5. 2. Kinerja Implementasi Kebijakan Publik

22

I. 5. 2. Kinerja Implementasi Kebijakan Publik

Ketika kita mendengar kata “kinerja”, kebanyakan kaum awan akan berasumsi bahwa kata tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan proses manajemen yang identik dengan sebuah perusahaan. Sehari-harinya, kata “kinerja” memang sering disandingkan dengan istilah-istilah yang menyangkut kegiatan dalam sebuah perusahaan, seperti kinerja pegawai, kinerja keuangan, dan pada umumnya ketika kita ingin mengetahui kinerja sesuatu hal, kita selalu menggunakan kata “mengukur”. Sehingga istilah-istilah tersebut menjadi “mengukur kinerja pegawai” ataupun “mengukur kinerja keuangan”. Kata “mengukur” tersebut seakan- akan menggambarkan bahwa untuk mengetahui kinerja tentang sesuatu, kita harus selalu mengukurnya dengan angka-angka. Asumsi tersebut terbentuk karena adanya kecenderungan-kecenderungan sehari-hari dalam kehidupan kita. Namun, pada dasarnya kinerja performance adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatanprogramkebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi Mahsun, 2006:25. Dari pengertian tersebut di atas, dapat diambil beberapa pokok pemikiran yang penting, antara lain bahwa untuk mengetahui kinerja sesuatu, bukan hanya dengan mengukurnya, tetapi juga dengan menggambarkannya; dan kinerja tidak terbatas pada ruang lingkup manajemen perusahaan saja. Ketika kata “kinerja” ini kita sandingkan dengan implementasi kebijakan publik, maka fokus kita adalah untuk menggambarkan sudah sejauh mana kebijakan yang telah dirumuskan tersebut berhasil dijalankan. Dari sini orang akan berasumsi lagi bahwa mengukur kinerja implementasi kebijakan publik, berarti kita telah memasuki tahap evaluasi kebijakan, dan bukan lagi tahap implementasinya. Karena seperti yang dikemukakan oleh James Anderson, bahwa tipe kedua dari tiga tipe evaluasi kebijakan yang dikemukakannya, Universitas Sumatera Utara 23 merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program- program tertentu. Tipe evaluasi seperti ini berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut: Apakah program dilaksanakan dengan semestinya? Berapa biayanya? Siapa yang menerima manfaat pembayaran atau pelayanan, dan berapa jumlahnya? Apakah terdapat duplikasi atau kejenuhan dengan program-program lain? Apakah ukuran-ukuran dasar dan prosedu-prosedur secara sah diikuti? Winarno, 2002:167-168. Padahal, sebelum sampai kepada tahap evaluasi kebijakan, model implementasi yang dikemukakan oleh Van Horn dan Van Meter pun telah menjabarkan hal yang sama. Winarno mengemukakan bahwa model proses implementasi yang diperkenalkan Van Meter dan Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif Winarno, 2002:103. Dari pendapat Winarno di atas, dapat disimpulkan bahwa mengetahui kinerja dari implementasi suatu kebijakan menjadi suatu tahap yang penting, karena melalui proses tersebut dapat diketahui apa yang menjadi penyebab gagalnya suatu kebijakan tidak menghasilkan dampak yang substansial. Studi mengenai implementasi suatu kebijakan memang sering diabaikan oleh ilmuwan politik dengan beberapa alasan, yaitu: pertama, disebabkan oleh asumsi yang naif bahwa sekali kebijakan itu dibuat oleh pemerintah, maka kebijakan itu akan diimplementasikan dan hasil-hasil yang diinginkan akan mendekati hasil-hasil yang Universitas Sumatera Utara 24 diharapkan oleh para pembuat kebijakan. Implementasi seakan-akan merupakan hal yang sederhana dan nampak tidak mencakup isu-isu besar. Kedua, pada tahun 1960-an di Amerika Serikat pertumbuhan Sistem Anggaran Belanja, Penyusunan Program dan Perencanaan PPB merupakan teknik analitik utama di dalam mengkaji kebijakan. Hal ini telah mendorong para analisis kebijakan untuk mengabaikan masalah-masalah implementasi kebijakan. PPB mengkonsentrasikan perhatian para pembuat keputusan pada pilihan-pilihan antara metode-metode yang berbeda dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang dipilih. Mereka memusatkan perhatian utama pada keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pembuat keputusan di Washington D. C. dengan mengesampingkan eselon-eselon bawahan dari badan-badan yang bertanggung jawab bagi implementasi. Perhatian PPB dalam memperbaiki landasan bagi pembuat kebijakan tidak ditujukan kepada masalah-masalah dalam memerikan pelayanan kebijakan, tetapi PPB lebih menekankan sasaran program-program dan sarana-sarana alternatif dalam mencapai sasaran itu. Fokus seperti itu tidak membutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap implementasi atau pelaksanaan program-program publik. Hal inilah yang diperkirakan menjadi salah satu sebab mengapa studi mengani implementasi kebijakan mendapatkan perhatian yang tidak begitu besar dari para ilmuwan politik. Ketiga, beberapa kesulitan seringkali ditemui dalam usaha mengkaji secara terinci proses implementasi kebijakan. Masalah-masalah implementasi adalah sangat kompleks dan para ahli seringkali dihambat oleh pertimbangan-pertimbangan metodologi. Di samping itu, untuk melengkapi studi implementasi membutuhkan banyak variabel dan sangat sulit untuk mengukurnya. Akhirnya suatu analisis implementasi yang komprehensif memerlukan perhatian yang besar terhadap banyak tindakan dalam kurun waktu yang panjang. Hal ini akan berakibat pada kebutuhan alokasi waktu yang lama dan sumber-sumber yang besar untuk melakukan studi implementasi kebijakan. Kesulitan-kesulitan inilah yang barangkali Universitas Sumatera Utara 25 menjadi penyebab rendahnya motivasi para ilmuwan politik untuk mengkaji implementasi kebijakan publik. Winarno, 2002:104-105.

I. 5. 3. Pengarusutamaan Gender