Islam walaupun belum sepenuhnya, karena restitusi dalam undang-undang ini tidak dijelaskan secara rinci berapa besar jumlah minimum dan maksimum
nominal yang harus dikeluarkan oleh pelaku tersebut. Sedangkan diat dalam hukum Islam sangat rinci dan jelas bahkan ditentukan batasan atau kadar dan
jumlahnya. Umpamanya saja ganti rugi bagi korban pelukaan yang menampakkan tulang dan membukanya mudhihah ditentukan jumlah ganti ruginya yaitu lima
ekor unta.
C. Analisis Terhadap Rehabilitasi
Telah dijelaskan sebagaimana isi dari bab III, bahwa suatu usaha pemulihan dalam rangka merehabilitasi kepada kedudukan yang sebelumnya, pemulihan
anggota tubuh yang cacat, dan sebagainya atas individu misal pasien rumah sakit, korban bencana dan mendapatkan tujuan agar menjadi manusia yang berguna
dan memiliki tempat dimasyarakat. Pemberian rehabilitasi ini dapat dilakukan apabila saksi tersebut mengalami penderitaan, baik penderitaan fisik maupun
penderitaan psikis.
Islam menjelaskan, rehabilitasi bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk mengajak orang lain kejalan yang benar.
92
Pengertian rehabilitasi ini dapat dilihat dalam al-Qur’an surat an-Nahl 16 ayat 125 sebagai berikut:
ا ﺎ ﻬ دﺎ و ﺔ
ا ﺔﻈ ﻮ او ﺔ ﻜ ﺎ ﻚ ر ﻰ إ عد
نإ أ ه
ر ﻚ
أ ﻮه ﺪ ﻬ ﺎ أ ﻮهو
ا 16
: 125
Artinya: “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang- orang yang mendapat petunjuk.”
QS. An-Nahl 16 : 125.
Ayat ini menyatakan bahwa ada tiga hal cara mengajak orang lain kejalan yang benar:
92
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1422
- Pertama, al-Hikmah yaitu perkataan yang tegas dan benar sehingga dapat
membedakan yang benar dan yang salah; -
Kedua, dengan memberi contoh yang dapat diteladani uswatun hasanah; dan -
Ketiga, dengan dialog untuk mencari solusi terbaik. Dalam tiga unsur ini dapat diterapkan dengan pembinaan selama rehabilitasi
tersebut dilakukan. Namun dalam Islam rehabilitasi tidak diberlakukan untuk setiap jarimah, akan
tetapi hanya dilakukan pada jarimah yang berkaitan dengan pengancaman tindak kejahatan. Maka rehabilitasi yang dimaksud bukanlah suatu pengganti dari
hukuman. Sedangkan yang dilakukan dalam rehabilitasi tersebut adalah untuk menolak atau meminimalisir keresahan terhadap saksi dengan sebab ancaman
orang pelaku tindak kejahatan. Pada sisi lain rehabilitasi juga dapat dimasukkan kedalam kaidah al-Zari’ah.
93
Sedangkan bila melihat apa yang menimpa saksi sebagai korban ancaman tindak kejahatan tersebut, untuk tidak mengatakan keterangan yang sebenarnya
dipersidangan pengadilan, dengan kata lain bukanlah ia bekerja sama dengan pelaku kejahatan, melainkan adanya teror yang selalu mendekati dirinya. Bila ia
mengadukan berita yang sebenarnya maka ia bisa menjadi korban kejahatan atau sama halnya akan dibunuh oleh orang yang bersangkutan, dengan demikian
tidaklah semua saksi yang berkata bukan keterangan sebenarnya, yang ia lakukan bukanlah semata-mata bekerja sama dengan pelaku kejahatan tersebut. Dengan
kata lain saksi melakukakan kebohongan dalam persidangan karena dipaksa.
Diterangkan pula dalam kaidah fiqh, perkataan dan pengertian paksaan dinyatakan dengan istilah ikrah. Sementara pengertian paksaan menurut
‘Alauddin, sebagaimana yang dikutip oleh Haliman dalam bukunya Hukum
93
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1422.
Pidana Syari’at Islam, adalah suatu tindakan yang membawa manusia kepada
sutu perbuatan yang secara pasti perbuatan tersebut tidak dikehendakinya.
94
Dari perumusan tersebut, jelaslah bahwa terdapat dua unsur penting dalam paksaan.
Kedua unsur tersebut yaitu tidak adanya kerelaan ridla dan tidak adanya ikhtiar kemauan bebas.
Menurut para ulama fiqh, setidaknya ada empat syarat yang harus ditemukan pada tindak pemaksaan, yaitu orang yang memaksa mampu melakukan apa yang
diancamkan kepada orang yang dipaksa mukrah baik yang bersifat kekuasaan atau kejahatan, adanya rasa takut terhadap apa yang diancamkan atas diri orang
yang dipaksa, adanya perlawanan dari diri orang yang dipaksa, dan adanya ketakutan akan kehilangan nyawa atau anggota badannya.
95
Dan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Dzarr, yaitu:
لﺎ ، ﷲا ر يرﺎ ار ذ ا
: و
ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر :
ﷲا نإ اﻮهﺮﻜ اﺎ و نﺎ ا أ زوﺎ
. ﺔ ﺎ ا اور
96
Artinya: Sesungguhnya Allah memaafkan umatku yeng melakukan sesuatu karena keliru, lupa dan dipaksa.”
Larangan terhadap pemaksaan dalam ayat diatas, adalah larangan yang berarti haram dan berdosa. Selain itu, jadi penulis beranggapan bahwa ayat tersebut juga
memberikan isyarat pada dua hal, yaitu:
94
Haliman, HukumPidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlusunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1971, h. 174
95
Ibid, h. 175-176
96
Mauqi Ya’sub, Sunan al-Kubra al-Baihaqi, Juz. 7, h. 356
- Upaya untuk melarang pemaksaan terhadap saksi, baik yang dilakukan secara
individual maupun sistem sosial yang menjerumuskan saksi pada tindak kejahatan dari berbagai ancaman,
- Pemerintah harus memberikan dukungan dan pendampingan terhadap saksi
korban tindak kejahatan, agar dapat kembali menjadi aman dari segala ancaman.
Selain berdasarkan dari dalil naqli tersebut, Jumbhur juga menggunakan dalil aqli, yaitu berdasarkan pemahaman bahwa pemaksaan dalam hal ini disamakan
dengan syubhat dalam suatu perbuatan, hukuman tidak dapat dijatuhkan. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi, yang artinya: “hukuman harus dihindari jika terdapat
syubhat kesamaran atau ketidak jelasan.” Unsur pemaksaan memang dapat menimbulkan hal yang positif atau juga
negatif, tetapi pemaksaan dalam kasus ini lebih terarah kepada kerugian, dengan sebab ia telah memaksa agar saksi memberikan keterangan yang bukan
sebenarnya, jadi tidak layak kalau saksi hanya dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengangkat ancaman hukuman, karena dalam hal ini saksi
memang tidak melakukan kejahatan, sehingga tidak pantas untuk dihukum. Begitu pula sebaliknya ia memerlukan pendampingan dan penguatan untuk
memulihkan kembali kepercaan dirinya. Sedangkan bagi pelakunya harus diancam dengan hukuman yang seberat-beratnya, karena ia tidak hanya
melakukan ancaman tetapi untuk membunuh atau lainnya, melainkan juga
melakukan pemaksaan dan kekerasan yang mencederai si saksi, baik fisik maupun psikis.
Penulis beranggapan, terdapat hubungan yang nyata antara rehabilitasi yaitu perlindungan bersaksi dalam Islam dengan rehabilitasi dalam memulihkan kondisi
saksi dari ancaman. Dimana saksi yang terancam sehingga mengalami tarauma yang mendalam akibat terjadinya peristiwa yang dialaminya, oleh sebab itu agar
pulih kembali kondisinya dapat dilakukan dengan cara memberikan ruangan perlindungan dari ancaman pelaku kejahatan, melainkan sebagai usaha untuk
memulihkn kembali fisik dan mentalnya seperti belum terjadinya kejadian, sehingga saksi dapat menata hidupnya menjadi lebih baik dimasa mendatang. Dan
menempatkan saksi pada suatu lembaga yang menangani masalah rehabilitasi ini. Proses rehabilitasi ini akan dilakukan dalam jangka waktu yang bisa
disesuaikan dengan kondisi korban saksi. Jika saksi yang terancam itu merasakan trauma yang mendalam sehingga dapt menimbulkan deperesi, maka
rehabilitasi dapat dilakukan dalam waktu lebih dari satu tahun, sebab untuk mendapatkan mental seseorang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan,
dan butuh waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, rehabilitasi dalam Islam pun dilakukan dengan membedakan
antara yang hak benar dan yang bathil tidak benar, yang demikian tidak dilakukan lagi secara bersamaan atau dengan kata lain perlunya saksi pada
pembinaan. Maka hal seperti inilah yang dimaksudkan al-Qur’an dengan salah satu usaha menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran QS. Al-Imran
[3]: 104 dan 110. Untuk mencegah kemungkaran, terutama yang ditujukan oleh
Rosulullah SAW dengan kekuasaan atau kekuatan, seperti dalam sangkar saksi yang terancam sebelum mereka mendapatkan pembinaan, kemudian baru dengan
nasihat lidah dan dengan hati berpaling dari kemungkaran tersebut, akan tetapi menggunakan hati nurani adalah perwujudan iman yang paling lemah. Dan hal ini
diterangkan pula dalam HR. Muslim yaitu:
و ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر
: ﻄ نﺈ ﺪ ﺮ
ﺮﻜ ﻜ ىار نﺎ ﻹا
أ ﻚ اذو ا اور
Artinya: Rosulullah SAW bersabda “Barang siapa diantara kamu melihat suatu kemungkaran hendaklah memperbaiki dengan tangannya kekuasaan,
bila tidak mungkin hendaklah dengan lidahnya nasehat, bila tidak mungkin pula maka hendaklah dengan hatinya, itulah selemah-
lemahnya iman”
HR. Muslim.
BAB V PENUTUP