6
dan keempat, perempuan memiliki akses, peran dan kontrol yang rendah pada semua
dimensi pembangunan sehingga hasil pembangunan belum dinikmati secara adil oleh kaum perempuan Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprvosu, Penelitian Lapangan 2008.
Menurut data yang diperoleh dari Badan Kepegawaian Daerah BKD Provinsi Sumatera Utara mengenai rekapitulasi jumlah Pegawai Negeri Sipil PNS di lingkungan
pemerintahan Provinsi Sumatera Utara per September 2007, jumlah PNS pria jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah PNS wanita, yaitu sebanyak 7.513 orang PNS pria berbanding
3.402 orang PNS wanita. Dari data tersebut juga diperoleh bahwa jumlah wanita yang termasuk dalam pejabat Eselon I dan II hanya berjumlah 4 empat orang Badan
Kepegawaian Daerah Provinsi Sumatera Utara, Penelitian Lapangan 2008. Kesenjangan inilah yang menarik minat penulis untuk mengadakan suatu penelitian
yang berjudul “KINERJA BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SETDAPROVSU DALAM IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN GENDER DI PROVINSI
SUMATERA UTARA”. Penelitian ini akan menjabarkan kinerja implementasi
pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu melalui variabel- variabel yang akan dikemukakan nantinya.
I. 2. PERUMUSAN MASALAH
Dengan demikian, rumusan masalah yang ingin dikembangkan oleh penulis adalah sebagai berikut.
Bagaimanakah kinerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam implementasi pengarusutamaan gender di Provinsi Sumatera Utara?
Universitas Sumatera Utara
7
I. 3. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk menggambarkan kinerja implementasi pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan
Perempuan Setdaprovsu melalui kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan serta hasilnya, dan mencari tahu apa yang menjadi hambatan yang mempengaruhi kinerja tersebut.
I. 4. MANFAAT PENELITIAN
Selain adanya tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini pun diharapkan bermanfaat bagi banyak pihak. Hasil dari penelitian ini kiranya bermanfaat sebagai berikut.
a. Peneliti memperoleh pengetahuan serta mengembangkan kemampuan menulis karya
ilmiah dalam menganalisa permasalahan di lapangan. Selain itu, juga sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Internship di Departemen Ilmu Administrasi
Negara – FISIP USU Medan.
b. Peneliti akan memperoleh informasi mengenai gambaran kinerja Biro Pemberdayaan
Perempuan Setdaprovsu dalam implementasi pengarusutamaan gender di Provinsi Sumatera Utara.
c. Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu akan semakin termotivasi untuk mencapai
visi dan misinya dalam mewujudkan pengarusutamaan gender.
d. Sebagai sumbangan bagi kaum akademis secara umum, yang mampu menambah
khasanah ilmiah dan kepustakaan baru dalam penelitian-penelitian ilmu sosial.
e. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan
masukan bagi Fakultas dan menjadi referensi tambahan bagi mahasiswai di masa mendatang.
Universitas Sumatera Utara
8
I. 5. KERANGKA TEORI
I. 5. 1. Implementasi Kebijakan Publik
Dengan mengacu pada konsep kebijakan yang dikemukakan James Anderson bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang
aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan Winarno, 2002:16, maka dapat diketahui bahwa kebijakan dalam hal ini berarti kebijakan publik
timbul karena adanya suatu masalah yang berkaitan dengan publik. Adapun kata “publik”, menurut Thomas Dye, mengandung 3 tiga konotasi, yaitu pemerintah, masyarakat dan
umum Abidin, 2004:22. Kebijakan publik secara garis besar mencakup tahap-tahap perumusan masalah
kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan Winarno, 2002:27. Tahap implementasi merupakan tahap yang penting. Namun bukan berarti tahap yang lainnya tidak
berpengaruh. Ketiga tahap ini saling berkaitan. Suatu program kebijakan hanya akan mnejadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu program
kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat
bawah Winarno, 2002:29-30. Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang
terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas yang dapat diukur. Dengan demikian, tugas
implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hail melalui aktivitas atau kegiatan program dari pemerintah
Tangkilisan, 2003:9. Dari beberapa pemahaman yang diungkapkan di atas, terlihat dengan jelas bahwa
impelementasi merupakan suatu rangkaian aktivitas dalam rangka menghantarkan
Universitas Sumatera Utara
9 kebijaksanaan kepada masyarakat sehingga kebijaksanaan tersebut membawa hasil
sebagaimana diharapkan. Berkaitan dengan tahap implementasi kebijakan ini, Tangkilisan 2003:18
mengemukakan 3 tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi, yaitu
penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan; organisasi, yaitu merupakan unit atau
wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan; dan penerapan, yang
berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya. Untuk menjalankan kegiatan dalam tahap implementasi tersebut, para ahli
merumuskan beberapa model yang dapat digunakan demi lancarnya implementasi suatu kebijakan. Berikut ini akan dibahas beberapa model implementasi yang dikemukakan para
ahli dari berbagai literatur.
a. Model Top-Down
Model yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian dalam Putra, 2003:86 ini, meninjau dari kerangka analisisnya. Modelnya ini dikenal dan dianggap sebagai salah
satu model top-down yang paling maju. Karena mereka telah mencoba mensintesiskan ide-ide dari pencetus teori model top-down dan bottom-up.
Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian terpusat pada hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan
implementasinya, dan potensi hirarkhi dengan batas-batasnya, serta kesungguhan implementor untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut.
Sedangkan untuk pendekatan bottom-up, mereka mencoba memprediksikan signifikansi hubungan antara para aktor yang terlibat dalam suatu kebijakan atau area
problem, dengan keterbatasan hirarkhi formal dalam kondisi hubungan dengan lingkungan di luar peraturan. Mereka melihat implementasi kebijakan merupakan fungsi
Universitas Sumatera Utara
10 dari 3 tiga variabel yang berhubungan dengan: 1 karateristik masalah; 2 struktur
manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan operasional kebijakan; dan 3 faktor-faktor di luar peraturan. Namun demikian, tampaknya
penekanannya masih sangat tergantung pada tipologi pelaksana, dan masih bersifat administrasi, dengan titik berat pada analisis hipotesis dan cara-cara untuk mencapai
tujuan yang masih terpusat pada kompliansi dan kontrol yang koordinatif atau koordinasi. Model top-down yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian ini akan
memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena modelnya memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab akibat, dengan tanggung
jawab yang bersifat singel atau penuh. Model ini mempunyai skor rendah pada bukti- bukti penting atau realisme dan kemampuan pelaksana. Modelnya ini juga memandang
bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan secara mekanistis atau linier. Maka penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi dan kontrol yang efektif yang
mengabaikan manusia sebagai target group dan juga peran dari aktor lain.
Gambar Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian
Sumber: Putra, 2003:89
Karakteristik Masalah 1.
Ketersediaan teknologi dan teori teknis 2.
Keragaman perilaku kelompok sasaran 3.
Sifat populasi 4.
Derajat perubahan perilaku yang diharapkan Daya Dukung Peraturan
1. Kejelasankonsistensi tujuansasaran
2. Teori kasual yang memadai
3. Sumber keuangan yang mencukupi
4. Integrasi organisasi pelaksana
5. Diskresi pelaksana
6. Rekrutmen dari pejabat
7. Akses formal pelaksana organisasi
Variabel Non-Peraturan 1.
Kondisi sosio ekonomi dan 2.
Perhatian pers thd. masalah kebijakan 3.
Dukungan publik 4.
Sikap dan sumber daya 5.
Dukungan kewenangan 6.
Komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana
Keluaran Kebijakan dari
Organisasi Pelaksana
Kesesuaian keluaran kebijakan
dengan kelompok sasaran
Dampak aktual keluaran
kebijakan Dampak yang diperkirakan
Perbaikan Peraturan
Proses Implementasi
Universitas Sumatera Utara
11
b. Model Bottom-Up
Model yang dikemukakan oleh Smith dalam Putra, 2003:90 ini memandang implementasi sebagai proses atau alur, yang melihat proses kebijakan dari perspektif
perubahan sosial dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok
sasaran. Smith menyatakan bahwa ada 4 empat variabel yang perlu diperhatikan dalam
proses implementasi kebijakan, yaitu: 1 idealizede policy, yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong,
mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya; 2 target group, yaitu bagiian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola
interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-
pola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskannya; 3 implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab
dalam implementasi kebijakann; 4 environmental factors, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial,
ekonomi dan politik. Keempat variabel di atas tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan
yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu sering menimbulkan tekanan tension bagi terjadinya transaksi atau tawar menawar antara
formulator dan implementor kebijakan. Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini memberikan skor
tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksana. Karena modelnya memandang bahwa implementasi kebijakan tidak berjalan secara linier atau mekanistis, tetapi membuka
Universitas Sumatera Utara
12 peluang terjadinya transaksi melalui proses negosiasi, atau bargaining untuk
menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan yang berdimensi target group. Namun kemampuan badan atau unit pelaksana di saat kebijakan diimplementasikan masih
diragukan kesiapan dan kemampuannya.
Gambar Model Proses atau Alur Smith
Sumber: Putra, 2003:92 c.
Model Goggin
Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan model Goggin ini dapat mengindentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada
keseluruhan implementasi, yakni: 1 Bentuk dan isi kebijakan, termasuk di dalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, 2 Kemampuan
organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif, dan 3 pengaruh lingkungan dari masyarakat
dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat termasuk pola komunikasinya Tangkilisan, 2003:20
Policy Making
Process
Implementing Organization
Target Group
Idealized Policy
Environmental Factors Tensions
Transactions
Institutions Feedback
Policy
Universitas Sumatera Utara
13
d. Model Grindle
Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan
dipengaruhioleh isi kebijakan yang terdiri dari: 1 Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi, 2 Tipe-tipe manfaat, 3 Derajat perubahan yang diharapkan, 4 Letak
pengambilan keputusan, 5 Pelaksanaan program, dan 6 Sumber daya yang dilibatkan. Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah
besar pengambilan kebijakan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil suatu unit pengambil kebijakan.
Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: 1 kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, 2 karakteristik lembaga penguasa, dan 3
kepatuhan dan daya tanggap. Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangkan konteks atau lingkaran dimana tindakan administrasi dilakukan Tangkilisan, 2003:20.
e. Model Van Meter dan Van Horn
Model proses implementasi yang diperkenalkan Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari
kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa
mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal
memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin
merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif Winarno, 2002:103.
Universitas Sumatera Utara
14 Model yang ditawarkan Van Meter dan Van Horn ini mempunyai 6 enam
variabel yang membentuk ikatan linkage antara kebijakan dan pencapaian performance. Variabel-variabel tersebut dijelaskan sebagai berikut Winarno, 2002:110-
119.
1 Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan.
Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh
mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran- ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna di dalam menguraikan tujuan-tujuan
keputusan kebijakan secara menyeluruh. Di samping itu, ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam
beberapa kasus. Misalnya, pemerintah berusaha menciptakan lapangan pekerjaan untuk para pengangguran dengan membuat beberapa proyek padat karya. Untuk
menjelaskan apakah implementasi telah berhasil atau tidak, perlu ditentukan jumlah pekerjaan yang telah diciptakan, identitas orang-orang dipekerjakan dan kemajuan
proyek-proyek pembangunan yang berhubungan.
2 Sumber-sumber kebijakan.
Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau
perangsang incentive lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.
3 Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.
Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bahwa dalam suatu organisasi
atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat
Universitas Sumatera Utara
15 menyimpannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja.
Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi yang berbeda memberikan interpretasi- interpretasi yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau
jika sumber-sumber yang sama memberikan interpretasi-interpretasi yang bertentangan, para pelaksana akan menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk
melaksanakan maksud-maksud kebijakan. Dalam hubungan-hubungan antarorganisasi maupun antarpemerintah, dua tipe
kegiatan pelaksanaan merupakan hal yang paling penting. Pertama, nasihat dan
bantuan teknis yang dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat tinggi seringkali dapat melakukan banyak hal untuk memperlancar implementasi kebijakan dengan jalan
membantu pejabat-pejabat bawahan menginterpretasikan peraturan-peraturan dan garis-garis pedoman pemerintah, menstrukturkan tanggapan-tanggapan terhadap
inisiatif-inisiatif dan memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan
yang berguna dalam melaksanakan kebijakan. Kedua, atasan dapat menyandarkan
pada berbagai sanksi, baik positif maupun negatif. Menurut Van Meter dan Van Horn, kita dapat menyelidiki aspek pelaksanaan ini dengan menunjuk kepada perbedaan
antara kekuasaan normatif, renumeratif, dan kekuasaan koersif.
4 Karakteristik badan-badan pelaksana.
Pembahasan mengenai karakteristik badan-badan pelaksana ini tidak bisa lepas dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik,
norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan- badan eksekutif yang mempunyai hubungan, baik potensial maupun nyata, dengan
apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasi-organisasi dan atribut-atribut yang
tidak formal dari personil mereka.
Universitas Sumatera Utara
16 Van Meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin
berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan:
a Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;
b Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-
proses dalam badan-badan pelaksana;
c Sumber-sumber politik suatu organisasi misalnya dukungan di antara anggota-
anggota legislatif dan eksekutif;
d Vitalitas suatu organisasi;
e Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai jaringan
kerja komunikasi horisontal dan vertikal secara bebas, serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar
organisasi;
f Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan” atau
“pelaksana keputusan”.
5 Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik
Para peminat perbandingan politik negara dan kebijakan publik secara khusus tertarik dalam mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan pada hasil-hasil
kebijakan. Sekalipun dampak dari faktor-faktor ini pada implementasi keputusan- keputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan
Van Horn, faktor-faktor ini mungkin mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.
Untuk tujuan ilustratif, Van Meter dan Van Horn mengusulkan agar kita memberi pertimbangan pertanyaan-pertanyaan berikut mengenai lingkungan ekonomi, sosial
dan politik yang mempengaruhi yurisdiksi atau organisasi dimana implementasi itu dilaksanakan:
Universitas Sumatera Utara
17
a Apakah sumber-sumber ekonomi dalam yurisdiksi atau organisasi pelaksana
cukup mendukung implementasi yang berhasil?
b Sejauh mana atau bagaimana kondisi-kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku
akan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan yang bersangkutan?
c Apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu kebijakan yang
berhubungan?
d Apakah elit-elit mendukung atau menentang implementasi kebijakan?
e Apakah sifat-sifat pengikut dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana; apakah ada
oposisi atau dukungan pengikut dari kebijakan?
f Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan swasta dimobilisasi untuk
mendukung atau menentang kebijakan?
6 Kecenderungan pelaksana implementors
Pada tahap ini pengalaman-pengalaman subyektifitas individu-individu memegan peran yang sangat besar. Van Meter dan Van Horn kemudian mengidentifikasikan
tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yakni: kognisi komprehensi,
pemahaman tentang kebijakan, macam tanggapan terhadapnya penerimaan, netralitas, penolakan dan intensitas tanggapan itu.
Pemahaman pelaksana tentang tujuan umum maupun ukuran-ukuran dasar dan tujuan- tujuan kebijakan merupakan satu hal yang penting. Implementasi kebijakan yang
berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan tersebut secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijakan sering diakibatkan oleh
ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan. Dalam kondisi seperti ini, persepsi individu memegang peran. Dalam keadaan ketidaksesuaian kognitif, individu
mungkin akan berusaha menyeimbangkan pesan yang tidak menyenangkan dengan
Universitas Sumatera Utara
18 persepsinya tentang apa yang seharusnya merupakan keputusan kebijakan. Intensitas
kecenderungan pelaksanan inilah yang akan mempengaruhi pencapaian implementasi. Adapun ikatan linkage antara keenam variabel tersebut di atas dengan
pencapaian suatu kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar Model Proses Impelementasi Kebijakan menurut Van Horn dan Van Meter
Sumber: Winarno, 2002:111
Keterangan Gambar Winarno, 2002:120-122:
Menurut Van Meter dan Van Horn, tipe dan tingkatan sumber-sumber yang disediakan oleh keputusan kebijakan akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan komunikasi
dan pelaksanaan. Bantuan teknik dan pelayanan-pelayanan lain hanya dapat ditawarkan jika ditetapkan oleh keputusan kebijakan dan semangat para pelaksana hanya dapat
dicapai apabila sumber-sumber yang tersedia cukup untuk mendukung kegiatan tersebut.
Kecenderungan pelaksana-
pelaksana Komunikasi antar
organisasi dan kegiatan-kegiatan
pelaksanaan
Karakteristik- karakteristik dari
badan-badan pelaksana
Kondisi ekonomi, sosial dan politik
Sumber-sumber Kebijaksanaan
Dasar dan tujuan-tujuan
Ukuran-ukuran
Pencapaian
Universitas Sumatera Utara
19 Pada sisi yang lain, kecenderungan para pelaksana dapat dipengaruhi secara langsung
oleh tersedianya sumber-sumber. Jika jumlah uang atau sumber-sumber lain dipandang tersedia, maka para pelaksana mungkin memandang program dengan senang hati dan
kemungkinan besar hal ini akan mendorong ketaatan para pelaksana kebijakan karena mereka berharap akan memperoleh keuntungan dari sumber-sumber tadi. Hal sebaliknya
juga dapat terjadi. Bila suatu program tidak mempunyai cukup sumber-sumber pendukung dan dengan demikian tidak prospektif, maka dukungan dan ketaatan terhadap
program akan menurun. Dengan demikian, kaitan antara sumber-sumber dan lingkungan ekonomi, sosial,
dan politik dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana menunjukkan bahwa tersedianya sumber-sumber keuangan dan sumber-sumber lain mungkin akan menimbulkan tuntutan
untuk dapat berperan serta dan implementasi program yang berhasil. Faktor ini juga akan mendorong kelompok-kelompok yang pasif untuk berperan serta di dalam implementasi
kebijakan. Akan tetapi apabila sumber-sumber yang tersedia sangat terbatas, kelompok kepentingan akan memilih jalan menentang kebijakan berdasarkan perbandingan nilai
keuntungan yang didapat dengan biaya yang harus dibayar. Selain itu, Van Meter dan Van Horn juga mengajukan hipotesis bahwa lingkungan
ekonomi, sosial, dan politik dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana akan mempengaruhi karakter badan-badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan
pencapaian itu sendiri. Kondisi lingkungan juga akan berpengaruh kepada kecenderungan-kecenderungan para pelaksana. Jika masalah-masalah yang dapat
diselesaikan oleh suatu program begitu berat dan kelompok kepentingan dimobilisir untuk mendukung suatu program, maka besar kemungkinan para pelaksana menerima tujuan-
tujuan, ukuran-ukuran dasar, dan sarana-sarana kebijakan. Sebaliknya, bila masalah- masalah tidak berat dan kepentingan-kepentingan tidak terorganisir menentang suatu
Universitas Sumatera Utara
20 program, maka besar kemungkinan para pelaksana menolak program tersebut. Lebih
lanjut, kondisi-kondisi lingkungan mungkin menyebabkan para pelaksana melaksanakan suatu kebijakan tanpa mengubah pilihan-pilihan pribadi mereka tentang kebijakan itu.
Akhirnya, variabel-variabel lingkungan ini dipandang mempunyai pengaruh langsung pada pemberian-pemberian pelayanan publik. Kondisi-kondisi lingkungan mungkin
memperbesar atau membatasi pencapaian, sekalipun kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan kekuatan-kekuatan lain dalam model ini juga mempunyai pengaruh
terhadap implementasi program. Van Meter dan Van Horn mengemukakan adanya kemungkinan pengaruh yang
interaktif antara komunikasi antarorganisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksana serta karakteristik-karakteristik badan-badan pelaksana. Kegiatan pelaksanaan dan tindakan
lanjut memberikan badan-badan tambahan vitalitas dan keahlian, yaitu memperbaiki kemampuan mereka dalam melaksanakan program-program. Kegiatan-kegiatan tersebut
dapat menjadi sumber dukungan politik yang mempermudah implementasi kebijakan secara efektif. Sementara itu, sifat kegiatan-kegiatan pelaksanaan dan tindakan lanjut
yang mencakup ketentuan bantuan teknis akan dipengaruhi oleh karakteristik badan pelaksana.
Pusat perhatian di sini pada dasarnya adalah pada tingkat sejauh mana ukuran- ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan ditransmisikan kepada para pelaksana dengan
jelas, tepat, konsisten dan dalam cara yang tepat pada waktunya.
Dari beberapa model implementasi kebijakan publik yang telah dijabarkan di atas, terdapat suatu kesimpulan bahwa implementasi kebijakan dapat berhasil dan dapat juga
gagal. Rippley dan Franklin dalam Tangkilisan, 2003:21 menyatakan keberhasilan
implementasi kebijakan dapat ditinjau dari 3 tiga faktor, yaitu: Pertama, perspektif
Universitas Sumatera Utara
21 kepatuhan compliance yang mengukur implementasi dari kepatuhan straet level
burcancrats terhadap atas mereka. Kedua, keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan. Ketiga, implementasi yang berhasil mengarah kepada
kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.
Sementara itu, Peters dalam Tangkilisan, 2003:22 mengatakan, implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor:
1 Informasi
Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat, baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan
yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.
2 Isi kebijakan
Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern ataupun ekstern atau kebijakan itu sendiri,
menunjukkan adanya kekurang yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.
3 Dukungan
Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.
4 Pembagian potensi
Hal ini terkait dengan pembagian potensi di antara para aktor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.
Universitas Sumatera Utara
22
I. 5. 2. Kinerja Implementasi Kebijakan Publik