Membangun Kerja Sama Usaha (Joint Venture) atau Usaha Kemasyarakatan (Social Venture)?

8.4 Membangun Kerja Sama Usaha (Joint Venture) atau Usaha Kemasyarakatan (Social Venture)?

Salah satu misi utama pembentukan KPH yang relevan dalam konteks pembahasan tentang kemitraan adalah meningkatkan perekonomian masyarakat lokal di dalam dan di sekitar areal kerjanya. Posisi KPH yang merupakan ujung tombak pengelolaan hutan pada level tapak memungkinkannya membangun kerja sama yang intensif dengan masyarakat setempat. Potensi sumber daya manusia yang dimilikinya juga akan mampu mendayagunakan keahliannya dalam pendampingan masyarakat. Kewenangan ‘penuh’ KPH dalam mengelola sumber daya yang ada dan/ atau pada kawasan yang belum termanfaatkan (wilayah tertentu) adalah kapital politik yang tidak dimiliki oleh institusi induknya (SKPD Kehutanan) sekalipun.

Meskipun demikian, berdasarkan pengalaman dalam pembangunan hutan tanaman yang sudah berjalan lebih dari dua dasawarsa dan dapat dikatakan sebagai usaha komersial penuh, masih lebih penting mempertimbangkan banyak tantangan yang harus dihadapi daripada menghitung keuntungan yang dapat diperoleh. Seperti telah luas diketahui, hingga saat ini perkembangan pengelolaan hutan tanaman di Indonesia dapat dikatakan lambat karena banyaknya masalah sosial yang timbul di lapangan (Muhtaman,et al., 2000; Martin, 2008). Berdasarkan fakta di lapangan, tidak semua perusahaan dapat mengelola 100% luas areal kerjanya dan/atau izin pemanfaatan yang telah diberikan izinnya oleh pemerintah.

Guna meningkatkan fungsi ekonomi usaha dan kelembagaan dalam pengelolaan hutan tanaman dan meminimalisir masalah sosial yang timbul selama pelaksanaan pengelolaan, banyak yang meyakini pengelolaan dengan skema kemitraan adalah jawaban dari pemasalahan yang timbul di lapangan. Kemitraan bahkan diklaim mampu

melaksanakan pemberdayaan masyarakat (Riyanto, 2005; Najiyati,et al., 2005).

Berdasarnya karakternya, kemitraan diperlukan untuk mendapatkan jaminan pasar bagi pengelola hutan di hulu, dan kesinambungan bahan baku baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Kemitraan melibatkan pihak yang akan bekerja sama dalam hal penggunaan lahan, modal, pengelolaan hutan dan jaminan pasar dengan pemenuhan kebutuhan suatu komoditas terhadap suatu industri. Mekanisme pengaturan melalui kemitraan adalah penataan dan mendorong kesediaan pelaku bekerja sama dan berinvestasi membangun hutan. Salah satunya melalui kelembagaan yang berkelanjutan. Jika seluruh konseptual dimaksud diterapkan dalam konteks kemitraan antara usaha besar dengan masyarakat tentu harus melihat faktor-faktor yang memungkinkan mewujudkan situasi yang diharapkan.

Setelah melakukan penelusuran, terdapat beberapa contoh kemitraan yang telah dilaksanakan oleh beberapa perusahaan a.l. PT Musi Hutan Persada (MHP), PT Wira Karya Sakti (WKS), PT Xylo Indah Pratama, PT Arara Abadi, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), PT Korintiga Hutani, PT Finantara Intiga, Inhutani, dan Perhutani. Beberapa perusahaan tersebut dikabarkan telah berhasil dalam melakukan kemitraan dengan masyarakat disekitarnya karena menerapkan prinsip kemitraan berwujud manajemen modern, profesional, dan mampu menyerap perubahan dinamika kehidupan sosial ekonomi masyarakat untuk diaplikasikan secara kemitraan. Misalnya PT WKS di Jambi mengembangkan Hutan Tanaman Pola Kemitraan (HTPK). PT Finantara Intiga di Kalbar mengembangkan program comdev (community development) melalui kemitraan bagi 7500 KK. PT Xylo Indah Pratama di Sumsel menanami lebih dari 5.000 hektare lahan milik masyarakat dengan pulai (Alstonia sp.) melalui kemitraan.

Lebih lanjut, menurut Martin (2008) pada tahun 1990–2007 MHP berhasil menanam 193.000 ha Acacia mangium untuk memenuhi kebutuhan pabrik pulp PT Tanjung Enim Lestari. Mulai tahun 2000, MHP memiliki Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dan Mengelola Hutan Rakyat

Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia

(MHR) pada lahan milik masyarakat. Kemudian dalam bentuk kerja sama usaha/usaha patungan ketika Wulaning Dyah (2006) melakukan studi,

(joint venture) terutama yang berorientasi pada diketahui di MHP: kemitraan PHBM akan dapat

ekonomi komersial tampaknya lebih berpeluang berkelanjutan jika manfaat yang diterima oleh

berhasil jika potensi dan/atau kapasitas masyarakat masyarakat meningkat secara proporsional. Nilai

relatif baik. Akan tetapi secara umum masyarakat pembagian keuntungan baru 1,85% dari total

di sekitar desa/kampung di sekitar hutan termasuk keuntungan usaha atau Rp 2.500/m3 dan kemudian

kategori miskin kapital.

Dyah merekomendasikan upaya dalam MHP agar Dalam konteks perkembangan desa, termasuk keuntungan dapat naik jadi Rp 15.000/m3.

desa/kampung yang berada dalam wilayah kerja Jika melihat pada realita yang lebih luas,

suatu KPH, secara umum berada pada kategori memang hingga kini kisah keberhasilan dari

Desa Swadaya (tradisional) alias belum mencapai suatu pola kemitraan di bidang kerja sama

Swakarya atau Swasembada. Beberapa ciri penting usaha kehutanan sangat terbatas teridentifikasi.

dari Desa Swadaya yang luas dikenal adalah urusan Sebagaimana dikemukakan oleh Nawir dan Santosa

pemerintahan dan administrasi belum berjalan (2005); juga Suwarno, et al. (2009), belum ada

baik. Selain itu secara umum tingkat pendidikan pola kemitraan yang dianggap optimal dalam

serta produktivitas masyarakatnya rendah, mendukung pembangunan kehutanan secara

dimana pemanfaatan lahan masih terbatas. Hal luas, juga mendukung peningkatan kesejahteraan

itu tentu terkait dengan upaya untuk mendorong masyarakat di sekitar areal kelolanya. Darusman

terbentuknya kerja sama usaha yang harus (2004) mengemukakan, kegagalan dalam

dipertimbangkan masak-masak. membangun kerja sama khususnya dalam

Tentu saja di beberapa wilayah terdapat juga koteks kerja sama usaha/usaha patungan (joint

desa/kampung sekitar hutan yang lebih maju, venture) dengan masyarakat setempat, adalah

baik telah pada kategori Desa Swakarya maupun lebih dikarenakan faktor ekonomi usaha lokal

kemungkinan ada juga Desa Swasembada. Pada (catatan: yang pada umumnya masih subsistens)

kategori desa yang demikian kemungkinan akan dan faktor kelembagaan di masyarakat (catatan:

jauh lebih mudah membangun kerja sama usaha yang sebagian besasr masih tradisional). Jadi bukan

atau usaha patungan.

karena minimnya jumlah sumber daya manusia Untuk masyarakat yang masih tradisional, yang bekerja di perusahaan tersebut ataupun

daripada memaksakan untuk membangun karena aspek silvikultur dalam pengelolaan hutan.

kerja sama usaha (joint venture) mungkin perlu Menurut Veronica (2001) kemampuan mitra atau

dipertimbangkan untuk memulai dengan usaha kelompok masyarakat yang perlu ditingkatkan,

kemasyarakatan (social/community venture), yang adalah:

bahkan mungkin akan lebih bermanfaat. Perbedaan

1. Merencanakan usaha; karakterisitik antara usaha kemasyarakatan

2. Melaksanakan dan mentaati perjanjian dengan usaha komersial (sebagaimana dipahami kemitraan;

dalam joint venture) adalah pada tujuan

3. Memupuk modal dan memanfaatkan utamanya. Dimana usaha kemasyarakatan pendapatan secara rasional;

(social/community venture) tujuannya pada upaya

4. Meningkatkan hubungan secara melembaga untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi bukan merupakan hubungan individual;

masyarakat sekaligus meningkatkan manfaatnya

5. Mencari dan memanfaatkan informasi peluang bagi masyarakat. Usaha kemasyarakat mungkin usaha sehingga dapat mandiri dan mencapai

menghasilkan keuntungan finansial ( profit). Akan skala usaha ekonomi

tetapi keuntungan dimaksud bukan menjadi fokus Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan,

dari usaha. Adapun yang lebih penting daripada upaya untuk mengembangkan kemitraan antara unit

keuntungan finansial adalah berbagai upaya atau usaha besar dengan masyarakat lokal di sekitarnya

program yang mampu menghasilkan manfaat sosial

148 • Kemitraan KPH dan Masyarakat 148 • Kemitraan KPH dan Masyarakat

Lebih lanjut dikemukakan, menjalankan usaha kemasyarakatan sangat kompleks, mengingat usaha ini mencoba memperoleh solusi dari problema yang dihadapi masyarakat dalam kondisi pasar atau pemerintah gagal mengatasinya. Terkadang pemerintah bahkan justru menjadi penghalang untuk mengatasi problema tersebut. Di samping itu usaha ini mencoba memberikan soulsi pada saat kondisi keuangan terbatas. Bahkan seringkali usaha dimaksud tidak dijamin akan menguntungkan dalam ‘pelayanan’ yang dilakukan. Oleh karenanya segala kondisi yang ada menuntut pengusaha sosial seperti itu perlu kreatif, mampu beradaptasi dan mengidentifikasi solusi baru mengatasi berbagai permasalahan. Untuk mempermudah pemahaman, interpretasi kedua usaha ini dalam konteks pembahasan tentang KPH, Pemegang Izin dan Masyarakat Lokal disajikan pada Gambar 8.3.

Bagi KPH (P/L/K) menjalankan usaha kemasyarakatan pada dasarnya tidak menjadi kendala mengingat sebagai institusi Pemerintah memiliki tugas utama pelayanan publik. Disamping itu KPH juga memiliki potensi dukungan sumber pendanaan dalam dan luar negeri yang memiliki fleksibilitas guna mendukung pemecahan masalah

sosial, a.l. hibah dan donasi. Ditambah lagi untuk kasus KPHP dan KPHL, juga telah diberikan kewenangan besar dalam pengelolaan hutan yang ada sepanjang Rencana Jangka Panjangnya telah disahkan.

Terutama pemanfaatan bagian dari areal kerjanya yang disebut sebagai Wilayah Tertentu. Menurut Permenhut No. P.47 tahun 2013 tentang Pedoman, Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, hal- hal yang dapat dilakukan di Wilayah Tertentu: (1.) Melaksanakan Kegiatan Pemanfaatan Hutan, (2.) Kemitraan dengan pihak Ketiga (Masyarakat setempat, BUMN/D/S, Koperasi, UMKM), dan (3.) Kerja sama dengan pihak Ketiga dalam rangka kemitraan maupun membuka peluang usaha.

Dalam Permenhut tersebut juga disebutkan bahwa Kriteria Pihak Ketiga, yaitu: (a.) Masyarakat Setempat, dan (b.) BUMN, BUMD, BUMS, Koperasi, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Wilayah Tertentu adalah modal sumber daya alam (natural resource capital) atau sebagai bagian dari input produksi yang selama ini dikuasai negara dan seharusnya paling memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanah konstitusi republik ini.

Adapun bagi para pemegang izin (perusahaan), usaha kemasyarakatan seperti diuraikan juga sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan terutama penyisihan keuntungan dalam kerangka tanggung jawab sosial perusahaan (corporate

Gambar 8.3. Interpretasi Alternatif Kemitraan Usaha KPH dengan Pemegang Izin dan

Masyarakat Lokal di Wilayah Kerjanya

1. J oin t V en tu r e, a.l. mersial 2 pihak/lebih tribusi uang/ barang; dan kendali; sebagai pimpinan usaha

2.Soci al Ven t ur e, a.l. berorientasi utama isu sosial

(lingkungan); yang ada guna memelihara

usaha dan mencapai tujuan akhir ekonomi;

konteks dan lokasi

Gambar 8.3 Interpretasi Alternatif Kemitraan Usaha KPH dengan Pemegang Izin dan Masyarakat Lokal di

Wilayah Kerjanya

Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia

• 149

social responsibility/CSR). Wibisono (2007) mengemukakan, perusahaan memang berorientasi untuk memperoleh laba atau keuntungan yang maksimum. Akan tetapi perusahaan harus tetap memperhatikan kondisi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya, karena perusahaan berdiri di tengah- tengah masyarakat. Setiap tindakan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mendapatkan keuntungan maksimal akan berdampak terhadap kualitas lingkungan hidup dan masyarakat di sekitarnya. CSR adalah wujud dari kepekaan dan kepedulian perusahaan guna membangun hubungan yang harmonis. Perlu ditambahkan, memperhatikan lingkungan dan masyarakat sekitar dalam konteks bisnis sama pentingnya dengan perhatian terhadap pasar (a.l. pemegang saham, konsumen dan analisis finansial) dan lingkungan kerja (a.l. buruh/karyawan dan serikat kerjanya).

Bagaimana dengan masyarakat setempat? Apakah mereka hanya sebagai obyek saja dalam usaha kemasyarakatan dimaksud? Tentu saja tidak. Masyarakat setempat sebagai sumber daya manusia dalam jumlah yang memadai, juga memiliki kapital yang tidak dipunyai oleh KPH maupun pemegang izin dalam rangka implementasi usaha kemasyarakatan. Kapital itu adalah modal sosial dalam bentuk kearifan lokal (local wisdom), kegotong-royongan serta pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang telah teradaptasi dan diadopsi secara bergenerasi.

Jika seluruh potensi yang dimiliki oleh para pihak yang berperan tersebut dapat didayagunakan bersama berdasarkan asas kerja sama dan kesetaraan peran, maka usaha kemasyarakatan (social/community venture), khususnya pada desa yang masih bersifat Swakarya di sekitar KPH memungkinkan untuk menjawab tantangan dalam memecahkan problema sosial yang ada. Bahkan di masa depan berpotensi dilanjutkan untuk mengembangkan kerja sama usaha atau usaha patungan sekalipun (joint venture) yang lebih berorientasi laba/keuntungan.