Perubahan Sistem Pengelolaan Sumber Daya Hutan
2.4 Perubahan Sistem Pengelolaan Sumber Daya Hutan
Pengelolaan ekosistem sebagai sebuah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam pertama kali muncul dalam US Forest Service’s New Perspectives Program (Salwasser, 1999 dalam Schlaepfer dan Elliot, 2000). Konsep pengelolaan ekosistem adalah pengelolaan sumber daya alam yang di dalamnya termasuk kegiatan kehutanan nasional, dalam konteks interaksi ekonomi, ekologi, dan sosial dalam suatu daerah atau wilayah tertentu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Thomas dan Huke, 1996 dalam Schlaepfer dan Elliot, 2000). Beberapa kelompok penganjur konsep pengelolaan hutan dengan pendekatan pengelolaan ekosistem hutan lebih menitikberatkan pada pertimbangan ekologis yang bersifat eksklusif dalam penetapan tujuannya. Sementara kelompok yang lain memandang, sistem pengelolaan itu merupakan cara untuk mengompromikan antara kepentingan manusia untuk memperoleh kayu dengan kepentingan untuk melestarikan nilai-nilai lingkungan. Meskipun masih terdapat perdebatan, namun pengertian pengelolaan hutan dengan
8 Angka-angka yang menggambarkan ketersediaan sumber daya manusia di sektor kehutanan yang terdapat dalam Rencana Pembangungan Jangka Panjang Kemenhut
menjelaskan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam membuat kemajuan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Misalnya, dari sekitar 71.000 pegawai di sektor kehutanan publik dan swasta, lebih dari 58.000 orang hanya mendapatkan pelatihan dari sekolah menengah. Sebanyak 8.000 pegawai bergelar sarjana, 750 bergelar magister dan 85 bergelar doktor. Di sektor publik, 76% pegawai kehutanan pusat dan daerah hanya berijazah sekolah menengah atas. Karena adanya kebijakan kepegawaian pada aparatur sipil secara umum maka orang-orang yang bergelar lebih tinggi pada dasarnya akan menduduki jabatan administrasi yang sebagian besar mencakup kegiatan administrasi yang jauh dari bidang keahlian mereka.
pendekatan pengelolaan ekosistem hutan (forest ecosystem management) secara operasional dapat dipilih dan ditetapkan.
Pendekatan pengelolaan ekosistem hutan berlandaskan pada kesatuan ekosistem hutan dengan tipe dan batas-batas ekologis tertentu sebagai kesatuan analisis dalam perencanaannya. Kesatuan ini berfungsi pula sebagai kesatuan pengelolaan yang berdiri sendiri. Penekanan tujuannya adalah memulihkan dan mempertahankan kesehatan ekosistem hutan sebagai tujuan utama. Pada saat yang sama juga menyediakan keperluan manusia dengan berbagai manfaat dan pilihan yang diperlukan. Ukuran untuk keberhasilan dalam pengelolaan hutan ini adalah keberlanjutan kesehatan ekosistem hutan yang dicirikan oleh faktor-faktor komposisi, struktur, dan fungsi ekosistem hutan yang dikelola. Pengelolaan dengan pendekatan ini bersifat kompleks dan memerlukan pendekatan interdisiplin bidang ilmu. Oleh karenanya dalam pelaksanaannya harus ditunjang oleh hasil monitoring dan ilmu pengetahuan yang lengkap dari berbagai disiplin ilmu.
Schlaepfer dan Elliot (2000) kemudian mengusulkan perubahan pengembangan paradigma agar menjadi cara pandang yang lebih luas dari cara pandang yang digunakan dalam pengelolaan hutan lestari atau PHL (SFM) dan pengelolaan hutan dengan pendekatan pengelolaan ekosistem hutan atau PEH (Forest Ecosystem Management, FEM). Paradigma ini memungkinkan melakukan perbaikan kualitas pengelolaan dengan memasukkan kepentingan ekologis, ekonomis, dan sosial yang diperlukan pada saat ini dan generasi mendatang. Paradigma baru dimaksud yaitu paradigma Pengelolaan Berbasis Ekosistem atau PBE (Ecosystem-Based Management, EBM).
Dalam menerapkan pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem untuk pengelolaan sumber daya hutan dan bentang alam ekologis atau lanskap (landscape), perlu diperhatikan prinsip dalam pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan berkelanjutan. Menurut Schlaepfer dan Elliot (2000), ada 12 prinsip pengelolaan sumber daya hutan dan lanskap secara berkelanjutan, yaitu :
Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia
1. Diarahkan untuk mencapai penggunaan Berdasarkan uraian mengenai pengelolaan sumber daya ekosistem yang berkelanjutan
sumber daya alam berbasis ekosistem di muka, (Tends towards sustainable use of ecosystem
maka untuk menerapkan pendekatan Pengelolaan resources).
Hutan Berbasis Ekosistem (PHBE), pengertian
2. Bersifat menyeluruh (Is holistic) operasionalnya seperti tertera pada Kotak 1
3. Berbasis ekosistem (Is ecosystem based) (Suhendang, 2013). Berdasarkan uraian pendekatan
4. Berperspektif lanskap (Has a landscape pengelolaan hutan Berbasis Tegakan Hutan, perspective)
pengelolaan hutan dengan pendekatan Pengelolaan
5. Bertujuan ganda dan tertentu (Fixed multitiple Ekosistem Hutan, dan pengelolaan hutan Berbasis objectives)
Ekosistem, yang terjadi adalah pengembangan
6. Bersifat terpadu (Is integrating) ranah yang berfungsi sebagai satu kesatuan analisis
7. Mencakup partisipasi (Includes participation) untuk perencanaan dan satu kesatuan pengelolaan
8. Berlandaskan kepada pemantauan (Is based dari hutan sebagai tegakan hutan, hutan sebagai on monitoring)
ekosistem hutan, dan bentang alam ekologis
9. Bersifat adaptif (Is adaptive)
sebagai ekosistem.
10. Berlandaskan kepada ilmu pengetahuan yang Perkembangan pendekatan dalam pengelolaan kuat, lengkap, dan logis, serta penilaian yang
hutan dari pendekatan tegakan hutan ke arah baik (Is based on sound science and good
ekosistem hutan dan selanjutnya menjadi berbasis judgement).
ekosistem lanskap, dapat dipandang sebagai
11. Memasukan pertimbangan pengetahuan, perkembangan dari sasaran wilayah pengelolaan emosi, dan reaksi moral (Takes cognitive,
dan ruang lingkup kegiatan pengelolaan. Gambaran emotional and moral into account)
perkembangan kedua hal ini dalam pengelolaan
12. Berlandaskan kepada prinsip pencegahan (Is hutan di Indonesia adalah seperti terlihat pada based on the precautionary principle).
Tabel 2.2.
Kotak 1
Pengelolaan Hutan dengan Prinsip Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
(Ecosystem Based Management of Forest Resources)
Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem adalah dan ukuran keberhasilan pengelolaan kesatuan pendekatan yang menganggap hutan sebagai satu
bentang alam ekologis tempat ekosistem hutan kesatuan ekosistem dan merupakan bagian (sub-
berada yang telah ditetapkan lebih dulu. sistem) yang tidak terpisahkan dari ekosistem yang
Dengan demikian, hutan sebagai satu kesatuan lebih besar, yaitu ekosistem bentang alam ekologis
ekosistem bukan merupakan kesatuan pengelolaan (ecological landscape), yang berfungsi sebagai satu
yang bersifat eksklusif atau berdiri sendiri yang kesatuan analisis dalam perencanaan pengelolaan.
terpisah dengan kesatuan ekosistem lain.. Untuk Kesatuan ekosistem hutan yang terdapat dalam
dapat menerapkan prinsip pengelolaan hutan suatu kesatuan bentang alam ekologis dapat dikelola
berbasis ekosistem, maka pengelolaan hutan sebagai suatu kesatuan pengelolaan hutan, Meski
harus dilaksanakan dengan berlandaskan pada demikian, tujuan pengelolaan, preskripsi pengelolaan,
12 prinsip yang harus di anut dalam pengelolaan dan ukuran-ukuran keberhasilan pengelolaan hutan
sumberdaya hutan dan bentang alam ekologis untuk harus merupakan turunan dari dan/atau sejalan
pembangunan berkelanjutan. dengan tujuan pengelolaan, preskripsi pengelolaan,
16 • Urgensi Transformasi Struktur Kehutanan Indonesia
Tabel 2.2 Arah Perkembangan Sasaran Wilayah Pengelolaan dan Ruang Lingkup Kegiatan Pengelolaan dalam Pendekatan Pengelolaan Hutan di Indonesia
Sasaran Wilayah Pengelolaan
Ruang Lingkup Kegiatan
Pengelolaan Ekosistem Bentang Alam
Tegakan Hutan atau Komponen
Ekologis Eksploitasi
Ekosistem Hutan Lain Secara
Ekosistem Hutan
Parsial
- Pemanfaatan
Eksploitasi Hutan pada Areal HPH
Pemanfaatan Kawasan Hutan
(Secara Terpadu)
Pengelolaan
Pengelolaan Ekosistem Hutan
Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
Sumber : Suhendang 2013, yang menyebut sebagai strategi langkah kuda (arahnya menyerupai huruf “L”)
Dari Tabel 2.2 dapat dilihat, pada saat fungsi hutan negara, hutan hak dan hutan adat, ini pengelolaan hutan produksi di Indonesia
dapat dipertahankan bersama-sama oleh pemegang berada pada baris kedua kolom pertama, yaitu
hak dan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi (Secara
Fungsi hutan yang dimaksud dapat ditetapkan Terpadu). Sementara pengelolaan hutan pada
pula atau semestinya sejalan dengan penetapan hutan lindung dan hutan konservasi berada pada
kawasan lindung dan budidaya sesuai dengan UU baris kedua kolom kedua, yaitu Pengelolaan Hutan
No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. dengan Pendekatan Pengelolaan Ekosistem Hutan.
Apabila hal tersebut dapat diwujudkan, maka Arah Perkembangan pendekatan pengelolaan di
kegiatan inventarisasi dan penetapan status hutan Indonesia ke depan, baik pada hutan produksi,
negara, hutan hak dan hutan adat dilaksanakan hutan lindung, maupun hutan konservasi,
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Demikian seyogyanya berada pada baris ketiga kolom ketiga,
pula adanya Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat dan yaitu Pengelolaan Hutan Berlandaskan Prinsip
Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem.
sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 41 tahun Arah perkembangan pengelolaan hutan di
1999 tentang Kehutanan dapat dijalankan. Hal Indonesia dari keadaan semula pada baris pertama
yang sangat penting dalam pengelolaan hutan hak kolom pertama pada Tabel 2.2 (Eksploitasi Hutan
dan hutan adat tidak dapat dicampuri Pemerintah pada Areal HPH) menuju ke baris ketiga kolom ketiga
dan/atau Pemerintah Daerah yang terkait dengan pada Tabel 2.2 (Pengeloaan Hutan Berlandaskan
pelaksanaannya secara praktis. Pasalnya, mereka Prinsip Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem).
dengan status penguasaaannya harus terbebas Namun sampai sejauh ini, perkembangan kebijakan
dari beban pengaturan dan sebaliknya. Mereka kehutanan ini belum sampai pada pengelolaan
juga seharusya mendapat manfaat kebijakan berbasis ekosistem tersebut.
publik atas penetapannya sebagai kawasan hutan Pada saat buku ini disusun, pembahasan
tetap. Kebijakan publik tersebut sesungguhnya mengenai perubahan PP No. 44 tahun 2004 tentang
dapat dijalankan oleh KPH, seperti kebutuhan Perencanaan Kehutanan menghadirkan wacana, pengembangan infrastruktur ekonomi, sosial kawasan hutan bukan hanya hutan negara, tetapi maupun kepastian mendapat pelayanan untuk juga meliputi hutan hak dan hutan adat. Ini bukan ide mengembangkan sumber daya yang mereka miliki. baru. Namun sekadar mengembalikan pengertian
kawasan hutan berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Akibat dari cakupan definisi
2.5 KPH Sebagai Pintu Masuk
kawasan hutan ini, dapat mengarahkan pengelolaan KPH menawarkan kondisi riil di lapangan hutan menjadi satu sistem perencanaan, terutama
menyangkut tatanan geo-bio fisik, sosial ekonomi,
Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia • 17 Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia • 17
tata hutan itu. Pencegahan terhadap deforestasi/ “lukisan” yang faktual. Berbagai konfigurasi
konversi tidak terjadi tanpa sepengetahuan para menyangkut “lukisan” pada kanvas KPH dapat
pihak yang berpartisipasi. Inisiasi proses partisipatif disajikan di dalam format “prospektus” dan menjadi
membawa serta kebutuhan untuk memelihara bahan bahasan bagi pengambil keputusan tertinggi
rekaman, catatan, data dan informasi lainnya. dan menjadi bahan pembelajaran sejak pengantar
Koleksi data dan informasi yang ada pada KPH ilmu kehutanan sampai dengan ilmu pengelolaan
menjadi kepemilikan bersama. Oleh karenanya ada sumber daya hutan di lembaga pendidikan tinggi.
pengawalan bersama terhadap kinerja pengelolaan Pola pikir adalah kesan yang berulang-ulang
data dan informasi tersebut. yang kemudian tertanam di layar ingatan. Oleh
Kehadiran KPH pada intensitas pengelolaan yang karena itu mengubah pola pikir tidak dapat
penuh menjadikan Dinas Kehutanan, unit pelaksana dilakukan melalui pendekatan instruksional.
teknis kehutanan dan ke atasnya pada struktur Harus ada proses pembelajaran yang mampu
kelembagaan kehutanan di pusat harus melakukan menggantikan kesan yang berulang pada
reposisi. Situasi ini berbeda dengan pendekatan layar ingatan tersebut. Di tingkat Kementerian
di mana KPH diberikan posisi pada konstelasi Kehutanan, direkomendasikan untuk mewujudkan
kelembagaan yang ada sekarang. Setting KPH yang kondisi dimana setiap pejabat pengambil kebijakan
benarlah yang akan membawa reposisi kelembagaan sesering mungkin dihadapkan pada lukisan KPH
pada domain pemerintah daerah dan pemerintah. yang beragam dari berbagai perspektif. Wacana
Apabila prosesnya seperti itu maka perubahan dilakukan dengan menghadirkan bahasan terhadap
kelembagan kehutanan tidak terjadi karena proses prospektus beragam KPH
teknokratik, tetapi lebih kepada proses adaptif. KPH adalah building block pembangunan
Bagaimana dengan skema perizinan yang selama kehutanan. KPH, jika dikelola secara tertib, mampu
ini dianut oleh pemerintah dan menyebabkan hiruk- menjadi kerangka untuk menyelesaikan persoalan
pikuk perebutan kewenangan? Ketika KPH secara spesifik di tingkat tapak serta mengarahkan pada
iklas diberi kesempatan untuk memperlakukan status stabilitas yang dinamis jangka panjang (local
pemegang ijin pemanfaatan sebagai mitra, optima). Pada tingkat lanskap ataupun jurisdictional
dan bukan sebagai obyek pemeriksaan, maka (kewilayahan administratif), sejumlah KPH dapat
pengendalian perizinan yang berbasis dokumen diagregasikan dan secara kolektif menampilkan
dan berwatak pemberian sanksi akan diubah oleh tata kelola kehutanan yang menyangkut legalitas
KPH menjadi mitra operator ekonomi yang secara hutan negara, penguasaan informasi, pencegahan
bersama bergiat searah dengan misi dan tujuan degradasi dan konversi hutan negara, pengendalian
KPH jangka panjang. Hubungan KPH dengan izin. Demikian juga dengan struktur dan kapasitas
pemegang izin pemanfaatan menjadi hubungan lembaga dan masalah administrasi dan indikator
transaksional yang saling menguntungkan tanpa kinerja.
mengorbankan prinsip keberlanjutan ekosistem Proses inventarisasi bio-geo-fisik, sosial
yang utuh sebagaimana pada paparan argumentasi ekonomi budaya, praksis ekonomi politik yang
sebelumnya
diwajibkan pada setiap KPH yang kemudian Keberadaan KPH yang beroperasi secara dilanjutkan dengan tata hutan pada areal kerja
profesional dan mandiri menjadikan Dinas KPH untuk dilaksanakan secara partisipatif pasti
Kehutanan dan perangkat teknis Kementerian yang menghasilkan kerangka legitimasi yang kuat. Sebab
membidangi kehutanan harus melakukan reposisi. pada tata hutan tersebut tergambar tatanan situasi
Hal-hal yang menyangkut kebijakan dan rencana dan stratifikasi kondisi fisik sampai dengan situasi
kehutanan tingkat wilayah administrasi, pelayanan dan stratifikasi hak atas lahan dan sumber daya yang
jejaring KPH, pelayanan lintas sektor, pelayanan patut dihargai, dihormati, dan dilindungi bersama
pengembangan kapasitas, serta pengendalian
18 • Urgensi Transformasi Struktur Kehutanan Indonesia 18 • Urgensi Transformasi Struktur Kehutanan Indonesia
Argumentasi berikutnya adalah arah struktur organisasi kehutanan di Pusat perlu mengalami pergesaran untuk memastikan penguatan pengelolaan hutan dan KPH menjadi instrumen penting di tingkat tapak. Kelembagaan kehutanan juga perlu dibenahi pada tingkat provinsi maupun kabupaten agar mampu mengatasi dinamika masalah yang dihadapi dari waktu ke waktu. Bagaimana hal itu dimungkinkan terjadi? Pendekatan terbaik yang tersedia adalah bukan dengan menggambarkan situasi KPH pada kerangka hiptetik dan kemudian melakukan simulsi perubahan struktur organisasi. Namun Kementerian Kehutanan dapat mengumpulkan informasi mengenai sosok KPH yang sudah berlaku di tapak beserta kinerja dan hambatan- hambatannya. Kemudian mengambil pembelajaran dalam bentuk opsi-opsi pelayanan terhadap KPH serta pelayanan publik atas produk/jasa serta dampak sosial, lingkungan, ekonomi, dan hubungan hukum antar pelaku ekonomi dan pemerintahan akibat keberadaan dan operasi KPH. Dengan demikian pergeseran struktur yang terjadi bukan bersifat pre-design tetapi pergeseran yang bersifat empirical-based, probem based, dan need based.
Contohnya , bagimana pergeseran struktur organisasi dapat dimungkinkan ketika setting-nya tidak mampu melayani KPH yang areal kerjanya sebagian besar adalah kawasan lindung gambut, mempunyai populasi orang utan sebanyak 2.000 ekor, dan juga memproduksi kayu sengon dan gaharu? Pada setting organisasi yang sekarang, KPH ini hanya dilayani oleh struktur di bawah pengelolaan DAS dan perhutanan sosial. Padahal, yang dihadapi KPH setepatnya adalah sosok yang mengurusi perlindungan tata air, mengkonservasi satwa liar, dan memproduksi serta mengusahakan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Ketika struktur organsisasi menghendaki perubahan, pasti tidak lagi ada struktur “Direktorat Jenderal
Pengendalian Hutan Produksi, Direktorat Jendral Pengendalian Hutan Lindung, dan Direktorat Jendral Pengendalian Kawasan Konservasi”. Struktur ini harus diselaraskan menjadi struktur yang memaksimalkan pelayanan konservasi, perlindungan tata air, dan pelayanan berusaha bagi operator ekonomi kehutanan. Struktur bergeser ke arah fungsional dengan meminimalkan karakter departementalisasi yang kaku.
Setiap KPH menghadapi dan menawarkan situasi beragam yang tidak dapat disederhanakan dengan membuat norma, standard, prosedur dan kriteria (NSPK) yang dibangun berdasarkan pola pikir lama. Keberagaman KPH sesuai dengan rona “lukisan” faktual di tapak mengakibatkan format regulasi setingkat pedoman teknis tidak diperlukan lagi. Jika masih dipaksakan, akan menjadikan pelaksanaan KPH di tapak menjadi “pura-pura” karena tidak sesuai lagi dengan kondisi dan dinamika lokalnya. NSPK yang dikeluarkan oleh Pemerintah berada pada hirarki prinsip, azas kehati-hatian (precautionary), rambu-rambu untuk mempromosikan/mempercepat pembangunan dan operasi KPH serta membuat rambu-rambu safeguards untuk mencegah bencana lingkungan dan dampak sosial yang besar dan luas. Melalui perubahan karakter pada format NSPK, maka KPH secara kreatif dapat menawarkan peluang membangun sumber daya hutan dari perspektif fakta dengan asumsi yang minimal.
KPH mampu mempercepat strategi langkah kuda dan memperkaya dengan permainan bidak catur lainnya, yang melambangkan bergiatnya bebagai operator ekonomi dan sosial di areal kerjanya yang dikelola melalui “permainan” yang tertib. Lebih dari itu, tidak ada permainan catur yang sama persis, identik antara satu dan lainnya. Mengambil analogi itu, KPH mengelola sumber daya hutan pada kompleksitas dan ragam dimensi yang berbeda. KPH akan menjadi kaya warna, kaya pengalaman. Pada kaitan ini KPH mampu memberikan respon terhadap implementasi kebjakan yang tepat dan dapat diimplementasikan dan kebijakan yang sama sekali tidak dapat diimplementasikan sampai dengan kebjakan apa yang tidak diperlukan.
Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia
Pengarusutamaan pada Peraturan dan Perundang- undangan Kehutanan
Oleh: Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo
S t rat egi Pe ngem bang a n KPH d an P e r u
b aha nS truk tur K e h u
t a n a n I ndo
3.1 Peran KPH dalam Pengelolaan Hutan
lanjutannya, yaitu kajian tentang biaya transaksi dalam pengurusan dan pelaksanaan izin kehutanan.
Sebagaimana telah diuraikan pada Bab Dalam kajian itu hampir seluruh responden sebelumnya, masalah pokok dalam pengelolaan menyatakan bahwa semua kebijakan berpengaruh hutan berpangkal pada persoalan tata pemerintahan secara positif terhadap terjadinya biaya transaksi. yang lemah dan terjadi pada seluruh aspek. Termasuk Kebijakan tersebut terdiri dari: peraturan perundang-undangan, hubungan pusat-
1. Pelaksanaan proses perizinan. Terutama daerah, lemahnya kapasitas lembaga-lembaga di pusat meliputi pencadangan kawasan hutan, analisis maupun daerah yang membidangi kehutanan terhadap
besarnya masalah yang dihadapi. Dari berbagai makro-mikro kawasan hutan, rekomendasi persoalan tersebut, salah satu sumber persoalan
Gubernur/Bupati untuk memperoleh izin serta berasal dari tidak berfungsinya pengelolaan hutan di
proses pengalihan saham.
2. Pelaksanaan perencanaan hutan. Terutama tingkat tapak/lapangan. Berbagai masalah kehutanan meliputi pengesahan rencana kerja usaha dan muncul akibat lemahnya sentuhan langsung lembaga-
lembaga yang membidangi kehutanan itu dengan rencana tahunan, penataan batas areal izin dan keberadaan hutan di lapangan. Situasi itu setidaknya
pelaksanaan inventarisasi hutan menyeluruh menyebabkan dua masalah pokok:
berkala (IHMB).
1. Berbagai bentuk perencanaan kehutanan
3. Produksi hasil hutan. Meliputi pemasukan cenderung didasarkan pada kondisi makro dan
dan penggunaan alat, izin pembuatan dan umum. Sebaliknya tidak dikenali persoalan
penggunaan koridor, pengadaan tenaga teknis, nyata di lapangan sebagai dasar penetapan
serta kerja sama operasi dalam pengelolaan perencanaan kehutanan. Masalah pokok
hutan tanaman.
seperti banyaknya konflik pemanfaatan dan
4. Tata niaga hasil hutan. Meliputi sistem penggunaan kawasan hutan atau tingginya
informasi penatausahaan hasil hutan dan biaya transaksi perizinan tidak menjadi
penataanusahaan DR dan PSDH, serta masalah utama sehingga tidak ada program
sertifikasi PHPL maupun sertifikasi VLK. yang jelas dan kuat untuk menyelesaikannya;
5. Kegiatan yang terkait dengan kawasan hutan.
2. Pengendalian pembangunan kehutanan, seperti Termasuk tukar-menukar kawasan hutan, izin pengendalian pelaksanaan perizinan lebih
pinjam pakai bagi usaha pertambangan serta banyak dilaksanakan berdasarkan evaluasi
izin pemanfaatan kayu yang terkait dengan dokumen bukan evaluasi pelaksanaan riil di
pembangunan hutan tanaman atau konversi lapangan. Evaluasi pelaksanaan riil cenderung
hutan bagi usaha di luar kehutanan. berjalan pada kondisi konflik kepentingan yang
6. Pelaksanaan kebijakan lainnya, seperti tinggi. Sebab para pengawas atau pemeriksa
monitoring dan pengawasan kegiatan perizinan kegiatan yang dilakukan oleh pemegang izin,
secara rutin maupun kegiatan perlindungan dibiayai oleh pemegang izin tersebut.
hutan termasuk apabila terjadi konflik. Berdasarkan hasil kajian mengenai tata kelola
Kondisi itu antara lain disebabkan perizinan (governance) hutan dan lahan di Indonesia tahun
kehutanan diberikan pada saat kawasan hutan 2012, Tim UNDP telah mengidentifikasi empat
belum selesai ditetapkan dan belum ditata lokasi persoalan yaitu: terjadinya akses terbuka pada
izin di dalamnya serta informasi mengenai kekayaan kawasan hutan yang luas akibat tidak adanya
sumber daya hutan belum dimiliki Pemerintah/ pengelola di lapangan, konflik pemanfaatan dan
Pemda. Akibatnya banyak transaksi diperlukan dan pemilikan hutan dan lahan, lemahnya kebijakan dan
biaya ditanggung oleh calon pemegang izin untuk penegakan hukum, serta tingginya biaya transaksi
mengurusnya. Hal itu menyebabkan pelaksanaan atau terjadinya ekonomi biaya tinggi dalam proses
diskresi pemberian izin tidak obyektif. Akibat mendapatkan dan pelaksanaan izin pengusahaan
mahalnya pengurusan izin itu pula, pelayanan izin hutan. Temuan UNDP terkonfirmasi melalui studi
untuk masyarakat lokal terabaikan.
Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia • 23
Di samping itu pengurusan izin juga dilakukan oleh calon pemanfaatan, perlindungan dan konservasi, pemegang izin untuk menyelesaikan urusan internal
rehabilitasi dan reklamasi, serta pengawasan dan antar Pemerintah dan Pemda. Apalagi informasi
di lapangan.
spasial (batas kawasan hutan dan keberadaan pihak
3. Perencanaan hutan yang dilakukan pada ketiga) pada umumnya tidak tersedia secara akurat
tingkat yang lebih tinggi. Misalnya dalam di daerah sehingga rekomendasi izin hanya bersifat
lingkup kabupaten, provinsi, regional/pulau administratif atau di atas kertas. Kuatnya pengaruh
atau nasional.
elit yang terkonsolidasi, menyebabkan kebijakan dan Dalam kondisi demikian, keberadaan KPH akan praktik perizinan tidak bermakna dan tidak berfungsi
memperkuat implementasi administrasi kehutanan sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan SDH
serta memperkuat isi dan pelaksanaan perencanaan (KPK, 2013).
kehutanan. Jadi tidak benar apabila ada yang Berdasarkan semua kenyataan di atas peran
menyebutkan keberadaan KPH akan mengurangi KPH sesuai PP No. 6 tahun 2007 jo PP 3 tahun
kewenangan Dinas Kehutanan. Kecuali apabila 2008 sangat penting untuk dioperasionalkan. -praktik pelaksanaan kebijakan kehutanan yang Pengaruhnya bukan hanya secara fisik mengisi mengandung biaya transaksi tinggi yang selama ini kekosongan pengelolaan hutan di tingkat tapak. Namun secara filosofis dan strategis juga mengubah terjadi, akan tetap dipertahankan. Mengembalikan
banyak hal dalam pembangunan kehutanan secara kewenangan Kementerian Kehutanan dan keseluruhan.
Dinas Kehutanan pada domain kebijakan publik dan administrasi kehutanan adalah implikasi