5.2. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang memerlukan perbaikan dan pengembangan dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Keterbatasan-
keterbatasan dalam penelitian ini adalah: 1.
Tidak semua populasi dalam penelitian dapat dijadikan sampel yang disebabkan kurangnya ketersediaan data sehingga tidak terlalu cukup
menggambarkan kondisi keuangan Pemerintahan KabupatenKota di Provinsi Sumatera Utara secara keseluruhan.
2. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini hanya dibatasi pada
Pendapatan Asli Daerah PAD, Dana Alokasi Umum DAU, Dana Bagi Hasil DBH, dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran SiLPA, sehingga penelitian ini
belum dapat menjelaskan semua variabel yang mempengaruhi perilaku oportunistik penyusun anggaran.
3. Obyek penelitian hanya terbatas pada KabupatenKota di Provinsi Sumatera
Utara sehingga belum dapat mewakili secara keseluruhan perilaku oportunistik penyusun anggaran di semua tingkat pemerintah provinsi maupun pemerintah
KabupatenKota di seluruh Indonesia.
5.3. Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, maka saran yang dberikan peneliti adalah sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah Daerah diharapkan agar lebih meningkatkan kualitas dalam
penyusunan anggaran dengan mengutamakan alokasi belanja pada program- program yang mendukung kebutuhan masyarakat, adanya transparansi dalam
Universitas Sumatera Utara
anggaran serta melakukan pengawasan mulai dari proses perencanaan anggaran.
2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambahkan variabel-variabel
lain yang erat kaitannya dengan penelitian ini sehingga dapat memberikan hasil penelitian yang lebih kompleks.
3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas sampel penelitian
seperti KabupatenKota diluar Provinsi Sumatera Utara dan menambah tahun pengamatan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka, akan dibahas lebih lanjut mengenai Pendapatan Asli Daerah PAD, Dana Alokasi Umum DAU, Dana Bagi Hasil DBH, Sisa
Lebih Perhitungan Anggaran SiLPA, dan perilaku oportunistik penyusun anggaran. Bagian ini menjabarkan teori yang melandasi penelitian ini dan
beberapa penelitian terdahulu yang telah diperluas dengan referensi atau keterangan tambahan yang diperoleh selama penelitian.
2.1.1. Teori Keagenan
Agency Theory
Teori keagenan agency theory merupakan basis teori yang mendasari praktek bisnis perusahaan yang telah dipakai selama ini. Teori
tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Pada sektor publik khususnya pemerintah pusat maupun
daerah, teori keagenan digunakan untuk menganalisis hubungan yang terjadi di antara prinsipal-agen dalam kaitannya dengan penganggaran
daerah. Di pemerintahan daerah, prinsipal merupakan pihak legeslatif DPRD dan agen merupakan pihak eksekutif Pemerintah Daerah.
Hubungan prinsipal-agen terjadi ketika tindakan yang dilakukan seseorang memiliki dampak terhadap orang lain atau ketika seseorang sangat
tergantung pada tindakan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Jensen dan Meckling 1976 menyatakan bahwa, “Teori keagenan menganalisis susunan kontraktual diantara dua atau lebih individu,
kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak prinsipal membuat suatu kontrak baik secara implisit maupun secara eksplisit, dengan pihak lain
agen dengan harapan bahwa agen akan bertindakmelakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal”.
Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi, agen memiliki informasi lebih banyak dari prinsipal tentang kinerja aktual,
motivasi, dan tujuannya yang sesungguhnya, yang berpotensi menciptakan moral hazard penyalahgunaan wewenang dan adverse selection
menyembunyikan informasi. Sedangkan prinsipal harus mengeluarkan biaya costs untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam
memonitor kinerja agen, menentukan struktur insentif, dan monitoring yang efisien. Abdullah dan Asmara 2006:7 menyatakan bahwa, “Adanya
asimetri informasi diantara eksekutif-legeslatif dan legeslatif-rakyat menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik
dalam proses penyusunan anggaran, yang justru lebih besar daripada di dunia bisnis yang memiliki automatic checks berupa persaingan”.
2.1.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Anggaran merupakan alat utama pemerintah untuk melaksanakan semua kewajiban, janji, dan kebijakannya ke dalam rencana-rencana
konkrit dan terintegrasi dalam hal tindakan apa yang akan diambil, hasil apa yang akan dicapai, pada biaya berapa dan siapa yang akan membayar
Universitas Sumatera Utara
biaya-biaya tersebut. Anggaran sektor publik yang dipresentasikan dalam APBN dan APBD menggambarkan tentang rencana keuangan di masa
mendatang mengenai jumlah pendapatan, belanja, surplusdefisit, pembiayaan, serta program kerja dan aktivitas yang akan dilakukan.
Menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat dengan APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah.
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah yang merupakan pedoman bagi pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada
publik dalam masa satu tahun anggaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD menurut
Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 terdiri atas: 1.
Anggaran pendapatan, terdiri atas: a.
Pendapatan Asli Daerah PAD, yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan
penerimaan lain-lain. b.
Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana alokasi Umum DAU, dan Dana Alokasi Khusus DAK ;
c. Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.
2. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan
tugas pemerintahan di daerah.
Universitas Sumatera Utara
3. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali
danatau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran
berikutnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun
2014, proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD diawali dengan Pemerintah Daerah eksekutif dan DPRD
legelatif membuat suatu kesepakatan tentang arah dan kebijakan umum dan prioritas anggaran, yang akan menjadi pedoman dalam penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Kemudian, Pemerintah Daerah eksekutif membuat Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah RAPBD sesuai dengan arah dan kebijakan umum dan prioritas anggaran, yang kemudian akan diserahkan kepada DPRD
legeslatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama oleh panitia anggaran legeslatif dan direspon oleh semua komisi dan fraksi sebelum
ditetapkan sebagai peraturan daerah. Anggaran yang telah ditetapkan menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah eksekutif untuk melaksanakan
aktivitasnya dalam pemberian pelayanan publik dan acuan bagi DPRD legeslatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penilaian kinerja
terhadap Pemerintah Derah eksekutif dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Pendapatan Asli Daerah
Untuk membiayai belanja daerah, pemerintah daerah memiliki sumber pendapatan sendiri yaitu Pendapatan Asli Daerah PAD.
Berdasarkan Undang- Undang nomor 33 tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah selanjutnya disebutkan PAD adalah pendapatan yang diperoleh
daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
PAD merupakan usaha daerah guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana subsidi dari pemerintah pusat. Selain itu, PAD
juga memiliki peranan penting dalam pembiayaan daerah, semakin besar PAD yang dimiliki oleh suatu daerah semakin besar pula kemampuan
daerah untuk mencapai tujuan otonomi daerah yakni dalam hal peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 2014, sumber-sumber
penerimaan daerah yang dimasukkan dalam pos Pendapatan Asli Daerah PAD terdiri atas:
1. Pajak Daerah;
2. Retribusi Daerah;
3. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Dana Alokasi Umum
Menurut Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Dana Alokasi Umum DAU merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum DAU merupakan block grant yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota dengan tujuan untuk
pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar-Daerah melalui
penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah. Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 Pasal 27 menggariskan
bahwa Pemerintah Pusat berkewajiban menyalurkan paling sedikit dua puluh enam persen 26 dari Pendapatan Dalam Negerinya dalam bentuk
DAU. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal fiscal gap suatu Daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan Daerah
fiscal need dan potensi Daerah fiscal capacity. Dalam Undang-Undang 33 tahun 2004 ditegaskan kembali mengenai formula celah fiskal dan
penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi
DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara
Universitas Sumatera Utara
implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor
pemerataan kapasitas fiskal. 2.1.5.
Dana Bagi Hasil
Berdasarkan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004, Dana Bagi Hasil DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Bagi Hasil DBH yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari dua jenis, yaitu:
1. Dana Bagi Hasil DBH Pajak
Dana Bagi Hasil DBH yang berasal dari pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Biaya
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak
Penghasilan Pasal 21. 2.
Dana Bagi Hasil DBH bukan Pajak Sumber Daya Alam Dana Bagi Hasil DBH yang berasal dari sumber daya alam terdiri dari
kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
2.1.6. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran SiLPA menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah sisa lebih realisasi penerimaan dan
Universitas Sumatera Utara
pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan Pendapatan Asli
Daerah PAD, pelampauan penerimaan dan perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan
pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.
SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA hanya akan terbentuk bila terjadi surplus pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah APBD dan sekaligus terjadi Pembiayaan Netto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen
pengeluaran pembiayaan. SiLPA yang merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas anggaran sebelumnya digunakan untuk menutupi
defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja.
2.1.7. Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
Istilah oportunistik berasal dari kata opportunity yang artinya kesempatan. Perilaku oportunistik opportunity behavior adalah sifat
manusia yang memanfaatkan kesempatan atau peluang yang ada untuk memperoleh keuntungan demi diri sendiri maupun kelompok tanpa
mempertimbangkan apakah hal tersebut adil atau benar. Menurut Maryono 2013, “Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha
mencapai keinginan dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun”.
Universitas Sumatera Utara
Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku oportunistik adalah kekuatan power dan kemampuan ability.
Perilaku oportunistik anggaran fiscal opportunism, yaitu tentang perilaku oportunistik dalam pembuatan keputusan alokasi belanja dan
preferensi yang mengarah pada alokasi belanja yang dapat memberikan keuntungan juga keinginan untuk aman secara fiskal, yakni anggaran bisa
terealisasi tepat waktu dan tepat jumlah, memiliki peluang untuk menambah alokasi saat perubahan APBD, dan kemungkinan variansi
selisih anggaran dan realisasi sampai akhir tahun yang rendah Romarina dan Makhfatih, 2010:37.
Teori keagenan menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran memiliki kecenderungan untuk
memaksimalkan utilitasnya melalui pengalokasian sumberdaya dalam anggaran yang telah ditetapkan. Eksekutif atau agent yang menjadi
pengusul anggaran dan juga pelaksana atau pengguna dari anggaran tersebut berupaya untuk memaksimalkan jumlah anggaran. Sedangkan
legeslatif atau principal memiliki kesempatan untuk memasukkan kepentingannya dalam usulan anggaran yang diajukan eksekutif. Keefer
dan Khemani 2003 dalam penelitiannya menemukan bahwa dalam penganggaran, legeslatif akan merekomendasikan eksekutif untuk
menaikkan alokasi pada sektor-sektor yang mendukung kepentingannya dan mengusulkan pengurangan alokasi anggaran untuk pendidikan,
kesehatan, dan belanja publik lainnya yang tidak bersifat job programs dan
Universitas Sumatera Utara
targetable. Menurut Colombatto 2001, “Adanya discretionary power akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak keagenan, dan karenanya
semakin besar discretionary power yang dimiliki legeslatif semakin besar pula kecenderungan mereka mengutamakan kepentingan pribadinya”.
Martinez et al. 2004 menyatakan bahwa, “Political corruption terjadi ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan kedudukan
mereka demi keuntungan pribadi ataupun kalangan dekat mereka”. Salah satu contohnya yaitu dengan mengalokasikan belanja untuk barang-barang
khusus dan berteknologi tinggi karena merupakan belanja yang mudah dikorupsi sebab tidak banyak orang atau tidak ada orang yang memahami
barang tersebut. Sektor pendidikan dan kesehatan merupakan dua sektor pelayanan
publik paling penting dipenuhi oleh pemerintah sehingga alokasi untuk kedua sektor ini relatif besar dibanding yang lain. Mardiasmo 2002
menyatakan bahwa, “Pendidikan dan kesehatan merupakan bentuk pelayanan publik yang paling mendasar dan karenanya menjadi fokus
utama pembelaan legeslatif di pemerintahan”. Namun, belanja untuk pendidikan dan kesehatan bukanlah area yang dapat memberikan peluang
untuk korupsi sehingga anggaran pendidikan, kesehatan, dan sosial akan diperkecil Mauro, 1998.
Penelitian yang dilakukan Mauro 1998 menunjukkan bahwa jenis-jenis belanja pemerintah membuka peluang terjadinya perilaku
oportunistik penyusun anggaran, karena itu akan dipilih belanja barang
Universitas Sumatera Utara
atau pelayanan untuk program-program dan kegiatan yang sulit dimonitor orang lain. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh
Tanzi dan Davoodi 2002 yang menemukan bahwa anggaran untuk investasi publik lebih disukai karena dapat memberikan komisi lebih besar
daripada belanja untuk pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan. Artinya, preferensi legeslatif lebih mengarah pada alokasi belanja yang dapat
memberikan keuntungan pribadi yang lebih besar serta memiliki dampak politik jangka panjang.
2.2. Penelitian Terdahulu
a. Sularso, dkk., 2014
Judul penelitian ini adalah Determinan Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran: Studi pada KabupatenKota di Jawa Tengah. Populasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 135 APBD kabupatenkota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2012. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel
time series dan cross sectional, berupa data PAD, SiLPA, DAU, dan spread penyebaran anggaran belanja dalam APBD kabupatenkota di Privinsi Jawa
Tengah tahun anggaran 2010-2012. Hasil kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah Pendapatan Asli Daerah PAD, Dana
Alokasi Umum DAU, dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran SiLPA maka semakin meningkatkan perilaku oportunistik penyusunan anggaran
KabupatenKota di Provinsi Jawa Tengah.
Universitas Sumatera Utara
b. Abdullah dan Asmara 2006
Judul penelitian ini adalah Perilaku Oportunistik Legeslatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency theory Sektor Publik.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah legeslatif kabupatenkota di Indonesia, yang dalam proses penyusunan anggaran sudah menggunakan format
RAPBD dan APBD tahun 2003 dan 2004 sesuai dengan Kepmendagri 292002. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber
dari dokumen RAPBD dan APBD. Hasil kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa legeslatif sebagai agen dari voters berperilaku oportunistik
dalam penyusunan APBD, besaran PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legeslatif, dan APBD digunakan sebagai sarana untuk melakukan
political corruption. c.
Maryono 2013 Judul penelitian ini adalah Pengaruh Perubahan Dana Alokasi Umum
Terhadap Perilaku Oportunistik Legeslatif Dalam Penganggaran Daerah: Studi Kasus pada KabupatenKota di Sumatera Barat. Populasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pemerintah eksekutif kabupatenkota di Sumatera Barat yang diambil melalui dokumen laporan APBD pada tahun 2007 sampai 2011.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Hasil pengujian hipotesis dari penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan dana alokasi umum
berpengaruh signifikan positif terhadap perilaku oportunistik legeslatif dalam penganggaran daerah. Hal ini dapat dilihat bahwa nilai signifikansi sebesar 0,049
α 0,05.
Universitas Sumatera Utara
d. Paolo Mauro 1998
Judul penelitian ini adalah Corruption and The Composition of Goverment Expenditure. Hasil kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan korelasi antara korupsi dan berbagai komponen belanja pemerintah yang menyebabkan pemerintah dengan mudah menerima maupun mengirimkan
uang suap terutama yang berasal dari komponen belanja pemerintah tersebut. Dalam penelitiannya ia juga menemukan bahwa korupsi menurunkan pengeluaran
pada belanja untuk bidang pendidikan dan kemungkinan juga pada bidang kesehatan.
e. Keefer dan Khemani 2003
Judul penelitian ini adalah The Political Economy of Public Expenditure. Hasil kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang positif anatara kebijakan legeslatif terhadap proyek infrastruktur, anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan belanja publik. Dalam penelitian ini juga
ditemukan bahwa legeslatif lebih menyukai proyek infrastruktur karena lebih mudah digunakan sebagai bentuk pemenuhan atas janji-janji kepada pemilihnya
voters. Disamping itu, legeslatif lebih sulit untuk memberikan janji yang dapat dipercaya berkaitan dengan penyediaan pelayanan publik.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
No Peneliti
Judul Variabel
Penelitian Hasil Penelitian
1. Sularso,
dkk., 2014
Determinan Perilaku
Oportunistik Penyusunan
Anggaran: Studi pada
KabupatenKota di Jawa Tengah
Var. Independen: Pendapatan Asli
Daerah PAD, Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran
SiLPA, Dana Alokasi Umum
DAU Var. Dependen:
Perilaku oportunistik
penyusunan anggaran
Semakin tinggi jumlah Pendapatan Asli Daerah
PAD, Dana Alokasi Umum DAU, dan Sisa
Lebih Perhitungan Anggaran SiLPA
maka semakin meningkat pula perilaku
oportunistik penyusunan anggaran
KabupatenKota di Provinsi Jawa Tengah.
2. Abdullah
dan Asmara 2006
Perilaku Oportunistik
Legeslatif Dalam
Penganggaran Daerah: Bukti
Empiris atas Aplikasi Agency
theory Sektor Publik
Var. Independen: Pendapatan Asli
Daerah PAD Var. Dependen:
Perilaku oportunistik
legeslatif dalam penganggaran
Var. Kontrol: Jenis dan letak
pemerintah daerah
Legeslatif sebagai agen dari voters berperilaku
oportunistik dalam penyusunan APBD,
besaran PAD berpengaruh terhadap
perilaku oportunistik legeslatif, dan APBD
digunakan sebagai sarana untuk melakukan
political corruption.
3. Maryono
2013 Pengaruh
Perubahan Dana Alokasi Umum
Terhadap Perilaku
Oportunistik Legeslatif
Dalam Penganggaran
Daerah: Studi Kasus pada
KabupatenKota di Sumatera
Barat Var. Independen:
Dana Alokasi Umum DAU
Var. Dependen: Perilaku
oportunistik legeslatif dalam
penyusunan anggaran
Perubahan Dana Alokasi Umum DAU
berpengaruh signifikan positif terhadap perilaku
oportunistik legeslatif dalam penganggaran
daerah. Hal ini dapat dilihat bahwa nilai
signifikansi sebesar
0,049 α 0,05.
Universitas Sumatera Utara
4. Paolo
Mauro 1998
“Corruption and The
Composition of Goverment
Expenditure” Var. Independen:
Korupsi pemerintah
Var. Dependen: Komposisi
belanja pemerintah
Terdapat hubungan korelasi antara korupsi
dan berbagai komponen belanja pemerintah.
Adanya korupsi menurunkan
pengeluaran pada belanja untuk bidang
pendidikan dan kemungkinan juga pada
bidang kesehatan.
5. Keefer dan
Khemani 2003
“The Political Economy of
Public Expenditure”
Var. Independen: Proyek
infrastruktur, anggaran
pendidikan, anggaran
kesehatan, dan belanja publik
Var. Dependen: Kebijakan
legeslatif Terdapat hubungan
yang positif anatara kebijakan legeslatif
terhadap proyek infrastruktur, anggaran
pendidikan, anggaran kesehatan, dan belanja
publik. Legeslatif lebih menyukai proyek
infrastruktur karena lebih mudah digunakan
sebagai bentuk pemenuhan atas janji-
janji kepada pemilihnya voters. Sedangkan,
berkaitan dengan penyediaan pelayanan
publik legeslatif lebih sulit untuk memberikan
janji yang dapat dipercaya.
Sumber: Review dari beberapa skripsi dan jurnal
Universitas Sumatera Utara
2.3. Kerangka Konseptual