Kab. Lombok Barat

B. Kab. Lombok Barat

1. Gn. Rinjani (RTK 1)

17.626,18

17.626,18

2. Ranget (RTK 6)

2,70 Jumlah

2,70

17.628,88 Jumlah A+B

17.628,88

5.171,52 40.983,00 Sumber : RPHJP KPH Rinjani Barat, 2013

28.827,10

6.984,38

Gambar 5.4 Peta Lokasi KPH Rinjani Barat

Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia • 79

Tabel 5.15 Penutupan Lahan KPH Rinjani Barat

No. Jenis Penutupan Lahan

Perubahan Penutupan (ha)

1. Hutan Primer

2. Hutan Sekunder

3. Semak Belukar

4. Pertanian Lahan Kering

5. Sawah

6. Perkebunan

7. Alang-alang

8. Rawa

9. Pemukiman

10. Penggunaan Lainnya

Total

Sumber : KFRI (2012 & 2013), sebagaimana disitir di RPHJP KPH Rinjani Barat, 2013

Rata-rata luas pemilikan lahan masyarakat tiap kecamatan yang ada di sekitar kawasan hutan tercatat ±0,48 ha/KK. Rata-rata pemilikan lahan terendah umumnya berada di Kabupaten Lombok Barat, tercatat < 0,30 ha/KK. Rendahnya pemilikan lahan tersebut yang mendorong masyarakat melakukan perladangan/perambahan hutan, serta penguasaan dan pendudukan hutan untuk tujuan sertifikasi dan pemukiman (RPHJP KPH Rinjani Barat).

Berdasarkan hasil survey KPHL Rinjani Barat (2011), diketahui kondisi penutupan lahan dan kualitas tegakan hutan di seluruh kawasan antara lain; berupa lahan kosong seluas ±6.147 ha (15%), alang-alang dan belukar seluas ±7.684 ha (18,8 %), hutan rawang (sekunder) seluas ±10.246 ha (25%), sedangkan hutan primer dengan kerapatan sedang- rapat tersisa seluas ±16.906 ha (41,3%). Kondisi tersebut sejalan dengan hasil analisis citra landsat Korea Forest Research Institute (2012-2013), bahwa penutupan lahan pada KPHL Rinjani Barat mengalami degradasi cukup signifikan. Hal tersebut ditunjukan dengan penurunan luas hutan primer yang pada atahun tahun 1990 seluas ±22.839,3 ha menjadi menjadi ± 15.772,5 ha pada tahun 2010. Hutan primer tersebut berubah menjadi hutan sekunder sehingga terjadi peningkatan hutan

sekunder menjadi ± 21.656,5 ha pada tahun 1995, dan kemudian menurun kembali karena sebagian hutan sekunder tersebut berubah menjadi semak belukar/hutan rawang. Hutan produksi pada wilayah KPHL Rinjani Barat seluas 12.155,9 ha sebagian besar berupa hutan sekunder dan semak belukar (hutan rawang), yang seluruhnya sudah dikelola masyarakat untuk tumpangsari tanaman semusim, hortikultura dan perkebunan.

Kemauan untuk membangun KPH sudah sangat kuat bahkan ketika Peraturan Pemerintah No. 06 tahun 2007 sedang dipersiapkan. Komunikasi dan komitmen Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, beberapa tokoh LSM (WWF, Konsepsi, Samdana), dan beberapa tokoh di Universitas Mataram sangat mengesankan. Menjadikan proses pembentukan KPH berlangsung melalui dialog multi pihak. Dalam waktu hampir bersamaan, rehabilitasi hutan yang rusak melalui skema pengelolaan berbasis masyarakat (HKm) didorong bersama dan diimplementasikan di lapangan. Dengan demikian, misi awal dari gerakan membangun KPH adalah untuk menata kembali pengelolaan sumbedaya hutan yang rusak sekaligus memberikan dukungan kepada peningkatan kualitas hidup masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.

80 • Pembelajaran dari Pembentukan dan Operasionalisasi KPH

Gambar 5.5 Hasil Rehabilitasi Hutan di HKm

5. Mempertahankan proses konsultasi multi lama karena baru pada tahun 2012 Menteri

Proses pembentukan KPH berlangsung cukup

pihak dan pendampingan kapasitas oleh LSM Kehutanan menerbitkan SK Penetapan KPH Rinjani

dan Universitas Mataram Barat.

6. Menuangkan alternatif transformasi dan KPH Rinjani Barat adalah salah satu KPH yang

konsultasi ke dalam paket rencana pengelolaan melihat masalah dan menjadikannya menjadi

hutan jangka panjang peluang. Tahapan yang dirancang dan dilalui dalam

7. Menjalankan aksi secara profesional dan operasionalsiasi KPH Rinjani Barat dapat disarikan

bertanggung jawab. sebagi berikut:

Kesan yang paling impresif pada KPH Rinjani Barat

1. Inventarisasi dan penataan areal kerja yang adalah cara penanganan konflik dan mengubahnya spesifik merespons masalah sosial beserta konfliknya menjadi kemitraan. Pembelajaran yang dapat

dipetik dari kasus KPH ini adalah tahapan-tahapan

2. Membuka komunikasi langsung dengan masyarakat berkenaan dengan spesifikasi isu cerdas untuk melakukan inventarisasi masalah

sosial dan konflik sosial dan melakukan pemetaan hasil inventarisasi

3. Membuka kesepahaman bahwa hutan harus tersebut. Hasil inventarisasi yang dilakukan oleh dipelihara dan dipertahankan keberadaannya

KPH dapat diringkas pada Tabel 5.16. tanpa mengurangi fungi sosialnya.

Menjadi lebih menarik ketika data tersebut

4. Membangkitkan alternatif transformasi dituangkan ke dalam sajian spasial sebagaimana masalah sosial-areal hutan menjadi peluang

nampak pada Gambar 5.6. Sajian spasial peningkatan pendapatan masyarakat melalui

memungkinkan pembangkitan strategi resolusi tindakan membangun hutan

konflik berbasis urutan (efek domino).

Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia • 81

Tabel 5.16 Hasil Inventarisasi Konflik di Areal Kerja KPH Rinjani Barat