbaikan fungsional yang
jelek pada pasien yang hiperglikemia Capes dkk, 2001.
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
mekanisme yang mendasari. Hal ini termasuk: reaksi nonspesifik terhadap stres akut; perubahan otomom, hormonal, dan metabolik sebagai hasil dari injury pada jaringan; ditemukannya diabetes
yang tersembunyi dengan kejadian stroke akut; aktivasi hypothalamo-hypophyseal-adrenal axis
sehubungan dengan efek langsung dari pada iskemik otak pada kelenjar pituitary; dan gangguan pusat pengaturan glukosa di otak oleh stroke. Keyakinan yang paling populer saat ini adalah
bahwa stroke yang berhubungan dengan hiperglikemia adalah satu respon stres dengan aktivasi hypothalamo-hypophyseal-adrenal axis
, yang menyebabkan peningkatan kortisol dan katekolamin. Walaupun data yang konsisten sehubungan dengan hal ini belum ada tetapi hiperglikemia pada
stroke akut kemungkinan disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk cytokine yang menginduksi resistensi terhadap kerja insulin Garg dkk, 2006.
Hiperglikemia yang menyertai stroke akut pada pasien-pasien yang nondiabetes disebabkan oleh peningkatan serum kortisol, katekolamin, hormon pertumbuhan, dan glukagon
yang merupakan respon dari stres yang berat. Pelepasan hormon-hormon ini secara langsung berhubungan dengan ukuran infark, dan karena mereka menstimulasi
neoglycogenesis ,
Hiperglikemia dapat terjadi, khususnya pada pasien-pasien sebelumnya dijumpai intoleransi glukosa. Efek merusak hiperglikemia belum begitu jelas diketahui tetapi peningkatan kadar
glukosa berhubungan dengan asidosis laktat penumpukan laktat, asidosis intraseluler dan produksi radikal bebas sehingga menambah pada perluasan kerusakan otak Blecic dan Devuyst,
2001; Adam dkk, 2007. Salah satu alasan yang paling kuat yang mendukung hipotesis asidosis laktat pada iskemia serebral adalah penemuan oleh Myers dan Yamaguchi dimana hiperglikemia
preiskemik akan memperburuk outcome
post iskemik. Penemuan ini, yang telah berulang kali diujikan pada model binatang dengan iskemia, telah menjadi landasan bagi hipotesis asidosis
laktat untuk menjadi penghubung langsung antara kadar laktat pada otak yang iskemik dan derajat kerusakan iskemia. Sehingga, kadar glukosa yang lebih tinggi pada otak sebelum iskemik akan
menyebabkan kadar laktat saat iskemia lebih tinggi sehingga menyebabkan kerusakan otak post iskemik yang lebih luas Schurr, 2002.
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
Serum albumin manusia adalah satu molekul yang unik yang merupakan protein utama dalam plasma manusia 3,4 – 4,7 gdL dan membentuk kira-kira 60 dari protein plasma total.
Kira-kira 40 albumin dijumpai didalam plasma dan 60 yang lain dijumpai di ruang ekstraseluler. Hati menghasilkan kira-kira 12 g albumin per hari yang merupakan kira-kira 25 dari total sintesa
protein hati. Ia mempertahankan tekanan osmotok koloid dalam pembuluh darah dan mempunyai sejumlah fungsi penting yang lain Gum dkk, 2004; Murray, 2006. Albumin melarutkan dan
menghantar banyak molekul-molekul kecil dalam darah contohnya bilirubin, kalsium, progesteron dan obat-obatan, merupakan tempat penyimpanan protein, dan merupakan partikel utama yang
menentukan tekanan onkotik plasma, supaya cairan tidak dapat secara bebas melintas antara ruang
intra dan
extravascular Rose, 2002.
Sintesi albumin membutuhkan: mRNA untuk translasi; suplai yang cukup asam amino yang diaktivasi dengan berikatan dengan tRNA; ribosom untuk pembentukan dan; energi dalam
bentuk ATP. Sintesa albumin dimulai di dalam nukleus, dimana gen ditranskripsikan kedalam messenger ribonucleic acid
mRNA. Kemudian mRNA disekresikan kedalam sitoplasma, dimana ia berikatan dengan ribosom, membentuk
polysomes yang mensintesa preproalbumin.
Preproalbumin adalah molekul albumin dengan 24 asam amino yang disambung pada terminal N. Sambungan asam amino memberi isyarat penempatan preproalbumin kedalam membran
retikulum endoplasma. Setelah berada di dalam lumen retikulum andoplasma, 18 asam amino akan memecah, menyisakan proalbumin albumin dengan 6 asam amino yang tersisa.
Proalbumin adalah bentuk intraseluler yang utama dari albumin. Proalbumin kemudian dikirim ke Golgi apparatus, dimana 6 sambungan asam amino dipindahkan sebelum albumin disekresi oleh
hepatosit Nicholson dkk, 2000; Parelta dkk, 2006 Penurunan konsentrasi albumin serum dapat terjadi melalui dua cara: albumin hilang
dari tubuh dalam jumlah besar perdarahan, renal
, gastrointestinal
, eksudasi kulit yang berat, atau terjadi penurunan produksi albumin
hepatic insufficiency ,
malnutrisi . Penyebab lain rendahnya
albumin termasuk hypoadrenocorticism
dan hyperglobulinemia
kerena multiple myeloma. Pada kebanyakan kasus, hypoalbuminemia yang bermakna dapat disebabkan oleh tiga penyebab
utama yaitu: hepatic insufficiency
, renal loss
protein-losing nephropathy , dan
gastrointestinal loss
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
serum kurang dari 2,5 mgdL disebut abnormal, dan konsentrasi kurang dari 1,5 mgdL dapat menyebabkan tanda klinis yang bermakna, seperti pembentukan asites dan edema Rose, 2002.
Malnutrisi sering kurang mendapat perhatian pada penderita stroke akut, walaupun hal tersebut berhubungan dengan peningkatan prevalensi komplikasi, gangguan fungsi imunologis,
dan tingginya mortalitas diantara pasien-pasien yang opname di rumah sakit. Respon stres yang terjadi pada penderita stroke akut dapat menyebabkan malnutrisi karena proses katabolisme yang
berlebihan dan konsumsi visceral yang sering terjadi pada minggu pertama disamping tingginya frekuensi infeksi pernafasan, saluran kemih dan
bedsore . Keadaan stres dan malnutrisi tersebut
dapat memperburuk outcome
dan mortalitas yang lebih tinggi serta memperlama tinggal di rumah sakit. Sehingga malnutrisi merupakan prediktor yang penting dari buruknya prognosis Davalos
dkk, 1996. Frekuensi malnutrisi yang terjadi setelah stroke bervariasi dari 8 - 34 tergantung
penelitian. Dalam praktek klinis yang rutin, tidak mudah untuk menilai status nutrisi pasien stroke karena beberapa alasan: anamnese mengenai diet dan berat badan tidak bisa dilakukan jika
pasien mempunyai masalah komunikasi; sumber informasi yang lain tidak dapat diperoleh jika pasien hidup sendiri; pemeriksaan sederhana dengan mengukur berat badan dan tinggi badan
untuk menentukan body mass index
mungkin sulit dilakukan atau tidak mungkin pada pasien stroke yang tidak bisa bergerak; peralatan khusus seperti tempat tidur dengan alat pengukur yang
dapat mengangkat kursi roda mungkin tidak tersedia di unit stroke. Dari penelitian Feed Or
Ordinary Diet FOOD diperolah bukti yang dapat dipercaya bahwa status nutrisi dini setelah
stroke berhubungan dengan outcome
jangka panjang FOOD Trial Collaboration, 2003. Beberapa penelitian mengandalkan albumin serum sebagai penanda status nutrisi. Hal
ini dapat merupakan pengukuran yang berguna dimana perubahan yang akut pada nutrisi perlu diperiksa dalam waktu kurang dari 1 bulan. Walaupun demikian, kadang-kadang sulit untuk
membedakan antara perubahan serum albumin yang disebabkan oleh gangguan nutrisi dengan proses penyakit yang mendasari. Davis dkk yang menggunakan
subjective global assessment SGA, suatu metode pemeriksaan nutrisi yang tervalidasi untuk menilai pengaruh nutrisi yang
tidak normal sebelumnya pada outcome
stroke menemukan bahwa nutrisi yang tidak normal
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
Disamping itu strategi yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan nutrisi yang tidak normal pada populasi yang beresiko untuk stroke dapat memperbaiki
outcome setelah stroke Davis dkk, 2004.
Serum albumin manusia adalah protein multifungsi yang unik yang berkhasiat sebagai neuroprotektif. Penelitian eksperimental pada binatang dengan stroke akut memperlihatkan bahwa
terapi albumin pada dasarnya memperbaiki fungsi neurologis, yang ditandai dengan berkurangnya volume infark serebral, berkurangnya pembengkakan otak dan penumpukan natrium, bahkan
walaupun diberikan setelah lebih dari 2 jam onset iskemia. Dziedzic dkk, 2004; Gum dkk, 2004. Walaupun pada beberapa penelitian, albumin manusia memperlihatkan manfaat yang
bermakna pada pengobatan stroke iskemik dan hematoma intrakortikal akut, mekanisme neuroproteksinya belum diketahui. Sejumlah mekanisme yang telah diuji termasuk pengaruh
albumin manusia pada perfusi lokal serebral, kerusakan blood-brain barrier
, respon asam lemak sistemik dan patensi pembuluh darah kecil. Kebanyakan dari mekanisme ini kemungkinan
memberikan kontribusi tetapi belum ada mekanisme yang cukup kuat dilaporkan mempunyai efek neuroprotektif besar Belayev, 2002; Gum dkk, 2004; Belayev, 2005
Penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa dosis albumin 1,25 – 2,5 gkg berat badan jelas merupakan neuroprotektif, dapat mengurangi volume infark pada
iskemia fokal 60 - 65 dan jelas mengurangi perluasan pembengkakan otak dengan jendela terapi sampai 4 jam Ginsberg, 2003. Sementara pada
Albumin in acute stroke ALIAS
Pilot Trial ,
albumin manusia 25 dalam rentang dosis diatas 2,05 gkg dapat ditoleransi oleh pasien-pasien dengan stroke iskemik akut tanpa komplikasi berat yang dibatasi oleh dosis. Hanya 13 yang
mengalami edema pulmonal ringan sampai sedang yang segera dapat diatasi dengan pemberian diuretik Ginsberg dkk, 2006 . Subjek yang menjalani terapi tPA yang menerima albumin dosis
tinggi tiga kali memperoleh outcome
yang baik dibandingkan dengan subjek yang menerima dosis rendah albumin, menduga bahwa ada efek sinergistik positif antara albumin dengan tPA Palesch,
2006 Penelitian lain menyebutkan bahwa dosis rendah albumin memberikan neuroproteksi
yang kuat pada satu model iskemia serebral fokal. Hal ini menguntungkan secara klinis karena dapat mengurangi kejadian
acute intravascular volume overload dan
congestive heart failure pada
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
Belayev, 2005.
II.5.3. Hubungan Diabetes dan Kadar Albumin Serum pada Stroke Akut
Faktor utama yang terlibat dalam perkembangan terjadinya diabetes adalah resistensi insulin dan disfungsi sel beta. Diabetes mellitus tipe 2 terjadi apabila kelenjar endokrin pada
pankreas gagal untuk mensekresikan insulin dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik, yang disebabkan oleh disfungsi sekresi dari sel beta danatau penurunan
jumlah sel beta Lina dan Wijaya. Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, diabetes mellitus akan menyebabkan
terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik makroangiopati maupun mikroangiopati. Adanya pertumbuhan sel yang tidak normal atau kematian sel yang tidak normal merupakan dasar
terjadinya komplikasi kronik diabetes. Kelainan dasar ini sudah dibuktikan pada penderita diabetes dan binatang percobaan. Perubahan dasar atau disfungsi tersebut tertuma pada pembuluh darah,
sel otot polos pembuluh darah maupun sel mesengial ginjal Waspadji, 2006. Eppens dkk menemukan bahwa kaum muda yang menderita diabetes tipe 2 lebih banyak secara bermakna
mengalami microalbuminuria
dan hipertensi dibanding sebayanya yang menderita diabetes tipe 1, meskipun lamanya menderita diabetes lebih pendek dan HbA1
c
yang lebih rendah Eppens dkk, 2006.
Hipoalbuminemia adalah masalah yang sering terjadi diantara orang-orang dengan kondisi medis akut maupun kronis. Pada saat sampai di rumah sakit, 20 pasien mengalami
hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh beragai keadaan termasuk sindroma nefrotik, sirosis hepatis, gagal jantung, dan malnutrisi, walaupu kebanyakan kasus
hipoalbuminemia disebabkan oleh respon inflamasi akut dan kronis. Karena sejumlah penyakit mungkin sebagai penyebab hipoalbuminemia, gambaran klinis, penemuan pemeriksaan fisik dan
hasil laboratorium serta beratnya tergantung dari proses penyakit yang mendasari Parelta dkk, 2006.
Penyakit ginjal sering terjadi pada individu dengan diabetes mellitus. Sekitar 1 juta orang di Amerika dengan diabetes tipe 1, 30 – 40 berkembang stadium akhir gagal ginjal. Secara
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
tergantung grup etnis. Secara absolut , lebih banyak pasien dengan tipe 2 dari pada tipe 1 berkembang stadium akhir gagal ginjal DeFronzo, 2005. Microalbuminuria menggambarkan
adanya peningkatan kadar albumin yang abnormal dalam urin yang tidak dapat dideteksi dengan menggunakan
dipstick urinalisa.
Microabuminuria ditemukan sepertiga atau lebih pada pasien
diabetes. Adanya microalbuminuria
dapat memprediksi perburukan penyakit ginjal sampai pada diabetic nephropathy
yang jelas dan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Lebih dari 30 penderita yang baru didiagnosa dengan diabetes tipe 2 akan mempunyai kadar albumin yang
tinggi dalam urin dimana 75 adalah microalbuminuria
dan 25 adalah diabetic nephropathy
. Diagnosa
microalbuminuria apabila kadar albumin dalam urin 30 mghari atau lebih ekskresi 20
μgmenit atau konsentrasi 20 mgL urin Tobe dkk, 2002. Konsentrasi albumin serum telah lama diketahui sebagai indikator kasar keadaan
kesehatan umum seorang individu. Konsentrasi albumin serum sedang sampai sangat rendah berhubungan dengan morbiditas dan semua penyebab mortalitas pada orang dewasa.
Konsentrasi albumin dalam serum yang rendah juga telah ditemukan berhubungan secara bermakna dengan pengurangan masa otot pada wanita dan pria dewasa yang relatif sehat.
Walaupun konsentrasi albumin serum kelihatannya berhubungan dengan survival
dan outcome
, tetapi masih belum jelas apakah berhubungan dengan gangguan fungsional khususnya
keterbatasan fungsional yang ditemukan pada penyakit diabetes mellitus. Castaneda dkk pada penelitiannya mendapatkan bahwa konsentrasi serum albumin yang rendah berhubungan dengan
diabetes dan rendahnya midupper arm muscular area
dan disabilitas pada activities of daily living
ADL Castaneda dkk, 2000. Diabetes mellitus menyebabkan penurunan sintesa albumin dan mRNA albumin.
Konsentrasi mRNA diperlukan untuk aksi pada ribosom adalah faktor penting untuk mengontrol kecepatan sintesa albumin. Trauma dan proses penyakit akan mempengaruhi isi mRNA.
Pengurangan konsentrasi mRNA albumin yang disebabkan oleh berkurangnya transkripsi gen dapat dilihat pada reaksi fase akut yang diperantarai oleh
cytokine terutama
interleukin -6 IL-6
dan tumour necrosis factor
α TNF-α. Lingkungan hormonal juga dapat mempengaruhi konsentrasi mRNA. Insulin dibutuhkan untuk sintesa albumin yang cukup. Penderita diabetes
Roberthus Bangun: Hubungan Kadar Albumn Serum Dan Outcome Fungsional Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes, 2008.
Wong, 1991; Nicholson dkk, 2000.
II.6. Peranan Brain Imaging