Konsep dan Prinsip

8.2 Konsep dan Prinsip

Kemitraan (dalam arti partnership) secara umum dapat dipahami sebagai kerja sama secara legal antara dua individu atau korporasi guna mencapai tujuan bersama/yang disepakati kedua belah pihak, dan berarti keuntungan bersama. Sementara, menurut Abidin (2012) dengan mengambil dari berbagai peraturan perundang- undangan, yang pernah dan masih berlaku di Indonesia, terdapat berbagai pengertian: (1) Kemitraan adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. (Pasal 1 Angka 8 UU Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil). (2) Kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. (Pasal 1 Angka

13 UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah). (3) Kemitraan adalah kerja sama untuk membangun potensi pemuda dengan prinsip saling membutuhkan,saling memperkuat, dan saling menguntungkan. (Pasal 1 Angka 10 UU Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan). (4) Kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha atas dasar prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan

140 • Kemitraan KPH dan Masyarakat 140 • Kemitraan KPH dan Masyarakat

22 UU Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura). Merujuk pada definisi kemitraan tersebut,

pada dasarnya terdapat hubungan antara pemberi kepercayaan (principal) dengan mitra yang diberi kepercayaan (agent) untuk memanfaatkan atau menjalankan sebagian kewenangan pemberi kepercayaan (principal-agent relationships). Hubungan principal dan agent tersebut selalu berada pada situasi ketidaksepadanan informasi (asymmetric information) yang di satu sisi dapat menimbulkan ingkar janji (moral hazard) dari pihak yang memiliki informasi lebih baik. Situasi tersebut juga berisiko meningkatkan biaya transaksi (transaction costs) yang dalam kasus kemitraan sering dinamakan sebagai biaya kerja sama (agency costs). Untuk itu kemitraan yang baik membutuhkan persyaratan untuk dapat mengatasi masalah laten munculnya moral hazard dan agency costs tinggi. Keberadaan KPH sebagai wakil pemerintah di tingkat tapak diharapkan dapat meminimalkan ketidaksepadanan informasi, baik sumber daya dan perilaku masyarakat, melalui kedekatan geografis, sosial dan budaya sehingga biaya kerja sama dapat pula diminimalkan. Sementara moral hazard dapat diminimalkan apabila terdapat keseimbangan antara sumber daya ekonomi yang dikorbankan masing-masing pihak (principal dan agents) dengan harapan pendapatan atas pengorbanan sumber daya ekonomi tersebut.

Permenhut No. P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan secara sederhana mendefinisikan kemitraan kehutanan, sebagai kerja sama antara masyarakat setempat dengan pemegang izin pemanfaatan hutan atau pengelola hutan, pemegang izin usaha industri primer hasil hutan, dan/atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam pengembangan kapasitas dan pemberian akses, dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. Lebih lanjut diuraikan juga dalam Permenhut tersebut, kemitraan merupakan pendekatan atau pola yang digunakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat/lokal guna mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara

optimal dan adil agar terwujud peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Adapun masyarakat lokal yang dimaksudkan dalam peraturan ini, adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan, yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.

Perlu untuk dicatat, kemitraan antara pengusaha dan masyarakat semacam ini bukan baru diterapkan di Indonesia tetapi sudah lama terjadi dari berbagai sektor berbasis lahan. Meninjau bentuk dan capaian dari pola kemitraan yang terjadi adalah penting untuk tidak mengulang kembali kesalahan yang pernah dilakukan. Khususnya kerugian pada pihak masyarakat lokal yang secara umum memiliki kapital yang lebih lemah dibandingkan para investor. Kapital dimaksud secara menyeluruh baik fisik, finansial, sumber daya manusia, kelembagaan maupun tentu saja sosial. Bahkan di beberapa kelompok masyarakat lokal dimana kapital sumber daya alam, termasuk hutan di dalamnya, yang secara bergenerasi pernah dikuasainya, menjadi berkurang atau malah hilang pada saat terjadi penguasaan oleh negara (dengan personifikasinya Pemerintah) atas nama hajad hidup orang banyak (baca: bangsa).

Mengutip penelitian yang dilakukan oleh Sinyal dan von Gemingen (2001) di berbagai tempat di Kalimantan Timur dan juga di Sumatera, posisi masyarakat dalam konteks kemitraan sebagaimana dalam kolom 8.1.. Contoh-contoh dalam Kolom

8.1. secara jelas menunjukkan sebagian besar kemitraan di sektor penggunaan sumber daya alam berlangsung kurang optimal dalam menempatkan posisi dan keuntungan masyarakat. Secara umum posisi tawar (bargaining position) dari masyarakat selaku mitra tidak setara, dan dalam banyak kasus porsi keuntungan juga tidak adil,

Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia

Kotak 6.8 Tinjauan Posisi Masyarakat dalam Berbagai Bentuk Kemitraan dengan Perusahaan di Bidang Kehutanan dan Perkebunan

Pola Kemitraan

Pelaksana/Lokasi

Posisi Masyarakat

1. Hutan Tanaman Industri Pola Transmigrasi (HTI Trans) Swasta Kehutanan/ Sangat Lemah

Kalimantan Timur

2. Perkebunan Inti Rakyat Pola Transmigrasi (PIR Trans) Perusahaan Negara/ Kalimantan Timur Lemah

3. Hutan Tanaman Industri (HTI) Rakyat

Swasta Agroforestri/

Lemah

Kalimantan Timur

4. Hak Pengusahaan Hutan oleh Koperasi Unit Desa (HPH- Koperasi/ Lemah KUD)

Kalimantan Timur

5. Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Lokal

Perusahaan Negara/

Menengah

Kalimantan Timur

6. Perkebunan Pola Patungan Koperasi dan Investor (KKPA) Perusahaan Negara/ Kalimantan Timur Menengah

Kuat Keterangan Kriteria Posisi Masyarakat:

7. Proyek Perkebunan Kerja sama (OPHIR)

Pemerintah dan Donor Asing/ Sumatra Barat

Sangat Lemah: Masyarakat tidak bisa mempengaruhi/memantau penyediaan jasa. Pola merupakan bantuan hibah atau bantuan atas

kredit. Tidak ada program Pengelolaan Sumber Daya Manusia (PSDM) maupun penyediaan jalur informasi yang resmi. Tidak ada hubungan produktif, hanya hubungan antara majikan dan karyawan. Kelompok masyarakat dan usaha masyarakat tidak diperkuat secara aktif. Bantuan dari perusahaan bersifat perorangan.

Lemah: Dalam suatu hubungan produktif, ada cara obyektif untuk menentukan harga penampungan komoditi, namun masyarakat belum mampu memantau praktek pelaksanaan yang monopolistik dari sisi penampungan bahan baku serta penyediaan jasa (termasuk kredit, pembangunan fisik, informasi/penyuluhan teknis). Kegiatan penguatan kelompok secara tidak konsisten dilakukan oleh instansi pemerintah. Kelompok sering hanya kelompok tani, hubungan usaha dengan perusahaan bersifat perorangan.

Menengah: Kelompok usaha masih dihambat dalam pengawasan penentuan harga penampungan komoditi, tetapi lebih bebas mencari pemberi lain, karena penyedia jasa dipisahkan dari penampung bahan baku. Penyuluhan teknis dan penguatan kelompok usaha secara lebih intensif dilaksanakan. Kelompok sudah dibentuk (badan kerja sama antara kelompok), tetapi belum berbadan hukum; atau koperasi baru dibentuk, tetapi belum mandiri. Hubungan dengan perusahaan masih bersifat perorangan.

Kuat: Kelompok usaha sudah menguasai pengetahuan teknis yang aktual. Mereka secara tersendiri mendapatkan informasi dan memantau pasar serta penentuan harga. Oleh karena itu bisa berunding dengan perusahaan dari suatu posisi yang kuat. Kelompok usaha (koperasi) yang merupakan badan hukum dibentuk setelah pengem-bangan kelompok dan rekayasa sosial telah diutamakan secara konsistens dan sistematis dalam jangka panjang. Hubungan usaha dengan perusahaan bersifat pengelompokan.

Sumber : Sinyal dan von Gemingen (2001); juga dikutip dalam Sardjono(2004)

Kondisi yang ada tidak sesuai dengan pandangan meningkatkan kualitas sumber daya kelompok banyak ahli, bahwa bentuk kemitraan yang ideal

masyarakat sebagai mitra (Korten, 1987; Eade, adalah suatu kerja sama antara dua pihak yang

1997; Sumardjo,et al., 2004; Najiyati,et al, 2005). saling memperkuat, saling menguntungkan, saling

Oleh karenanya perlu dikemukakan prinsip menghidupi, adanya kesetaraan, partisipatif aktif

penting yang harus diperhatikan guna melakukan kedua belah pihak, adanya kepercayaan dan kemauan

pemberdayaan masyarakat secara kemitraan berbagi, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan,

kehutanan, dimana Permenhut No. P.39 tahun 2013, kesinambungan usaha dan berkelanjutan, serta

menuliskan sebagai berikut:

142 • Kemitraan KPH dan Masyarakat

1. Kesepakatan: semuan masukan, proses dan

4. Negosiasi dengan lembaga dan organisasi luar keluaran kemitraan kehutanan dibangun

tersebut menghasilkan persetujuan yang akan berdasarkan kesepakatan para pihat dan

dilaksanakan secara kolaboratif dengan tujuan bersifat mengikat;

yang ditetapkan oleh masyarakat, dan dalam

2. Kesetaraan: para pihak yang bermitra proses serta administrasi pemerintahan, mempunyai kedudukan hukum yang sama

dimana kekuatan terbagi secara merata antara dalam pengambilan keputusan;

masyarakat dan pihak luar;

3. Saling menguntungkan: para pihak yang

5. Struktur pemerintah dan administratif bermitra berupaya mengembangkan usaha

termasuk di dalamnya badan pengambil yang tidak menimbulkan kerugian;

kebijakan, panitia eksekutif, kelompok aksi

4. Lokal spesifik: Kemitraan Kehutanan dibangun yang akan melaksanakan rencana, dan dan dikembangkan dengan memperhatikan

staf yang disetujui oleh masyarakat untuk budaya dan karakteristik masyarakat

membantu kolaborasi; setempat, termasuk menghormati hak-hak

6. Sasaran dilaksanakan melalui rencana aksi tradisional masyarakat adat;

yang didukung secara penuh oleh masyarakat

5. Kepercayaan: Kemitraan Kehutanan dibangun lokal dan wakil dari institusi publik, swasta berdasarkan rasa saling percaya antar para pihak;

serta organisasi nir-laba dari luar;

6. Transparansi: masukan, proses dan keluaran

7. Kesepakatan untuk penilaian dan evaluasi dalam lingkungan publik memberikan

pelaksanaan Kemitraan Kehutanan dijalankan secara terbuka oleh para pihak, dengan tetap

kesempatan bagi organisasi masyarakat lokal untuk memantau kemajuan kolaborasi;

mengormati kepentingan masing-masing pihak;

8. Terakhir tapi sangat penting adalah adanya

7. Partisipasi: pelibatan para pihak secara aktif, kontrol masyarakat terhadap sumber daya sehingga setiap keputusan yang diambil yang dibutuhkan bagi kelangsungan upaya yang memiliki legitimasi yang kuat. dilakukan setelah masa kolaborasi berakhir. Sementara guna memberikan perbandingan, Ada pula pendapat lain tentang prinsip kemitraan Himmelman (1994), menekankan prinsip kemitraan sebagaimana yang diungkapkan oleh Kamil (2006), dalam bentuk implementasi yang kolaboratif dan

Pratiwi (2006), dan Zaelani (2008). Prinsip itu adalah: lebih bersifat tahapan yang harus dilaksanakan,

partisipasi, keterbukaan, keberlanjutan, saling sebagai berikut:

pengertian, kesepakatan bersama, gotong royong,

1. Proses diawali dalam masyarakat dan dibantu kesetaraan, collective action, berpikir representatif, dengan pengorganisasian masyarakat; dan penegakan hukum (hak, kewajiban, right

Diskusi-diskusi awal dititik beratkan pada obligation, rewards, punishment). asumsi dan nilai-nilai;

Berdasarkan prinsip kemitraan di atas masih perlu

2. Identifikasi permasalahan masyarakat, meliputi: dikembangkan lebih lanjut langkah operasionalisasinya analisis kecenderungan berdasarkan data dan

dalam kerangka pengembangan KPH (P/L). Di contoh narasi dari masyarakat lokal. Seluruh

dalamnya paling tidak ada elemen para pihak, a.l. cerita dari masyarakat diberi kredibilitas

pemegang izin pemanfaaatan hutan dan penggunaan yang sama dalam menetapkan prioritas

kawasan hutan, dan juga masyarakat lokal yang penanganannya;

kemungkinan juga berasal dari lebih satu desa.

3. Prioritas masyarakat terefleksi dalam Kemitraan yang dikembangkan tidak seharusnya hanya kolaborasi. Organisasi masyarakat memilih

sebatas kemitraan vertikal antara pihak pemegang wakilnya untuk bernegosiasi dalam kolaborasi

izin pemanfaatan hasil hutan/penggunaan kawasan dengan organisasi publik, swasta, dan

hutan, atau pihak pengelola KPH dengan masyarakat, organisasi nir-laba strategis di luar masyarakat

tetapi juga yang bersifat kemitraan horisontal, antar yang teridentifikasi;

masyarakat di beberapa desa bertetangga.

Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia • 143

5. Masyarakat Setempat/Lokal, terdiri dari: kasus tertentu. Contohnya perlindungan Daerah

Kemitraan antar desa sangat dibutuhkan pada

Masyarakat lokal di desa/kampung sekitarnya Aliran Sungai (DAS/Sub-DAS). Contoh lain adalah

dan/atau komunitas tradisional/adat (Catatan: jika dilakukan pemanfaatan wilayah tertentu pada

perlu melihat Undang-Undang No. 6 Tahun KPH yang melibatkan desa dengan latar-belakang

2014; tentang Desa); historis yang sama. Misalnya asal-usul nenek

6. Para pihak lainnya, a.l. proyek internasional moyang sama, sehingga memiliki klaim lokasi

atau program kegiatan organisasi non- hutan yang sama. Situasi ini tersebut sangat sering

pemerintah (Ornop) yang beroperasi di dalam/ dijumpai untuk desa di luar Jawa.

di sekitar wilayah KPH. Khusus untuk Masyarakat Setempat/Lokal,

mempertimbangkan tipologinya yang cukup luas, Sebagaimana dikemukakan pada Sub-Bab

8.3 Langkah Pelaksanaan Kemitraan

maka Permenhut No. P.39 tahun 2014, memberikan terdahulu, pelaksanaan Kemitraan dalam kerangka

beberapa persyaratan sesuai dengan klasifikasi KPH (P/L) di tingkat daerah (provinsi atau kabuapten/

kemitraan (lihat Bagian Kedua; Pasal 7.), yaitu: kota) membutuhkan identifikasi para pihak terkait

1. Masyarakat Setempat calon mitra Pengelola secara lebih detil. Sebagian dari para pelakunya

Hutan dan Pemegang Izin; telah dijelaskan sebagian dalam Permenhut No.

2. Masyarakat Setempat calon mitra dengan 39/Menhut-II/2013. Peraturan ini memang hanya

Pemegang Izin Industri Primer hasil hutan menekankan pelaku kemitraan adalah pihak yang

kayu dan bukan kayu; memperoleh ‘tugas’ seperti KPH (P/L) dan para

3. Masyarakat Setempat calon mitra dengan pemegang izin. Namun identifikasi lebih detil menjadi

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) penting agar dapat meletakkan posisi dan peran

Meski demikian, persyaratan adminsitratif yang ada masing-masing secara lebih lengkap dalam rangka

jangan sampai menjadikan kendala atau mempersulit pelaksanaan kemitraan. Terlebih lagi kemitraan yang

proses penetapan masyarakat mitra. Hal itu dibangun dalam satu wilayah KPH (P/L) tidaklah

dikarenakan pola kemitraan yang akan dilaksanakan selalu bersifat tunggal (hanya dua pihak) akan tetapi

justru didasarkan pada keinginan untuk mencapai bisa saja lebih dan/atau merupakan gabungan dari

keberhasilan pengelolaan hutan pada tingkat KPH skema kemitraan yang ditawarkan. Para pihak detil

(P/L) maupun unit usaha dalam kawasan KPH (P/L). yang telah diidentifikasi, yaitu:

Bilamana persyaratan adminsitratif seperti itu terlalu

1. Pemerintah, terdiri dari: Pemerintah Daerah ketat dirujuk, sementara di lapangan sulit untuk Provinsi atau Kabiupaten/Kota (beserta SKPD

dipenuhi dan/atau berbeda sekali tipologinya, maka atau UPT terkait, khususnya Bidang Kehutanan);

dapat menjadi kontra produktif atau seperti ‘peluang UPT Eselon I Kementrian/Lembaga Pusat (untuk

yang tertutup’. Hal terpenting adalah konsultasi yang tugas-tugas tertentu yang terkait);

intensif dengan atasan KPH, baik Kepala SKPD (jika

2. Pengelola KPH (P/L), baik sebagai SKPD KPH masih berbentuk UPTD) maupun langsung pada maupun UPTD;

Gubernur dan/atau Kabupaten/Walikota (jika KPH

3. Pemegang Izin Skala Besar, terdiri dari a.l.:

telah berbentuk SKPD).

Pengelola Hutan (BUMN/BUMD/KHDTK); Situasi yang kerap terjadi, Pemerintah dalam Pemegang Izin (UPHHK-HA; UPHHK-HT;

hal ini Kementerian Kehutanan sebagai institusi UPHHK-RE); Pemegang Izin Usaha Industri

teknis terkait dengan sumber daya hutan seringkali Primer (HHK; HHNK); dan para pemegang izin

menerbitkan kebijakan atau peraturan yang sektor non-Kehutanan, yang beroperasi dalam

terlalu detil dan terkesan tidak mempercayai kawasan KPH; dan lain-lainnya;

peran serta tanggung jawab institusi di daerah

4. Pemegang Izin Skala Kecil, antara lain: Pemegang yang sebenarnya lebih berwenang dalam konteks Izin Usaha Hasil Hutan Kayu; Non Kayu dan Jasa

mengurus masyarakat. Sudah waktunya pemberian Lingkungan (HKm; HD; HTR); dan lain-lainnya;

Tugas-Tugas Pembantuan kepada provinsi maupun

144 • Kemitraan KPH dan Masyarakat 144 • Kemitraan KPH dan Masyarakat

pengusaha, daripada kepada para pihak lainnya sesering mungkin dilaksanakan.

terlebih masyarakat. Dari uraian Tabel 8.3 juga Pada Permenhut No. P.39/Menhut-II/2013, pada

terlihat proses untuk menjalin kemitraan tidaklah dasarnya telah diuraikan mengenai garis besar

mudah dan membutuhkan biaya transaksi tinggi. mekanisme pelaksanaan Kemitraan Kehutanan,

Untuk mengakomodir kemitraan yang maksimal 2,0 termasuk yang dilakukan oleh KPH (lihat BAB VI;

ha per keluarga (Pasal 7 (1)) diperlukan verifikasi VII), dengan ringkasan sebagai berikut (Tabel 8.2).

dari Dinas Kehutanan Kab/Kota, dan UPT Eselon I Dalam uraian di atas dijelaskan sekaligus

pusat di daerah, dan pengelola hutan yang hasilnya posisi dan peran masing-masing pihak dari tingkat

dituangkan dalam Berita Acara Hasil Verifikasi. nasional, daerah, hingga ke tingkat tapak. Tetapi

Dikumen tersebut selanjutnya dikirim kepada secara jelas peraturan tersebut memang lebih

instansi/unit kerja eselon I masing-masing, dengan ditujukan pada tugas dan tanggung jawab pelaksana

tembusan kepada Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota

Tabel 8.2 Rangkuman Uraian Implementasi (Penetapan; Pelaksanaan, Pembinaan dan Pengendalian) Kemitraan Kehutanan Berdasarkan Permenhut No. P.39/Menhut-II/2013

Tahap No.

Uraian

Penetapan Masyara-

1. Institusi Kehutanan di Daerah (SKPD) bersama dengan UPT Eselon 1 Kemenhut dan didampingi Unit Kelola/ kat Mitra

Usaha melakukan verifikasi calon masyarakat mitra;

2. UPT Pusat menyampaikan hasil verifikasi (Berita Acara) ke Unit Kerja Eselon 1. Kemenhut, dengan tembus- an kepada institusi Kehutanan di Daerah. Hasil verifikasi menetapkan Masyarakat calon Mitra;

Fasilitasi Kemitraan

3. Institusi Kehutanan di pusat dan daerah wajib melakukan fasilitasi Kemitraan Kehutanan antara Kehutanan

masyarakat setempat dengan Unit kelola/Usaha;

4. Petugas penyuluh lapangan pemerintah/swasta. Organisasi masyarakat lokal/tradisional, Organisasi Non Pemerintah, Perguruan Tinggi (bisa) membantu proses fasilitasi masyarakat mitra. Seluruh proses fasilitasi didanai utamanya dari APBN/APBD ;

Pelaksanaan Kemi-

5. Institusi Kehutanan pusat dan daerah melakukan fasiltiasi terbangunnya kesepakatan antara Unit Kelola/ traan Kehutanan

Usaha tentang program kemitraan yang akan dilakukan. Kesepakatan dituangkan dalam Naskah Kemitraan Kehutanan dan Naskah Perjanjian antara Unit Kelola/Usaha dan masyarakat;

6. Substansi Perjanjian dilaksanakan dalam bentuk program-program kemitraan, dengan lingkup dari kegiatan lapangan kehutanan, pengolahan/industri hasil hutan, distribusi dan pemasaran produk berbasis hutan/ lahan hutan

Pembinaan dan Pe-

7. Unit Kelola/Usaha menyampaikan Laporan Perkembangan Pelaksanaan Kemitraan Kehutanan kepada ngendalian Program

Insitusi kehutanan di Daerah (Kabupaten/Kota) dengan tembusan Institusi Kehutanan dan Pusat; Kemitraan

8. Rekapitulasi Laporan Unit Kelola/Usaha disampaikan oleh Instusi Kehutanan (Kabupaten/Kota) kepada isntitusi Kehutanan di Provinsi. Hasil Rekapitulasi disampaikan Institusi Kehutanan Provinsi ke Menteri Kehutanan

9. Eselon I Kemenhut dan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) melakukan pembinaan (bimbingan, pelatihan, arahan, supervisi) kepada Unit Kelola/Usaha

10. Eselon I tanpa/dengan Institusi Kehutanan di Daerah melakukan kegiatan pengendalian (pemantauan dan evaluasi) kegiatan Kemitraan Kehutanan. Hasil pengendalian untuk perbaikan program dan dapat juga untuk pemberian insentif/sanksi.

Sumber : Permenhut P.39/Menhut-II/2013

Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia • 145 Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia • 145

manusia, sosial) yang rendah dan membutuhkan mitra yang berhak mendapatkan fasilitasi. Selain

fasilitasi pemerintah serta mitra kerja dari unit itu kesepakatan kerja sama harus dituangkan

kelola dan unit usaha skala besar. Seharusnya dalam Naskah Kemitraan Kehutanan dan Naskah

Pemegang IUPHHK-HA/HT/RE atau KPH (P/L) Perjanjian yang tidak mudah dan memerlukan biaya

dapat pula merintis kegiatan dengan unit usaha/ mahal untuk menyusunnya, walau ada fasilitasi

pemegang izin skala kecil, sebagai perwujudan dari dari Kemenhut.

insitusi pembangunan perekonomian masyarakat. Pertanyaan relevan adalah sejauh mana tupoksi

Meski demikian kemitraan yang bisa yang dimiliki oleh KPH, baik sebagai SKPD ataupun

dikembangkan di KPH seharusnya tidak terpaku dalam bentuk UPTD (lihat juga Bab IV dalam buku

pada skema yang ada dalam Permenhut No. P.39 ini) yang mampu mengakomodir tahap-tahap

tahun 2014. Sebab pada dasarnya kemitraan yang dimaksud secara lebih partisipatif? Diagram

dikembangkan KPH ruang lingkupnya jauh lebih berikut diharapkan akan mempermudah dalam

luas. Apa yang disampaikan dalam peraturan pemahaman langkah pelaksanaan Kemitraan

dimaksud lebih pada alternatif solusi dari situasi Kehutanan sebagaimana yang tertera pada Tabel

konflik lahan/kawasan hutan yang dibebani hak/

8.3. di atas. (Gambar 8.2.). izin. Sementara kemitraan pada KKPH lebih Hanya saja sebagai catatan, klasifikasi

dimaksudkan pada upaya pemberdayaan dan/ pemegang hak kelola dan pemegang izin

atau peningkatan perekonomian masyarakat lokal, terkesan disamaratakan atau tidak memisahkan diharapkan akan mempermudah dalam pemahaman langkah pelaksanaan misalnya peningkatan industri rumah tangga, yang yang skala kecil (HKm, HD, HTR). Padahal pada Kemitraan Kehutanan sebagaimana yang tertera pada Tabel 8.3. di atas. (Gambar tentunya tidak harus dimulai dengan kejadian dasarnya unit usaha tersebut adalah bagian dari 8.2.)

konflik. Oleh karenanya bilamana KPH telah masyarakat sendiri yang secara umum memiliki mendapatkan kewenangan pengelolaan kawasan

KEMENHUT Eselon I

Ornop

2 1 Ormas UPT PUSAT

Masyarakat Mitra

PPL

3 PT 1 6 4 Dll. PROVINSI

KABUPATEN/KOTA

TAPAK

SKPD Kehutanan

SKPD Kehutanan

5 Unit Kelola/Usaha

8 8 7 9 dan 10

Keterangan: Gambar 8.2. Diagramatik Posisi dan Peran Kelembagaan serta Tahapan dalam

a. Kemenhut Implementasi Kebijakan Kemitraan Kehutanan (lihat juga Tabel 8.3) : Kementrian Kehutanan e. Ormas : Organisasi Masyarakat (a.l. Lembaga Adat)

b. Keterangan: UPT : Unit Pelaksana Teknis

f. PPL

: Petugas Penyuluh Lapangan

c. SKPD a. Kemenhut : Kementrian Kehutanan : Satuan Kerja Perangkat Daerah

g. e. PT Ormas : Organisasi Masyarakat (a.l. Lembaga Adat) : Perguruan Tinggi/Universitas

b. UPT : Unit Pelaksana Teknis

f. PPL

: Petugas Penyuluh Lapangan

d. Ornop c. SKPD : Organisasi Non-Pemerintah : Satuan Kerja Perangkat Daerah

h. g. Dll PT

: Organisasi lain (a.l. Program Kerja sama) : Perguruan Tinggi/Universitas Gambar 8.2 d. Ornop Diagram Posisi dan Peran Kelembagaan serta Tahapan dalam Implementasi Kebijakan Kemitraan : Organisasi Non-­‐Pemerintah h. Dll : Organisasi lain (a.l. Program Kerjasama)

Kehutanan (lihat juga Tabel 8.3)

146 Hanya saja sebagai catatan, klasifikasi pemegang hak kelola dan pemegang izin • Kemitraan KPH dan Masyarakat

terkesan digeneralisir atau tidak memisahkan yang skala kecil (HKm, HD, HTR).

hutan, maka skema kemitraan juga memungkinkan untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan setempat.