commit to user 21
Mulyono 1979:10, memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman Neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi
.
c. Pertumbuhan dan Perkembangan Wayang Tahun 1950-an sampai 1980-
an
Untuk mengetahui kondisi pertumbuhan dan perkembangan wayang kulit tahun 1950-an sampai 1980 dijelaskan oleh Bambang Murtiyoso dkk 2004: 170-
175 sebagai berikut : 1
Pada dekade 50-an, terjadi kebekuan kreativitas dalam seni pertunjukan wayang yang disebabkan oleh kesalahan tafsir sejumlah seniman
pedalangan terhadap kedudukan pakem. Pakem yang sebenarnya hanya sekadar panduan awal bagi dalang pemula sering disikapi sebagai sesuatu
yang mutlak untuk dilakukan semua dalang sehingga seni pertunjukan wayang terkesan kaku dan membosankan. Kebekuan tersebut ditambah
lagi dengan adanya situsi politik dan ekonomi yang tidak mendukung pada akhir masa Orde Lama dan awal Orde Baru sehingga seni pertunjukan
wayang nyaris berhenti. 2
Kehadiran Ki Nartasabda dalam seni pertunjukan wayang pada pertengahan 60-an berusaha menerobos dinding kebekuan itu dengan
menawarkan seni pertunjukan wayang yang baru. Gebrakan Ki Nartasabda disebut sebagai pembaharuan melalui garapan tokoh, sanggit lakon, dan
pengembangan karawitan telah membuka inovasi meskipun kadang dimaki-maki oleh para sesepuh. Alternatif yang ditawarkan Ki Nartasabda
telah berhasil mempengaruhi masyarakat luas sampai melampaui batas daerah Jawa Tengah. Keberhasilan tersebut melalui penyebaran kaset
komersial serta siaran radio. 3
Pada akhir tahun 1970-an Ki Anom Suroto sangat kental dengan idiom- idiom pakeliran keraton dan kemahiran dalam mengakomodasikan pesan-
pesan pembangunan. Setelah Anom Suroto, muncullah Ki Manteb Soedarsono pada akhir 80-an yang telah meramu secara kreatif seni
pertunjukan wayang gaya kerakyatan dan keraton. Di luar seni pedalangan,
commit to user 22
telah terjadi perubahan pandangan yang deras terhadap masyarakat dalam menyikapi kesenian. Hal ini disebabkan cara penyampaian dalang yang
tidak menggunakan idiom-idiom jagat pakeliran yang tepat dan kreatif. 4
Setelah masa itu, Situasi pedalangan yang lesu darah seperti yang dilukiskan di atas telah menyadarkan sekelompok kecil masyarakat
pewayangan, yaitu Dewan Kebijaksanaan dan Pengurus SENAWANGI, PEPADI Pusat, serta STSI Surakarta untuk segera berbuat sesuatu agar
kondisi yang sangat memprihatinkan segera berubah. STSI Surakarta mencoba menawarkan seni pertunjukan wayang baru yang bernama
Pa kelira n Pa dat
yang tidak lagi berorientasi pada pakem secara membabi buta, tetapi memberikan kesempatan pada para dalang untuk
mengungkapkan daya kreatifnya.
d. Nilai-nilai Luhur dan Nilai Etis dalam Pertunjukan Wayang Kulit