Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional Terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Usaha Kecil Mikro Dan Menengah (UMKM ) di Indonesia

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia mengakui bahwa usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM) memainkan peran yang sangat vital di dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang tetapi juga di negara maju. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Prancis, dan Belanda telah menjadikan sektor UMKM sebagai motor penggerak perekonomian negaranya, yaitu sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan progres teknologi (Tambunan, 2009).

Sektor UMKM juga memiliki peran yang penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2010 sektor ini mampu menyerap 97,3 persen dari total tenaga kerja. Hal ini menunjukan bahwa sektor UMKM adalah sektor utama dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia yang apabila dikembangkan berpotensi mengurangi pengangguran karena jumlah unit usaha UMKM mencapai 52.764.603 unit atau 99 persen dari total usaha. Selain itu, lebih dari setengah atau 56,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia disumbangkan oleh sektor ini. Begitu juga dengan pendapatan ekspor non-migas, sektor UMKM mampu menyumbang 17,04 persen dari pendapatan total (BPS, 2010).

Pada kenyataannya perkembangan sektor UMKM di Indonesia masih dihadapkan oleh berbagai masalah. Salah satu masalah mendasar yang dihadapi adalah keterbatasan modal kerja dan investasi. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, hanya 20,49 persen usaha mikro dan kecil yang


(2)

memanfaatkan pinjaman dan sebagian besar pinjaman berasal dari perorangan, bukan dari lembaga keuangan formal atau perbankan. Permodalan mereka tergantung sepenuhnya pada tabungan sendiri atau sumber-sumber informal seperti keluarga.

Sejak tahun 1970-an, pemerintah telah memfasilitasi penyaluran dana ke sektor usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) yang diawali dengan dua skema kredit dari Bank Indonesia yaitu Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dan Kredit Investasi Kecil (KIK). Selain itu Bank Sental telah mengeluarkan Peraturan Perbankan Nomor 3/2/PBI/20011 yang mewajibkan perbankan untuk menyediakan 20 persen dari total kreditnya kepada usaha kecil. Peraturan tersebut dikeluarkan untuk mendorong perbankan agar meningkatkan penyaluran dana kepada sektor UMKM. Melihat besarnya peran UMKM di Indonesia maka wajar apabila sektor ini mendapat perhatian lebih khususnya dari segi akses dan pembiayaan modal yang selama ini menjadi permasalahan utama dalam pengembangan UMKM.

Sumber: BPS dan Kementrian Koperasi dan UKM (2010)


(3)

Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem moneter ganda pada sistem perekonomiannya, yaitu diterapkannya sistem moneter syariah dan konvensional secara bersamaan. Penerapan sistem moneter ganda yang dilandasi oleh Undang-undang Bank Sentral No. 23 Tahun 1999 membawa pengaruh terhadap perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sejak tahun 2002 mulai bermunculan bank syariah, unit usaha syariah (UUS) dan bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang tersebar di seluruh Indonesia. Dapat dilihat pada Tabel 1.1 bahwa perkembangan jumlah lembaga keuangan syariah memiliki tren yang meningkat dan diprediksi akan terus bertambah. Begitu juga dengan perkembangan perbankan syariah yang diawali oleh munculnya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 2002. Sejak saat itu perkembangan bank syariah semakin pesat dan menjadikan perbankan syariah salah satu lembaga keuangan yang memiliki peran yang semakin besar dalam perbankan nasional.

Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Bank Syariah, Unit Usaha Syariah dan BPRS Tahun 2007-2010

Kelompok Bank 2007 2008 2009 2010 Bank Umum Syariah (BUS) 3 5 6 11 Unit Usaha Syariah (UUS) 26 37 25 23

BPRS 185 202 225 286

Total Jumlah Kantor BUS,UUS

dan BPRS 782 1024 1223 1763 Sumber: Statistik Perbankan Syariah Indonesia (2010)

Selain dengan munculnya lembaga keuangan syariah, penerapan sistem moneter ganda di Indonesia telah melahirkan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebagai instrumen moneter pelengkap Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang selama ini dipakai oleh perbankan konvensional. SBIS adalah surat berharga bedasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang


(4)

diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan efektifitas mekanisme moneter dengan prinsip syariah. Sertifikat Bank Indonesia Syariah mulai digunakan sebagai instrumen moneter sejak tahun 2008 yang mengantikan peran Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Sebagai Instrumen moneter, SBI dan SBIS memiliki jalur transmisi tersendiri terhadap sektor riil dimana instrumen ini akan mempengaruhi besarnya pembiayaan dan peyaluran kredit kepada sektor riil.

Baik bank syariah maupun bank konvensional memiliki tugas utama sebagai lembaga intermediasi, yaitu menyalurkan dana dari pihak surplus ke pihak yang memerlukan dana secara optimal. Salah satu jalur intermediasi perbankan adalah melalui penyaluran dana kepada UMKM, yaitu penyaluran dana yang dialokasikan untuk investasi atau pengembangan usaha masyarakat berskala mikro, kecil atau menengah. Pemberian kredit kepada dunia usaha khususnya di sektor UMKM perlu ditingkatkan dalam upaya meningkatkan peran perbankan nasional sebagai lembaga intermediasi (Meydianawathi, 2007). Bank sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat harus dapat mengelola saluran kredit dan pembiayaan secara tepat sehingga dapat menjembatani sektor keuangan dan sektor rill. Selain itu, bank sebagai lembaga keuangan yang dominan di Indonesia seharusnya mendukung penuh keberadaan dan perkembangan UMKM mengingat peran UMKM yang sangat besar bagi perekonomian.

Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/2/PBI/2001, perbankan konvensional maupun perbankan syariah dianjurkan untuk menjadikan pembiayaan sektor UMKM sebagai prioritas dan berkomitmen untuk terus mempermudah akses UMKM terhadap perbankan. Hal ini tercermin dari porsi


(5)

kredit UMKM yang mencapai lebih dari empat puluh persen dari kredit total pada perbankan konvensional. Bahkan porsi pembiayaan UMKM pada bank syariah mencapai lebih dari tujuh puluh persen dari pembiayaan total.

Penyaluran dana ke sektor UMKM lewat perbankan tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dari berbagai studi terdahulu, faktor internal yang memengaruhi penyaluran kredit dari perbankan antara lain faktor rentabilitas dan profitabilitas. Sedangkan dari faktor eksternal, penyaluran kredit dari perbankan dipengaruhi oleh instrumen moneter. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan bahwa penelitian mengenai pengaruh instrumen syariah atau konvensional terhadap pembiayaan UMKM di Indonesia penting untuk dilakukan karena akan mempengaruhi tindakan perbankan konvensional maupun syariah dalam menyalurkan dananya ke sektor UMKM. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis secara kuantitatif pengaruh instrumen moneter dan perbankan terhadap pembiayaan UMKM di Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Peran sektor UMKM yang besar terhadap perekonomian Indonesia membuat sektor ini menjadi perhatian penting yang harus didukung dan di fasilitasi terutama pada bidang permodalan, perluasan usaha dan keberlanjutannya. Hal ini akan terwujud apabila transmisi moneter berjalan dengan baik yang mana sektor keuangan yang digambarkan melalui perbankan dapat menyalurkan dana ke masyarakat dan menggerakan perekonomian secara riil.


(6)

Mekanisme transmisi moneter ganda yang diterapkan di Indonesia sejak tahun 1992 melegalkan penggunaan sistem moneter syariah dan konvensional secara bersamaan, hal ini berarti bahwa ada pengaruh dari instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap penyaluran dana dari perbankan, termasuk pemberian kredit atau pembiayaan UMKM. Maka dari itu penelitian ini ingin menganalisis instrumen moneter manakah yang lebih berpengaruh dalam penyaluran dana ke sektor UMKM di Indonesia. Secara lebih rinci, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh instrumen moneter konvensional terhadap kredit UMKM di Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan UMKM di Indonesia?

3. Bagaimanakah perbandingan pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional dalam pembiayaan UMKM di Indonesia

1.3 Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah yang telah di uraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap pembiayaan UMKM dari perbankan syariah di Indonesia.

2. Mengidentifikasi pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap kredit UMKM dari perbankan konvesional di Indonesia.


(7)

3. Membandingkan sejauh mana pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap penyaluran dana ke sektor UMKM di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan masukan bagi pemerintah, masyarakat dan kalangan akademisi:

1. Pemerintah dapat menjadikan penelitian ini sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan khususnya dalam mengembangkan sektor UMKM melalui perbankan.

2. Masyarakat dapat mengetahui peran perbankan syariah dalam mengembangkan UMKM.

3. Kalangan akademisi dapat mejadikan referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbandingan pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap perkembangan sektor UMKM di Indonesia. Instrumen moneter yang digunakan terbagi dua menjadi insturmen moneter konvensional dan syariah, instrumennya yaitu bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), pembiayaan bank syariah kepada UMKM dan kredit perbankan konvensional kepada UMKM. Sedangkan periode waktu yang diambil dalam studi kasus ini adalah perekonomian Indonesia dari Mei 2006 sampai dengan Desember 2010.


(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Transmisi Moneter

Transmisi moneter adalah mekanisme bekerjanya kebijakan moneter sampai memengaruhi sektor riil. Mishkin (2004) menjelaskan bahwa jalur mekanisme transmisi moneter dapat terjadi melalui beberapa jalur, yaitu jalur efek suku bunga tradisional (traditional interest rate effect), jalur efek harga asset lain (other asset price effect) dan jalur kredit (credit view). Berikut adalah penjelasan singkat mengenai beberapa jalur transmisi moneter :

1. Jalur Efek Suku Bunga Tradisional (Traditional Interest Rate Effect)

Ketika terjadi ekspansi kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga yang mana akan menurunkan harga dari modal (cost of capital) maka akan meningkatkan investasi dan memicu agregate demand sehingga meningkatkan

output.

2. Jalur Efek Harga Asset Lain (Other Asset Price Effect)

Transmisi moneter melalui jalur harga aset lain (other asset price effect) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu efek nilai tukar terhadap ekspor bersih (Exchange Rate Effect on Net Export), Teori Q Tobin (Tobin’s Q Theory) dan Efek Kesejahteraan (Wealth Effect).

a. Exchange Rate Effect on Net Export

Ketika terjadi ekspansi kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga maka akan menyebabkan aset dalam mata uang asing lebih menarik dibandingkan dengan aset domestik dalam Rupiah. Pada akhirnya nilai dari


(9)

aset rupiah akan menurun sehingga rupiah terdepresiasi. Nilai rupiah yang lebih rendah dibandingkan mata uang asing akan menyebabkan harga barang domestik menjadi lebih murah dibandingkan harga barang asing sehingga meningkatkan ekspor dan agregate output.

b. Tobin’s Q Theory

Teori ini dikembangkan oleh James Tobin yang menjelaskan pengaruh kebijakan moneter terhadap penilaian ekuitas. Tobin mendefinisikan ‘q’ sebagai harga pasar untuk perusahaan yang dibagi dengan penggantian harga modal. Ketika nilai q tinggi maka harga pasar untuk perusahaan akan relatif tinggi dibandingkan dengan harga modalnya. Untuk itu perluasan usaha dan harga dari peralatan relatif murah sehingga dapat meningkatkan investasi. Hal ini terjadi karena perusahaan dapat mengeluarkan sedikit saham, tetapi dapat dijual dengan harga yang tinggi.

Ketika terjadi ekspansi moneter maka masyarakat akan dihadapkan pada kondisi dimana terjadi kelebihan uang dibandingkan kebutuhan yang ada sehingga masyarakat akan menyalurkan dananya ke pasar saham. Permintaan saham akan meningkat dan harga saham akan naik. Harga saham yang naik akan menyebabkan q naik sehingga meningkatkan investasi dan output.

c. Wealth Effect

Asumsi yang mendasari proses transmisi moneter pada jalur ini bahwa pengeluaran konsumsi juga dipengaruhi oleh sumber daya seumur hidup (lifetime resources), bukan hanya didasari pada pendapatan yang didapat hari ini. Komponen utama sumber daya seumur hidup (lifetime resources) adalah kesejahteraan finansial, salah satunya adalah saham. Saat terjadi kontraksi


(10)

moneter maka harga saham akan naik, sehingga menaikan kesejahteraan dan juga menaikan konsumsi. Konsumsi yang naik akan meningkatkan ouput.

3. Jalur Kredit(Credit View)

Transmisi moneter melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu penyaluran bank (bank lending channel), jalur neraca (balance sheet channel), jalur arus kas (cash flow channel), jalur tingkat harga yang tidak diantisipasi (unanticipated price level channel), dan jalur efek likuiditas rumah tangga (household liquidity effect).

Mekanisme transmisi moneter melalui pinjaman bank (credit view) muncul untuk menangani masalah asimetri informasi pada pasar keuangan. Pada jalur kredit, transmisi moneter memengaruhi penyaluran dana pada perbankan serta neraca perusahaan dan rumah tangga. Pada jalur pertama, yaitu penyaluran dana dari perbankan (bank lending channel) berangkat dari analisis bahwa bank memiliki peran penting dalam sistem keuangan karena dapat menangani masalah informasi asimetrik pada pasar kredit. Karena peran bank yang sangat penting maka peminjam hanya dapat mengakses pasar kredit melalui bank. Dengan asumsi tidak ada substitusi sempurna diantara bank dengan sumber dana lain maka saat terjadi ekspansi moneter yang meningkatkan cadangan perbankan dan deposit bank maka akan meningkatkan ketersediaan dan kuantitas pinjaman perbankan yang tersedia. Dengan asumsi peminjam tergantung pada pinjaman perbankan untuk membiayai aktifitasnya, maka peningkatan pinjaman pada perbankan akan meningkatkan investasi. Secara skematik, transmisi kebijakan moneter melaui jalur pembiayaan perbankan adalah sebagai berikut,


(11)

Jika dilihat dari bagan diatas maka dapat disimpulkan bahwa

kebijakan moneter melalui jalur kredit bertujuan untuk mendorong investasi dari sisi supply yang direpresentasikan oleh bank sebagai lembaga intermediasi. Implikasi yang penting transmisi moneter melalui jalur kredit bahwa dengan adanya kebijakan moneter maka efek yang lebih besar akan dirasakan oleh perusahaan kecil yang mana sangat bergantung oleh pinjaman bank. Sedangkan perusahaan besar dapat mengantisipasinya dengan mencari sumber modal lain selain perbankan, yaitu melalui saham atau obligasi (Miskhin, 2009).

Penyaluran dana untuk sektor UMKM dari perbankan dapat diklasifikasikan ke jalur bank lending channel karena bank memiliki peran yang penting dalam sistem keuangan, yaitu sebagai lembaga intermediasi sekaligus penyalur kredit dan pembiayaan terhadap masyarakat, termasuk kepada sektor UMKM.

Dalam proses transmisinya, Bank Indonesia dapat melakukan kontraksi dan ekspansi moneter dengan menaikan atau menurunkan suku bunga kebijakan (BI Rate). Kebijakan ini akan mempengaruhi sisi liabilitas (kewajiban) bank yang di dominasi oleh dana pihak ketiga (DPK) yaitu dana masyarakat yang disimpan di perbankan. Ketika ekonomi memanas, Bank Indonesia melakukan kontraksi moneter dengan menaikan BI Rate. Kebijakan ini akan menyebabkan jumlah uang beredar di masyarakat akan turun sehingga mengakibatkan jumlah DPK juga ikut menurun. Penurunan DPK akan mengakibatkan penurunan ketersediaan dana yang siap disalurkan oleh perbankan, salah satunya dalam bentuk kredit. Untuk

Ekspansi kebijakan moneter : cadangan dan deposit bank ketersediaan pinjaman dari bank Investasi(I)


(12)

meningkatkan DPK perbankan akan cenderung menaikan suku bunga dana seperti tabungan dan deposito sehingga berakibat pada kenaikan suku bunga kredit. Permintaan terhadap kredit baru cenderung turun karena suku bunga kredit yang meningkat dan menyebabkan investasi turun dan pertumbuhan ekonomi melambat.

Bank Indonesia juga dapat melakukan kontraksi moneter dengan peningkatan Giro Wajib Minimum (GWM). Peningkatan GWM akan mempengaruhi sisi liabilitas perbankan secara langsung sehingga dana yang siap disalurkan juga akan cenderung menurun. Hal ini juga akan meningkatkan suku bunga kredit dan menurunkan permintaan terhadap kredit baru sehingga investasi juga menurun. Investasi yang menurun akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

2.2. Instrumen Moneter

Dalam menjalankan kebijakan moneter Bank Indonesia memiliki beberapa instrumen moneter yaitu Operasi Pasar Terbuka atau Open Market Operation

(OPT), Giro Wajib Minimum (GWM), Fasilitas Diskonto, dan Intervensi Mata Uang Asing. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai beberapa instrumen moneter yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam menjalankan operasi moneternya:

a. Operasi Pasar terbuka adalah kegiatan jual beli surat berharga oleh bank sentral yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Operasi ini memiliki dua aktivitas didalamnya, yaitu jual dan beli surat-surat berharga termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Kedua instrumen ini digunakan sebagai


(13)

instrumen utama dalam kebijakan moneter antara lain karena Bank Indonesia memiliki SBI dalam jumlah yang memadai untuk mengeksekusi keputusan kontraksi atau ekspansi moneter yang diambil setelah mempertimbangkan tekanan terhadap inflasi. Selain itu SBI memenuhi tiga syarat utama likuiditas surat berharga yang dapat diperjualbelikan dalam operasi pasar terbuka dan diterbitkan secara kontinyu serta tersedia setiap saat (Sugiyono, 2003).

b. Giro Wajib Minimum (Reserve Requirement)

Giro Wajib Minimum adalah ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat likuid sebesar presentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil presentase tersebut maka semakin besar kemampuan bank memanfaatkan cadangannya untuk diberikan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman dan begitu juga sebaliknya.

c. Fasilitas Diskonto

Fasilitas diskonto adalah kebijakan moneter bank sentral untuk memengaruhi jumlah uang beredar melalui penetapan diskonto pinjaman bank sentral kepada bank-bank. Dengan penetapan diskonto yang tinggi diharapkan bank akan mengurangi permintaan kredit dari bank sentral yang akibatnya akan mengurangi jumlah uang beredar.

d. Intervensi Mata Uang Asing

Intervensi mata uang asing adalah kebijakan bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang beredar atau likuiditas di pasar uang melalui jual beli valuta asing atau cadangan devisa. Apabila bank sentral ingin


(14)

mengetatkan likuiditas rupiah di pasar uang, bank sentral akan menjual cadangan devisanya.

Peraturan Bank Indonesia nomor 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menyatakan bahwa SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. SBI ditebitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu piranti dalam Operasi Pasar Terbuka (OPT). Sedangkan Peraturan Bank Indonesia nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah menyatakan bahwa SBIS adalah surat berharga bedasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan Akad Jua’lah. SBIS dibuat oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan efektifitas mekanisme moneter dengan prinsip syariah. Kedua instrumen ini memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai instrumen Operasi Pasar Terbuka dalam rangka pengendalian moneter dengan tujuan akhir kestabilan nilai rupiah dan tingkat inflasi.

Penggunaan akad Jua’alah pada Sertifikat Bank Indonesia Syariah berarti suatu janji atau komitmen (iltizam) untuk memberi imbalan tertentu (ju’ul) atas hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Dalam hal ini Bank Indonesia bertindak sebagai pemberi pekerjaan (Ja’il), bank syariah bertindak sebagai penerima perkerjaan (Maj’ullah) dan objek/ underlying Ju’alah (mahall

al-‘aqd) adalah partisipasi bank syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia

dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan waktu tertentu. Di dalam prakteknya yaitu saat Bank Indonesia akan melakukan transaksi lelang SBIS maka


(15)

Bank Indonesia akan mengumumkan bahwa Bank Indonesia akan melakukan kebijakan moneternya yaitu akan menyerap likuiditas yang beredar di masyarakat. Maka bank syariah akan membeli SBIS tersebut dan mendapatkan imbalan tertentu. Jumlah nominal Ju’ul atau imbalannya harus dibayarkan oleh Ja’il yang ditetapkan saat terjadinya akad dan harus disepakati oleh kedua belah pihak.

Tingkat suku bunga pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) nantinya akan digunakan sebagai proksi bagi kebijakan moneter, oleh karenanya perubahan pada tingkat suku bunga SBI diharapkan mampu memberi pengaruh pada tingkat suku bunga kredit. Dengan kata lain tingkat suku bunga SBI dijadikan barometer untuk menentukan tingkat suku bunga deposito, kemudian suku bunga pinjaman akan merespon perubahan tersebut (Muslim, 2008).

Sumber: Ascarya (2011)

Gambar 2.1. Alur Penerapan Sistem Moneter Ganda di Indonesia

Dengan semakin berkembangnya perbankan syariah, transmisi kebijakan moneter tidak hanya mempengaruhi perbankan konvensional saja, namun juga memengaruhi perbankan syariah karena mekanisme transmisi juga dapat melewati


(16)

jalur syariah. Instrumen kebijakan moneter ganda juga tidak terbatas hanya menggunakan suku bunga saja, tetapi dapat pula menggunakan bagi hasil atau margin. Dengan demikian, dalam sistem moneter ganda, interest rate pass-through lebih tepat disebut policy rate pass-through, dimana policy rate untuk konvensional menggunakan suku bunga, sedangkan policy rate untuk syariah dapat menggunakan bagi hasil atau margin (Ascarya, 2012).

Dalam sistem perbankan syariah di Indonesia terdapat hubungan antara sistem moneter yang ada di Indonesia dengan sistem perbankan syariah, yaitu dengan keikutsertaan perbankan syariah di dalam kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter utama. Bank Indonesia menyatakan bahwa cara-cara pengendalian moneter di Indonesia bisa dilakukan berdasarkan prinsip Syariah yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (Triandaru, 2006).

2.3. Teori Preferensi Likuiditas

Teori Preferensi Likuiditas menyatakan bahwa tingkat bunga menyesuaikan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan uang. Jika M adalah penawaran uang dan P adalah tingkat harga maka M/P adalah penawaran dari keseimbangan uang riil. Teori ini mengasumsikan adanya penawaran uang riil yang tetap dan menegaskan bahwa tingkat bunga adalah sebuah determinan dari berapa banyak uang yang ingin dipegang oleh masyarakat. Alasannya adalah bahwa tingkat bunga adalah biaya peluang (opportunity cost) dari memegang uang, yaitu biaya yang harus ditanggung karena memegang sebagian aset dalam bentuk uang (yang tidak mendapatkan bunga) atau dalam deposito atau obligasi.


(17)

Ketika tingkat bunga naik, orang-orang ingin memegang uang dalam jumlah yang lebih sedikit. Hal ini menunjukan bahwa fungsi bahwa permintaan uang riil dipengaruhi oleh suku bunga (Mankiw, 2007).

Tingkat bunga akan menyesuaikan untuk menyeimbangkan pasar uang, dimana jumlah uang riil yang diminta sama dengan jumlah penawarannya. Penyesuaian terjadi karena ketika terjadi ketidakseimbangan pada pasar uang maka masyarakat akan berusaha menyesuaikan aset mereka dan dalam prosesnya mengubah suku bunga. Misalnya, apabila tingkat bunga diatas keseimbangan maka jumlah uang riil yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta. Oang-orang yang memegang yang kelebihan penawaran uang berusaha untuk mengubah sebagian diantaranya menjadi deposito atau obligasi. Bank-bank dan penerbit obligasi yang lebih suka membayar tingkat bunga yang lebih rendah merespon kelebihan uang dengan mengurangi tingkat bunga, begitu juga sebaliknya. Hal ini digambarkan dalam kurva berikut:

Sumber: Mankiw, 2007

Gambar 2.2. Kurva Permintaan dan Penawaran Uang M/P

Permintaan, L(r) Tingkat bunga, r Penawaran

Keseimbangan uang riil, M/P Tingkat bunga


(18)

2.4. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

Usaha mikro kecil dan menengah memiliki beberapa definisi dari beberapa lembaga dan institusi terkait yang mendefinisikannya dengan berbagai kriteria, antara lain:

a. Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, pengertian UMKM adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha lain. UMKM dikelompokan menjadi tiga usaha berdasarkan kriteria asset dan omzet yang dimiliki, kriterianya adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kriteria UMKM Menurut UU Nomor 20 Tahun 2008

No Uraian

Kriteria

Asset Omzet 1 Usaha Mikro Max 50 juta Max 300 juta 2 Usaha Kecil >50juta-500juta >300juta-2,5 Miliar 3 Usaha Menengah >500 juta-10 Miliar >2,5 Miliar -50 Miliar Sumber: UU Nomor 20 Tahun 2008

b. Berdasarkan kriteria Bank Indonesia, UMKM di bagi berdarkan jumlah kredit yang diterima. Usaha mikro adalah usaha yang dapat menerima kredit hingga Rp 50 juta. Sedangkan usaha kecil adalah usaha yang dapat menerima kredit mulai dari Rp 50 juta hingga Rp 500 juta dan usaha


(19)

menengah adalah usaha yang dapat menerima kredit dari Rp 500 juta sampai Rp 5 Miliar.

c. Berdasarkan Badan Pusat Statistik, UMKM dibagi berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dipakai. Usaha mikro adalah usaha yang mempekerjakan maksimal lima orang pekerja keluarga. Usaha kecil adalah usaha yang mempekerjakan lima sampai sepuluh orang pekerja. Sedangkan usaha menengah adalah usaha yang mempekerjakan 20 sampai 99 orang.

2.5. Teori Bank Syariah dan Bank Konvensional

Bank adalah salah satu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Seperti yang dipaparkan dalam undang-undang No.10 Tahun 1998 bahwa fungsi dari perbankan adalah sebagai lembaga intermediasi atau penghubung antara sektor keuangan dan sektor riil.

Perbankan di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu bank syariah dan konvensional. Perbankan syariah adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari olah larangan dalam agama Islam untuk memungut atau meminjam bunga yang dikenal dengan istilah riba. Perbankan syariah juga hanya melakukan investasi pada usaha yang dikategorikan halal. Selain itu, perbankan syariah menerapkan prinsip bagi hasil yang saling menguntungkan antara pihak bank dan masyarakat


(20)

dengan menjunjung tinggi asas keadilan, etika, persaudaraan, dan menghindari transaksi spekulatif.

Dalam beberapa hal terdapat persamaan antara bank konvensional dan bank syariah antara lain dari teknis penerimaan uang, mekanisme transfer dan pembuatan laporan keuangannya. Tetapi terdapat beberapa perbedaan mendasar yang membedakan kedua perbankan ini. Perbedaan yang ada dapat di rangkum dalam Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2. Perbedaan Antara Bank Syariah dan Bank Konvensional Pembeda Bank Konvensional Bank Syariah Akad dan Aspek

Legalitas

Konsekuensi duniawi

Konsekuensi duniawi dan ukhrawi

Lembaga

penyelesaian sengketa dengan Nasabah

Peradilan Negeri Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI)

Struktur Organisasi Komisaris dan Direksi

Terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan

Syariah Nasional (DSN) Investasi Investasi yang halal

dan haram

Hanya melakukan investasi yang halal

Hubungan dengan

Nasabah Debitur-Kreditur Kemitraan

Prinsip Bunga Bagi Hasil, Jual Beli dan Sewa Tujuan Profit Oriented Profit dan Falah Oriented Sumber: Antonio (1999)

Salah satu cara yang dilakukan bank konvensional dalam menyalurkan dana terhimpun adalah dengan kredit. Kredit yang diberikan dapat berupa kredit korporasi atau kredit UMKM, dan pihak bank akan mendapatkan bunga atas harga uang yang telah dipinjamkan. Sedangkan pada bank syariah, istilah yang


(21)

digunakan dalam penyaluran dana adalah pembiayaan dan sistem yang digunakan adalah sistem bagi hasil. Beberapa contoh pembiayaan dan produk yang biasa dilakukan bank syariah adalah:

1. Produk dengan prinsip jual beli antara lain murabahah, salam, dan istisna.

2. Produk dengan prinsip bagi hasil antara lain musyarakah, mudharabah, dan rahn.

3. Produk dengan prinsip sewa antara lain ijarah.

Berikut adalah penjelasan singkat mengenai beberapa definisi produk perbankan syariah yang digunakan dalam penelitian ini:

a. Al-Musyarakah : Pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

b. Al-Mudharabah : Akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola. Dana keuntungan usaha bagi diantara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

c. Al-Murabahah : menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai laba (Fatwa DSN-MUI).

Menurut Wulandari (2010) pada kenyataannya sistem pada bank syariah dan konvensional tidak terpisah karena adanya interaksi antara bank syariah dan konvensional melalui beberapa hal. Interaksi tersebut antara lain dalam hal memperebutkan nasabah, adanya kesamaan pola kredit atau pembiayaan dan


(22)

persamaan dalam tabungan. Untuk itu piranti kebijakan konvensional seperti SBI, Giro Wajib Minimum dan intervensi rupiah tidak hanya mempengaruhi bank kovensional, tetapi juga mempengaruhi bank syariah. Begitu juga sebaliknya, piranti kebijakan syariah seperti SBIS/SWBI dan Giro Wajib Minimum Syariah juga mempengaruhi bank konvensional.

2.6. Pembiayaan dan Kredit Perbankan

Berdasarkan Undang-undang Perbankan Syariah No. 21/2008, pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil, sewa menyewa, jual beli atau pinjam meminjam berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana tersebut untuk mengembalikan dana tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil.

Antonio (2001) menjelaskan bahwa pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok dari bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan di bagi menjadi dua hal:

a. Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.

b. Pembiayaan Produktif, yaitu pembiayaan yang ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi. Menurut


(23)

keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi.

Pada pembiayaan modal kerja, terdapat perbedaan antara sistem yang dipakai pada bank syariah dan konvensional. Bank konvensonal memberikan kredit modal kerja tersebut dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun perdagangan dalam waktu tertentu.

Sedangkan pada bank syariah, dalam memenuhi seluruh kebutuhan untuk mendanai modal kerja bukan dengan meminjamkan uang, tetapi dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal) dan nasabah sebagai (mudharib) atau biasa dikenal dengan istilah mudharabah atau trust financing.

Berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan menyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak pinjam meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Kredit perbankan dapat diklasifikasikan berdasarkan berdasarkan beberapa kriteria yaitu:

a. Berdasarkan jangka waktunya, yaitu kredit jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

b. Berdasarkan tujuan penggunaan dananya, yaitu kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi.


(24)

c. Berdasarkan golongan atau segmentasinya, yaitu kredit di sektor UMKM dan non-UMKM

2.7. Konsep Bunga dan Profit Loss Sharing

Suku bunga adalah salah satu komponen utama dalam kebijakan ekonomi konvensional yang berarti biaya yang harus dibayarkan oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Sedangkan bagi hasil adalah komponen terpenting dalam sistem moneter syariah dan merupakan cerminan dari kinerja sektor riil. Dengan adanya sistem bagi hasil makan distribusi kekayaan dan pendapatan akan semakin merata sehingga sektor riil akan tumbuh (Ayuniyyah, 2010). Terdapat beberapa perbedaan yang sangat mendasar antara suku bunga dan bagi hasil, perbedaanya antara lain adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Perbedaan Sistem Bunga dan Bagi Hasil

Bunga Bagi Hasil

Penentuan bunga dibuat pada akad dengan asumsi selalu untung

Penentuan besarnya rasio atau nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada keadaan untung dan rugi

Besarnya presentase berdasarkan jumlah modal yang dipinjamkan

Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh Pembayaran bunga tetap walaupun

proyek yang dijalankan nasabah mengalami kerugian

Bagi hasil tergantung pada keuntungan, jika rugi maka akan di tanggung

bersama Sumber: Antonio(1999)


(25)

Pada bank syariah terdapat dua jenis keuntungan yang didapat dari pembiayaan yang diberikan, yaitu margin keuntungan dan bagi hasil. Margin keuntungan adalah persentase tertentu yang ditetapkan oleh perbankan syariah terhadap produk pembiayaan yang berbasis Natural Certainty Contract atau akad bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktu seperti murabahah, ijarah, salam dan istisna. Sedangkan bagi hasil adalah nisbah yang ditetapkan terhadap produk-produk pembiayaan yang berbasis

Natural Uncertainty Contract atau akad bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah maupun waktunya seperti musyarakah

dan mudharabah (Karim, 2010).

2.8. Teori Keuangan Syariah

Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, uang bukanlah capital dan uang merupakan sesuatu yang bersifat flow concept. Hal ini sejalan dengan konsep yang diajukan oleh Fisher, yaitu:

M V = P T

dengan M adalah jumlah uang beredar, V adalah tingkat perputaran uang, P adalah tingkat harga barang dan T adalah jumlah uang yang diperdagangkan. Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa semakin cepat perputaran uang maka semakin besar pendapatan yang akan diperoleh.

Fungsi permintaan uang dalam Islam pada dasarnya hanya memiliki dua motif yaitu motif transaksi dan berjaga-jaga. Perbuatan yang mengarah kepada motif spekulasi dilarang oleh Islam sehingga instrumen moneter Islam yang ada


(26)

diarahkan penggunaannya terhadap uang yang memiliki tujuan yang bersifat penting dan mendesak serta investasi yang produktif dan efisien (Karim, 2008).

Sistem keuangan Islam hadir untuk memberikan berbagai jasa keuangan yang berkontribusi secara pantas kepada pencapaian tujuan sosio-ekonomi yang utama yaitu kesejahteraan ekonomi, kesempatan kerja, keadilan, distribusi pendapatan yang wajar, dan stabilitas nilai uang (Algaoud, 2001). Dari segi perspektif Islam tujuan utama perbankan dan keuangan Islam adalah:

1. Penghapusan bunga dari semua transaksi keuangan dan pembaharuan semua aktivitas bank agar sesuai dengan prinsip Islam.

2. Pencapaian distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar serta pembangunan ekonomi yang menguntungkan semua pihak yang terlibat

2.9. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai mekanisme transmisi moneter melalui jalur kredit atau pinjaman sudah cukup banyak dilakukan. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Rusydiana (2009), yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi SWBI yang ditetapkan bank Indonesia maka akan semakin rendah pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah. Selain itu terdapat hubungan yang negatif antara pembiayaan syariah dan SBI. Semakin tinggi SBI akan menyebabkan penurunan pembiayaan syariah dan sebaliknya. Hal ini disebabkan jika bank sentral menaikan suku bunga maka akan memicu perbankan konvensional untuk menaikan suku bunganya, baik pinjaman maupun deposito. Oleh karena itu, daya saing perbankan syariah akan turun dan menjadi kurang kompetitif.


(27)

Selain itu, penelitian yang dilakukan Ayyuniah (2010) bahwa instrumen moneter konvensional memberikan guncangan yang lebih besar terhadap pertumbuhan sektor riil dibandingkan dengan instrumen moneter syariah karena proporsi instrumen konvensional yang masih mendominasi sampai dengan 97 persen dari share perbankan nasional Indonesia. Akan tetapi, instrumen moneter syariah memiliki karakteristik yang lebih stabil dibandingkan dengan variabel moneter konvensional karena lebih cepat menemukan titik kestabilan dibandingkan dengan instrumen moneter konvensional. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter baik ekspansif maupun kontraktif dengan instrumen suku bunga SBI, tidak mampu mempengaruhi jumlah penawaran kredit investasi perbankan umum, hal ini menjadi bukti bahwa kebijakan moneter melalui jalur bank lending tidak berlangsung di Indonesia selama periode 2001-2007.

Penelitian lain dilakukan oleh Muslim (2008), dari hasil pengujian VAR/VECM terdapat hubungan negatif antara SBI terhadap penawaran kredit investasi, selain itu suku bunga kredit berpengaruh positif terhadap penawaran kredit. Disamping itu, penawaran kredit investasi oleh perbankan secara positif dipengaruhi oleh tingkat permodalan. Akan tetapi, dalam jangka panjang kredit investasi secara signifikan dipengaruhi oleh struktur keuangan perbankan itu sendiri yang mana jika perbankan diberikan penawaran kredit sebesar satu miliar maka penawaran kredit investasi akan meningkat sebesar 0,77 Miliar Rupiah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2008) yang menyatakan bahwa penawaran kredit perbankan dipengaruhi secara signifikan dan negatif oleh SBI sebagai instrumen moneter.


(28)

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Oliver Wurzbug (2003) dengan studi kasus di negara Jerman menyatakan bahwa pinjaman yang diberikan bank memiliki hubungan yang positif terhadap suku bunga pinjaman dan modal, tetapi memiliki hubungan yang negatif dengan instrumen moneter. Dengan metode IRF, guncangan pada kebijakan moneter akan dengan cepat menurunkan pinjaman dari perbankan karena bank akan mengalami penurunan keuntungan dan modal.

2.10. Kerangka Pemikiran Konseptual

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual

Hubungan antara permasalahan dan tujuan penelitian digambarkan dalam diagram kerangka pemikiran konseptual pada Gambar 2.3. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional

Penerapan Sistem Moneter

Ganda di Indonesia

Instrumen Moneter Syariah

Bunga Bank Konvensional

Profit dan Loss Sharing Bank Syariah

Kredit Pembiayaan

Kredit UMKM Pembiayaan UMKM

Instrumen mana yang lebih berpengaruh dalam peyaluran dana ke sektor

UMKM

Rekomendasi Kebijakan Instrumen

Moneter Konvensional


(29)

terhadap penyaluran dana ke sektor UMKM di Indonesia. Instrumen moneter yang dimaksud adalah SBI dan SBIS. Sedangkan penyaluran dana digambarkan dengan pembiayaan dari perbankan syariah dan kredit dari perbankan konvensional. Sebagai saluran transmisinya digunakan besarnya bagi hasil dan suku bunga kredit.

2.11. Hipotesis

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. SBI dan SBIS berpengaruh negatif terhadap penyaluran dana ke sektor UMKM.

2. Pembiayaan UMKM dari perbankan syariah lebih cepat stabil ketika terjadi guncangan moneter dibandingkan dengan kredit UMKM dari perbankan konvensional.


(30)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa time series

bulanan periode Mei 2006 sampai dengan Desember 2010. Sumber data di dapat dari Statistik Ekonomi dan Perbankan Indonesia (SEKI), Statistik Perbankan Indonesia (SPI), Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (SPSBI), Biro Pusat Statistik, dan Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

3.2 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. SBIS adalah bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) yaitu bonus dari surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh bank Indonesia. Data yang dipakai adalah data Bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia periode bulanan dari Mei 2006 sampai dengan Desember 2010.

2. SBI adalah suku bunga SBI yaitu suku bunga dari surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. Data yang dipakai adalah suku bunga Sertifikat Bank Indonesia periode bulanan dari Mei 2006 sampai dengan Desember 2010.

3. PYD adalah pembiayaan UMKM perbankan syariah yaitu total pembiayaan yang diberikan kepada sektor UMKM oleh industri


(31)

perbankan syariah periode bulanan dari Mei 2006 sampai dengan Desember 2010.

4. CRD adalah kredit UMKM bank umum yaitu total kredit yang diberikan oleh industri perbankan konvensional kepada sektor UMKM periode bulanan dari Mei 2006 sampai dengan Desember 2010.

5. IR adalah suku bunga rata-rata kredit yaitu suku bunga rata- rata bulanan pada kredit modal kerja perbankan konvensional. Kredit modal kerja dipilih karena porsi pembiayaan kredit ini paling besar dibandingkan dengan kredit investasi atau konsumsi.

Untuk tingkat pengembalian atau return pada pembiayaan perbankan syariah diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tingkat margin rata-rata dan PLS. Hal ini dilakukan karena porsi pembiayaan jual beli (akad murabahah) mencapai 56,7 persen sedangkan pembiayaan bagi hasil (akad musyarakah ditambah dengan

mudharabah) mencapai 35,3 persen. Selain itu, dengan adanya pengklasifikasian ini dapat terlihat jalur pembiayaan mana yang lebih mempengaruhi pembiayaan UMKM di Indonesia melihat adanya perbedaan mendasar antara pembiayaan dengan akad jual beli dan bagi hasil.

6. MARGIN adalah tingkat margin rata-rata pembiayaan yaitu rata- rata persentasi bagi hasil pembiayaan dengan akad murabahah pada industri perbankan syariah periode bulanan dari Mei 2006 sampai dengan Desember 2010.

7. PLSadalah profit and loss sharing yaitu persentasi bagi hasil pembiayaan dengan akad musyarakah dan mudharabah pada industri perbankan syariah periode bulanan dari Mei 2006 sampai dengan Desember 2010.


(32)

3.3 Metode Penelitian

Permasalahan dalam studi ini akan dianalisis menggunakan Vector Autoregressive (VAR) yang menggambarkan hubungan kausalitas antar variabel dalam persamaan. Dalam pengolahan data penulis menggunakan perangkat lunak

Microsoft Excel 2007 dan Eviews 4.1.

3.3.1 Vector Autoregresisve (VAR)

Vector Autoregresisve (VAR) adalah salah satu model estimasi yang digunakan kembangkan oleh Cristoper A. Sims pada tahun 1980. Sims menyatakan bahwa apabila terdapat hubungan yang simultan atau hubungan sebab akibat antar variabel yang diamati, semua variabel harus diperlakukan sama sehingga tidak lagi ada variabel endogen maupun variabel endogen, sehingga pada konsep VAR semua variabel adalah peubah endogen. VAR adalah model yang a-priori terhadap teori ekonomi namun sangat berguna dalam menentukan tingkat eksogenitas suatu variabel ekonomi dalam sebuah sistem ekonomi dimana terjadi saling ketergantungan antar variabel dalam ekonomi. Model VAR juga menjadi dasar dalam pengembangan metode kointegrasi johansen yang mampu menjelaskan dengan baik perilaku variabel dalam perekonomian. Model VAR secara matematis dapat dituliskan :

Dengan:

Zt : vektor dari variabel – variabel endogen sebanyak m

Xt : vektor dari variabel – variabel eksogen sebanyak d termasuk di dalamnya konstanta (intercept)


(33)

A1, ... , Ap dan B : matriks – matriks koefisien yang akan diestimasi

: vektor dari residual – residual yang secara kontemporer berkorelasi tetapi tidak berkorelasi dengan nilai – nilai lag mereka sendiri dan juga tidak berkorelasi dengan seluruh variabel yang ada dalam sisi kanan persamaan di atas.

Berikut adalah beberapa keunggulan VAR dibandingkan dengan model lainnya adalah:

1. Model VAR mengembangkan model dalam suatu sistem yang kompleks (multivariat), sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel dalam sistem.

2. Uji VAR yang bersifat multivariat bisa menghindari parameter yang bias akibat tidak dimasukannya variabel yang relevan.

3. Dapat mendeteksi hubungan antar variabel dalam sistem persamaan dengan menjadikan seluruh variabel menjadi endogenus.

4. Metode VAR bebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk gejala perbedaan semu (spurious variabel endogeneity

dan exogeneity) di dalam model ekonometrik konvensional terutama pada persamaan simultan sehingga menghindari penafsiran yang salah. 5. Dengan teknik VAR maka yang akan terpilih hanya variabel yang

relevan untuk disinkronisasi dengan teori yang ada. Sedangkan beberapa kelemahan VAR adalah:

1. Model VAR tidak dilandasi teori tentang hubungan antar variabel (model nonstruktural)

2. Tidak mempermasalahkan perbedaan variabel eksogen dan variabel endogen sehingga menyebabkan implikasi kebijakan yang kurang tepat.


(34)

3. Pemilihan banyaknya lag dalam persamaan dapat menimbulkan permasalahan.

4. Interpretasi koefisien yang didapat berdasarkan model VAR tidak mudah. (Malahayati, 2011)

3.3.2 Vector Error Correction Model (VECM)

Vector Error Correction Model dilakukan jika terdapat variable yang tidak stasioner pada first different. VECM adalah bentuk VAR yang terekstriksi. Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Dengan menggunakan metode VECM maka akan didapatkan dampak jangka panjang dan jangka pendek. Selain itu pendugaan dengan VECM digunakan untuk melihat tingkat perubahan tertentu dengan analisis Impulse Respond Function dan Variance Decomposition. Berikut adalah tahapan yang dilakukan dalam penggunaan metode VAR dan VECM, secara lebih ringkas digambarkan dalam gambar dibawah ini:

Sumber: Nugraheni, 2011


(35)

3.3.3 Uji Stasioneritas Data

Tahap pertama yang dilakukan dalam mengolah data time series adalah dengan menguji stasioneritas atau unit root test. Data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya atau memiliki ragam yang konstan. Data yang tidak stasioner akan menghasilkan regresi yang lancung (spurious regression) yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal kenyataannya tidak atau tidak sebesar regresi yang dihasilkan tersebut. Jika data stasioner maka metode yang dipilih adalah metode VAR dan jika data tidak stasioner maka menggunakan metode VECM.

Pengujian stasioneritas dilakukan dengan menggunakan uji akar menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Misalkan model persamaan

time series sebagai berikut:

Yt= ρ yt-1 + εt (3.1) dengan mengurangkan kedua sisi persamaan tersebut dengan yt-1 maka akan

didapatkan persamaan,

Δyt =  yt-1 + εt (3.2) dimana Δ adalah perbedaan pertama (first difference) dan  = (ρ-1) sehingga didapatkan hipotesis Ho :  =0 dan H1:  < 0. Pada tes ini, jika nilai ADF statistik lebih kecil daripada Mac Kinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa series tersebut stasioner. Jika diketahui data tersebut tidak stasioner, maka dapat dilakukan differences non stasioner process.


(36)

3.3.4 Pemilihan Lag Optimum

Dalam VAR penentuan lag optimal sangat penting karena penentuan lag optimal berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah sistem VAR. Penentuan lag optimal juga berguna untuk menunjukkan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya (Gustiani, 2010). Pemilihan Ordo atau lag dilakukan berdasarkan kriteria Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan Quinnon (HQ). Lag yang dipilih adalah model dengan nilai AIC dan SC terkecil dan nilai HQ terbesar. Lag yang dipilih pada penelitian ini berdasarkan kriteria dengan SC terkecil.

SC = AIC (q) + (q/T)( logT-1) (3.3) dengan q adalah jumlah variabel, T adalah jumlah observasi dan AIC adalah

Akaike Information Criteria dengan perhitungan,

AIC= log

i2 N

+ 2k / N (3.4)

dengan

i2 adalah jumlah residual kuadrat sedangkan N dan k adalah sampel jumlah variabel dari jumlah varibel yang beroperasi dalam persamaan tersebut.

3.3.5 Uji Kointegrasi

Setelah diperiksa kestasioneritasannya kita dapat mengujinya kembali dengan uji kointegrasi. Jika data stasioner pada first different maka perlu dilakukan pengujian untuk melihat terjadinya kointegrasi. Uji kointegrasi bertujuan untuk melihat keseimbangan jangka panjang dan memastikan adanya hubungan jangka panjang di antara variabel yang di observasi. Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang antara variabel – variabel yang meski secara individual tidak stasioner tetapi kombinasi linier antara variabel tersebut dapat


(37)

menjadi stasioner. Adanya hubungan kointegrasi dalam sebuah sistem persamaan menandakan bahwa dalam sistem tersebut terdapat error correction model yang menggambarkan adanya dinamisasi dalam jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya.

3.3.6 Uji Stabilitas

Stabilitas dalam sistem VAR perlu diperhatikan dalam penentuan lag. Stabilitas VAR dapat dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil apabila seluruh roots pada tabel AR roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle.

3.3.7 Impulse Respond Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

Impulse Respond Funtion adalah suatu metode yang digunakan untuk melihat respon suatu variabel akibat adanya guncangan atau shock pada suatu variabel endogen Metode ini juga menunjukan arah hubungan dan besarnya pengaruh suatu variabel endogen terhadap berbagai variabel endogen lainnya yang ada dalam suatu sistem dinamis VAR.

Forecast Error Variance Decomposition adalah metode yang digunakan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh variabel- variabel lainnya. Analisis ini digunakan untuk menghitung seberapa besar pengaruh acak guncangan dari variabel tertentu terhadap variable endogen. Dengan metode ini kita dapat melihat


(38)

kekuatan dan kelebihan masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel yang lainnya dalam kurun waktu yang panjang.

3.4 Model Penelitian

Model yang digunakan dalam penelitiaan ini dalam bentuk matriks sebagai berikut:

Xt = t + ∑kt=1 At + Xt=1 + εt (3.5) Dimana Xt adalah vektor dari variabel endogen dengan dimensi (n x 1), t adalah vektor dari variabel endogen, termasuk konstanta dan trend, At adalah koefisien matriks dengan dimensi (n x n), dan εt adalah vektor dari residual.

Model VECM yang akan digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk matriks sebagai berikut :

ΔXt-1 = t + πXt-1 + ∑kt=1 Гt ΔXt-1 + Xt=1 + εt (3.6) Dimana π dan Г merupakan fungsi dari At pada persamaan diatas. Matriks π dapat dipecah menjadi dua matriks, yaitu dan β dengan dimensi (n x n).

π= + βα, dimana merupakan matriks penyesuaian, β merupakan vektor kointegrasi, dan α adalah rank kointegrasi.

Model yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu pembiayaan UMKM melalui jalur bank konvensional dan bank syariah. Model I adalah model yang digunakan untuk melihat penyaluran kredit UMKM melalui perbankan konvensional, sedangkan Model II adalah model yang digunakan untuk melihat penyaluran pembiayaan UMKM melalui perbankan syariah.


(39)

Model I dan II dijabarkan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 3.1 Model Penelitian

Model Penjabaran

I CRDt= f ( IRt , SBIt ,SBISt )


(40)

IV. GAMBARAN UMUM

Pada penelitian ini instrumen moneter yang digunakan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu instrumen moneter konvensional dan syariah. Instrumen moneter konvensional dicerminkan melalui besarnya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sedangkan Instrumen moneter syariah dicerminkan melalui bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).

Penyaluran dana dari perbankan ke sektor UMKM dicerminkan melalui total kredit UMKM dari perbankan konvensional dan pembiayaan UMKM dari perbankan syariah. Sedangkan suku bunga kredit, presentase profit dan loss sharing, dan presentase margin adalah variabel dalam proses transmisi moneter melalui jalur kredit.

4.1. Sertifikat Bank Indonesia dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto atau bunga. SBI digunakan untuk menjaga kestabilan rupiah dimana dengan penjualan SBI Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Sejak Juli 2005, Bank Indonesia melakukan perhitungan suku bunga setifikat Bank Indonesia dengan cara mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan Bank Indonesia untuk pelelangan pada masa periode tertentu.

Dewasa ini, jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di Indonesia semakin berkembang sehingga berdampak terhadap peningkatan mobilisasi dana masyarakat. Perkembangan bank syariah yang cukup


(41)

pesat tentuna dilandasai dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Dengan perkembangan tersebut maka pengendalian moneter oleh Bank Indonesia melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang selama ini melalui bank-bank konvensional dapat diperluas melalui bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah (Bank Indonesia, 2011).

Instrumen kebijakan moneter yang hadir pertama kali di Indonesia setelah dikeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan syariah sebagai instrumen penyerap likuiditas layaknya bank konvensional adalah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Bedasarkan peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004, SWBI adalah penitipan dana jangka pendek dengan prinsip

wadiah yang disediakan Bank Indonesia untuk bank syariah dan unit usaha syariah sebagai bukti penitipan dana wadiah.

Akan tetapi, bank syariah mengeluh akan return dari SWBI yang nilainya lebih rendah dari Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Hal ini disebabkan karena pemberian bonus atas penitipan dana wadiah adalah kewenangan Bank Indonesia yang besarnya sesuai dengan kebijakan dan anggaran dana yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Karena hal itulah Bank Indonesia mengeluarkan peraturan kembali mengenai instrumen penyerap likuiditas yang berdasarkan syariah pengganti SWBI agar lebih menguntungkan dalam hal return yang didapatkan bank syariah.

Dengan dikeluakannya peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 mengenai Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) maka peraturan mengenai SWBI resmi dicabut. SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka pengganti SWBI dalam rangka pengendalian


(42)

moneter yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. SBIS yang diterbitkan menggunakan akad Ju’alah, yaitu janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadhju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.

Gambar 4.1 menunjukan besarnya return SBI dan SBIS pada periode penelitian. Dapat dilihat pada gambar bahwa sebelum tahun 2009 return SBI selalu lebih tinggi dibandingkan SBIS, tetapi sejak adanya peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 yang mulai diterapkan sejak Maret 2008 tentang penerapan SBIS maka return SBIS dan SBI tidak jauh berbeda dan mengalami penyesuaian.

Sumber: Statistik Ekonomi dan Perbankan Indonesia (2011)

Gambar 4.1. Perkembangan SBI dan SBIS periode Mei 2006 - Desember 2010

4.2 Penyaluran Dana Usaha Mikro Kecil dan Menengah ( UMKM )

Pembiayaan Usaha Mikro Kredit Menengah pada penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kredit UMKM dari bank konvensional dan pembiayaan UMKM dari bank syariah.


(43)

4.2.1. Kredit UMKM dari Bank Konvensional

Kredit UMKM adalah semua penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu dalam rupiah dan valuta asing, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank pelapor dengan bank dan pihak ketiga bukan bank yang memenuhi kriteria usaha sesuai undang-undang tentang UMKM yang berlaku (Bank Indonesia, 2011).

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2010)

Gambar 4.2. Perbandingan Kredit UMKM dan Non-UMKM Bank Konvensional Periode Desember 2006- Desember 2010

Gambar 4.2 menunjukan bahwa kredit UMKM yang disalurkan bank konvensional memiliki tren yang terus meningkat dan porsi kredit UMKM lebih besar dibandingkan dengan non-UMKM. Tercatat pada Desember 2010, porsi kredit UMKM yang disalurkan sebesar 52,48 persen dari total kredit atau sekitar Rp 926.782.000.000.

4.2.2. Pembiayaan UMKM dari Bank Syariah

Definisi pembiayaan UMKM dari bank syariah tidak jauh berbeda dengan kredit UMKM yang diberikan oleh bank konvensional. Kriterian UMKM yang digunakan juga mengacu pada undang-undang yang berlaku, tetapi perbedaannya adalah konsep akad dan perhitungan besaran bagi hasilnya.


(44)

Gambar 4.3 menjelaskan bahwa pembiayaan bank syariah terhadap sektor UMKM memiliki tren yang terus meningkat dan porsi pembiayaan UMKM lebih besardibandingkan dengan pembiayaan non-UMKM. Tercatat pada bulan Desember 2010, pembiayaan UMKM yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai 77,10 persen dari total pembiayaan atau sekitar Rp 82.831.000.000.

Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (2010)

Gambar 4.3. Perbandingan Pembiayaan UMKM dan Non-UMKM Bank Syariah

4.2.3 Perbandingan Kredit dan Pembiayaan UMKM

Perbandingan kredit atau pembiayaan UMKM pada bank konvensional dan syariah dapat dilihat dari beberapa hal, salah satunya dari total dana pembiayaan yang disalurkan kepada UMKM. Pada Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa posisi kredit UMKM yang disalurkan bank konvensional masih jauh lebih besar dibandingkan dengan pembiayaan UMKM dari bank syariah. Total pembiayaan UMKM dari bank syariah baru mencapai lima persen dari total kredit UMKM bank konvensional. Hal ini tentunya wajar karena usia bank syariah yang baru menginjak sepuluh tahun dengan jumlah aset yang masih lebih kecil jika dibandingkan dengan bank konvensional.


(45)

Sumber : Statistik Perbankan Indonesia dan Perbankan Syariah Indonesia (2010) Gambar 4.4 Perbandingan Jumlah Penyaluran Dana Ke Sektor UMKM Bank

Syariah dan Konvensional Periode Mei 2006- Desember 2010

Perbandingan lain dapat dilihat dari porsi pembiayaan UMKM yang disalurkan dari bank konvensional maupun bank syariah. Porsi pembiayaan dihitung dengan cara membagi jumlah pembiayaan UMKM dengan jumlah pembiayaan total yang disalurkan. Dapat dilihat dari Gambar 4.5 bahwa porsi pembiyaan UMKM pada bank syariah lebih besar dibandingkan dengan bank konvesional. Sekitar 77,10 persen penyaluran pembiayaan pada bank syariah ditujukan kepada UMKM, sedangkan bank konvensional hanya memiliki porsi sebesar 52,48 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa bank syariah menjadikan pembiayaan UMKM sebagai prioritas utama karena potensinya yang besar, dan pembiayaan kepada sektor UMKM merupakan pembiayaan yang sesuai dengan prinsip dasar bank syariah sebagai lembaga intermediasi yang menyentuh sektor riil.


(46)

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia dan Perbankan Syariah Indonesia (2010) Gambar 4.5 Perbandingan Porsi Penyaluran Dana Ke Sektor UMKM Bank

Konvensional dan Syariah Periode Mei 2006- Desember 2010

4.3 Suku Bunga Kredit dan Bagi Hasil

Dalam penyaluran pembiayaan UMKM faktor suku bunga dan bagi hasil tentunya menjadi pertimbangan para bankir dalam menentukan besar kecilnya dana yang akan diberikan. Gambar 4.6 menjelaskan bahwa terjadi kompetisi antara bank konvensional dan bank syariah dalam penentuan besaran

return karena adanya fluktuasi pada besaran suku bunga bank konvensional dan bagi hasil bank syariah. Selain itu selisih diantara kedanya tidak terlalu jauh menunjukan adangya persaingan dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan.

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia dan Perbankan Syariah Indonesia (2010) Gambar 4.6 Perbandingan Suku Bunga Bank Konvensional dan Bagi Hasil Bank

Syariah Periode Mei 2006- Desember 2010

Secara teori, semakin tinggi return (suku bunga dan bagi hasil) maka penyaluran dana dari perbankan melalui kredit atau pembiayaan akan semakin


(47)

besar karena bank akan mendapatkan keuntungan lebih besar. Akan tetapi di sisi lain, dengan tingginya tingkat return maka permintaan kredit akan turun karena peminjam akan membayar bunga yang lebih besar. Besarnya tingkat return antara bank syariah dan konvensional cukup kompetitif karena besarannya yang tidak terlalu jauh dan cukup fluktuatif.


(48)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Uji Kestasioneritasan Data

Uji stasioneritas data dilakukan pada setiap variabel yang digunakan pada model. Langkah ini digunakan untuk menghindari masalah regresi lancung (spurious regression) karena data yang digunakan pada penelitian ini adalah data

time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit root pada tingkat level. Uji stasioneritas ini dilakukan pada tingkat level dan first difference dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Jika nilai ADF test lebih kecil dari nilai kritisnya, maka data tersebut stasioner. Nilai kritis yang dipakai pada penelitian ini adalah 5 persen.

Tabel 5.1. Hasil Uji Stasioneritas

Variabel Level First Diffrence

ADF-Statistik t-statistik (5%) ADF-Statistik t-statistik (5%) CRD 1.432862 -2.915522 -6.658755** -2.916566 IR -2.019345 -2.916566 -3.594928** -2.916566 PYD -0.008691 -2.915522 -4.891885** -2.916566 MARGIN -3.274322** -2.915522 -6.884884 -2.918778 PLS -2.013306 -2.918778 -11.79131** -2.917650 SBI -2.502072 -2.916566 -3.833385** -2.916566 SBIS -3.017490 -2.915522 -6.070852** -2.917650 Keterangan : ** = Signifikan pada nyata 5 persen

Dari hasil uji stasioneritas variabel Kredit UMKM, Suku Bunga Kredit, Pembiayaan UMKM, Profit and Loss Sharing, Suku Bunga SBI dan Bonus SBIS stasioner pada tingkat first different. Sedangkan variabel Margin Pembiayaan stasioner pada tingkat level.


(49)

5.2 Hasil Uji Kausalitas Granger

Berdasarkan hasil Uji Kausalitas Granger terdapat beberapa hubungan antara variabel, tetapi tidak terdapat hubungan sebab akibat diantara variabel. Pada Model I, kredit UMKM memengaruhi suku bunga kredit, dan suku bunga kredit memengaruhi besarnya suku bunga SBI dan bonus SBIS. Sedangkan pada Model II, profit dan loss sharing memengaruhi besarnya suku bunga SBI dan pembiyaan UMKM memengaruhi besarnya margin pembiayaan.

Hasil Uji Kausalitas Granger dirangkum dalam Tabel 5.2 berikut :

Tabel 5.2. Hasil Uji Kausalitas Granger

Hipotesis Probability Kesimpulan MODEL I

CRD does not Granger Cause IR 0.0484* CRD IR IR does not Granger Cause SBIS 0.0631** IR SBIS IR does not Granger Cause SBI 0.0071* IR SBI

MODEL II

PLS does not Granger Cause SBI 0.0711* PLS SBI PYD does not Granger Cause MARGIN 0.0880** PYD MARGIN

5.3 Penetapan Lag Optimum

Penetapan lag optimum bertujuan untuk menunjukan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya serta menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah sistem VAR (Firdaus, 2011). Pengujian panjang lag ditentukan berdasarkan kriteia Akaike Information Criterion (AIC)dan Schwarz Criterion (SC) yang terkecil. Pada penelitian ini model VAR diestimasi dengan tingkat lag yang berbeda-beda kemudian dibandingkan nilai AIC-nya. Nilai AIC terkecil dipakai sebagai acuan nilai lag optimal. Berdasarkan hasil pengujian lag


(50)

optimum yang terdapat pada Tabel 5.3 bahwa Model I dan Model II optimum pada lag kedua.

Tabel 5.3. Hasil Pengujian Lag Optimum

Lag AIC

Model I Model II

0 34.59488 35.72875

1 23.94378 29.29504

2 23.57957* 29.18349* Keterangan : * = nilai AIC terkecil

5.4 Uji Stabilitas VAR

Dari hasil uji stabilitas VAR, dapat disimpulkan bahwa sistem VAR bersifat stabil karena root yang diuji memiliki kisaran kurang dari satu, yatu berkisar antara 0.398319- 0.759231 pada Model I dan berkisar antara 0.251941 -0.966520 pada Model II.

Tabel 5.4. Hasil Uji Stabilitas VAR pada Model I

Root Modulus 0.727885 - 0.215907i 0.759231 0.727885 + 0.215907i 0.759231 0.034432 - 0.584167i 0.585181 0.034432 + 0.584167i 0.585181 -0.196964 - 0.464653i 0.504675 -0.196964 + 0.464653i 0.504675 -0.068859 - 0.392321i 0.398319 -0.068859 + 0.392321i 0.398319


(51)

Tabel 5.5. Hasil Uji Stabilitas VAR pada Model II

Root Modulus

0.966520 0.966520

0.837030 0.837030

0.775247 - 0.230579i 0.808810 0.775247 + 0.230579i 0.808810 0.407425 - 0.456512i 0.611881 0.407425 + 0.456512i 0.611881

-0.46734 0.467340

0.147684 - 0.389766i 0.416807 0.147684 + 0.389766i 0.416807

0.251941 0.251941

5.5 Uji Kointegrasi Johansen

Langkah yang dilakukan selanjutnya adalah uji kointegrasi. Uji Kointegrasi dilakukan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner pada level terkointegrasi atau tidak. Uji Kointegrasi mengimplikasikan bahwa dalam sistem persamaan mengimplikasikan bahwa dalam sistem tersebut terdapat error correction model yang menggambarkan adanya dinamisasi jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya. Koitegrasi mempresentasikan hubungan keseimbangan jangka panjang (Firdaus, 2011). Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan trace statistic dengan nilai kritis sebesar 5 persen. Jika nilai

trace statistik lebih besar dibandingkan nilai kritisnya maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Hasil uji kointegrasi pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.2. Berdasarkan hasil uji kointegrasi maka dapat dilihat bahwa kedua model terkointegrasi sehingga model yang digunakan adalah model VECM.


(1)

LAMPIRAN 3. HASIL ANALISIS VAR/ VECM MODEL II

1. Uji Kausalitas Granger Pairwise Granger Causality Tests Date: 03/09/12 Time: 15:23 Sample: 2006M05 2010M12 Lags: 2

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

PLS does not Granger Cause PYD 54 0.75960 0.4733

PYD does not Granger Cause PLS 0.44125 0.6458

MARGIN does not Granger Cause PYD 54 0.39087 0.6786 PYD does not Granger Cause MARGIN 2.79202 0.0711 SBI does not Granger Cause PYD 54 1.33809 0.2718

PYD does not Granger Cause SBI 0.64420 0.5295

SBIS does not Granger Cause PYD 54 0.04835 0.9528

PYD does not Granger Cause SBIS 0.12116 0.8862

MARGIN does not Granger Cause PLS 54 0.04040 0.9604 PLS does not Granger Cause MARGIN 0.20527 0.8151 SBI does not Granger Cause PLS 54 1.79254 0.1773

PLS does not Granger Cause SBI 2.55487 0.0880

SBIS does not Granger Cause PLS 54 0.54554 0.5830

PLS does not Granger Cause SBIS 0.85329 0.4322

SBI does not Granger Cause MARGIN 54 1.01619 0.3695 MARGIN does not Granger Cause SBI 0.07773 0.9253 SBIS does not Granger Cause MARGIN 54 0.06086 0.9410 MARGIN does not Granger Cause SBIS 0.00650 0.9935 SBIS does not Granger Cause SBI 54 1.58484 0.2153

SBI does not Granger Cause SBIS 1.92688 0.1565

2. Uji Kointegrasi

Date: 03/09/12 Time: 15:25

Sample (adjusted): 2006M08 2010M12 Included observations: 53 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PYD PLS MARGIN SBI SBIS Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None * 0.458759 71.32552 69.81889 0.0377 At most 1 0.316770 38.78936 47.85613 0.2687 At most 2 0.214429 18.60038 29.79707 0.5219 At most 3 0.096633 5.809156 15.49471 0.7179 At most 4 0.007948 0.422953 3.841466 0.5155


(2)

Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

3. Uji Lag Optimum

VAR Lag Order Selection Criteria

Endogenous variables: PYD PLS MARGIN SBI SBIS Exogenous variables: C

Date: 03/09/12 Time: 15:26 Sample: 2006M05 2010M12 Included observations: 54

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -959.6762 NA 2.26e+09 35.72875 35.91291 35.79977

1 -760.9661 353.2624 3650086. 29.29504 30.40003* 29.72119* 2 -732.9542 44.61151* 3345084.* 29.18349* 31.20931 29.96477 * indicates lag order selected by the criterion

LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error

AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion

4. Uji Stabilitas VAR

Roots of Characteristic Polynomial

Endogenous variables: PYD PLS MARGIN SBI SBIS Exogenous variables: C

Lag specification: 1 2 Date: 03/09/12 Time: 15:28

Root Modulus

0.966520 0.966520

0.837030 0.837030

0.775247 - 0.230579i 0.808810 0.775247 + 0.230579i 0.808810 0.407425 - 0.456512i 0.611881 0.407425 + 0.456512i 0.611881

-0.467340 0.467340

0.147684 - 0.389766i 0.416807 0.147684 + 0.389766i 0.416807

0.251941 0.251941

No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. 5. Hasil Estimasi VECM

Vector Error Correction Estimates Date: 03/09/12 Time: 15:28

Sample (adjusted): 2006M08 2010M12 Included observations: 53 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]

Cointegrating Eq: CointEq1 PYD(-1) 1.000000 PLS(-1) 190.5207


(3)

(354.952) [ 0.53675] MARGIN(-1) -116.4096 (20.1601) [-5.77426] SBI(-1) -1102.075 (303.346) [-3.63306] SBIS(-1) 1092.085 (269.565) [ 4.05129] @TREND(06M05) -206.6345 (29.5709) [-6.98777]

C 3468.549

Error Correction: D(PYD) D(PLS) D(MARGIN) D(SBI) D(SBIS) CointEq1 -0.105888 0.000150 0.004567 3.29E-05 -0.000198

(0.05969) (6.5E-05) (0.00122) (3.0E-05) (9.4E-05) [-1.77397] [ 2.29934] [ 3.74548] [ 1.10521] [-2.10094] D(PYD(-1)) 0.356936 -0.000372 -0.005105 -3.94E-05 7.27E-05 (0.17299) (0.00019) (0.00353) (8.6E-05) (0.00027) [ 2.06330] [-1.97262] [-1.44483] [-0.45708] [ 0.26621] D(PYD(-2)) -0.057326 -0.000170 0.000164 -7.25E-06 0.000144 (0.17957) (0.00020) (0.00367) (9.0E-05) (0.00028) [-0.31923] [-0.86744] [ 0.04483] [-0.08089] [ 0.50969] D(PLS(-1)) 41.92444 -0.919795 -1.497982 -0.159779 -0.121176 (105.520) (0.11508) (2.15535) (0.05263) (0.16653) [ 0.39731] [-7.99254] [-0.69501] [-3.03587] [-0.72764] D(PLS(-2)) -25.41340 -0.648639 -0.322815 -0.075879 0.091996 (108.565) (0.11840) (2.21755) (0.05415) (0.17134) [-0.23408] [-5.47822] [-0.14557] [-1.40128] [ 0.53692] D(MARGIN(-1)) -5.891951 0.007774 0.273792 0.002872 -0.011188 (7.27052) (0.00793) (0.14851) (0.00363) (0.01147) [-0.81039] [ 0.98041] [ 1.84362] [ 0.79192] [-0.97506] D(MARGIN(-2)) -9.920581 0.009980 0.257755 0.001641 -0.012939 (7.43470) (0.00811) (0.15186) (0.00371) (0.01173) [-1.33436] [ 1.23077] [ 1.69730] [ 0.44248] [-1.10273] D(SBI(-1)) -142.1098 0.334002 1.420352 0.615480 0.548533 (301.563) (0.32889) (6.15973) (0.15041) (0.47593) [-0.47124] [ 1.01554] [ 0.23059] [ 4.09197] [ 1.15255] D(SBI(-2)) 115.8071 -0.515624 1.399230 -0.027453 -0.028387 (300.015) (0.32720) (6.12812) (0.14964) (0.47349) [ 0.38600] [-1.57586] [ 0.22833] [-0.18346] [-0.05995] D(SBIS(-1)) 47.54176 -0.256902 -2.934364 0.042657 -0.061272 (98.9440) (0.10791) (2.02103) (0.04935) (0.15615) [ 0.48049] [-2.38070] [-1.45191] [ 0.86436] [-0.39238]


(4)

D(SBIS(-2)) 59.03978 -0.193064 -2.216603 -0.057599 -0.069828 (89.9475) (0.09810) (1.83727) (0.04486) (0.14196) [ 0.65638] [-1.96807] [-1.20647] [-1.28387] [-0.49190]

C 82.24285 0.205156 1.243596 -0.027435 0.044501

(98.7294) (0.10768) (2.01665) (0.04924) (0.15582) [ 0.83301] [ 1.90530] [ 0.61666] [-0.55712] [ 0.28560] R-squared 0.153296 0.648715 0.283738 0.479161 0.200445 Adj. R-squared -0.073868 0.554468 0.091570 0.339424 -0.014069 Sum sq. resids 14029241 16.68711 5853.312 3.490133 34.94344 S.E. equation 584.9586 0.637968 11.94838 0.291762 0.923190 F-statistic 0.674824 6.883126 1.476511 3.429020 0.934414 Log likelihood -406.0923 -44.57887 -199.8722 -3.114413 -64.16487 Akaike AIC 15.77707 2.135052 7.995178 0.570355 2.874146 Schwarz SC 16.22317 2.581156 8.441282 1.016459 3.320250 Mean dependent 132.4906 0.066887 0.054528 -0.106604 0.022642 S.D. dependent 564.4814 0.955783 12.53612 0.358978 0.916763 Determinant resid covariance (dof adj.) 1017767.

Determinant resid covariance 281960.6

Log likelihood -708.5811

Akaike information criterion 29.22947

Schwarz criterion 31.68304

6. Hasil Simulasi IRF

-200 0 200 400 600 800

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of PYD to PYD

-200 0 200 400 600 800

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of PYD to MARGIN

-200 0 200 400 600 800

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of PYD to SBI

-200 0 200 400 600 800

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of PYD to SBIS

-4 0 4 8 12

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of MARGIN to PYD

-4 0 4 8 12

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of MARGIN to MARGIN

-4 0 4 8 12

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of MARGIN to SBI

-4 0 4 8 12

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of MARGIN to SBIS

-.2 .0 .2 .4 .6 .8

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of SBI to PYD

-.2 .0 .2 .4 .6 .8

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of SBI to MARGIN

-.2 .0 .2 .4 .6 .8

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of SBI to SBI

-.2 .0 .2 .4 .6 .8

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of SBI to SBIS

-0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of SBIS to PYD

-0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of SBIS to MARGIN

-0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of SBIS to SBI

-0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of SBIS to SBIS Response to Cholesky One S.D. Innovations


(5)

7. Hasil Forecast Error Variance Decomposition

Varian ce Decom position of PYD:

Period S.E. PYD MARGIN SBI SBIS

1 573.1540 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000

2 939.6995 99.17518 0.625904 0.014729 0.184189

3 1182.643 98.50634 1.003652 0.025079 0.464930

4 1383.174 96.05366 2.842816 0.131806 0.971719

5 1556.173 93.25310 5.085758 0.261454 1.399690

6 1712.360 91.15028 6.861245 0.351632 1.636845

7 1851.238 90.43640 7.512119 0.390852 1.660626

8 1979.912 90.59781 7.415528 0.399793 1.586865

9 2102.083 91.04935 7.050517 0.400171 1.499966

10 2218.955 91.39988 6.746719 0.405986 1.447417

11 2330.366 91.47939 6.652631 0.422337 1.445638

12 2436.828 91.28713 6.784885 0.445880 1.482108

13 2538.554 90.98275 7.024256 0.468735 1.524254

14 2635.667 90.75230 7.216174 0.484926 1.546601

15 2728.751 90.67766 7.284127 0.493527 1.544686

16 2818.747 90.72392 7.249934 0.497297 1.528845

17 2906.290 90.80987 7.178064 0.499886 1.512181

18 2991.583 90.86608 7.126321 0.503883 1.503718

19 3074.662 90.86089 7.123464 0.509966 1.505675

20 3155.543 90.80516 7.163789 0.517120 1.513926

21 3234.251 90.73643 7.217977 0.523720 1.521869

22 3310.899 90.68969 7.256513 0.528696 1.525104

23 3385.712 90.67711 7.267577 0.532001 1.523308

24 3458.939 90.68868 7.258010 0.534321 1.518987

25 3530.749 90.70517 7.243140 0.536496 1.515196

26 3601.215 90.71103 7.236103 0.539056 1.513809

27 3670.364 90.70129 7.241801 0.542038 1.514870

28 3738.212 90.68133 7.256514 0.545117 1.517042

29 3804.794 90.66111 7.272247 0.547901 1.518742

30 3870.181 90.64820 7.282500 0.550184 1.519114

31 3934.465 90.64412 7.285570 0.552015 1.518296

32 3997.734 90.64527 7.284081 0.553602 1.517044

33 4060.049 90.64645 7.282255 0.555160 1.516136

34 4121.447 90.64407 7.283181 0.556800 1.515947

35 4181.949 90.63769 7.287460 0.558498 1.516351

36 4241.577 90.62937 7.293549 0.560153 1.516926

37 4300.358 90.62185 7.299211 0.561667 1.517272

38 4358.334 90.61679 7.302975 0.563004 1.517230

39 4415.548 90.61414 7.304758 0.564198 1.516903

40 4472.038 90.61263 7.305527 0.565314 1.516526

41 4527.834 90.61082 7.306478 0.566409 1.516298

42 4582.956 90.60790 7.308313 0.567504 1.516284

43 4637.423 90.60401 7.310992 0.568585 1.516410

44 4691.253 90.59988 7.313956 0.569621 1.516547

45 4744.466 90.59623 7.316581 0.570590 1.516595

46 4797.086 90.59343 7.318553 0.571487 1.516530

47 4849.136 90.59131 7.319962 0.572329 1.516401

48 4900.636 90.58944 7.321145 0.573135 1.516279

49 4951.604 90.58743 7.322436 0.573922 1.516213


(6)

MASYITHA MUTIARA RAMADHAN

, Analisis Pengaruh Instrumen

Moneter Syariah dan Konvensional Terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Usaha

Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia (dibimbing oleh

IRFAN

SYAUQI BEIK

)

Dunia mengakui bahwa usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM)

memainkan peran yang sangat vital di dalam pembangunan dan pertumbuhan

ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang tetapi juga di negara

maju (Tambunan, 2009). Sektor UMKM juga memiliki peran yang penting dalam

perekonomian Indonesia dalam hal penyerapan tenaga kerja, penyumbang PDB

terbesar dan juga pendapatan ekspor non-migas. Akan tetapi sektor UMKM di

Indonesia masih menghadapi masalah mendasar yaitu keterbatasan modal kerja

dan investasi. Untuk itu, penyaluran dana ke sektor UMKM melalui perbankan

diharapkan mampu mendukung permodalan dan perkembangan UMKM.

Sesuai dengan Undang-undang Bank Sentral No.23 Tahun 1999 Indonesia

merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem moneter ganda pada

sistem perekonomiannya, yaitu diterapkannya sistem moneter syariah dan

konvensional secara bersamaan. Sejak saat itu berkembang instrumen moneter

syariah, salah satunya adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) yang

melengkapi Sertifikat Bank Indonesia yang selama ini dipakai oleh perbankan

konvensional.

Penelitian ini menganalisis pengaruh instrumen moneter syariah dan

konvensional terhadap penyaluran dana ke sektor UMKM melalui perbankan

syariah dan konvensional. Selain itu, penelitian ini membandingkan sejauh mana

pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap penyaluran dana

ke UMKM. Penelitian ini menggunakan metode VAR/VECM yang dianalisis

melalui

Impulse Response Function

(IRF) dan

Forecast Error Variance

Decomposition

(FEVD).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa

instrumen moneter konvensional yang diwakili oleh suku bunga SBI dan

instrumen moneter syariah yang diwakili oleh SBIS secara signifikan berpengaruh

terhadap pembiayaan UMKM baik melalui perbankan syariah maupun perbankan

konvensional. Selain itu, dari jalur perbankan konvensional, SBI dan SBIS

berpengaruh negatif terhadap pembiayaan UMKM. Perbankan konvensional akan

lebih tertarik mengalokasikan dananya di SBI atau SBIS ketika terjadi kenaikan

return

. Hal ini lah yang menyebabkan jumlah dana kredit yang disalurkan akan

menurun.

Dari hasil simulasi IRF guncangan moneter akan berpengaruh dengan

cepat pada pembiayaan UMKM dari perbankan syariah dan kredit UMKM dari

perbankan konvensional. Akan tetapi, pembiayaan UMKM dari perbankan syariah

akan lebih cepat stabil dibandingkan dengan kredit UMKM dari perbankan

konvensional. Dari hasil FEVD, pembiayaan dan kredit UMKM dari perbankan

syariah dan konvensional lebih dipengaruhi SBIS dibandingkan dengan SBI. Hal

ini mengindikasikan peran SBI yang semakin tidak efektif dalam transmisi

moneter melalui jalur kredit.