77 Sehubungan dengan interkasi anak-anak PPA dengan lingkungan luar juga
mempengaruhi proses sosialisasi anak, Bronfenbrenner dalam Matsumoto Juang, 2008 : 61 mengatakan bahwa perkembangan manusia adalah proses yang dinamis
dan interraktif antara individu dengan lingkungan mereka pada beberapa tingkatan. Diantaranya adalah Microsystem yang lingkungan sekitar, seperti sekolah, keluarga,
kelompok sebaya, dengan anak-anak berinteraksi langsung, Mesosystem hubungan antara Microsystem, seperti antara sekolah dengan keluarga dan Exosystem konteks
yang secara tiddak langsung mempengaruhi anak-anak, seperti tempat kerja orang tua, yang Macrosystem budaya, agama, masyarakat dan Chronosystem pengaruh
waktu pada system lainnya Hal tersebut sesuai dengan pendapat Matsumoto Juang 2008 : 61 yang
mengatakan bahwa orang tua bukan satu-satunya agen sosialisasi. Saudara kandung, keluarga besar, dan rekan-rekan merupakan agen-agen sosialisasi dan enkulturasi
yang penting bagi banyak orang. Organisasi seperti sekolah, gereja, dan kelompok sosial menjadi agen penting dari proses ini.
4.6. Proses Enkulturasi pada Anak-anak PPA
Proses enkulturasi yaitu dimana seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan
peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya Koentjaraningrat, 1980 : 229- 233. Enkulturasi merupakan proses yang berkaitan erat dengan sosialisai. Enkulturasi
adalah proses dimana anak-anak belajar dan mengadopsi cara-cara dan aturan budaya mereka. Adapun sedikit perbedaan antara sosialisasi dengan enkulturasi yaitu
sosialisasi umumnya lebih mengacu kepada proses actual dan mekanisme yang orang
78 pelajari yaitu aturan dari masyarakat, misalnya kepada siapa dan dalam konteks yang
mana sedangkan enkulturasi mengacu kepada produk dari proses sosialisasi, subjeknya, yang mendasarinya, aspek psikologis budaya yang menjadi terinternalisasi
melalui perkembangan. Kesamaan dan perbedaan antara istilah enkulturasi dan sosialisasi dengan demikian terkait dengan persamaan dan perbedaan antara budaya
culture dan masyarakat Society Matsumoto Juang, 2008 : 60. Anak-anak PPA di Yayasan Bukit Doa mendaptkan pengajaran dari berbagai
bermacam orang, seperti dari orang tua kandung si anak sebelumnya, guru mis, Pembina, dan guru di sekolah. Hal-hal yang diajarkan dalam penanaman nilai-nilai
budaya seperti keantunan dalam berbicara dan rasa kesantunan etnis dan rasa persamaan dalam satu marga klen. Untuk pengajaran dan penggunaan bahasa daerah
tidak ada diterapkan pada anak-anak PPA di Yayasan Bukit Doa. Umumnya pada usia anak-anak kecil dan belum dewasa, mereka belum begitu memahami makna dibalik
nilai-nilai budayanya, hanya anak yang sudah beranjak dewasa yang sudah memahami arti nilai budayanya. Tetapi bukan berarti anak-anak tersebut sama sekali
tidak tahu penerapan dari nilai-nilai budayanya, hanya saja mereka tidak sadar telah melakukannya.
Yang mengajari nilai-nilai budaya tersebut kepada anak-anak sangatlah banyak, seperti dari orang tua kandung sebelumnya. Seperti kutipan wawancara
penulis dengan seorang anak yang bernama Elisa Pandia yang berusia 13 tahun: “Dulu sebelum ke tempat ini mamak yang bilang kalau aku marga
pandia sama dengan Milala dan Kembaren. Jadi kalau misalnya aku jumpa sama orang yang punya marga itu, aku jadi tau mereka saudara
yang satu marga sama aku, rasanya lebih dekat”.
79 Guru juga berperan dalam pengajaran tentang nilai-nilai budaya kepada anak-
anak PPA, seperti kutipan wawancara dengan guru mis yang bernama Evi Purba yang berusia 41 tahun:
“Pernah saya bilang pada anak-anak PPA si X dari suku Nias, kalau si S Laia anak tetangga ruangan sebelah adalah saudaranya juga karena
mereka sama-sama Nias. Sejak saat itu saya sering melihat si x main dengan S Laia itu, padahal sebelumnya mereka tidak saling mengenal”.
Kutipan wawancara penulis dengan guru mis yaitu Rosinta, usia 45 tahun
yaitu: “Saya selalu bilang kepada anak-anak dari mana asal dan suku mereka
supaya mereka tidak lupa asalnya darimana. Walaupun begitu saya tetap ingatkan mereka bahwa semuanya adalah saudara, walaupun
berbeda suku”.
Kakak anak-anak PPA juga berperan dalam pengajaran nilai-nilai budaya, mereka juga memberitahukan kepada adik-adiknya tentang kebudayaan yang mereka miliki,
seperti kutipan wawancara penulis dengan seorang anak PPA tertua yang bernama Eka Barus, usia 14 tahun seperti di bwah ini:
“Di PPA ini ada orang yang bermarga sama dengan aku, satu orang adik kandungku, yang lainnya bapakku sama dengan bapaknya
bersaudara kandung. Selain kami tinggal satu rumah, aku tetap ingatkan adikku kalau kami semuanya bersaudara, kami berasal dari
Deli Tua. Kami semuanya tau asal kami dari mana”.
Jadi, dalam pendidikan nilai-nilai budaya, peran orang tua kandung, guru mis, kakaksaudara adalah orang-orang yang sangat berperan dalam pengajaran akan
nilai-nilai budaya terhadap seorang anak
4.6.1. Nilai-nilai budaya yang Ditanamkan pada Anak-anak PPA
Proses enkulturasi yang terjadi dalam pengasuhan di Yayasan Bukit Doa yaitu dimana seluruh anak-anak PPA belajar dalam menyesuaikan alam pikirannya dan
80 sikapnya dengan perubahan bentuk struktur keluarga serta dengan perubahan nilai-
nilai, norma, dan adat istiadat yang berlaku di dalam Yayasan Bukit Doa. Anak-anak PPA yang latarbelakangnya telah terbiasa memiliki keluarga inti
dengan ayah, ibu, dan saudara-saudara kandungnya akan belajar menyesuaikan alam pikirannya dan sikapnya dengan perubahan bentuk keluarga inti di Yayasan Bukit
Doa dimana mereka hidup dengan orang tua hanya terdapat guru mis sebagai kepala rumah tangga dan saudara-saudara yang bukan kandung.
Seluruh anak-anak PPA di Yayasan Bukit Doa harus belajar menyesuaikan alam pikiran dan sikapnya dengan perubahan bentuk keluarga tersebut. Mereka harus
belajar bagaimana cara membiasakan diri dengan orang yang tidak dikenalnya sebelumnya untuk selanjutnya menjadi guru mis yang harus dianggap selayaknya
ibu kandung. Disinilah anak-anak belajar berinteraksi dan berintegrasi dengan guru mis sehingga kedepannya mereka memiliki hubungan emosional yang kuat
walaupun mereka tetap merasa tidak sekuat hubungan mereka dengan ibu kandungnya sendiri.
Bagi anak-anak PPA yang menjadi anggota keluarga di Yayasan Bukit Doa ketika berusia diatas lima tahun, mereka membutuhkan proses waktu untuk
menyesuaikan alam pikiran dan sikap dengan guru mis sebab dalam usia diatas 5 tahun, anak-anak umumnya sudah mengenal bagaimana peran ibu kandung dalam
hidupnya. Oleh sebab itu, mereka harus belajar menyesuaikan alam pikiran dan sikapnya dalam hal berinteraksi dengan guru sehingga hubungan mereka kedepannya
bisa memiliki hubungan emosional yang kuat. Anak-anak PPA yang menjadi anggota di Yayasan Bukit Doa ketika berusia di
bawah 5 tahun, mereka tidak terlalu susah menyesuaikan alam pikiran dan sikap guru
81 mis sebab di bawah lima tahun anak-anak berada pada masa yang sangat tergantung
sehingga guru mis yang merawat anak tersebut akan dengan mudah berinteraksi dengan nya. Hal tersebut bisa terus berlanjut walaupun si anak sudah dewasa, si anak
terus menganggap guru mis sama seperti ibu kandungnya walupun ia tahu bahwa guru mis bakan ibu kandung nya
Begitu juga halnya dengan sesama anak PPA, anak-anak PPA yang satu harus belajar enkulturasi menyesuaikan dalam pikirannya dan sikap dalam menerima
anak-anak PPA lainnya sebagai saudara kandungnya. Mereka harus belajar bagaimana cara membiasakan diri dengan orang yang tidak dikenalnya sebelumnya untuk
melajutkan manjadi saudara yang harus dianggap selayaknya saudara kandung. Disinilah anak-anak PPA belajar berintegrasi dengan sesamanya sehingga kedepannya
mereka memiliki hubungan emosional yang kuat. Proses pembelajaran enkulturasi diatas penulis melihat bahwa hal-hal tersebut
sesuai dengan pendapat Wulan 2008 : 10-11 yang mengatakan bahwa sejak kecil proses enkulturasi itu sudah dimulai dalam alam pikiran warga masyarakat, mula-
mula dari orang-orang di dalam lingkungan keluarga lalu kemudian dari teman- temannya berani. Sering kali ia belajar dengan meniru saja sebagai macam tindakan,
setelah perasaan dan nilai budaya yang member motivasi agar tindakan, setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan ditindakkan meniru itu telah
tertanam dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka tidaknya menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya dibudayakan, dengan
demikian fungsi pengasuhan anak sebenarnya tertuju untuk memelihara stabulitas suatu masyarakat atau kebudayaannya.
82 Seperti contoh kasus yang sudah ditulis sebelumnya di bab 3 yang menjadi di
ruangan, dimana seorang anak PPA yang ketika pertama kali datang ke Yayasan Bukit Doa sebelum mengetahui sama sekali bahasa Indonesia. Guru mis disini
berperan mengajari anak tersebut bahasa Indonesia. Hal tersebut bukan berati upaya untuk melengkapkan bahasa dan budaya etnisnya namun karena si anak tinggal di
suatu lingkungankomunitas baru dalam Yayasan Bukit Doa dimana nilai, norma, dan adat istiadatnya mengharuskan seseorang mengerti bahaa Indonesia. Sehingga anak
tersebut harus menyesuaikan alam pikiran dan sikapnya terhadap nilai-nilai, norma, dan adat istiadat yang berlaku dilingkungankomunitas yang baru ditempatinya.
Selain dalam hal belajar interkasi berbentuk keluarga di Yayasan Bukit Doa, anak PPA harus belajar enkulturasi menyesuaikan alam pikiran dan sikapnya dengan
perubahan nilai-nilai, norma dan adat istiadat yang berlaku di dalam yayasan. Anak- anak PPA harus belajar mematuhi nilai-nilai, norma, dan adat istiadat tersebut
misalnya dimana sebelumnya mereka hidup dalam keluarga dengan nilai-nilai kedaerahanetnis, harus berubah menyesuaikan diri dengan nilai-nilai, norma, dan
adat istiadat baru dimana mereka harus hidup dalam keanekaragaman etnisbudaya. Proses pembelajaran menyesuaikan alam pikiran dan sikapnya terhadap nilai-
nilai dan norma-norma, penulis menganalisis bahwa hal tersebut sesuai dengan pendapat Sunarti 1989 : 2 yang menyatakan bahwa mengingat sejak kecil, anak
mulai belajar dari orang tua tentang norma-norma dan dilatih untuk berbuat sesuai dengan dirinya maka secara lansung maupun tidak langsung ia sebenarnya belajar
mengikuti aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku, dan belajar mengakui adanya sejumlah hak dan kewajiban yang ada dibalik aturan dan norma tadi. Akhirnya
dia belajar mengenai adanya sanksi-sanksi bagi yang melanggar aturan dan norma itu.
83 Enkulturasi yang terjadi dalam pengasuhan di Yayasan Bukit Doa yaitu proses
enkulturasi dalam perubahan bentuk struktur keluarga dan proses enkulturasi dalam perubahan nilai-nilai dan norma yang berlaku di dalamnya. Proses enkulturasi
tersebut akan membentuk suatu sifat dan prilaku sosial pada anak-anak PPA yang mengalaminya, maka apa yang dirasakan dapat mendukung stabilitas masyarakat dan
kebudayaanya akan dipertahankan, sedangkan apa yang dianggap dapat merusak akan dihulangkan. Dengan demikian fungsi pengasuhan anak sebenarnya bertujuan untuk
memelihara stabilitas suatu masyarakat atau kebudayaan Wulan, 2008 : 10-11 Hasil analisis ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa pengasuhan anak
dalam suatu masyrakat merupakan suatu cara dalam mempersiapkan anak tersebut menjadi anggota masyarakat yang mampu hidup secara mandiri dan teratur dimana
orang tuaguru mempersiapkan anaknya dapat memiliki sikap, kepribadian, dan nilai- nilai yang sesuai dengan kebudayaan yang tertanam pada diri oarng tua dan pengasuh.
84
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan