Latar Belakang Pendirian Dagadu Djokdja : dari kaki lima menjadi retail 1994-004.

Borobudur, Prambanan, Bali dan Yogyakarta. Kaos yang mengkomunikasikan bisnis seperti desain dengan gambar dan tulisan produk Coca-Cola, Pepsi, Yamaha, Suzuki, dan Honda. Kaos yang menunjukan institusi seperti UGM, USD, UAJY, UAD dan UMY. Kaos yang mengkomunikasikan kelompok seperti Slemania pendukung klub sepakbola PSS Sleman dan Brajamusti pendukung klub sepakbola PSIM Yogyakarta. Selain faktor utama tersebut, pendirian Dagadu Djokdja juga tidak lepas dari pertumbuhan industri kaos yang berkembang di Bali dan Bandung. Pada tahun 1990-an di daerah-daerah tersebut berdiri perusahaan kaos C59 dan Joger. 2 Selain di 2 tempat tersebut, pada tahun 1992 di Yogyakarta berdiri perusahaan kaos Jaran Ethnic yang didirikan sejumlah mahasiswa UGM di Condong Catur, Depok, Sleman. Pada awalnya, usaha ini didirikan dengan tujuan untuk mencari uang tambahan kuliah. Desain utama yang dijual adalah desain yang menggambarkan etnik, klasik dan lama. Dari desain tersebut, industri ini berhasil berkembang menjadi sebuah industri kaos yang tidak hanya sekedar mencari uang tambahan kuliah, melainkan sebuah usaha yang berorientasi pada keuntungan. Berdirinya perusahaan kaos Jaran Ethnic mendorong pertumbuhan perusahaan kaos lain di Yogyakarta. Pertumbuhan ini ditandai dengan berdirinya perusahaan kaos lain di Yogyakarta yakni Sarapan, Gojek, Megatruh, WTO, Galang, Malioboroblong, Jangkrik, Waton T-Shirt, Iwak Bandeng, Dadung, dan Dagadu Djokdja. 2 “Kaus Cerdas, Kaus Khas” www.indomedia.comintisari . Diakses tanggal 12 Maret 2014. Pada tahun 1994, 25 mahasiswa dari Fakultas Teknik jurusan Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta angkatan 1985-1989 mendirikan perusahaan kaos yakni Dagadu Djokdja. Mahasiswa tersebut yakni Adi Hutomo Atmoko, Ahmad Noor Arief, Albertus Ari Basuki, Arya Aditya Wardhana, Djaka Dwiandi Purwaningtyas, Edy Prayitno Hirsam, Evi Ailina, Hanif Budiman, Hardilan M Arifin, Heri Ponco Nugroho, Hernowo Muliawan, Hetty Herawati, Erwin Anindita, Muhammad Arif Arba’I, Nugroho Budhiharto, Ririn Choirina Anggraini, Riza Arif Widani, Wiwik Sri Suhartati, Lapdo Pranowo, Edy Setijono, Nowo Yuliarto, Agung Sekar Galih, Gigih Budi Abadi, Nur Aina dan Endi Nur Endar Satria. 3 Ke 25 mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa yang tergabung dalam proyek penelitian Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kaltim dan proyek Bali Tourism and Development Center di Nusa Dua yang dipimpin oleh dosen mereka yakni Ibu Wiendu Nuryanti. Dalam menjalankan proyek penelitian, para mahasiswa tersebut menempati studio yang berada di Jalan Suroto, Kotabaru, Yogyakarta. 4 Sekelompok mahasiswa ini memiliki kesamaan minat dalam kepariwisataan, perkotaan dan desain grafis. Berbekal kesamaan minat dan ilmu yang diperoleh dari kuliah, mendorong sekelompok mahasiswa tersebut mendirikan sebuah perusahaan yang memproduksi dan memasarkan cinderamata 3 Wawancara dengan A.Noor Arif, 21 Februari 2014, di Kantor PT. AselDagadu Djokdja, Jalan IKIP PGRI, Sonosewu, Kasihan, Bantul. 4 Wawancara dengan Wiwik S. Suhartati, 14 Maret 2015, di Kantor PT. Aseli Dagadu Djokdja, Jalan IKIP PGRI, Sonosewu, Kasihan, Bantul. alternatif dari Yogyakarta berupa kaos oblong, gantungan kunci, dan gambar tempel. Selain faktor perkembangan industri kaos di berbagai daerah, terdapat dua faktor yang mendorong kelompok ini untuk melakukan wirausaha ini, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Ada lima faktor internal yang mendorong didirikannya perusahaan ini. Pertama, keinginan untuk mempublikasikan berbagai gagasan artefak, peristiwa, bahasa, maupun budaya yang sesuai dengan citra kota Yogyakarta. Kedua, keinginan untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan tersebut melalui tampilan grafis yang menarik dan menggugah. Ketiga, keinginan untuk ikut serta memberikan kontribusi dalam khasanah cinderamata di Yogyakarta. Keempat, mempromosikan Yogyakarta sebagai kota pariwisata melalui ikon-ikonnya. Kelima, ikut memberi kritik dan saran untuk Kota Yogyakarta. Faktor eksternal yang mendorong didirikannya perusahaan ini yakni kemudahan untuk melakukan kegiatan usaha di Malioboro Mall yang diberikan oleh Ir. Wondoamiseno 5 berupa kapling berikut etalase seluas 8 x 5 m 2 . Kemudahan ini menekan biaya negosiasi dan kontruksi sarana fisik ruang jual. Kemudahan yang lain yakni pihak Malioboro Mall memberi ongkos sewa yang relatif kecil yakni besaran sewa dihitung berdasarkan persentase penjualan. Dengan orientasi awal pada penyaluran minat dan idealisme daripada perolehan laba, kelompok mahasiswa ini memulai kegiatan wirausahanya dengan 5 Selain sebagai Dosen di Jurusan Arsitektur UGM, Ir. Wondoamiseno juga menjabat sebagai staff ahli di studio penelitian Wiendu Nuryanti. menciptakan produk kaos dengan ide yang mereka dapat dibanding sisi permintaan pasar. Kecenderungan ini dapat dilihat dari empat faktor. Pertama, tidak ada sasaran pasar yang dirumuskan terlebih dahulu secara jelas dan spesifik. Kedua, tidak ada analisis dan pencermatan terhadap kekuatan pasar yang sudah ada. Ketiga, belum adanya target perolehan laba. Keempat, tidak adanya perencanaan dalam jangka menengah dan jangka panjang dalam bidang produksi, pemasaran, maupun pengelolaan administrasi dan keuangan. 6

B. Proses Pendirian

Pada akhir Desember 1993, 25 mahasiswa yang tergabung dalam penelitian Wiendu Nuryanti mendapat tawaran konsep berdagang kaki lima 7 dari Ir. Wondoamiseno di pusat perbelanjaan Malioboro Mall. Penawaran dari Ir. Wondoamiseno ditanggapi secara beragam oleh para mahasiswa. Lebih dari separuh mahasiswa tersebut menganggap bahwa konsep berdagang kaki lima di Malioboro Mall membutuhkan modal yang besar. Selain itu, mereka juga memprediksi bahwa berdagang di mall kalah bersaing dengan merek terkenal seperti Polo Ralph House dan Nevada. Ir. Wondoamiseno terus memberi semangat kepada para mahasiswa tersebut, sampai akhirnya mereka dapat menerima konsep berdagang kaki lima di Malioboro Mall. 8 6 Arsip PT. Aseli Dagadu Djokdja, hlm. 3. 7 Konsep berdagang kaki lima yang dimaksud Ir. Wondoamiseno ialah kegiatan usaha dagang seperti para pedagang kaki lima yang memanfaatkan fasilitas umum seperti trotoar dan badan jalan sebagai tempat berjualan. Namun yang membedakan konsep berdagang kaki lima Ir. Wondoamiseno ialah tempat berjualannya di Mall Malioboro. Setelah sepakat menerima konsep berdagang kaki lima, para mahasiswa ini berdiskusi mengenai barang apa yang dijual kepada masyarakat. Dalam diskusi itu, Ahmad Noor Arief mengusulkan agar barang yang diproduksi adalah pernak- pernik seperti kaos, gantungan kunci, dan gambar tempel. Usulan ini mendapat tanggapan beragam dari 24 mahasiswa lainnya. Para mahasiswa tersebut merasa pesimis dengan prospek wirausaha ini. Mereka menganggap usaha produksi kaos sudah terlalu banyak di Yogyakarta, sehingga jika membuat produk yang sama, maka dapat kalah bersaing dengan perusahaan kaos yang sudah lebih dulu berdiri. Salah satu pendiri yakni Ahmad Noor Arief meyakinkan, dengan bekal kesamaan minat dan ilmu dalam bidang grafis, membuat usaha ini berbeda dengan perusahaan kaos lain. Perbedaan tersebut terletak pada desain yang dicetak pada kaos yang menggunakan bahasa plesetan. Pada awal 1990-an plesetan dinilai sebagai bahasa subversive yaitu bahasa pecundang, pembangkang, penyabot, revolusioner, pengkhianat, penghasut, dan tidak loyal. 9 Pada awalnya, plesetan ini hanya digunakan dalam pertunjukan dagelan dan ketoprak. Plesetan dalam bahasa Jawa berarti kata terpeleset dari makna aslinya. Misalnya plesetan kata senar senar gitar menjadi semar tokoh pewayangan. Selain itu, ada pula plesetan berdasarkan pada permainan kata-kata dan akronim, seperti sepur asepe soko duwur kereta api, asapnya dari atas, sepeda asepe ora ono asapnya tidak ada, 8 Wawancara dengan A.Noor Arif, 21 Februari 2014, di Kantor PT. Aseli Dagadu Djokdja, Jalan IKIP PGRI, Sonosewu, Kasihan, Bantul. 9 Budi Susanto, S.J. Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial. Yogyakarta : Kanisius, 2000, hlm. 127. becak asepe soko telak asapnya dari tenggorokan, uwong asepe soko bokong orang, asapnya dari pantat. 10 Selain itu, ada juga plesetan untuk menyindir situasi politik dan ekonomi. Seperti dalam pertunjukan ketoprak, pemain menanyakan perbedaan konglomerat dan petani. Pemain lainnya menjawab bahwa konglomerat adalah montore mengkilat motornya mengkilat sedangkan petani gegere yang mengkilat punggungnya yang mengkilat. 11 Sebagai tindak lanjut dari forum diskusi yang pertama, mereka kembali berkumpul pada awal Januari 1994 untuk brainstorming mengenai nama usaha. Mereka memilih nama Dagadu Djokdja sebagai merek dagang perusahaan. Nama Dagadu Djokdja muncul secara tidak sengaja dan spontan, menjelang hari pertama penjualan dan hanya sekedar didorong oleh kepentingan praktis sekaligus labelisasi produk. 12 Kata Dagadu secara tidak sengaja diucapkan Gigih Budi Abadi pada waktu brainstorming. Pada waktu itu, ia mengumpat dengan kata Dagadu, yang berarti matamu. 13 Masyarakat Yogyakarta mengenal jenis plesetan ini dengan membalik empat baris huruf Jawa atau yang biasa disebut bahasa walikan. Permainan sandi dalam bahasa walikan ini dilakukan dengan cara menjadikan baris pertama berpasangan dengan baris ketiga, baris kedua dengan baris keempat 10 Dagadu For Beginners, Yogyakarta: PT. Aseli Dagadu Djokdja, 2001, hlm. 21. 11 Ibid., hlm. 128. 12 Arsip PT. Aseli Dagadu Djokdja, loc. cit. hlm. 7. 13 Dagadu For Beginners, op. cit., hlm. 8.