Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede; Kajian Terhadap
Tekstual Dan Musikal.
1.2 Pokok Permasalahan
Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukanlah pokok permasalahan. Dalam skripsi ini permasalahan yang akan dibahas meliputi
tiga hal sebagai berikut: a.
Bagaimana struktur manghirap tondi yang dipertunjukkan oleh ibu
Rotua Pardede? Pokok permasalahanya ini akan dijawab dengan uraian mengenai properti manghirap tondi, sesajen yang
disediakan, andung-andung manghirap tondi, kata-kata yang di ucapkan dalam manghirap tondi beserta hal-hal yang berkait
dengan keberadaan manghirap tondi yang merupakan salah satu
pertunjukan seni yang terdapat pada masyarakat Batak Toba. b.
Bagaimana struktur tekstual dan musikal dalam manghirap tondi terutama dalam nyanyian andung-andungnya.
c. Bagaimana eksistensi manghirap tondi di tengah-tengah
masyarakat Batak Toba.
1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian 1.3.1
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur manghirap
tondi yang di sajikan oleh Ibu Rotua Pardede.
b. Untuk mengkaji bagaimana pengertian dan pemahaman mengenai
manghirap tondi dan melihat makna tekstual kata-kata yang diucapkan dalam manghirap tondi sebagai cara untuk menyampaikan rasa atau
ungkapan atau ekspresi pelaku manghirap tondi.
c. Untuk mengetahui eksistensi dan keberadaannya di dalam kehidupan
masyarakat Batak Toba, apakah masih sering dilaksanakan atau bahkan upacara ritual manghirap tondi ini semakin lama semakin
punah.
1.3.2 Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Sebagai dokumentasi dan bahan literatur dalam disiplin
etnomusikologi berkaitan tentang kesenian Batak Toba khususnya manghirap tondi
b. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneiti
selanjutnya, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian manghirap tondi.
c. Menjadi salah satu bahan dokumentasi tambahan tentang
informasi manghirap tondi khususnya bagi masyarakat Batak Toba.
d. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah refrensi mengenai
proses manghirap tondi di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
e. Dapat menjadi refrensi bagi peneliti, masyarakat dan juga bagi
setiap pembaca.
1.4 Konsep Dan Teori 1.4.1 Konsep
Konsep merupakan gejala yang paling penting dalam penulisan yang akan digunakan sebagai alat menggambarkan fenomena dengan
adanya penjabaran masalah dari kerangka teoritisnya. Kata deskriptif
adalah bersifat menggambarkan apa adanya KBBI 2005:258.
Kata deskriptif yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah bagaimana gambaran sebenarnya manghirap tondi pada saat dilaksanakan
tanpa ada unsur yang ditambahi dan dikurangi. Manghirap berarti pemanggilan. Manghirap yang penulis maksudkan dalam tulisan ini
adalah salah satu pemanggilan roh dalam masyarakat Batak Toba.
Tondi berarti roh, roh adalah yang mengikat nafas kehidupan manusia memberikan daya jiwa dan kepribadian, menentukan nasib
manusia dengan memberi arah petunjuk bagi kehidupan manusia. Roh menempati tubuh seseorang sebagai satu kesatuan, membentuk pribadi
seseorang, memberikan daya hidup yang menghubungkan nyawa dengan
jiwa, badan dan pikiran serta nurani yang membisiki hati manusia untuk berbuat.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Medina Hutasoit dalam skripsinya menyebutkan Andung - andung merupakan
suatu nyanyian ratapan dalam konteks kematian atau kemalangan. Secara umum andung- andung adalah berisi tentang kesedihan atau penderitaan
hidup. Wujud dari kemalangan ini adalah kesedihan dan dukacita misalnya pada saat kematian orang tua, dan kehilangan anggota keluarga.
2
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat yang bersifat kontinu, dan yang terkait
Dalam penelitian ini penulis menggunakan 2 kajian yaitu kajian tekstual dan musikal. Tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan dengan
teks atau tulisan dari suatu kata-kata. Teks atau syair dari nyanyian tersebut akan menghasilkan suatu makna. Makna tersebut adalah suatu
yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari suatu kata atau teks yang kemudian berbagi menjadi dua bagian, yaitu makna konotatif dan
denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang terkandung arti tambahan sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung
arti tambahan atau disebut dengan makna sebenarnya Keraf,1991:25. Istilah musikal menunjukkan kata sifat yang berarti musik, memiliki
unsur-unsur musik seperti melodi, tangga nada, modus, dinamika, interval,
frasa, serta pola ritem.
2
Penelitian terdahulu oleh Medina Hutasoit ANALISIS TEKSTUAL PENYAJIAN ANDUNG DALAM KEMATIAN PADA MASYARAKAT TOBA DESA SIGUMPAR
KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
oleh suatu rasa identitas bersama. Masyarakat yang penulis maksud adalah masyarakat Batak Toba yang berada di desa Lintong Nihuta, kecamatan
Tampahan, Toba Samosir. Daerah ini merupakan daerah yang menjadi tempat penulis meneliti Manghirap Tondi.
1.4.2 Teori
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan, yaitu
bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman ilmiah kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk
memperoleh pengertian tentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat yang dijadikan acuan dalam tulisan ini. Teori juga
merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, 1991 : 1041.
Dalam tulisan ini unsur yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas adalah studi tekstual dan musikal manghirap tondi. Dalam konteks penelitian,
teori digunakan sebagai acuan sementara, agar penelitian tidak melebar ke mana- mana. Teori adalah bangunan yang mapan, ada pendapat peneliti, ada simpulan
awal. Itulah sebabnya teori harus dibangun berstruktur, sejalan dengan apa saja yag mungkin akan digunakan Suwardi, 2006: 107.
Dalam mengkaji strukstur dan makna tekstual manghirap tondi, penulis menggunakan teori semiotika. Dimana teori ini digunakan untuk memahami
bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang
membangun sebuah peristiwa seni. Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan
tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Semiotika dan teori komunikasi adalah dua hal yang sangat
mirip sehingga sering disebut sebagai semiotika komunikasi. Komunikasi terjadi dengan perantaraan tanda-tanda dengan mengemukakan sesuatu representamen
berdasarkan makna denotatum, designatum atau makna yang ditunjuknya. Dalam melakukan analisis semiotika, pembahasannya antara lain mencakup pada hal-hal
yang berkaitan dengan: semiotika binatang zoosemiotics; paralinguistik paralinguistics; bahasa alam natural language; komunikasi visual visual
communication; kode-kode musik musical codes; kode rahasia; sistim objek; dan lain-lain.
Menurut Koentjaraningrat pengertian upacara ritual atau ceremony adalah: sistem aktifitas atau rangakaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Koentjaraningrat,
1990-190. Untuk melihat apa-apa saja komponen upacara, maka penulis menggunakan teori upacara yang di kemukakan oleh Koentjaraningrat 1958:243
yang menyatakan aspek-aspek dalam upacara ada empat, yaitu : 1 tempat upacara, 2 waktu upacara, 3 benda-benda dan alat-alat upacara, 4 yang
melaksanakan upacara dan pemimpin upacara. Dalam meneliti upacara manghirap tondi penulis akan mendeskripsikan
bagaimana uraian mengenai andung-andung, teks yang diucapkan, benda-benda
yang digunakan saat upacara, dan juga sesajen yang digukan saat upacara ritual berlangsung. Untuk mengkaji studi teks dalam manghirap tondi penulis
berpedoman kepada teori semiotik. Istilah kata semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeioni. Teori semiotik adalah sebuah teori mengenai lambang yang
dikomunikasikan. Dalam menganalisa struktur teks dalam manghirap tondi penulis juga menggunakan teori William P. Malm dalam buku terjemahan Music
Culture of The pasific, The Near, East, and Asia, ia mengatakan dalam musik vokal, hal yang sangat penting diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan
teksnya. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukan hubungan antara aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta membantu
reaksi musikal bagi sebuah kata yang di anggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi Malm dalam terjemahan Takari 1995:17. Sementara itu untuk
mengkaji musik iringan dalam manghirap tondi penulis akan menggunakan teori Bruno Nelt 1964 : 131 mengatakan bahwa untuk mendapatkan seluruh benda
musikal dilakukan analisis: perbendaharaan nada, modus, ritem, nada dasar, bentuk dan tempo.
Untuk menganalisis struktur melodi manghirap tondi penulis mengunakan teori weighted scale bobot tangga nada yang dikemukakan oleh William P.
Malm. Hal yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi yaitu: 1 tangga nada, 2 nada dasar pitch center, 3 wilayah nada, 4 jumlah nada-
nada, 5 jumlah interval, 6 pola-pola kadensa, 7 formula-formula melodik, dan 8 kontur Malm dalam terjemahan Takari 1995:15
Untuk mendukung analisis struktur melodi manghirap tondi, penulis mengunakan metode transkripsi. Transkripsi merupakan proses penotasian bunyi
yang didengar dan dilihat. Dalam mengerjakan transkripsi penulis menggunakan pada notasi musik yang dinyatakan Seeger yaitu notasi preskriptif dan deskriptif.
Notasi preskriptif adalah notasi yang dimaksudkan sebagai alat pembantu untuk penyaji supaya dapat menyajikan komposisi musik. Sedangkan notasi deskriptif
adalah notasi yang dimaksudkan untuk menyampaikan kepada pembaca tentang ciri-ciri atau detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis akan menggunakan notasi deskriptif. Karena, penulis akan menyampaikan atau memberikan informasi
tentang manghirap tondi dengan detail agar jelas tujuan dari komposisi manghirap tondi.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti manghirap tondi desa
Lintong Nihuta, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kirk Miller dalam Moleong 1990:3 yang
mengatakan: ”Penelitian adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya
sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya”.
Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu: tahap sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan.
Pada tahap pra lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini
disusun rancangan penellitian ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan,
memilih informan, perlengkapan penelitian, dan etika penelitian. Selanjutnya pada
tahap perkerjaan di lapangan peneliti mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat bantu yaitu, kamera digital merk Nikon,
dan catatan lapangan. Pengamatan langsung menyaksikan pertujukan manghirap tondi yang dilaksanakan ibu Rotua Pardede. Sedangkan wawancara tidak
berstruktur adalah wawancara yang dalam pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sahari-hari. Informan biasanya terdiri dari mereka
yang terpilih karena sifat-sifatnya yang khas. Biasanya mereka telah mengetahui
informasi yang dibutuhkan dan wawancara biasanya berlangsung lama.
Dalam tahap mennganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman dan
sebagainya ke dalam suatu pola atau kategori dengan hasil akhir membuat laporan untuk penulisan skripsi.
1.5.1 Studi Kepustakaan
Dalam mencari tulisan-tulisan pendukung, penulis melakukan adanya studi kepustakaan dan kegiatan ini dilakukan untuk menemukan
literatur atau sumber bacaan guna melengkapi data-data yang diperlukan dalam tulisan ini. Sumber bacaan yang digunakan dapat berasal dari
penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Dimana sumber bacaan diperoleh dari buku, majalah, buletin, jurnal, artikel dan situs
internet. Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan dasar tentang apa yang akan diteliti. Tujuan dari studi
kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep-konsep, teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan atau
penelitian dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan masyarakat Batak Toba yang diteliti yang berhubungan dengan
kepentingan pembahasan atau penelitian.
1.5.2 Penelitian Lapangan
Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman kepada tulisan Harsja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat
dalam buku metode-metode penelitian masyarakat. Dalam buku tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan
field work dengan menggunakan : 1 Observasi pengamatan, dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan langsung, hal ini sesuai dengan
pendapat Harja W. Bachtiar 1990:114-115, bahwa seorang peneliti harus melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari sasaran penelitiannya dalam
mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat menghadapi persoala bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang diperlukan tanpa
harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada kegiatan-kegiatan yang diamatinya.
Mengacu pada teori diatas penulis mengumpulkan keterangan yang diperlukan dengan cara mengamati sasaran penelitian, misalnya tentang
penyajian manghirap tondi, sarana yang dipergunakan, pelaku, dan
masalah-masalah lain yang relevan dengan pokok permasalahan dan dalam pengamatan, penulis juga melakukan pencatatan data-data di lapangan
sebagai laporan hasil pengamatan penulis. 2 Wawancara, dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan
manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian pendirian yang mereka miliki, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi.
Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara lisan dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat
Koentjaningrat 1990:129-155 yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan wawancara, teknik wawancara terfokus, wawancara
bebas dan wawancara sambil lalu. Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur
tertentu tetapi terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu sifatnya hanya untuk menambah data lain. Dalam
mengumpulkan data, penulis menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan dan mencatat secara langsung
data-data yang diperlukan. 3 Perekaman, dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan
2 cara, yaitu a perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dengan menggunakan handycam Sony mini DVD. Perekaman ini sebagai
bahan tekstual dan musikal. b untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar digunakan kamera digital merk Nikon. Pengambilan
gambar dilakukan pada saat upacara ritual berlangsung.
1.5.3 Kerja Laboratorium
Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah didapat dari lapangan. Setelah data yang diperoleh dari lapangan
maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman
dilakukan pentranskipsian dan selanjutnya dianalisisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis dengan
mengikuti kerangka penulisan. Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari
antropologi, aspekstruktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya sesuai dengan keperluan pembahasan ini, sebagaimana ciri
Etnomusikologi yang interdisipliner dan keseluruhanannya dikerjakan dilaboratorium Etnomusikologi, sehingga permasalahanya merupakan
hasil laporan penelitian yang disusun dalam bentuk skripsi. Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis melengkapinya dengan
menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini dilakukan berulang-ulang sampai ditemukan hasil yang sesuai dengan penelitian ini.
1.6 Lokasi Penelitian
Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih lokasi di desa Lintong Nihuta Bagasan Kecamatan Tampahan tepat nya dirumah Ibu Rotua Pardede. Dan menjadi
informan kunci di dalam penelitian ini. Alasan penulis memilih tempat tersebut karena di Kabupaten Tobasamosir sudah jarang dan sangat sulit didapati seseorang yang bisa
melaksanakan upacara ritual manghirap tondi ini. Dengan demikian penulis tertarik
melakukan penelitian di tempat tersebut.
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA DAN BIOGRAFI
ROTUA PARDEDE
2.1 Suku Batak Toba
Suku Batak Toba merupakan sub atau bagian dari suku bangsa batak. Suku Batak Toba meliputi Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan,
Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, sebagian Kabupaten Dairi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga dan sekitarnya. Sepanjang sejarah suku
ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Pada masa kerajaan yang berpusat di Bakara, Kerajaan yang dalam pemerintahan dinasti Sisingamangaraja membagi
Kerajaan Batak dalam 4 wilayah yang disebut Raja Maropat, yaitu: 1.
Raja Maropat Silindung 2.
Raja Maropat Samosir 3.
Raja Maropat Humbang 4.
Raja Maropat Toba Marga asli penduduk Batak Toba yang berdomisili di Tampahan adalah
Siahaan, Simanjuntak dan marga-marga penduduk pendatang seperti; Simatupang, Pardede, Sianturi, Panggabean, Sianipar, dll.
2.1.1 Asal-Usul Batak Toba
Penelusuran sejarah, sebuah upaya yang bagi sebagian orang merupakan pekerjaan yang sia-sia. Tetapi jika dipikir lebih mendalam,setiap orang pasti
bertanya dari manakah asal-usul suku Batak Toba. Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak Toba dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung
Malaysia lalu menyebrang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula-Mula, lebih kurang 8 KM arah barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain
mengatakan dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.
Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 awal abad ke-13. Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan
generasi ke-19 wafat 1907, maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20. Pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang Sriwijaya
yang menyebabkan bermukimnya 1500 orang Tamil di Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang
Lawas. Sekitar tahun 1400 kerajaan Nakur berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.
Menurut kepercayaan bangsa Batak induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si raja Batak
mempunyai dua orang putra, yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan mempunyai 5 lima orang putra yakni Raja Uti Raja Biak-Biak,
Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja. Sementara, Si Raja Isumboan mempunyai 3 tiga orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja
Asiasi, dan Sangkar Somalindang. Dari keturunan pinompar mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru daerah di Tapanuli, baik ke utara maupun
ke selatan sehingga muncullah berbagai macam marga Batak. Legenda mengenai
bagaimana Si Raja Batak disebut sebagai asal mula orang Batak amsih perlu dikaji lebih dalam.
Sebenarnya Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir sekarang tidaklah semuanya Toba. Sejak Masa kerajaan Batak
hingga pembagian wilayah yang didiami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan HKBP, Tanah Batak dibagi menjadi 4
empat bagian besar, yaitu: Samosir Pulau Samosir, dan sekitarnya, Toba Balige, Laguboti, Porsea, Pangururan, Sigumpar, dan sekitarnya, Humbang
Dolok Sanggul, Siborong-borong, dan sekitarnya, Silindung Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya.
2.2 Sitem Kekerabatan Batak Toba
Sistem kekerabatan ialah hubungan kekeluargaan daripada individu- individu. Kekerabatan timbul akibat dua hal, yaitu hubungan darah consaigunal
dan akibat adanya perkawinan konjugnal. Oleh karena itu kekerabatan kinship menyangkut jauh dekat hubungannya seseorang individu dan antara seorang
dengan sekelompok orang keluaragakerabat demikian pula sebaliknya. Untuk menentukan bagaimana jauh dekatnya seseorang diadakan kekerabatan menurut
adat istiadat budaya Batak Toba, kriteria yang digunakan ialah menurut garis keturunan pihak laki-laki ayah dan pertalian darah akibat perkawinan dari pihak
perempuan. Namun yang paling menentukan ialah garis menurut garis keturunan ayah. Hal ini karena etnis Batak Toba penganut paham kebapakan patrilinear
discent bahwa keturunan laki-laki, dimana marga ayah sangat dominan.
Walaupun demikian dalam menentukan kekerabatan partuturan juga dianut oleh paham keibuan bilibneal discent karena keluarga ibuistri menduduki
posisi yang sangat penting yaitu sebagai tempat untuk meminta berkat tuahpasu- pasu. Maka terdapat hubungan kekerabatan yang erat antara kelompok
ayahsuami dengan kelompok ibuistri dan begitu juga sebaliknya Purba 1997:4 dikutip oleh Kezia Purba.
3
Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba di Desa Tampahan tidak berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba di daerah lain.
Kekerabatan masyarakat Batak Toba berdasarkan garis keturunan didasarkan pada tarombo silsilah orang Batak itu sendiri. Tarombo ditentukan oleh marga,
dimana marga ditentukan oleh garis keturunan dari pihak laki-laki ayah. Segala Orang Batak Toba mementingkan soal “silsilah”
karena penentu partuturan di Batak Toba adalah “silsilah atau tarombo” marga nenek moyang dan tibalni parhundul kedudukanperan dalam horja-horja adat
acara-acara adat. Hal ini bisa dilihat saat orang Batak Toba bertemu, langsung bertanya
“marga aha hamuna?” apa marga anda dan juga “sian dia huta muna?” dari mana asal-usul anda? Hal ini dipertegas oleh pepatah atau Umpasa Batak Toba
yaitu “ Jolo tiniktik sanggar laho bahenon huru-huruan, Jolo sinukun marga asa binoto partuturan” maksudnya yaitu kita tanya apa marganya terlebih dahulu agar
kita tahu hubungan kita dengannya.
2.2.1 Kekerabatan Berdasarkan Keturunan
3
Penelitian terdahulu oleh Kezia Purba ANALISIS MUSIKAL DAN TEKSTUAL MARSIALOPARI KARYA TARALAMSYAH SARAGIH
tata cara kehidupan dimulai dari keluarga sampai pada lingkungan masyarakat diatur dan disusun berdasarkan garis keturunan ayah patrilineal
4
Masyarakat Batak memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan dalihan na tolu. Dalam bahasa Indonesia dalihan na tolu artinya tungku yang
terdiri dari tiga kaki. Sistem ini mengatur pola interaksi sosial dalam masyarakat Batak. Dalihan na tolu ini terjadi karena adanya perkawinan sehingga terjadi
hubungan kekerabatan dengan marga lain Siahaan, 1982. Menurut falsafah . Dari marga
ini akan diketahui tarombo seseorang untuk memanggil sapaan terhadap orang lain. Marga dipergunakan oleh anak laki-laki, sementara untuk perempuan disebut
boru. Dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berfungsi sebagai pewaris dan
penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris
marga bagi keturunannya. Dalam masyarakat Batak apabila marganya sama, maka mereka adalah kerabat yang memiliki satu nenek moyang yang sama. Pria dan
wanita yang semarga sangat tidak dibenarkan saling mengawini. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa marga klan pada masyarakat
Batak Toba mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya. Begitu juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar
individu, marga klan juga angat berperan dalam kehidupan masyarakat.
2.2.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan
4
Sumber: http:id.wikipedia.orgwikiPatrilineal
orang Batak dalihan na tolu merupakan tiga buah batu yang dijadikan sebagai penyanggah dalam setiap interaksi satu sama lain dalam kehidupan bersama
diibaratkan sebagai tungku yang menyanggah beban di atasnya Skripsi Nainggolan: 2009. Tiga batu penyanggah tersebut membentuk kerja sama yang
sungguh-sungguh kokoh dalam usaha untuk menciptakan kebaikan bersama. Setiap batu penyanggah itu memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan
bersama dan tidak bisa lepas satu sama yang lain. Tiga kedudukan yang dimaksud dalam dalihan na tolu adalah hula-hula,
dongan tubu, dan boru Siahaan, 1982. Hula-hula merupakan pihak keluarga dari istri yaitu orang tua dan semua saudara laki-laki dari wanita yang dinikahi oleh
pria dari marga lain. Hula-hula ini memiliki kedudukan dan fungsi yang paling tinggi dalam sistem kekerabatan orang Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba
hula-hula dianggap sebagai pemberi kebahagian, pemberi rejeki, dan pemberi berkat tertinggi yang harus dihormati. Orang Batak Toba menyakini bahwa hula-
hula merupakan sarana penyalur berkat dan bahkan disebut sebagai “tuhan yang kelihatan”. Sehingga dengan menghormati hula-hula orang-orang akan
memperoleh berkat dan rejeki dalam kehidupannya. Dongan tubu merupakan hubungan persaudaraan yang berasal dari ayah yang sama atau garis keturunan
yang sama dan golongan yang memiliki marga yang sama. Dalam suatu acara adat kedudukan dongan tubu sama atau sederejat
dengan pihak yang menyelenggarakan pesta suhut. Dongan tubu mempunyai tugas untuk mengawasi berjalannya acara adat. Boru adalah keluarga yang
memperisteri anak perempuan dari suatu marga. Boru adalah orang yang selalu
sibuk dan siap sedia mempersiapkan segala sesuatu dalam setiap acara atau kegiatan adat seperti mempersiapkan hidangan konsumsi, mengatur berbagai
pertemuan atau acara-acara keluarga lainnya. Khususnya, jika acara atau pesta adat adalah perhelatan atau pesta dari pihak hula-hula. Ketiga dalihan na tolu ini
tidak bisa dipisah dalam kehidupan bersosialisasi masyarakat Batak Toba, baik dalam acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Posisi dalihan na tolu ini
bergantung pada konteksnya. Setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut pada saat yang sama.
Seorang hula-hula akan berposisi sebagai boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga dari istrinya. Begitu juga sebaliknya seorang boru akan menjadi
hula-hula bagi keluarga anak perempuannya yang telah menikah dengan marga lain. Dalam menjaga konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada
pepatah yang mengatakan: “somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu” Sumando.
5
5
Sumando Pardede
Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru selalu memberikan sembah kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar
pihak hula-hula selalu bersikap mangelek membujuk dan sayang terhadap pihak boru, manat mardongan tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu
saling memperhatikan dan selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit hati bagi sesama dongan tubu.
2.2.3 Sistem Perkawinan
Perkawinan dalam Koentjaraningrat 1994:103 adalah sebagai pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya Perkawinan
bukan hanya sekedar perjanjian sehidup semati antara laki-laki dan perempuan yang bersatu dalam sebuah rumah tangga, tetapi juga terbentuknya hubungan
antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan menjadi sebuah keluarga besar
Kepler, 2002:38. Sistem perkawinan menurut adat Batak Toba adalah sesuatu yang kompleks yang harus melalui tahapan-tahapan. Perkawinan bagi masyarakat
Batak Toba adalah sebuah pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan tetapi juga mengikat suatu keluarga besar yakni keluarga
pihak laki-laki paranak dalam bahasa Batak Toba dan pihak perempuan parboru.
Perkawinan mengikat kedua belah pihak tersebut dalam suatu ikatan kekerabatan yang baru, yang juga berarti membentuk satu dalihan na tolu tungku
nan tiga yang baru juga. Secara umum, dalam adat Batak Toba, upacara perkawinan didahului oleh upacara pertunangan. Upacara ini bersifat khusus dan
otonom, diakhiri dengan tata cara yang menjamin, baik awal penyatuan kedua calon pengantin ke dalam lingkungan baru, maupun perpisahan dan peralihan dari
masa peralihan tetap, sebagaimana akan diteguhkan dalam upacara perkawinan. Dengan demikian, tata upacara perkawinan terdiri dari tata cara penyatuan
tetap atau permanen ke dalam lingkungan sosial baru, dan tata cara penyatuan yang bersifat personal. Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak Toba
menganut hukum eksogami perkawinan di luar kelompok suku tertentu. Seorang
perempuan akan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, namun dia akan tetap menyandang marganya sendiri; selanjutnya, perempuan
tersebut beserta suaminya akan menyebut kelompok marga perempuan itu dengan hula-hula Vergouwen, 1986: xi Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam
masyarakat Batak Toba seseorang yang hendak menikah tidak boleh mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri namariboto, perempuan
meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan marga dari pihak laki-laki. Hak
tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki. Tahapan- tahapan yang ada pada masyarakat Batak Toba adalah sebagai berikut17: 1.
Paranakkon Hata a
Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak pihak
b
laki-laki kepada parboru pihak perempuan.
c Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada orang yang disuruh
oleh pihak laki-laki pada hari itu juga.
d Pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang
dongan tubu, boru, dan dongan sahuta. 2. Marhusip
a Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh
pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat ruhut adat di huta i dan sesuai dengan keinginan parboru pihak perempuan.
b Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin sinamot. Yang
dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan lainnya.
c Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-
tubu, boru tubu, dan dongan-sahuta. 3. Marhata Sinamot
a Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang dari
dongan-tubu, boru dan dongan sahuta. b
Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan minuman.
c Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot.
4. Marpudun Saut Marpudun saut artinya merealisasikan apa yang dikatakan dalam paranak hata,
marhusip, dan marhata sinamot. Semua yang dibicarakan pada ketiga tingkat pembicaraan sebelumnya dipudun disimpulkan, dirangkum menjadi satu
untuk selanjutnya disahkan oleh tua-tua adat. Dalam marpudun saut sudah diputuskan ketentuan yang pasti mengenai sinamot, ketentuan jambar sinamot
kepada si jalo todoan, ketentuan sinamot kepada parjambar na gok, ketentuan sinamot kepada parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat upacara,
tanggal upacara, ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan, ketentuan mengenai ulos-ulos kepada pihak paranak, dan ketentuan tentang adat.
5. Unjuk
Semua upacara perkawinan ulaon unjuk harus dilakukan di halaman pihak perempuan alaman ni parboru, di mana pun upacara dilangsungkan. Berikut
adalah tata geraknya: a
Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan tempat duduk.
b Mempersiapkan makanan,
c Paranak memberikan na margoar ni sipanganon dari parjuhut horbo, d Parboru menyampaikan dengke ikan, biasanya ikan mas,
e Doa makan, f Membagikan jambar,
g Marhata adat – yang terdiri dari tanggapan oleh parsinabung ni paranak, dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru, tanggapan parsinabung ni
paranak, tanggapan parsinabung ni parboru. h Pasahat sinamot dan todoan,
i Mangulosi, dan j Padalan Olopolop.
6. Tangiang Parujungan Doa penutut pertanda selesainya upacara perkawinan adat Batak Toba.
2.3 Sistem Kepercayaan Dan Agama
Tanah Batak telah telah dipengaruhi beberapa agama. Agama Kristen Protestan dan Islam masuk ke daerah orang Batak Toba sejak permulaan abad ke-
19. Walaupun sebagian besar orang Batak Toba sudah beragama kristen dan islam, namun banyak konsep-konsep yang asal dari agama aslinya masih hidup,
terutama di daerah pedesaan. Sumber utama untuk mengetahui sistem kepercayaan Batak Toba asli adalah buku-buku kuno pustaha. Selain daripada
berisi silsilah-silsilah tarombo buku yang dibuat dari kulit kayu itu juga berisi konsepsi orang batak tentang dunia makhluk halus. Hal ini dapat terjadi demikian
oleh karena tarombo itu sendiri bermula dengan kejadian-kejadian yang hanya mungkin terjadi dalam dunia makhluk halus, seperti misalnya penciptaan manusia
yang pertama yang leluhurnya bersangkutpaut dengan burung. Konsepsi tentang pencipta, orang Batak Toba mempunyai konsep bahwa
alam ini dan seluruh isinya, diciptakan oleh Debata Opung Mulajadi Nabolon yang bertempat tinggal di atas langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai
dengan tugas dan tempat kedudukannya. Sebagai Debata Mulajadi Nabolon, ia tinggal di Langit dan merupakan Maha Pencipta. Sebagai penguasa dunia tengah,
ia bertempat tinggal di dunia ini dan bernama Silaon Nabolon, atau Tuan Panduka ni Aji. Sebagi penguasa dunia makhluk halus ia bernama Pane Nabolon. Selain
daripda pencipta Debata Mulajadi Nabolon menciptakan dan mengatur kejadian gejala-gejala Alam seperti hujan, kehamilan, sedangkan Pane Nabolon mengatur
Penjuru mata angin. Konsepsi tentang jiwa, roh dan dunia akhirat. Dalam hubungan dengan
jiwa dan roh orang Batak mengenal 3 tiga konsep yaitu: Tondi, sahala, dan begu.tondi itu adalah jiwa atau orang itu sendiri dan sekaligus dan juga
merupakan kekuatan. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki oleh
seseorang. Bedanya dengan tondi adalah bahwa tidak semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kualitasnya juga berbeda-beda. Sahala dari seorang Raja
atau Datu lebih banyak dan lebih kuat dari orang biasa dan begitu pula sahala dari seorang hula-hula lebih kuat dari sahala orang boru. Sahala itu dapat berkurang
dan menentukan peri kehidupan seseorang. Berkurangnya sahala menyebaban seseorang kurang disegani, atau kedatuannya menjadi hilang.
Tondi diterima oleh seseorang itu pada waktu ia masih ada didalam rahim ibunya dan demikian pula sahala atau sumangat. Demikian tondi itu juga
merupakan kekuatan yang memberi hidup kepada bayi calon manusia, sedangkan sahala adalah kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan orang
itu dalam hidup selanjutnya seperti halnya dengan sahala, yang dapat berkurang atau bertambah, tondi itu dapat pergi meninggalkan badan. Bila tondi
meninggalkan badan sementara, makaorang yang bersangkutan itu sakit, bila untuk seterusnya, maka orang itu meninggal. Keluarnya tondi dari badan
disebabkan karena adanya kekuatan lain sambaon yang menawannya. Konsep yang ketiga ialah begu, adalah seperti tingkah laku manusia, hanya
secara kebalikannya, yaitu: misalnya apa yang dilakukan oleh manusia pada siang hari dilakukan begu malam hari. Orang Batak mengenal begu yang baik dan yang
jahat. Sesuai dengan kebutuhannya, begu dipuja dengan sajian pelean. Dikalangan orang Batak Toba, Begu terpenting ialah Sumangot ni ompu begu
dari nenek moyang. Kalau begu yang dulunya sebagai tondi menduduki tubuh manusia yang kaya, yang berkuasa, dan mempunyai keturunan yang banyak, maka
upacara untuk menghormatinya juga bersifat besar-besaran. Upacara seperti itu
disertai dengan gondang musik Batak dan dengan sajian yang disebut Tibal- tibal yang ditempatkan di atas Pangumbari. Beberapa golongan begu yang ditakuti
orang Batak Toba adalah: 1.
Sombaon, yaitu sejenis begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan rimba yang padat, gelap, dan mengerikan
persombaonan. 2.
Solobean, yaitu begu yang dianggap sebagai penguasa dari tempat- tempat tertentu dari Toba.
3. Silan, yaitu begu yang serupa dengan Sombaon menempati pohon
besar, atau batu yang aneh bentuknya, tetapi khususnya dinggap sebagai nenek moyang pendiri Huta dan juga nenek moyang dari
marga. 4.
Begu ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti karena dapat dipelihara oleh orang agar dipergunakan untuk membinasakan orang-orang lain
yang dibenci oleh sipemelihara begu ganjang tersebut. Akhirnya dalam sistem religi aslinya orang Batak Toba juga percaya
kepada kekutan sakti dari Jimat, tongkat wasiat atau tunggal panaluan dan kepada mantra-mantra yang mengandung sakti. Semua kekuatan itu menurut kitab- kitab
ilmu gaib orang Batak Toba pustaha, berasal dari Si Raja Batak.
2.4 Bahasa