34
0.235 0.237 0.235 0.239 0.236 0.123 0.315 0.415 0.325 0.343
0.127 0.415 0.415 0.415 0.346 0.122 0.375 0.415 0.345 0.344
0.351 0.355 0.321 0.351 0.341
PV
3,3
= 49 = 56 Gambar 6. Contoh Perhitungan nilai PV piksel yang memiliki nilai EVI
0,4 pada posisi baris ke-3 dan kolom ke-3
3.3.4. Faktor Anomali Curah hujan ACH
Anomali Curah hujan ACH, merupakan rasio antara deviasi selisih curah hujan pada periode bulanan, kuartal, atau tahunan CHp terhadap nilai hujan
rataan selama 10-30 tahun CHr; ACH = 100 CHp - CHrCHr = 100 CHpCHr – 1
3 BMKG 2011 mendefinisikan sifat hujan pada suatu bulan dinyatakan
normal jika nilai CHpCHr berkisar antara 0.85 ~ 1.15 85 ~ 115 atau jika ACH berkisar antara -15 ~ 15. Jika lebih kecil atau lebih besar dari kriteria
normal, maka disebut di bawah atau di atas normal.
Faktor anomali iklim, terutama hujan mempengaruhi ketersediaan air tanah untuk pertumbuhan tanaman. Variabilitas iklim secara langsung mempengaruhi
berbagai aspek dari ketahanan pangan, khususnya dalam hal ketersediaan pangan dan distribusi pangan. Peristiwa bencana alam seperti kekeringan dan
banjir, berkaitan dengan besarnya variasi dan fluktuasi curah hujan BKP dan
WFP, 2005. Data curah hujan untuk suatu wilayah kabupaten dapat diperoleh dari
stasiun klimatologi BMKG yang ada di kabupaten bersangkutan atau sekitarnya maupun dari pencatat curah hujan yang ada di kantor kecamatan. Sebaran
spasial curah hujan dapat diperoleh dengan melakukan interpolasi spasial menggunakan metode spline. Informasi spasial curah hujan secara langsung
dapat diperoleh dengan menggunakan data satelit TRMM Tropical Rainfall
Measurement Mission yang memiliki resolusi spasial 27 Km. Untuk memperoleh
sebaran spasial dengan resolusi yang lebih tinggi, maka data TRMM tersebut
Easy PDF Creator is professional software to create PDF. If you wish to remove this line, buy it now.
35 dilakukan downscaling atau interpolasi menggunakan metode IDW atau spline
yang terdapat pada modul SW Arcview maupun ErMapper.
3.3.5. Faktor Kekeringan dan Banjir
Bencana kekeringan dan banjir yang parahberat dapat menyebabkan areal pertaniansawah yang mengalami gagal panen puso. Informasinya secara
tabular hingga tingkat kecamatan dapat diperoleh dari Dinas Pertanian Tingkat Kabupaten. Tabel 2 menunjukkan bahwa indikator bencana kekeringan maupun
banjir yang dapat menyebabkan puso dengan kriteria persentase luas 15 sudah dikategorikan pada kelas 1 sangat rawan, karena berkaitan langsung
dengan kegagalan panen padi yang dapat menyebabkan pengurangan luas panen dan produksi padi.
Deteksi kekeringan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
Inderaja dan SIG yang menggabungkan 3 jenis kekeringan, yaitu : Kekeringan Meteorologis, Agronomis, dan Hidrologis. Diagram alir penentuan Kekeringan
Lahan Sawah disajikan pada Gambar 8. Kekeringan Meteorologis KM yang dapat digunakan adalah berdasarkan indeks SPI Standardized Precipitation
Index yang diadopsi dari hasil penelitian McKee et al. 1993 dan Indeks
Kekeringan Meteorologis IKM yang diturunkan dari rasio curah hujan dengan evapotranspirasi potensial ETP dengan formula : IKM = CHETP. Menurut FAO
1978 diacu dalam Hardjowigeno 2001, kondisi kekeringan terjadi jika nilai CHETP 0.5.
Formula SPI adalah sebagai berikut : SPI = X
i -
X
m
Std 4
dimana : X
i
: jumlah curah hujan pada periode waktubulanan ke-i X
m
: rata-rata curah hujan pada periode waktu tertentubulanan ke-i selama beberapa tahun
Std : standar deviasi curah hujan pada periode waktu tertentu
bulanan ke-i selama beberapa tahun Hasil pengolahan data SPI menggunakan formula tersebut adalah berupa
indeks yang mempunyai kisaran - sampai + yang menunjukkan tingkat kekeringan dan kebasahan meteorologis di suatu kawasan tertentu pada waktu
tertentu. Klasifikasi tingkat kekeringan berdasarkan nilai SPI oleh McKee et al.
1993 dan BMKG 2011 dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Easy PDF Creator is professional software to create PDF. If you wish to remove this line, buy it now.
36 Tabel 3. Kategori Kekeringan dan Kebasahan berdasarkan Nilai SPI
No. Kelas Kekeringan Kebasahan
SPI
1 Sangat Kering
= -2.0 2
Kering -2.0 SPI = -1.5
3 Agak Kering
-1.5 SPI = -1.0 4
Normal -1.0 SPI = 1.0
5 Agak Basah
1.0 SPI = 1.5 6
Basah 1.5 SPI = 2.0
7 Sangat basah
2.0 Metode Kekeringan Agronomis KA yang digunakan adalah berdasarkan Indeks
Panas Vegetasi IPV yang merupakan rasio antara Indeks Vegetasi dengan suhu permukaan Ts dalam satuan derajat celcius. IPV dapat diperoleh dengan
menggunakan data MODIS dengan formula sederhana pada persamaan 5 Dirgahayu, 2006 ; Mieyer, 2009 :
IPV = IVTs 5
Dimana : IV = 128 + 125 EVI ; Data suhu permukaan Ts diperoleh dari data digital DN MODIS level 2
MOD11 dengan konversi suhu menjadi derajat celcius pada persamaan 6.
Ts = 0.02 DN - 273 6
Metode Kekeringan Hidrologis KH yang digunakan adalah berdasarkan Kelengasan Lahan Kadar Air Tanah pada lahan sawah dengan menggunakan
kombinasi reflektansi data MODIS Dirgahayu dan Sofan, 2007. Sebaran spasial Kelengasan Lahan KL sawah dibuat dengan menggunakan persamaan 7 :
KL = - 16.8 - 0.934 R2 + 15.9 IPV 7
Dimana : R2 : Reflektansi kanal 2 NIR MODIS dalam IPV : Indeks Panas Vegetasi berdasarkan persamaan no 5.
Lahan sawah berpotensi mengalami kekeringan jika kadar air tanahnya 20 Wahyunto et al., 2003.
Informasi spasial evapotranspirasi potensial ETP diduga dengan menggunakan data EVI dan suhu permukaan Ts melalui persamaan regresi.
Data ETP diperoleh dari stasiun Klimatologi yang terdekat dengan lokasi penelitian yang memiliki alat pengukur evapotranspirasi, yaitu di Balai Penelitian
Easy PDF Creator is professional software to create PDF. If you wish to remove this line, buy it now.
37 Tanaman Padi Sukamandi, Subang. Hasil ekstraksi data EVI dan Ts dan ETP
periode 8 harian di stasiun tersebut dapat dilihat pada Tabel Lampiran 10. ETP diduga melalui pendekatan defisit tekanan uap De. Hasil analisis regresi antara
ETP dengan De dinyatakan dalam persamaan 8 : ETP = 10.398 De
0.639
8 n = 81 ; R
2
= 0.82 ; Se = 1.1; t
hit
De = 19.36 sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 99 Dimana :
De = es1 – RH 9
es : tekanan uap jenuh, dapat dihitung dengan formula Handoko, 1994 : es = 6.108 exp17.27 TuTu + 237.3
10 RH : kelembaban udara = eaes
ea : tekanan uap aktual Tu : Suhu udara ; Ts = Suhu Permukaan ; dT = Ts - Tu
Tu = Ts - dT 11
Delta suhu dT diduga menggunakan EVI dan Ts dengan persamaan regresi. dT = - 22.79 + 1.6032 Evi + 0.8296 Ts
12 n = 72 ; R
2
= 0.91 ; Se = 0.64 t
hit
EVI = 2.36 signifikan pada tingkat kepercayaan 95 t
hit
Ts = 24.03 sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 99 RH = 11.21 + 0.0202 dT + 0.00191 dT
2
13 n = 61 ; R
2
= 0.79 ; Se = 0.039 t
hit
dT = 3.15 signifikan pada tingkat kepercayaan 95 Deteksi kekeringan lahan sawah dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode coba-galat dari hasil penelitian RUKK LAPAN
Pusbangja, 2005, karena belum tersedianya peta sebaran kekeringan aktual digital pada saat terjadi kekeringan di Indramayu yang dapat digunakan untuk
perhitungan bobot setiap faktor menggunakan metode CMA.
Sebaran spasial kekeringan lahan sawah yang diaplikasikan dalam penelitian ini dibangun berdasarkan integrasi dari Kekeringan KM, KV, dan KH
berupa zona rawan kekeringan. Untuk menghasilkan zona rawan kekeringan, ketiga informasi spasial KM, KV, dan KL tersebut digabung melalui aplikasi
Easy PDF Creator is professional software to create PDF. If you wish to remove this line, buy it now.
38 Sistem Informasi Geografis SIG dengan metode overlay terbobot Multi
Kriteria. Adapun langkah-langkah untuk membuat informasi spasial kekeringan
lahan sawah adalah sebagai berikut : Pertama, dilakukan penentuan nilai skor dengan skala 0 – 100 terhadap ketiga
jenis kekeringan. Perhitungan nilai Skor adalah untuk standarisasi peubah- peubah yang berbeda satuan dan karakteristiknya menjadi setara, sehingga
dapat digunakan bersama untuk membuat informasi tematik.
Skor = Skor
min
+ Val – Min Skor
max
– Skor
min
14 Max – Min
Dimana : Val
: nilai awal peubah asal sebelum dibuat skor; Min, Max : nilai minimum dan maksimum yang ada pada peubah asal
Skor
min
: minimum nilai skor misal diberi nilai 5 Skor
max
: maksimum nilai skor misalnya diberi nilai 100 Nilai skor dari KM, KV, dan KH berturut-turut dapat dilihat dalam Tabel 4, Tabel
5, dan Tabel 6. Tabel 4. Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Meteorologis KM
IKM Nilai Tengah
Kelas Skor_KM
0 – 0.125 1
100 0.125 – 0.375
0.25 2
85 0.375 – 0.625
0.5 3
65 0.625 – 0.875
0.75 4
45 0.875 – 1.0
1 5
25 1.0
6 5
Tabel 5. Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Hidrologis KH
Kadar Air Tanah Kelas
Skor_KH 0 – 5
1 100
5 – 15 2
85 15 – 25
3 70
25 – 35 4
55 35 – 50
5 30
50 – 70 6
15 70
7 5
Easy PDF Creator is professional software to create PDF. If you wish to remove this line, buy it now.
39 Tabel 6. Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Vegetasi KV
KV Kelas
Skor_KV 0 – 3
1 100
3 - 4 2
75 4 - 5
3 60
5 - 6 4
45 6 - 7
5 30
7 - 8 6
15 8
7 5
Untuk membuat Indeks Rawan Kekeringan IRK dihitung dengan persamaan 15 :
IRK = 0.25 KM
skor
+ 0.45 KV
skor
+ 0.30 KH
skor
15 Pembobotan menggunakan metode coba galat dengan asumsi bahwa
kekeringan agronomis atau vegetasi lebih besar pengaruhnya terhadap kondisi kekeringan, karena langsung dialami oleh tanaman padi. Urutan selanjutnya
adalah bobot lengas tanah kadar air tanah karena terkait dengan ketersediaan air yang masih dapat diserap langsung oleh akar tanaman.
Selanjutnya, berdasarkan nilai IRK klasifikasi tingkat rawan kekeringan dikelompokkan menjadi lima kelas, yaitu kelas non-kering, tingkat kering ringan,
tingkat kering sedang, tingkat kering berat dan sangat berat Tabel 7. Tabel 7. Klasifikasi tingkat kekeringan lahan sawah berdasarkan IRK
IRK Kelas
Klasifikasi 1 – 42
NK Non-Kering
42 – 57 TKR
Tingkat Kering Ringan 57 – 70
TKS Tingkat Kering Sedang
70 – 77 TKB
Tingkat Kering Berat 77 – 100
TKSB Sangat Berat
Sumber : Pusbangja LAPAN 2005
Easy PDF Creator is professional software to create PDF. If you wish to remove this line, buy it now.
40
Gambar 7. Diagram Alir Penentuan Kekeringan Lahan Sawah Sebaran spasial curah hujan baik dengan menggunakan masukan data
yang bersumber dari stasiun klimatologi BMKG yang ada maupun dari data satelit seperti TRMM diperoleh setelah melakukan downscaling interpolasi
spasial menggunakan metode spline minimum curvature. Khusus untuk data
satelit perlu dilakukan kalibrasi dengan data curah hujan yang valid di lapangan stasiun klimatologi BMKG agar informasinya mendekati dengan kondisi yang
MODIS
Reflektan,EVI,Ts
Masking Awan, Interpolasi Ts
EVI, Ts, Reflektan Terkoreksi
MODEL SPASIAL KEKERINGAN LAHAN
SAWAH Kekeringan Agronomis
Algoritma: IPV= IVTs
Kekeringan Meteorologis Algoritma:
SPI, KM = CHETP
Analisis Tingkat Kekeringan
Kalibrasi, Interpolasi
SPOT, LANDSAT
Klasifikasi Land Cover
Data Kekeringan Dinas Pertanian
Survey Lapangan.
VALIDASI MODEL Curah Hujan
ETP Kelengasan
KL Kekeringan
Hidrologis Analisis Spasial
Overlay Indeks Terbobot
Lahan Baku Sawah
Hujan BMKG TRMM
Easy PDF Creator is professional software to create PDF. If you wish to remove this line, buy it now.
41 sebenarnya di lapangan. Kalibrasi untuk data TRMM 8 harian menjadi curah
hujan CH dengan formula sebagai berikut Zubaidah dan Dirgahayu, 2011.
CH = 0.584 TRMM + 2.56 16
Sebaran spasial banjir lahan sawah yang diaplikasikan dalam penelitian ini dibangun berdasarkan integrasi dari faktor-faktor biofisik penyebab banjir,
antara lain faktor vegetasi, curah hujan bulanan, drainase tanah, elevasi, lereng, sistem lahan, dan jarak dari sungai dan saluran irigasi. Bobot setiap faktor dan
skor pada kelas setiap faktor dihitung dengan menggunakan metode CMA. Penggunaan metode CMA untuk menghitung bobot bersifat empiris dan obyektif
dibandingkan dengan metode trial-and-error coba-galat. Pengaruh relatif suatu
faktor peubah tehadap kerentanan dihitung berdasarkan kisaran nilai kelas setiap peubah pada setiap kondisi kekeringan atau banjir aktual di lapangan
yang menyebabkan kegagalan panen padi puso.
Metode CMA menggunakan tabulasi hasil analisis spasial antara informasi aktual genangan banjir dengan faktor-faktor biofisik lahan. Informasi
spasial genangan banjir tahun 2006 diperoleh dari Dinas Pengairan Kabupaten Indramayu. Metode ini lebih dinamis, karena menggunakan peubah seperti
indeks vegetasi dan curah hujan yang kondisinya bisa berfluktuasi setiap bulan dibandingakan dengan metode potensi bahaya banjir yang dibuat oleh
Kimpraswil 2001 maupun Abidin et al. 2006 yang hanya menggunakan
peubah tetap penggunaan lahan dan curah hujan tahunan.
3.3.6. Faktor Degradasi Lahan