2 sesuai dengan semangat memanusiakan manusia serta program pemberdayaan perempuan
yang menjadi kebijakan pemerintah selama ini Sedarmayanti, 2004:145. Di Indonesia, masalah gender sudah sejak lama mendapat perhatian. Dimulai dari
perjuangan Raden Ajeng Kartini pada masa sebelum Indonesia merdeka, dimana kaum perempuan tidak diperbolehkan untuk menikmati pendidikan sekolah. Selain disebabkan oleh
jumlah institusi pendidikan yang masih sangat terbatas, kondisi tersebut juga dipicu oleh budaya saat itu, yang mengabaikan pentingnya bekal pendidikan bagi perempuan. Wafatnya
pejuang hak kaum perempuan tersebut pun turut membuat pembicaraan ini kian lama semakin surut. Keadaan tersebut kemudian sedikit berubah ketika untuk pertama kalinya
Kongres Perempuan diadakan pada tahun 1928. Perjuangan atas hak-hak kaum perempuan kembali dibicarakan.
Ketika memasuki masa pemerintahan Orde Baru, ketidakadilan gender ini semakin terabaikan, meski Undang Undang No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan yang merupakan ratifikasi dari Convention on The Elimination of all Form of Discrimination Against Women CEDAW disahkan pada masa
itu. Bahkan dianggap menjadi hal yang wajar, apabila laki-laki berada pada lingkungan publik, sementara perempuan diposisikan pada lingkungan domestik. Secara tegas, hal
tersebut dicanangkan dalam Panca Dharma Wanita, yaitu Suparno, 2005:37:
1. Wanita sebagai pendamping suami
2. Wanita sebagai penerus keturunan
3. Wanita sebagai pendidik anak
4. Wanita pencari nafkah
5. Wanita sebagai warga masyarakat
Memasuki masa reformasi, masalah mengenai kepentingan perempuan yang kerap termarjinalkan ini kembali muncul ke permukaan. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden
Universitas Sumatera Utara
3 Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
oleh Presiden Abdurrahman Wahid, pengarusutamaan gender ditetapkan menjadi salah satu strategi yang dapat membawa kaum perempuan untuk ikut mengambil bagian dalam
pembangunan nasional. Ironisnya, kepemimpinan Megawati Soekarno Putri sebagai presiden perempuan
pertama di Indonesia yang menggantikan posisi Abdurrahman Wahid, ternyata dinilai tidak berhasil membantu kaumnya untuk menghadapi masalah-masalah seperti trafficking,
kekerasan terhadap perempuan, dan partisipasi perempuan dalam politik International Herald Tribune, diakses pada tanggal 19 Nopember 2007. Adanya seorang pemimpin yang datang
dari kaum perempuan dalam bangsa ini, ternyata tidak membawa dampak yang besar terhadap kepentingan kaum tersebut yang sudah lama termarjinalkan.
Hingga saat ini, ketika demokratisasi di era otonomi daerah diwarnai dengan maraknya proses legislasi yang menghasilkan berbagai undang-undang dan paraturan serta
kebijakan publik, seperti peraturan pengarusutamaan gender dan kuota perempuan, ternyata tidak serta merta mengangkat posisi perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam
politik dan dalam proses pembuatan kebijakan publik Formasi Indonesia, 15 Juni 2008. Seringkali peraturan-peraturan daerah tiba-tiba keluar namun akhirnya berdampak kepada
perempuan yang menjadi sasaran Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, diakses pada tangga; 27 Nopember 2007.
Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka Jurnal Ekonomi
Rakyat, diakses pada tanggal 15 Juni 2008. Sejalan dengan itu, pengarusutamaan gender yang dicanangkan oleh pemerintah seharusnya bisa menjadi strategi untuk pencapaian tujuan
otonomi daerah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
4 Tujuan ditetapkannya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender adalah supaya terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelasaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang
berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini ditetapkan karena
memang kaum perempuan cenderung memiliki kesempatan yang terbatas untuk membekali dirinya dengan sumber daya yang ada, yang akhirnya berujung pada kurangnya keterlibatan
mereka pada masalah kebijakan dan program pembangunan nasional. Setiap kebijakan publik, seperti halnya pengarusutamaan gender ini, hanya akan
menjadi rentetan catatan elit, jika tidak diimplementasikan. Dengan demikian, tahap implementasi tersebut pun menjadi tahap yang penting, sehingga kinerjanya harus senantiasa
dipantau. Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara Setdaprovsu adalah salah satu unit sekretariat daerah Provinsi Sumatera Utara yang
memiliki komitmen penuh dalam mensosialisasikan pengarusutamaan gender ini ke seluruh kalangan, terutama di kalangan para pembuat kebijakan.
Meski pengarusutamaan gender telah diberlakukan secara nasional, tetapi kenyataan yang harus dihadapi saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Menurut Laporan
Pembangunan Manusia
1
20072008 yang dipublikasikan oleh UNDP, nilai GDI Indonesia, yaitu 0,721 harus diperbandingkan dengan nilai HDI-nya 0,728. Nilai GDI Indonesia adalah
99,1 dari nilai HDI-nya. Dari 156 negara yang memiliki nilai HDI dan GDI, 79 negara
1
Setiap tahun sejak 1990, Laporan Pembangunan Manusia Human Development Report telah menerbitkan indeks pembangunan manusia human development index-HDI yang mengartikan defenisi kesejahteraan secara
lebih luas dari sekedar pendapatan domestik bruto PDB. HDI memberikan suatu ukuran gabungan tiga dimensi tentang pembangunan manusia: panjang umur dan menjalani hidup sehat diukur dari usia harapan hidup,
terdidik diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi, dan memiliki standar hidup yang layak diukur dari paritas daya beliPPP, penghasilan.
Namun tidak memasukkan tingkat ketidakseimbangan gender dalam pencapaian-pencapaian tersebut. Indeks pembangunan yang berkaitan dengan gender gender-related development indexGDI, yang diperkenalkan
dalam Laporan Pembangunan Manusia 1995, mengukur pencapaian dalam dimensi-dimensi yang sama dengan menggunakan indikator-indikator yang sama seperti HDI, tapi sekaligus menggambarkan ketidaksetaraan dalam
pencapaian antara laki-laki dan perempuan. Semakin besar kesenjangan gender dalam pembangunan manusia dasar, semakin rendah GDI sebuah negara secara relatif terhadap HDI negara tersebut.
Universitas Sumatera Utara
5 mempunyai rasio yang lebih baik daripada Indonesia UNDP, 16 Pebruari 2008. Sedangkan
menurut laporan yang dipublikasikan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN, bahwa pada tahun 2005 Provinsi Sumatera Utara berada pada peringkat ke-18
dari 33 provinsi yang ada di Indonesia BKKBN, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008. Menurut hasil analisa peroleh suara perempuan dalam Pemilu Legislatif tahun 2004,
ada sebanyak 9 sembilan provinsi tidak memiliki wakil perempuan sebagai anggota DPD, yang antara lain: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara
Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Padahal apabila dilihat dari urutan perolehan suara, di hampir 50 provinsi perempuan merupakan
kandidat terpopuler pertama dan kedua. Artinya pemilih tidak “alergi” pada kandidat perempuan, dan perempuan sebagai kandidat juga telah menunjukkan kekuatan untuk
mendapatkan dukungan suara. Kementerian Negeri Pemberdayaan Perempuan, diakses pada tanggal 06 Januari 2008.
Masalah rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal atau di arena pembuatan keputusan publik di segala tingkatan di Indonesia menjadi persoalan yang
penting bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentingannya. Dampak dari ketimpangan tata hubungan sosial laki-laki dan perempuan menimbulkan setidaknya 4 empat implikasi
negatif, yakni: pertama, perempuan sebagai salah satu sumber daya insani pembangunan
memiliki kualitas rendah, sehingga tidak memiliki daya saing, akibatnya produktifitasnya
rendah; kedua, posisi perempuan jauh tertinggal dibanding laki-laki di seluruh sektor
pembangunan politik, pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi, kesehatan, hukum dan
pertahanan keamanan; ketiga, di tengah masyarakat baik di lingkungan keluarga dan umum,
muncul perilaku kekerasan terhadap perempuan violence, perdagangan orang trafiking. Perempuan memiliki beban ganda double burden, dimana ia terlibat dalam pekerjaan rumah
tangga domestik dan di sektor publik juga bekerja untuk menambah penghasilan keluarga;
Universitas Sumatera Utara
6
dan keempat, perempuan memiliki akses, peran dan kontrol yang rendah pada semua
dimensi pembangunan sehingga hasil pembangunan belum dinikmati secara adil oleh kaum perempuan Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprvosu, Penelitian Lapangan 2008.
Menurut data yang diperoleh dari Badan Kepegawaian Daerah BKD Provinsi Sumatera Utara mengenai rekapitulasi jumlah Pegawai Negeri Sipil PNS di lingkungan
pemerintahan Provinsi Sumatera Utara per September 2007, jumlah PNS pria jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah PNS wanita, yaitu sebanyak 7.513 orang PNS pria berbanding
3.402 orang PNS wanita. Dari data tersebut juga diperoleh bahwa jumlah wanita yang termasuk dalam pejabat Eselon I dan II hanya berjumlah 4 empat orang Badan
Kepegawaian Daerah Provinsi Sumatera Utara, Penelitian Lapangan 2008. Kesenjangan inilah yang menarik minat penulis untuk mengadakan suatu penelitian
yang berjudul “KINERJA BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SETDAPROVSU DALAM IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN GENDER DI PROVINSI
SUMATERA UTARA”. Penelitian ini akan menjabarkan kinerja implementasi
pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu melalui variabel- variabel yang akan dikemukakan nantinya.
I. 2. PERUMUSAN MASALAH