Hak Konstitusional di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945
Pasca reformasi juga telah membawa perubahan dalam hal penegakan hak konstitusional bagi warga negara Indonesia. Hak yang yang diatur oleh Undang-
Undang Dasar 1945 kini ditegakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga baru era reformasi. Secara umum dapat dikatakan, bahwa keberadaan lembaga
Mahkamah Konstitusi ini merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga
Mahkamah konstitusi yang berdiri sendiri. Maksudnya ialah fungsi-fungsi yang dikenal oleh Mahkamah konstitusi seperti judicial review dalam rangka menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formil maupun materil, dkatikan langsung dengan kewenangan Mahkamah Agung supreme court. Akan
tetapi, hal ini berbeda di beberapa negara lain yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi, menyebabkan pembentukan Mahkamah Konstitusi
itu dininai cukup populer.
26
Contohnya seperti Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia.
Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam hal ini sesuai ketentuan yang diberikan oleh UUD 1945 berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 Jika keberadaan undang-undang tersebut melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia. contohnya : Mahkamah Konstitusi telah
membatalkan pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Hal
26
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, h. 246.
ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan sebelum reformasi, dimana sistem ketatanegaraan Indonesia tidak memiliki lembaga tinggi negara yang menjamin
tegaknya hak konstitusi jika ada kehadiran undang-undang yang betentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Indonesia sebelum reformasi. Negara Indonesia pada zaman orde baru secara kelembagaan
belum ada Mahkamah Konstitusi, tetapi secara fungsi sudah mengenal konsep Judicial review pada Mahkamah Agung. hal ini di sebabkan karena secara
ekspilisit fungsi judicial review tidak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang sekarang, melainkan hanya disebutkan dalam undang-undang,
tapi hal itu sebatas pada peraturan yang tingkatnya lebih rendah dari undang- undang dan tidak mengatur penilaian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
27
Pada bulan November 1997, F-PDI mengusulkan untuk memberi Mahkamah Agung kewenangan melakukan judicial review terhadap undang-
undang. Namun panitia adhoc II Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat menolak, dengan alasan Mahkamah Agung tidak berhak untuk melakukan judicial
review terhadap ketentuan hasil lembaga tinggi negara. Fraksi yang lain menyatakan bahwa yang berhak melakukan judicial review terhadap undang-
27
Tubagus Karyo Hartanto, Mekanisme Judicial Review, Jakarta: Elsam, 2005 h. 4.
undang adalah lembaga yang menghasilkan undang-undang tersebut, yaitu Presiden dan DPR.
28
Dalam kesepakatan finalisasi panitia adhoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 22 Juli tahun 2000, panitia adhoc I Badan
Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat menyepakati bahwa Mahkamah Konstitusi berada dalam lingkungan Mahkamah Agung. tapi pada bulan agustus
tahun 2000 dalam sidang tahunan I Majelis Permusyawaratan Rakyat, hal ini tidak mencapai kesepakatan. Oleh karena itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat
menerbitkan TAP MPR No III2000 yang menegaskan kembali bahwa judicial review atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 serta TAP MPR
berada di tangan MPR, sedang Mahkamah Agung hanya berwenang untuk menguji undang-undang.
29
Tim ahli Majelis Permusyawaratan Rakyat menentangnya, dengan alasan kewenangan itu adalah milik lembaga peradilan dan Mahkamah Agung dapat
membentuk departemen baru. Meskipun TAP MPR No III Tahun 2000 sudah ditetapkan dan berlaku, tetapi dalam penerapannya ketentuan mengenai judicial
review yang dimaksudkan dalam pasal 5 ayat 1 tersebut sulit dilaksanakan, karena memang isinya keliru total. Hal ini disebabkan karena fungsi pengujian
undang-undang adalah fungsi yang bersifat permanen dan rutin dalam arti bisa
28
Rositawati Dian, Seri Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara, Jakarta: Elsam, 2005, h. 5.
29
Republik Indonesia, Pasal 5 ayat 1 dan 2, TAP MPR No III Tahun 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan.
terjadi setiap saat. Sedangkan forum Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak bersifat rutin. Ketua Mahkamah Agung mendukung pendapat ini, ia berpendapat
bahwa pertentangan aturan yakni undang-undang adalah persoalan hukum dan bukan persoalan politik sehingga yang memutus perkara adalah lembaga badan
peradilan, bukan badan politik seperti Dewan Perwakilan Rakyat atau Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pada bulan September tahun 2001, dalam pembahasan amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 , seluruh fraksi dalam panitia adhoc I Badan Pekerja
Majelis Permusyawaratan Rakyat setuju untuk memasukan aturan tentang Mahkamah Konstitusi dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut fraksi tersebut, sebaiknya kewenangan pengujian materi perundang- undangan baik undang-undang maupun peraturan di bawahnya diintegrasikan
kedalam wewenang Mahkamah Konstitusi. namun dalam perubahan terhadap rumusan pasal 24 UUD 1945 hasil perubahan ketiga yang disahkan pada bulan
November 2001, kewenangan uji materil oleh Mahkamah Konstitusi hanya dibatasi sampai tingkat undang-undang,
30
sedangkan peraturan dibawahnya tetap ditentukan sebagai kewenangan Mahkamah Agung.
31
30
Republik Indonesia, Pasal 24 huruf c, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
31
Republik Indonesia, Pasal 24 huruf a, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945