2 Pemahaman Leksikon Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan

Mandailing kedua mempelai tidak menaiki nacar tangga tetapi mereka didudukkan dan ditepungtawari saja. Nacar adalah anak-anak tangga yang oleh masyarakat adat di Padang Bolak dan Sibuhuan sebagai persyaratan pada upacara patuaekkon. Nacar merupakan anak-anak tangga yang bersusun seperti tangga yang memiliki jumlah berbeda, bila masyakat biasa akan memiliki jumlah anak tangga di bawah 7 anak tangga, bila yang memiliki horja merupakan merupakan keluarga raja-raja, anak-anak tangganya memiliki jumlah 9 anak tangga atau lebih untuk sampai ke atas tempat kedua mempelai didudukkan dan diberi gelar adat sehingga melepas masa lajang dan masa gadisnya, sehingga kedua mempelai dikelompokkan kepada orang tua.

4. 2 Pemahaman Leksikon Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan

Pemahanan leksikon bahasa tradisi lisan setelah diujikan kepada remaja di Padangsidimpuan. Leksikon yang diujikan kepada remaja sebanyak 264 kata yang terbagi atas 15 kelompok yaitu: 1 leksikon tumbuh-tumbuhan; 2 leksikon alam; 3 leksikon pronomina; 4 leksikon pronomina kekerabatan; 5 leksikon pronomina raja adat; 6 lesikon bahasa adat; 7 leksikon ukuran waktu; 8 leksikon ukuran tempat dan arah; 9 leksikon penghitungan angka; 10 leksikon ukuran sifat; 11 leksikon ukuran bentuk; 12 leksikon ukuran tokoh status kekeluargaan; 13 leksikon hewan; 14 leksikon warna; 15 leksikon tumbuhan pada frase dan klausa. Leksikon-leksikon tersebut diujikan berdasarkan tingkat pemahamannya kepada 240 remaja di enam kecamatan di Kota Padangsidimpuan, yaitu: 1 Kecamatan Padangsidimpuan Utara; 2 Kecamatan Padangsidimpuan Selatan; 3 Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua; 4 Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Universitas Sumatera Utara Julu; 5 Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara; dan 6 Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru. Jadi remaja dipilih sebanyak 40 orang setiap kecamatan. Berdasarkan pendapat Sugiyono 2008: 121-122 yaitu dengan menggunakan Cluster Sampling Area Sampling, teknik sampling daerah digunakan untuk menentukan sampel obyek yang akan diteliti atau sumber data yang sangat luas, misalnya penduduk dari suatu Negara, propinsi, atau kabupaten. Untuk menentukan penduduk mana yang akan dijadikan sumber data, maka pengambilan sampelnya berdasarkan daerah populasi yang telah ditetapkan. 4.2.1 Gambaran Penyusutan Pemahaman Leksikon Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan Komunitas remaja merupakan generasi penerus estafet budaya tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Tapanuli Selatan, yang juga subjek penelitian ini. Remaja sebagai penutur asli bahasa Mandailing, tidak akan menggunakan leksikon yang tidak ada dalam konsepsi mereka ketika berkomunikasi. leksikon tersebut terekam dalam alam pikiran penutur, tetapi bukan sebagai indeks kata sebagaimana yang tersusun secara sistematis seperti kamus. Konsep leksikon penutur ini akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan alam, oleh karena tergusur oleh pembangunan, sehingga lingkungan alam semakin berkurang. Akibatnya perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan lingkungan tersebut, leksikon yang menyebutkan nama tumbuh-tumbuhan, hewan, dan nama-nama yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, atau yang dipakai pada upacara perkawinan Universitas Sumatera Utara Pelaksanaan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan pada umumnya berbentuk tradisi lisan, sehingga tradisi lisan tersebut banyak menggunakan leksikon yang berasal dari lingkungan, bentuk leksikon gagasan konseptual tentang lingkungan alam, sebagai cerminan sosial masyarakat Tapanuli Selatan dekat dengan lingkungan alamnya. Sehingga gagasan konseptual ini direpresentasikan melalui leksikon bahasa tradisi lisan yang saling dipahami ketika mereka berinteraksi dalam tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. Seiring dengan konsep leksikon penutur yang mengalami perubahan, begitu pula dengan berubah fungsinya lingkungan alam menjadi pemukiman penduduk dan berbagai pusat kegiatan kehidupan seperti sosioekonomi dan sosiobudaya bagi komunitas yang mendiami wilayah kota Padangsidimpuan, yang merupakan ekses dari akumulasi pertambahan penduduk dan percampuran etnis, sehingga berdampak pada aspek kebahasaan, munculnya fenomena disfungsi sosial dan budaya dalam penggunaan bahasa tidak dapat dihindarkan. Ekses negatif tersebut berupa penyusutan sejumlah leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan yang diuraikan berikut ini.

4.2.1.1 Penyusutan Leksikon Tumbuh-tumbuhan

Tumbuhan-tumbuhan merupakan bagian lingkungan yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di Padangsidimpuan, begitu pula pada upacara perkawinan adat, sehingga nama tumbuh-tumbuhan tetap dipergunakan dan menjadi bagian pada upacara adat yang berfungsi sebagai sarana adat yang tidak bisa tidak, yang selalu disertakan dalam upacara adat perkawinan. Universitas Sumatera Utara Kehidupannya sangat bergantung pada kondisi ekologi secara alamiah. nama Kota Padangsidimpuan berasal dari kata nama lingkungan alam yaitu padang na dimpu, padang Mandailing artinya daerah yang luas dan dimpu berarti berbukit, jadi Padangsidimpuan berarti daerah yang luas yang berbukit-bukit. Beberapa nama tumbuhan atau bagian dari tumbuhan yang disajikan pada tabel 3 lampiran di atas adalah tumbuhan semak, tumbuhan menjalar, dan tumbuhan yang berada di hutan. Beberapa tumbuhan yang disebutkan merupakan bagian tumbuh-tumbuhan seperti: buah, daun, akar, getah, batang, bibit, dan sebagainya yang berada di sekitar lingkungan masyarakat. Untuk mengetahui pemahaman komunitas remaja dengan tumbuhan bagian tumbuhan di lingkungan sekitarnya dapat dilihat dari pemahaman konsepsi leksikon mereka tentang tumbuhan bagian tumbuhan tersebut. Sebagai contoh adalah leksikon daun-daunan seperti: burangir, bulung, bulungna dan gambir, begitu pula leksikon istilah jagar-jagar yang merupakan kumpulan beberapa jenis dedaunan yang dipakai pada upacara adat perkawinan. Leksikon bagian batang yaitu pada leksikon batangna, serta bagian bawah ’akar’ yaitu torjangna atau akarnya akar pohon beringin. Bagian buah yang disebut seperti: karambir, tobu, dan pining. Dan bibit pada leksikon lopok jenis tumbuhan juga disebutkan seperti leksikon torop, ayu ara, dan dapdap. Tumbuhan jenis ini merupakan jenis tumbuh-tumbuhan yang besar dan berada di dalam hutan. Jenis-jenis tumbuhan bagi komunitas remaja belum begitu akrab pada konsepsi yang terdeskripsi pada pikirannya, sehingga belum terjadinya interaksi dengan tumbuhan-tumbuhan, hal ini akibatnya sedikit responden yang mengetahui makna konsepsi leksikon jagar-jagar, dibuktikan dengan sedikitnya responden Universitas Sumatera Utara yang mengetahui makna kata jagar-jagar. Hanya 114 orang 47,50 responden saja yang mengetahui makna tumbuhan jagar-jagar. untuk lebih jelas lihat tabel 3 pada lampiran Bagian batang tumbuhan seperti leksikon andor, batang, kedua bagian tumbuhan ini terjadi perbedaaan yang signifikan karena bagi komunitas remaja berbeda pandangan konsepsi leksikon andor lebih dekat bagi mereka dan menjawab memahami makna leksikon sebanyak 116 orang 48,33, tetapi leksikon batangna jumlah pemaham responden remaja sebanyak 95 orang 39,58 kedua jenis batang tumbuhan tersebut berbeda jauh jumlah pemaham dari kedua leksikon tersebut. Bagi komunitas remaja, banyak bagian tumbuh-tumbuhan yang tidak mereka pahami dalam bahasa daerah Tapanuli Selatan Mandailing yang dipakai pada tradisi lisan upacara perkawinana adat, hal ini karena konsepsi makna yang jarang mereka dengar atau kurang dekat dengan lingkungan alam, hal ini terbukti dengan leksikon laklak yang berarti kulit kayu atau pelepah, responden yang memahami hanya 61 orang 25,41, leksikon bagian akar tumbuhan yaitu leksikon torjangna hanya 39 orang 16,25, tetapi telah terjadi penyusutan yang cukup tajam dan sangat memprihatinkan dan lebih parah lagi pada leksikon yang banirna yang bermakna teras batang kayu, penyusutan pemahaman jumlah responden yang menjawab memahami maknanya hanya 17 orang saja 7,08 saja dan ini menunjukkan remaja kurang dekat dengan lingkungan alam, khususnya hutan. Bagian buah tumbuh-tumbuhan, leksikon buah yang dijaring pada tradisi lisan pada upacara perkawinan seperti: karambir, tobu, dan pining hasilnya ternyata leksikon buah cukup dekat dengan konsepsi makna pemahaman para remaja karena Universitas Sumatera Utara nilai persentase pemahaman yang diperoleh responden terhadap makna leksikon karambir sebanyak 171 orang 71,25, begitu pula dengan leksikon tobu dengan jumlah pemaham konsepsi sebanyak 182 orang 75,83, dan begitu pula dengan leksikon pining jumlah pemaham sebanyak 181orang 75,41. Tetapi berbeda dengan bagian bibit tumbuhan yaitu leksikon lopok yang bermakna bibit jumlah pemaham hanya 65 orang 27,08 artinya leksikon torop sangat jauh dari konsepsi remaja sehingga hanya 65 orang yang memahaminya. Pada leksikon jenis tumbuhan yang umumnya berada di hutan-hutan lebat juga disebutkan, seperti leksikon torop jumlah pemaham hanya 95 orang atau 39,58, begitu pula dengan leksikon ayu ara ’pohon beringin’ remaja pemaham hanya berjumlah 78 orang 32,50, begitu pula dengan leksikon dapdap 75 orang dengan persentase pemaham 31,25. Dari konsepsi leksikon jenis tumbuhan ini merupakan jenis tumbuh-tumbuhan yang besar dan berada di dalam hutan yang lebat. Jawaban responden remaja, mencerminkan bahwa bahwa jenis tanaman hutan tersebut secara konsepsi yang terbangun pada pemikiran remaja terjadi penyusutan, sehingga kurang akrab dengan lingkungan hutan. Artinya apakah hutan semakin menyempit atau berkurang atau remaja kurang akrab dengan lingkungan hutan, atau hutan tidak dijadikan sebagai sumber belajar atau belajar dari lingkungan alam. Leksikon soda bermakna kapur sirih yang biasa dimakan dengan sirih, setelah dilakukan pengujian leksikon soda kepada remaja diperoleh hasil sebanyak 36 orang atau 15,00, begitu pula dengan leksikon napuran setelah diujikan kepada remaja, terhadap konsepsi pemahaman remaja, hanya diperoleh 24 orang saja 10,00 yang memahaminya. Demikian juga dengan leksikon maranggas yang Universitas Sumatera Utara memahaminya sebanyak 111 orang 46,25 dan leksikon sisuanon atau yang ditanam yang memahami konsepsi makna sebanyak 60 orang saja 25,00 sebaliknya leksikon tanam-tanaman dalam bahasa Tapanuli Selatan Mandailing suan-suanan setelah diujikan yang memahaminya lebih banyak yaitu sebanyak 138 orang 57,50. Demikian pula secara keseluruhan leksikon tumbuh-tumbuhan dapat disimpulkan sebanyak 2342 orang saja yang memilih dan memahami leksikon tersebut. Dari 23 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal hanya 42,42. Data ini jelas membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman leksikon lingkungan, tumbuh-tumbuhan akibat perubahan ekologi terutama terhadap pemahaman makna leksikon tumbuh- tumbuhan yang berada di lingkungan sekitar mereka.

4.2.1.2 Penyusutan Leksikon Alam

Topografi daerah Padangsidimpuan yang berada ±400 Meter dari permukaan laut, artinya daerah Padangsidimpuan termasuk daerah pegunungan. Maka secara tradisional komunitas masyarakat pada umumnya hidup dari pertanian, perkebunan, memelihara ternak, berdagang untuk keperluan sehari-hari, mencari ikan, buruh harian, pegawai negeri dan swasta, TNI POLRI, dan jasa. Masyarakat Padangsidimpuan yang dahulunya menggantungkan hidupnya dari habitat hutan dan pertanian, sehingga dalam kehidupana selalu menyertakan leksikon lingkugan dalam upacara adat. Kehidupan masyarakat Tapanuli bagian Selatan hidup dekat dengan alam, karena sebagian besar kehidupan masyarakat bermata pencaharian dengan Universitas Sumatera Utara mengandalkan lingkungan, baik itu bertani, berladang, berkebun, dan sebagian kecil menggantungkan kehidupannya dari air sungai seperti memecah batu, mengumpulkan pasir, door smeer, memancing, atau berkolam ikan air tawar. Oleh karena itu masyarakat selalu dekat dengan alam sekitarnya. Dari hasil pengumpulan leksikon yang dipakai oleh pelaku adat pada upacara perkainan dengan menggunakan adat diperoleh 29 leksikon. Kemudian setelah dianalisis maka, leksikon tersebut dapat dibagi atas tiga bagian yaitu: air dan sekitarnya leksikon tersebut ada sepuluh leksikon adalah: aek, doras diaek na pajat, di batang aek, di lubuk, di topi raya bangunan, sian topi raya bangunan, na pajat, sitio-tio, titian batu. Leksikon yang ada di daratan berupa alam pengunungan ada 17 tujuh belas leksikon seperti leksikon di lombang, di huta moppang, di galanggang huta, i laut siborang, luat, luat ni huta lombang, parsidangan, parhutaon, pattar bolak, pamispisan, dipaga-paga, tano, tor, rura, pintu langit, napa-napa lubuk raya, serta leksikon udara hanya 2 dua leksikon udara yaitu: langit dan mataniari. Konsepsi pemahaman remaja terhadap leksikon lingkungan alam, kemudian diujikan pemahaman makna leksikon kepada remaja, setelah itu dianalisis dan dilakukan perhitungan, maka didapat hasilnya untuk leksikon air dan sekitarnya, hasil kesepuluh leksikon air yang diujikan untuk lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman pada tabel 3 lampiran. Kosakata yang diperoleh setelah dianalisis dari tradisi lisan pada upacara perkawinan adat sebanyak 29 kata, kemudian leksikon tersebut diujikan kepada 240 orang. Hasil pengujian, maka responden menjawab memahami konsepsi makna Universitas Sumatera Utara leksikal sebanyak 4698 jawaban yang seharusnya 6960 jawaban, dari jawaban tersebut rata-rata penguasaan remaja hanya 52,90. Dapat dijelaskan dan membuktikan, bahwa dari data tersebut bagaimana penyusutan pemahaman remaja yang seharus dapat memaknai leksikon lingkungan alam tetapi akibat perubahan ekologi, terjadi penyusutan pemahaman leksikon lingkungan.

4.2.1.2 Penyusutan Leksikon Pronomina

Pronomina merupakan kata yang berfungsi menunjukkan atau menggantikan orang secara individu, jamak, benda yang menunjukkan atau mengidentifikasikan yang menggambarkan kata ganti. Secara esensial pronomina juga mencerminkan cara bahasa dikodekan atau digramatikalkan berdasarkan konteks tuturan atau peristiwa berbahasa, dengan cara menafsirkan tuturan berdasarkan analisis konteks tuturan atau kapasitas mengacu suatu tuturan di dalam konteks. Pronomina dipergunakan untuk mengacu kepada diri mereka sendiri, kepada orang lain, dan kepada benda di dalam lingkungannya. Hal itu dipergunakan untuk menempatkan kegiatan-kegiatan di dalam kerangka waktu yang relatif ditampilkan. Istilah pronomina memperlihatkan hubungan sosial, lokasi sosial, individu di dalam hubungannya dengan orang lain dalam konteks sosial, dalam upacara perkawinan adat juga menggunakan leksikon pronomina hal itu seperti: anak boru, anak boru nami, anak ni raja, anak ni mora, anak ni raja anak ni mora, boru na didoli, dianak ni sibayo angin, doli-doli, dua halak, job ni roha, na jeges, na denggan, na mora bule, marjob ni roha, sada ibana, alak, habujingon, haposoon, diamu, si suan pandan, si suan bulu, ibana, bayo pangoli. Universitas Sumatera Utara Fungsi pronomina menunjukkan referennya berpindah-pindah atau berganti- ganti tergantung kepada siapa yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat, situasi, dan tempat dituturkan, pembicara dengan lawan bicaranya. Hasil pengujian pemahaman konsepsi leksikal kepada remaja pada leksikon pronomina lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman pada tabel 3 lampiran. Rata-rata jawaban responden 55,14 atau hanya 3044 jawaban dari 5520 jawaban yang seharusnya. Hal terbukti bahwa konsepsi pemahaman remaja terhadap pronomina yang dipergunakan pada upacara adat kurang dipahami remaja, karena mereka hanya mendengar pronomina diucapkan pada upacara perkawinan adat. Jadi, penyusutan pemahaman konsepsi remaja terhadap leksikon pronomina sebesar 44,86.

4.2.1.4 Penyusutan Leksikon Pronomina Kekerabatan

Leksem pada setiap bahasa mengacu kepada posisi pembicara di dalam konteks, tempat, dan situasi komunikasi berlangsung karena, ungkapan yang mengacu sepenuhnya pada tuturan agar dapat dipahami situasi tempat, ruang, dan waktu konteks komunikasi tersebut. Setiap komunikasi ada pembicara yang mengacu kepada diri sendiri, sebagai pembicara kepada orang lain atau sebagai lawan bicara. Hal yang mengacu tentang diri, lawan bicara, dan menggantikan benda disebut dengan deiksis yang memperlihatkan hubungan sosial-lokasi sosial- individu di dalam hubungannya dengan yang lain. Kata atau kelompok kata yang menunjukkan atau mengacu kepada kata atau kelompok kata yang di belakangnya, atau yang sebelumnya yang terdapat di dalam tuturan berdasarkan ciri-ciri konteksnya dan hanya dapat dipahami di dalam Universitas Sumatera Utara kaitannya dengan konteksnya misalnya berupa karakteristik personal, temporal, dan lokasional. Deiksis orang merupakan penyandian peran partisipan di dalam peristiwa berbahasa, deiksis orang berkaitan dengan peran peserta yang terlibat di dalam peristiwa berbahasa. Di dalam kegiatan berbahasa, peran itu dibagi tiga macam, yaitu 1 orang pertama 2 orang kedua dan 3 orang ketiga. Orang pertama ialah kategori rujukan pembicara kepada seorang lebih pendengar. Orang ketiga ialah kategori rujukan kepada orang atau benda yang bukan pembicara dan bukan pendengar. Deiksis orang biasanya dalam tradisi lisan pada upacara perkawinan adat berupa kata ganti orang: Ama, amang, Ina, Ito, suhut, sada panggadongan, sapanggadongan, Sakahanggi, siboru tulang, suhut bolon, suhut matua tanggung, pisang raut, kahanggi pareban, orang tua, itokku napogos, anggi, anggi na maranggi, markahanggi, maranak boru, hombar suhut, dipatobang goarmu, dipatobang adat. Disamping itu, bentuk nama diri sendiri, misalnya pembicara menyebutkan posisi diri dalam konteks komunikasi. Dengan ungkapan lain, di dalam setiap peristiwa berbahasa pemakai bahasa dituntut dapat mempergunakan deiksis orang sesuai dengan kaidah sosial socia-cultural dan santun berbahasa dengan tepat. Bentuk khusus bahasa ada yang menyebutnya dengan ’pronomina’, untuk mengungkapkan berbagai persona dalam konteks komunikasi lisan dan tulisan. Dalam bahasa Tapanuli Selatan kategori ”persona” tidak hanya dikaitkan dengan bentuk khusus. Penutur di Tapanuli Selatan juga memiliki sederet kata yang dipinjam dari berbagai kosakata, seperti kekerabatan atau status sosial. Di dalam Universitas Sumatera Utara sistem kekerabatan dalihan na tolu setiap persona, akan memposisikan diri sesuai dengan posisnya pada dalihan na tolu tersebut. Jadi seseorang dapat berubah posisinya sesuai dengan konsep tuturnya dengan lawan bicaranya. Sehingga setiap orang di Tapanuli Selatan Batak yang berbeda tuturan kekerabatan bila dilihat dengan marga yang yang berpaham patrilinial patriat. Bahasa Mandailing Tapanuli menentukan bentuk yang digunakan untuk menunjukkan diri sendiri atau orang lain beragam, karena diujarkan di dalam situasi berbeda. Bergantung lawan bicara dan konteks situasinya, acuan persona setiap kali menyesuaikan bentuknya dengan situasi. Kata itu dipilih dengan pertimbangan usia lawan bicara, jenis kelamin mereka, fungsi mereka, hubungan yang terjalin di antara mereka, perasaan yang mengikat mereka, ataupun jarak yang ditetapkan oleh pembicara di antara dirinya, lawan bicara, dan objek komunikasi. Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, setelah dikumpulkan dan diujicobakan pemahaman konsepsi maknanya kepada komunitas remaja sebagai responden, sebanyak 22 jenis pronomina kekerabatan. Setelah dianalisis maka, untuk lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman pada tabel 3 lampiran. Secara umum dari jawaban responden remaja dapat digeneralisasikan pemahaman remaja dengan pronomina kekerabatan hanya 44,79 dari 100 yang seharusnya, atau hanya 2365 jawaban remaja yang memahami konsepsi pronomina kekerabatan yang seharusnya 5280 jawaban. Penyusutan pemahaman remaja dengan konsepsi pronominal kekerabatan 55,21, ini berarti konsepsi pemahaman remaja dengan leksikal kekerabatan kurang akrab di telinga, karena remaja tidak Universitas Sumatera Utara begitu tertarik dengan upacara adat, terutama upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. Data di atas menunjukkan intensitas interaksi remaja sebagai pemegang tongkat estafet tradisi semakin menyusut, karena dalam interaksi pada upacara perkawinan adat itu akan terjadi saling pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena dapat menimbulkan saling mempengaruhi, ini juga dapat memicu kecintaan terhadap budaya etnik kedaerahan yang mulai ditinggalkan komunitasnya, akibat benturan-benturan budaya asing yang dianggap lebih praktis sementara nilai-nilai tradisi lokal mulai diabaikan. Lemahnya pemertahanan nilai-nilai tradisi budaya etnis merupakan ekses negatif yang menyebabkan terkikisnya budaya asli daerah di Padangsidimpuan. Dampak yang nyata adalah terjadinya penyusutan pemahaman pronomina kekerabatan pada upacara perkawinan adat, khususnya tradisi lisan yang menggunakan pronomina. Melemahnya sistem pewarisan tradisi budaya dan adat istiadat pada komunitas remaja, akibat generasi tua pemaham adat tidak menyiapkan penerus atau memasukkan adat budaya daerah Tapanuli khususnya Tapanuli Selatan pada kurikulum sekolah melalui pemerintah. Dampak lain yang nyata adalah pada sistem sapaan kekerabatan ketika berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Bagi suku Batak khususnya Tapanuli Selatan ketidakpahaman sapaan, bisa saja berdampak pada ketidakpahaman secara sosial dan etnik tuturan, menimbulkan ekses seseorang tidak menghargai orang lain karena menganggap tidak ada keterikatan garis marga di antara mereka. Tidak saling mengenal antarsaudara Universitas Sumatera Utara segaris turunan dari garis marga, padahal hal tersebut cukup kental bagi suku Batak, khususnya Tapanuli Selatan. Karena dalam berbagai peristiwa sosial kemasyarakatan hal itu akan menentukan kekerabatan dari garis marga.

4.2.1. 5 Penyusutan Lesikon Pronomina Raja Adat

Kata ganti atau pronomina adalah ungkapan yang mengacu sepenuhnya kepada keadaan tuturan dan hanya dapat dimengerti di dalam konteks siapa dan dengan siapa berkomunikasi. Hal itu bisa dipergunakan karena mengacu kepada diri mereka sendiri, kepada orang lain, dan kepada benda di dalam lingkungannya. Istilah tersebut dikenal dengan deiksis, hal itu karena memperlihatkan hubungan sosial di dalam hubungan orang yang lain. Tuturan berdasarkan ciri-ciri konteksnya, hanya dapat dipahami di dalam kaitannya dengan konteks dan mereka yang berkomunikasi pelaku adat istiadat, misalnya berupa karakteristik personal, temporal, dan lokasional dan kedudukannya dalam adat. Hal itu terjadi pada peristiwa sosial seperti upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan yang terjadi pada komunitas pelaku adat, Leksikon pronomina atau sapaan yang digunakan oleh pelaku adat kepada raja adat, sebagai tanda penghargaan kepada raja honorofik, sebutan yang digunakan tersebut berbeda-beda tetapi makna leksikal dan tujuannya tetap kepada raja pada upacara adat tersebut. Analisis terhadap data tradisi lisan pada upacara adat perkawinan Tapanuli Selatan diperoleh leksikon sebanyak 20 leksikon, dan leksikon tersebut yaitu: amang raja, amang raja nami, amang raja nami, raja bolon, raja bolon, amatta raja, amatta raja sian bagas godang, tu rajai, ongku raja pinaing, Rajai, raja Universitas Sumatera Utara bolon, raja di luaton raja pangundian, oppu ni kotuk, pangualan bisuk orang kaya, orang kaya, orang kaya, parhutaon, namora, na pande, alim ulama, alim ulama Pengujian kepada remaja sebagai responden, untuk mengetahui pemahaman konsepsi leksikal mereka mengenai pronomina raja dan pronomina adat pada upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan. Hasil yang diperoleh untuk lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman. pada tabel 3 lampiran Setelah dijumlahkan rata-rata pemahaman remaja terhadap konsepsi leksikal pronomina raja adat pada upacara perkawinan setelah dirata-ratakan hasil jawabannya hanya sebesar 39,29 atau hanya 2075 jawaban dari yang seharusnya 4800 jawaban. Hasil perolehan nilai ini sangat mengkhawatirkan. Hal Ini disebabkan oleh putusnya mata rantai generasi yang memahami tradisi lisan pada upacara perkawinan adat, khususnya pada pemahaman leksikal pronomina raja dan pronomina adat. karena antara golongan tua dengan golongan muda tidak adanya proses transmisi budaya secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kurangnya proses transmisi ini dapat dibuktikan pada hasil pemahaman terhadap 240 responden remaja hanya sebesar 39,29 saja, jadi pronomina raja dan pronomina adat kurang dipahami komunitas remaja.

4.2.1.6 Penyusutan Leksikon Bahasa Adat

Bahasa sebagai bagian yang esensial dari dari masyarakat dan sangat mempengaruhi filosofi yang hidup masyarakat pemakainya, karena mengandung nilai-nilai adat dan nilai budaya dan persepsi terhadap kenyataan hidup sehari-hari. Nilai budaya, pemikiran dan tindakan serta perilaku tersalur melalui jalur hidup Universitas Sumatera Utara yang telah diciptakan oleh bahasa di masyarakat. Begitu pula bahasa daerah yang memiliki pemahaman yang sangat besar terhadap nlai budaya tradisional yang terkandung di masyarakat. Oleh karena itu, bahasa daerah memiliki perkembangan budaya melalui bahasa yang digunakan saat masyarakat berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah terpatri di masyarakat, sehingga mengalami kemunduran dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh banyak faktor, sehingga terjadinya degradasi intensitas pemakaian bahasa daerah, begitu pula pemakaian bahasa daerah yang dipakai pada upacara perkawinan adat di Padangsidimpuan. Angka penurunan pemahaman leksikal terhadap leksikon bahasa adat, dapat di lihat pada penggunaan bahasa adat sebanyak 39 kata, seperti leksikon: abara, gokgohon, horas, cundut, ipon, lakka si bujur-bujur, madingin, mangattak mangetong, bontar niate-ate, marjamita, marpoka martahi, martoruk ni abara, ngadol, ngot-ngot, naso ra buruk, parsiraisanna, rinti, singkoru, tondi, parsidangan, bulung ni torop, tungkol, ngadol, pangirmu, tuah, boban somba, bodil pangoncot, naposo bulung, rade, rotopane, sahala, sambe, siadosan, saurmatua, mara, panompa, sidang ni adat, bona-bona di adat. Pengetahuan dan pemahaman komunitas remaja tentang bahasa daerah yang digunakan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan sangat rendah. Hal Ini terbukti dari hasil uji kompetensi pemahaman leksikal responden remaja, yang dipergunakan pada upacara perkawinan adat. Penjabaran leksikon adat di atas terlihat dengan jelas bahwa telah terjadi penyusutan kata leksikon bahasa yang digunakan pada leksikon adat pada upacara perkawinan, agar Universitas Sumatera Utara lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman pada tabel 3 lampiran. Persentase ini menggambarkan rendahnya interaksi remaja dengan upacara perkawinan adat di Padangsidimpuan, khususnya terhadap leksikon pada bahasa yang digunakan pada upacara adat. Rendahnya keterlibatan remaja dalam berbagai peristiwa adat karena tidak adanya wadah yang memfasilitasi mereka untuk melakukan aktivitas budaya secara terprogram dan berkesinambungan atau dijadikan muatan lokal pada kurikulum di sekolah.

4.2.1.7 Penyusutan Leksikon Ukuran Waktu dan Cuaca

Daerah Padangsidimpuan yang merupakan daerah pegunungan, sehingga cuaca cukup sejuk, karena berada ± 400 Meter dari permukaaan laut, hal ini memberikan pengaruh kepada iklim dan cuaca di Kota Padangsidimpuan. Oleh karena itu, untuk menyebutkan cuaca dan waktu pada tradisi lisan ternyata setelah dianalisis ada 3 kata menyebutkan musim dan 13 kata menyebutkan ukuran waktu seperti pada leksikon: harian, siang hari diborngin ni ari, di malam hari diari manyogoton dipagi hari, di hari logo di hari panas, milas ni ari dihari panas, di waktu na lewat diwaktu yang lewat, diari udan dihari hujan, saati saat itu, saminggu seminggu, saminggu na lewat seminggu yang lewat, umurmu, hembang kembang. Logo musim kemarau, milas di hari panas, udan hujan. Pada leksikon harian remaja menjawab yang memahami konsepsi sebayak 183 orang 76,25, diborngin ni ari yang memahami konsepsi 175 orang 72,91, diari manyogoton dipahami sebayak 168 orang 70,00, di hari logo dipahami sebayak 154 orang 64,16, milas ni ari yang memahami konsepsi Universitas Sumatera Utara sebayak 170 orang 70,83, di waktu na lewat 162 yang memahami konsepsi sebayak orang 67,50, diari udan 173 orang 72,08, saati 149 orang 62,08, saminggu 177 orang 73,75, saminggu na lewat 168 orang 70,00, umurmu 169 orang 70,41, hembang 91 orang 37,91. Begitu juga yang memahami konsepsi logo sebayak 156 orang 65,00, milas yang memahami konsepsi sebayak 194 orang 80,83, udan 175 orang 72,91. Pemahaman konsepsi leksikal remaja sebagai responden hasilnya masih jauh dari harapan karena hasil yang diperoleh untuk lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman ukuran waktu cuaca pada tabel 3 lampiran. 4.2.1.8 Penyusutan Leksikon Ukuran Tempat dan Arah Kehidupan masyarakat komunitas Tapanuli Selatan Secara sosioekologis bergantung pada kehidupan pertanian, disamping itu topografi daerah Padangsidimpuan yang tidak rata dan berbukit-bukit, sehingga mata pencaharian utama berasal dari pertanian dan perkebunan. Sehingga masyarakat harus dilalui areal pertanian dan perkebunan dengan menunjukkan arah tersebut. Sehingga, dengan kondisi ini menyebabkan perjalanan menuju ke areal pertanian dan perkebunan menjadi titik tumpu dalam menentukan arah dalam kehidupan masyarakat. Ada dua posisi penunjuk arah, yakni julu hulu, jae hilir, untuk menunjukkan arah yang dekat dipakai leksikon jonok dekat, indon ini, di son di sini, dan siani dari sini. Ukuran tinggi rendahnya digunakan leksikon toruk rendah dan leksikon ini digunakan untuk menyatakan kerendahan hati.sedangkan untuk menyatakan ukuran kedalaman digunakan leksikon pajat dangkal, untuk Universitas Sumatera Utara menyatakan posisi atau kedudukan pada suatu tempat atau ruang digunakan leksikon di tonga di tengah, di jolo di depan, sedangkan leksikon parjolo bermakna duluan atau lebih dahulu. Leksikon menyatakan sudah sampai atau udah tiba dipakai leksikon malalu, dan kata depan sian bermakna ‘dari’. Komunitas remaja kurang memahami penunjuk tempat dan arah karena 37,19 belum memahaminya atau 3120 jawaban yang seharusnya. Jawaban yang dipahami remaja rata-rata hanya 62,81. Dengan total jawaban 1809 karena sekarang penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang formal di sekolah- sekolah. Penyusutan leksikal ini terlihat dari sedikitnya pemaham untuk leksikal tempat dan arah, jadi penggunaan bahasa ibu perlu pendalaman konsepsi makna agar dapat memahami leksikon penunjuk tempat dan arah.

4.2.1.9 Penyusutan Leksikon Penghitungan Angka

Kehidupan sehari-hari masyarakat tidak jauh dari angka dan penghitungan, sehingga pada upacara perkawinan juga menggunakan hitungan angka-angka. Pada umumnya masyarakat di Padangsidimpuan masih mempercayai penanaman lahan pertanian dengan melihat angka-angka, begitu pula dalam menentukan hari baik, bulan baik hari perkawinan juga ditentukan dengan angka-angka dan tanggal. Sehingga leksikon angka dan penghitungan muncul pada tradisi lisan pada upacara adat tersebut, seperti leksikon: sada, dua, tolu, opat, lima, onom, pitu, bahat, sada sipaklina, sapulu, sada ibana, sapulu nolu, sude, dipadua, mangattak, mangtong, sotik, dua salangkah, dua halak, sattabi apulu, ganjil, gonop, dua simanjujung. Universitas Sumatera Utara Setelah dilakukan pengujian kepada remaja, ternyata banyak komunitas remaja yang kurang memahami penghitungan dan angka, padahal hampir semua responden menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu, sedangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Setelah diamati dengan seksama hasil pengujian tersebut untuk lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman pada tabel 3 lampiran. Jumlah pemaham secara keseluruhan diperoleh jawaban 3894 dari yang seharusnya 5520 jawaban, dengan rata-rata 64,90. Pada leksikon angka dan perhitungan terjadi penyusutan pemahamanan sebanyak 35,10 jawaban responden remaja. Jarangnya penggunaan angka berekses pada kurangnya konsepsi pemahaman remaja terhadap pemaknaan leksikon angka.

4.2.1.10 Penyusutan Leksikon Ukuran Sifat

Kata sifat merupakan kata yang menyatakan keadaan, sifat batin, sifat tindakan, menyatakan bentuk, dan penilaian baik, buruk dan lainnya. Pada upacara perkawinan adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis diperoleh leksikon menyatakan sifat sebanyak 9 leksikon seperti leksikon: denggan, na pande, tama, sa tama-tamana, tama sa tama-tamana, sadenggan-dengganna, godang ni roha, job ni roha, marlangkap. Maka jumlah responden yang memahami makna leksikal tersebut masih belum seperti yang diharapkan seperti: Leksikon denggan jumlah pemaham sebanyak 143 orang 59,58, jumlah pemaham leksikon na pande sebanyak 124 orang 51,66, leksikon tama sebanyak 107 orang pemaham 44,58, sa tama- tamana dipahami 83 orang 34,58, tama sa tama-tamana sebanyak 90 orang Universitas Sumatera Utara 37,50, sadenggan-dengganna sebanyak 128 orang 53,33, godang ni roha sebanyak 126 orang 52,50, job ni roha sebanyak 124 orang 51,66, marlangkap 98 orang 40,83. Total jawaban sebanyak 1023 dan dengan rata-rata 47,36 jumlah pemaham leksikon menyatakan sifat. Hasil pemahaman yang diperoleh remaja masih sangat memprihatinkan agar lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman. pada tabel 3 lampiran

4.2.1.11 Penyusutan Leksikon Ukuran Bentuk

Begitu pula pada leksikon yang menyatakan sifat dan bentuk dan ukuran ternyata pada upacara perkawinan adat setelah dianalisis diperoleh leksikon yang menyatakan ukuran dan bentuk seperti leksikon Lunjung lonjong atau opal, bolon besar, ginjang panjang, godang besar, sepanjang bandanna sepangjang badannya. Pemaham yang memahami makna leksikal yang menyatakan sifat atau bentuk ternyata belum seperti yang diharapkan. Setelah diujikan kepada remaja diperoleh hasil p lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman pada tabel 3 lampiran. Total jumlah pemaham sebanyak 577 jawaban responden remaja dengan rata- rata 48,08, dari jawaban remaja penyusutan terjadi pada leksikon ukuran bentuk sejumlah 51,82 atau 623 responden kurang memahami makna leksikon tersebut.

4.2.1.12 Penyusutan Leksikon Ukuran Tokoh Status Kekeluargaan

Universitas Sumatera Utara Analisis yang dilakukan pada leksikon yang digunakan pada tradisi lisan pada upacara perkawinan adat diperoleh leksikon sebanyak 8 leksikon seperti leksikon hatobangon, anggi na maranggi, mora, dipabaris, sapanggadongan, sakahanggi, sada panggadongan, pisangraut, dan nipinompar. Agar diketahui penyusutan maka terlebih dahulu dilakukan pengujian pemahaman leksikal kepada responden remaja. Hasil yang diperoleh setelah diujian kepada responden lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman pada tabel 3 lampiran. Kenyataan yang didapat setelah dilakukan analisis hasil jawaban di atas terjadi penyusutan pemahaman leksikon status kekeluargaan yaitu sebesar 70,11 atau 1346 jawaban responden tidak terpenuhi. Karena jumlah pemaham leksikal status kekeluargaan sebanyak 574 jawaban dengan total rata-rata jawaban pemaham sebanyak 29,89 saja. Artinya lebih banyak remaja yang tidak memahami leksikon status kekeluargaan yang digunakan pada upacara perkawinan daripada yang memahaminya.

4.2.1.13 Penyusutan Leksikon Hewan

Nama-nama hewan yang dikumpulkan dari tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Padangsidimpuan. Nama-nama hewan itu merupakan hewan berada di lingkungan tempat tinggal komunitas masyarakat di Padangsidimpuan. Hewan tersebut banyak ditemukan di lingkungan tempat tinggal komunitas Masyarakat di Padangsidimpuan. Hewan-hewan tersebut ada memiliki nama sesuai dengan ciri-ciri binatang tersebut. Universitas Sumatera Utara Hewan yang disebutkan terbagi atas tempat tinggalnya dalam lingkungan ekosistem sendiri, ada dekat dengan tempat tinggal komunitas sehari hari seperti: siapor belalang siapor lunjung belalang insek, lanok lalat, anak ni manuk anak ayam, kotok tupai. Ada juga hewan yang tinggal di hutan-hutan besar, tetapi di daerah-daerah pemekaran Tapanuli Selatan, yang habitatnya sudah semakin berkurang sering menampakkan diri karena habitatnya berubah fungsi menjadi lahan perkebunan, seperti: na margading yang bergading gajah, marbulele yang berbelalai gajah. Ada juga hewan air tawar yang hidup di sungai atau parit-parit yang mengalir seperti: langkitang siput air tawar sungai dan udang. Begitu juga jenis kelamin hewan seperti: jantan jantan, boru-boru betina. Hewan yang disebutkan terbagi atas tempat tinggalnya dalam lingkungan ekosistem sendiri Hasil lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman pada tabel 3 lampiran. jawaban remaja tersebut menunjukkan nama-nama hewan tersebut sudah jarang didengar remaja padahal binatang tersebut cukup dekat dengan lingkungan tempat tinggal dan sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Harusnya nama- nama hewan tersebut sudah terkonsep dan ada dibenak komunitas remaja, tetapi kenyataannya nama-nama hewan tersebut tidak terkonsep dalam pikiran penutur remaja. Hal Ini terbukti dari rendahnya persentase responden yang memahami makna kata-kata tersebut yaitu secara keseluruhan jawaban 1374 yang menyebutkan memahami jawaban makna leksikal hewan tersebut, yang seharusnya jawaban remaja adalah 2640, dengan rata-rata 52,04 yang Universitas Sumatera Utara memahami makna leksikal nama-nama hewan yang berada di sekitar lingkungan tempat tinggal. Ada tiga faktor penyebab ketidaktahuan penutur remaja tentang nama-nama hewan di lingkungannya, yaitu: 1 nama-nama hewan-hewan tersebut jarang terdengar di telinga remaja, sehingga tidak terkonsep dalam pikiran remaja. 2 materi pelajaran di sekolah-sekolah jarang memberikan contoh nama-nama hewan tersebut sehingga buku pelajaran kurang memasukkan unsur leksikon hewan yang ada di daerah, sehingga sejak dini leksikon hewan yang berada pada daerah tidak terkonsepsi dalam pikiran komunitas remaja. 3 kurangnya interaksi komunitas remaja dengan hewan atau alam sekitarnya. Karena siswa jarang melakukan pembelajaran out bond atau studi alam, agar mendekatkan siswa dengan lingkungan alam, hutan, dan sekitarnya.

4.2.1. 14 Penyusutan Leksikon Jenis Warna

Warna merupakan pembeda yang satu dengan yang bila benda tersebut sejenis, karena mahluk hidup memiliki warna sendiri yang membedakannya dari yang lain. Tidak jarang benda, mahluk, tumbuhan, dan ras dibedakan dengan warna. Oleh karena itu warna yang satu dengan yang lain sangat berbeda. Begitu pula dalam bahasa pada upacara adat di Padangsidimpuan setelah dianalisis ternyata ditemukan penggunaan leksikon warna pada upacara adat tersebut seperti leksikon: Sibontar, sirara, sibontar adop-adop. Keseluruhan jawaban responden terhadap pemahaman tersebut hanya 288 dari yang seharusnya 720 jawaban, sehingga hanya 40,00 saja yang memahaminya, Universitas Sumatera Utara berarti 60 remaja sudah tidak mampu memahami konsepsi warna yang digunakan pada upacara perkawinan, lihat tabel 3 lampiran. Konsepsi yang terdeskripsi dalam benak remaja tentang warna, hal tersebut karena pernah didengar leksikal penggunaan warna tersebut, sehingga konsepsi warna telah terdeskripsi ketika hal tersebut diujikan pada responden remaja, dari hasil pengujian kepada remaja diperoleh hasil lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman.

4.2.1.15 Penyusutan Leksikon pada Frase dan Klausa

Pertuturan dalam bentuk lisan dan karangan dalam bentuk tulisan, diwujudkan dalam bentuk satuan-satuan bahasa, berbentuk kalimat, tetapi kalimat tersebut bila dianalisis terbentuk kelompok-kelompok kata yang digabungkan. Atau dua kata atau lebih yang merupakan suatu kesatuan yang menjadi unsure dari kalimat. Bagian yang lebih kecil dari kalimat itu terdiri dari klausa dan frase. Begitu pula pada upacara perkawinan adat di Padangsidimpuan setelah dianalisis pada pelaksaan upacara perkawinan adat, banyak menggunakan tradisi dalam bentuk kelisanan. Tradisi lisan yang menjadi objek dalam penelitian ini dikhususkan pada leksikon, tetapi setelah diujikan kepada remaja terjadi penyusutan yang signifikan. Agar tidak terjadi asumsi bahwa, ketika leksikon berdiri sendiri yang kurang dipahami remaja, tetapi ketika dalam konteks frase dan klausa sesuai dengan konteksnya, maka leksikon dapat dipahami. Pemahaman leksikal pada umumnya bila jarang didengar akan mengaburkan makna, sehingga bila leksikal diujikan ada asumsi akan sulit dipahami. Tetapi, bila Universitas Sumatera Utara leksikon tersebut dimasukkan ke dalam konteks yang lebih luas, seperti frase dan klausa maka makna leksikon tersebut akan lebih mudah dipahami. Perubahan nyata dapat dilihat pada aspek konsepsi leksikal, berdampak pada lemahnya pemahaman remaja terhadap leksikon adat yang dipakai pada upacara perkawinan adat di Padangsidimpuan dapat dicermati dari pemahaman rata-rata remaja terhadap leksikon yang digunakan pada frasa dan klausa hanya 995 orang dari 5280yang seharusnya, atau hanya 18,84 dari 100 idealnya maka terjadi penyusutan sebanyak 81,16, bila leksikon digunakan pada frasa dan klausa. Hal tersebut ternyata tidak seperti yang diharapkan, ketika leksikon tradisi lisan yang digunakan pada upacara perkawinan adat di Padangsidimpuan lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman pada tabel 3 lampiran. 4.2.2 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Bahasa Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan yang berbentuk tradisi lisan, tradisi lisan yang berwujud leksikon sebagai satuan terkecilnya ada yang menggunakan leksikon lingkungan, bentuk leksikon gagasan konseptual tentang lingkungan alam, sebagai cerminan masyarakat Tapanuli Selatan dekat dengan lingkungan alamnya. Gagasan konseptual ini direpresentasikan melalui leksikon bahasa tradisi lisan yang saling dipahami ketika mereka berinteraksi dalam tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. Seiring dengan waktu dan perubahan lingkungan, begitu pula guyub tutur yang mengalami perubahan, karena berubah fungsi lingkungan alam menjadi pemukiman penduduk dan berbagai sentra kegiatan kehidupan seperti sosioekonomi Universitas Sumatera Utara dan sosiobudaya bagi komunitas yang mendiami wilayah kota Padangsidimpuan, yang merupakan ekses dari akumulasi pertambahan penduduk dan percampuran etnis. Ekses negatif tersebut berupa penyusutan sejumlah leksikon yang digunakann pada tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan agar lebih jelas perbandingan penyusutan pemahaman konsepsi makna leksikal masing-masing kecamatan di Padangsidimpuan akan diuraikan berikut ini. 4.2.2.1 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Tumbuhan di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Tumbuhan-tumbuhan merupakan bagian lingkungan yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di Padangsidimpuan, begitu pula pada upacara perkawinan adat, sehingga tumbuh-tumbuhan tetap dipergunakan dan menjadi bagian pada upacara adat yang berfungsi sebagai sarana adat yang tidak bisa tidak, yang selalu disertakan. Oleh karena untuk pemenuhan kebutuhan dalam upacara adat perkawinan, sehingga masyarakat Tapanuli Selatan akan selalu mempertahankan keberadaannya. Secara keseluruhan leksikon tumbuh-tumbuhan dapat disimpulkan lebih jelas dapat dilihat pada deskripsi penyusutan pemahaman pada tabel 3 lampiran. sebanyak 2342 orang saja yang memilih dan memahami leksikon tersebut. Universitas Sumatera Utara 605 406 399 398 Skor ideal 920 308 226 Gambar 3. Perbandingan Pemahaman Leksikon Tumbuhan Pada Setiap Kecamatan di Padangsidimpuan Kosakata yang berjumlah 23 yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal hanya 44,75. Perbandingan pemahaman antara Kecamatan di Kota Padangsidimpuan. Perbandingan pemerolehan pemahaman remaja terhadap leksikon tumbuh- tumbuhan, yang diujikan kepada responden di setiap kecamatan di Kota Padangsidimpuan dapat dilihat perbandingannya pada gambar 3. sebagai berikut. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman leksikon lingkungan, tumbuh-tumbuhan akibat perubahan ekologi terutama terhadap pemahaman makna leksikon tumbuh-tumbuhan yang berada di lingkungan sekitar mereka. Kecamatan yang memiliki pemahaman tertinggi diperoleh oleh kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 605, yang berarti rata-rata diperoleh 65,67, jumlah pemaham kedua, responden remaja di peroleh oleh Kecamatan Padangsidimpuan Selatan dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 406 orang 44,13. Universitas Sumatera Utara Ketiga dan keempat diperoleh Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara 399 43,36 dan Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan pemaham sebanyak 398 43,26. Disusul yang kelima dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Utara 308 33,47 Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua sebanyak 226 24,56. Secara keseluruhan pemahaman leksikon tumbuh-tumbuhan dapat dipahami konsepsinya sebanyak 2342 orang saja dari 5520 jawaban seharusnya yang memilih dan memahami leksikon tersebut. Dari 23 kosakata yang diujikan, rata-rata pemahaman konsepsi makna leksikal hanya 42,42. Perbandingan ke-enam kecamatan di Kota Padangsidimpuan, terhadap pemahaman leksikon tumbuh- tumbuhan, penyusutan tertinggi oleh Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, penyusutan yaitu sebesar 75,44, sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan besar penyusutan 66,53. Ketiga Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru penyusutan sebesar 56,74, Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dengan penyusutan sebesar 56,64, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan dengan penyusutan sebesar 55,87. dan terakhir penyusutannya yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 34,33. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian penyusutan leksikon tumbuh-tumbuhan di Padangsidimpuan sebesar 57,58 untuk lebih jelas lihat gambar 4 histogram di bawah ini: Universitas Sumatera Utara 5520 2342 Penyusutan 57,58 Gambar 4. Persentase Penyusutan Pemahaman remaja di Padangsidimpuan terhadap Leksikon Tumbuhan

4.2.2.2 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Alam di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan

Masyarakat Padangsidimpuan hidup dekat dengan alam, karena sebagian besar kehidupan masyarakat bermata pencaharian dengan mengandalkan lingkungan, baik itu bertani, berladang, dan berkebun. Oleh karena itu, masyarakat selalu dekat dengan alam sekitarnya. Penganalisisan leksikon yang dipakai oleh pelaku adat pada upacara perkawinan adat di Padangsidimpuan diperoleh 29 leksikon. Setelah diujikan kepada remaja maka diperoleh perbandingan pemahaman yang berbeda diantara remaja. Kecamatan yang memiliki pemahaman tertinggi diperoleh oleh kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 791, yang berarti rata-rata diperoleh 85,97, jumlah pemaham kedua, responden remaja di peroleh oleh Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan jumlah pemaham remaja ebanyak 614 orang atau 66,73. Universitas Sumatera Utara 791 593 614 554 486 378 Gambar 5. Perbandingan Pemahaman Leksikon alam di Setiap Kecamatan di Padangsidimpuan Ketiga dan keempat diperoleh Kecamatan Padangsidimpuan Selatan 593 atau 64,45 dan Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dengan pemaham sebanyak 554 atau 60,21. Disusul yang kelima dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Utara 486 atau 52,82 Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua sebanyak 378 atau 41,08, agar lebih jelas perbandingan pemahaman remaja terhadap leksikon alam dapat dilihat pada gambar 5 histogram di atas. Perbandingan pemahaman ke-enam kecamatan di Padangsidimpuan ternyata Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua yang pemahamannya, paling banyak mengalami penyusutan yaitu sebesar 58,92, sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan besar penyusutan 47,18, Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara sebesar 39,79, disusul Kecamatan Padangsidimpuan Selatan sebesar 35,55, Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan penyusutan sebesar 33,27, dan terakhir Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu dengan penyusutan sebesar 14,03. Universitas Sumatera Utara 6960 3406 Penyusutan 51,07 Gambar 6. Persentase Penyusutan Pemahaman remaja di Padangsidimpuan terhadap Leksikon alam Secara keseluruhan pemahaman leksikon alam dapat dipahami konsepsinya sebanyak 3406 orang saja dari 6960 jawaban yang seharusnya yang memilih dan memahami leksikon alam tersebut, dari 29 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal alam hanya 48,93. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman leksikon alam. Dengan demikian penyusutan leksikon alam di Padangsidimpuan sebesar 51,07 untuk lebih jelas lihat gambar 6 histogram di atas. 4.2.2.3 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Pronomina di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Secara esensial pronomina juga mencerminkan cara bahasa dikodekan atau digramatikalkan berdasarkan konteks tuturan atau peristiwa berbahasa, dengan cara menafsirkan tuturan berdasarkan analisis konteks tuturan atau kapasitas mengacu suatu tuturan di dalam konteks. Pronomina yang mengacu kepada diri mereka Universitas Sumatera Utara sendiri, kepada orang lain, dan kepada benda di dalam lingkungannya. Pronomina juga dipergunakan untuk menempatkan kegiatan-kegiatan di dalam sosial kemasyarakatan. Fungsi pronomina menunjukkan referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti tergantung kepada siapa yang menjadi si pembicara dan lawan bicara bergantung pada saat, situasi, dan tempat tuturan pembicara dengan lawan bicaranya. Istilah pronomina memperlihatkan hubungan sosial-lokasi sosial- individu di dalam hubungannya dengan orang lain dalam konteks sosial, dalam upacara perkawinan adat juga menggunakan leksikon pronomina berjumlah 23 leksikon. Perbedaan pemahaman di setiap kecamatan tentang pemahaman tertinggi diperoleh oleh kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 709 orang , yang berarti rata-rata diperoleh 77,06, sedangkan kecamatan yang lain memiliki rentang perbedaan yang tidak begitu jauh jika dibandingkan dengan kecamatan lain. Pemahaman remaja seperti Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 548 orang atau 59,56. Perbedaan pemahaman leksikal prenomina, pada kecamatan ketiga dan keempat diperoleh Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara 505 orang 54,89 dan Kecamatan Padangsidimpuan Selatan dengan pemaham sebanyak 504 orang 54,78. Disusul yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Utara 480 orang 52,17, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua sebanyak 327 orang 35,54, untuk lebih jelasnya perbandingan pemahaman remaja terhadap leksikon pronomina dapat dilihat pada gambar 7 histogram di bawah. Universitas Sumatera Utara 709 548 504 505 480 327 Gambar 7. Perbandingan Pemahaman Leksikon pronomina Pada Setiap Kecamatan Di Padangsidimpuan Kecamatan yang ada di Padangsidimpuan bila dibandingkan pemahaman leksikon pronomina, ternyata penyusutan tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, paling banyak mengalami penyusutan yaitu sebesar 64,45, sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan besar penyusutan 47,83, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan sebesar 45,22, Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dengan penyusutan sebesar 45,11, Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan penyusutan sebesar 40,44. dan yang paling sedikit penyusutan pemahaman leksikon pronomina tersebut yaitu di Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 22,94. Kecamatan yang ada di Padangsidimpuan bila dibandingkan pemahaman leksikon pronomina, ternyata penyusutan tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, paling banyak mengalami penyusutan yaitu sebesar Universitas Sumatera Utara 64,45, sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan besar penyusutan 47,83, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan sebesar 45,22, Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dengan penyusutan sebesar 45,11, Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan penyusutan sebesar 40,44. dan yang paling sedikit penyusutan pemahaman leksikon pronomina tersebut yaitu di Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 22,94. Keseluruhan pemahaman leksikon pronomina dapat dipahami konsepsinya sebanyak 3044 orang saja dari 5520 jawaban yang seharusnya yang memilih dan memahami Leksikon pronomina tersebut, dari 29 kosakata yang diujikan. 5520 3044 Penyusutan 44,86 Gambar 8. Persentase Penyusutan Pemahaman Remaja di Padangsidimpuan terhadap Leksikon pronomina Rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal pronomina hanya 55,14. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman Leksikon pronomina. Dengan demikian penyusutan Leksikon pronomina di Padangsidimpuan sebesar 44,86 untuk lebih jelas lihat gambar 8 histogram di atas. Universitas Sumatera Utara 4.2.2.4 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Pronomina Kekerabatan di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Bahasa Tapanuli Selatan kategori ”persona” tidak hanya dikaitkan dengan bentuk khusus, penutur di Tapanuli Selatan juga memiliki sederet kata yang dipakai pada tuturan kekerabatan atau status sosial di dalam masyarakat. Sistem kekerabatan dalihan na tolu pada setiap persona, akan menyesuaikan diri sesuai hieharkinya pada dalihan na tolu tersebut. Jadi, tuturan seseorang dapat berubah sesuai dengan posisinya, sesuai tuturnya dengan lawan bicaranya. Sehingga setiap orang di Tapanuli Selatan Batak yang berbeda pronomina tuturan kekerabatan bila dilihat dengan marga yang yang berpaham patrilinial patriat. Bentuk kata tuturan dipilih dengan pertimbangan usia lawan bicara, jenis kelamin, fungsi, hubungan yang terjalin di antara mereka, dan perasaan yang mengikat di antara mereka, ataupun jarak yang ditetapkan oleh pembicara di antara dirinya, lawan bicara, dan objek komunikasi. Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, setelah dianalisis dan diujicobakan pemahaman makna leksikalnya kepada komunitas remaja sebagai responden, sebanyak 22 jenis pronomina kekerabatan maka, ada perbandingan pemahaman di setiap kecamatan. Peroleh perbandingan pemahaman leksikal antara lain: Perbedaan di setiap kecamatan terhadap perbandingan pemahaman leksikal pronomina. Perbedaan pemahaman di setiap kecamatan tentang pemahaman tertinggi diperoleh oleh kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 613 orang, yang berarti rata-rata diperoleh 69,65, yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 505 orang atau 57,38. Universitas Sumatera Utara Sedangkan yang ketiga, keempat dan kelima Perbedaan pemahaman leksikal pronomina kekrabatan tidak berbeda jauh, yaitu pada kecamatan ketiga Kecamatan Padangsidimpuan Utara 358 orang atau 40,68 dan Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dengan pemaham sebanyak 354 orang 40,22. Disusul yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Selatan 317 orang 36,02, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua sebanyak 218 orang 24,77.lihat pada gambar 9 histogram di bawah ini 613 505 358 534 317 218 Gambar 9. Perbandingan Pemahaman Leksikon pronomina kekerabatan Pada Setiap Kecamatan Di Padangsidimpuan Perbandingan penyusutan pemahaman di kecamatan yang ada di Kota Padangsidimpuan, terhadap pemahaman leksikon pronomina kekerabatan, ternyata penyusutan tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, paling banyak mengalami penyusutan yaitu sebesar 75,23, sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Selatan dengan besar penyusutan 63,98, dan ketiga Kecamatan Padangsidimpuan Utara sebesar 59,32, Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dengan penyusutan sebesar 59,78, Universitas Sumatera Utara penyusutan kelima Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbarua dengan penyusutan sebesar 42,62. dan terakhir penyusutan pemahaman leksikon pronomina kekerabatan yang paling sedikit yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 30,35. 5280 2365 Penyusutan 55,21 Gambar 10. Persentase Penyusutan Pemahaman Remaja di Padangsidimpuan terhadap Leksikon pronomina kekerabatan Demikian pula secara keseluruhan pemahaman leksikon pronomina kekerabatan dapat dipahami konsepsinya sebanyak 2365 orang saja dari 5280 jawaban yang seharusnya yang memilih dan memahami Leksikon pronomina kekerabatan, dari 22 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal pronomina kekerabatan hanya 44,79. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman Leksikon pronomina kekerabatan. Dengan demikian penyusutan leksikon pronomina kekerabatan di Padangsidimpuan sebesar 55,21 untuk lebih jelas lihat gambar 10 histogram. Universitas Sumatera Utara 4.2.2.5 Perbandingan penyusutan Pemahaman Leksikon Pronomina Raja Adat di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Kedudukan persona dalam upacara adat, seperti pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan yang sudah menjadi tradisi bagi komunitas pelaku adat. sehingga leksikon pronomina atau sapaan yang digunakan oleh pelaku adat kepada raja adat, sebagai tanda penghargaan kepada raja adat honorofik. Sebutan yang digunakan sebagai pronomina raja kepada berbeda-beda tetapi makna leksikal dan tujuannya sama, yaitu penghormatan kepada raja, sebagai pimpinan pada upacara adat tersebut. Pemaham leksikon pronomina raja adat setelah diujikan di setiap kecamatan di Padangsidmpuan terjadi perbedaaan pemahaman leksikal tersebut, seperti di bawah ini perbandingan pemahaman leksikon pronomina raja adat berbeda-beda antara kecamatan di Padangsidimpuan, setelah diujikan kepada remaja. Perbandingan pemahaman leksikal pronomina raja adat di setiap kecamatan, perbedaan pemahaman tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 562 orang, yang berarti rata-rata diperoleh 73,94, sementara pemahaman di kecamatan lain berada di bawahnya. Yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 319 orang 41,97. Sedangkan yang ketiga, keempat dan kelima Perbedaan pemahaman leksikal pronomina kekrabatan tidak berbeda jauh, yaitu pada kecamatan ketiga Kecamatan Padangsidimpuan Utara 287 orang atau 37,76. Universitas Sumatera Utara 562 319 287 234 202 118 Gambar 11. Perbandingan Pemahaman Leksikon pronomina raja adat Pada Setiap Kecamatan di Padangsidimpuan Kecamatan Padangsidimpuan Selatan dengan pemaham sebanyak 234 orang 30,78. Disusul yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara 202 orang 26,57, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua sebanyak 118 orang 15,52. Perbandingan pemahaman remaja terhadap leksikon pronomina raja adat dapat dilihat pada gambar 11 histogram di atas. Penyusutan pemahaman jika dibandingkan antara ke-enam kecamatan di Padangsidimpuan, terhadap pemahaman leksikon raja adat, ternyata penyusutan tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, paling banyak mengalami penyusutan yaitu sebesar 84,48, sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dengan besar penyusutan 73,43, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan sebesar 69,22, merupakan penyusutan ketiga, Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan penyusutan sebesar 62,24, Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan penyusutan sebesar 58,03. Universitas Sumatera Utara dan terakhir disusul sedikit penyusutannya yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 26,04, 4560 1702 Penyusutan 62,68 Gambar 12 Persentase Penyusutan Pemahaman Remaja di Padangsidimpuan terhadap Leksikon pronomina raja adat Secara keseluruhan pemahaman leksikon pronomina raja adat yang dapat dipahami konsepsinya sebanyak 1702 orang saja dari 4560 jawaban yang seharusnya yang memilih dan memahami leksikon tersebut. Kosakata yang diujikan sebanyak 19, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal pronomina raja adat hanya 37,32. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman Leksikon pronomina raja adat. Dengan demikian penyusutan Leksikon pronomina raja adat di Padangsidimpuan sebesar 62,68 untuk lebih jelas lihat gambar 12 histogram di atas. Universitas Sumatera Utara

4.2.2.6 Perbandingan Pemahaman Leksikon Bahasa Adat di Enam Kecamatan Kota Padangsidimpuan

Bahasa adat memiliki perbedaan dengan bahasa yang dipergunakan pada bahasa daerah sehari-hari, karena bahasa adat jarang digunakan pada kegiatan sehari-hari. Masyarakat adat memiliki filosofi yang termaktub dalam kehidupan, karena bahasa adat mengandung nilai-nilai adat dan nilai budaya yang dimiliki oleh penggunaan bahasa adat pada upacara adat. Begitu pula bahasa daerah yang memiliki pemahaman yang sangat besar terhadap nlai budaya tradisional yang terkandung di masyarakat. Oleh karena itu bahasa daerah memiliki leksikon bahasa adat melalui bahasa daerah yang digunakan pada tradisi upacara adat . Setelah dilakukan analisis perbandingan pemahaman bahasa adat di enam kecamatan di Padangsidimpuan, ternyata terdapat perbedaan pemahaman pada komunitas remaja. Penyusutan pemahaman bahasa adat bagi remaja dapat dijadikan alat untuk memperbaiki pemahaman bahasa adat tersebut. Perbandingan pemahaman leksikal bahasa adat, pemahaman tertinggi diperoleh Kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham sebanyak 117 orang 53,20, yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 580 orang 37,17. Sedangkan yang ketiga Kecamatan Padangsidimpuan Utara 349 orang 22,37, keempat Kecamatan Padangsidimpuan Sealatan dengan pemaham sebanyak 275 orang 17,62. Yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara sebanyak 213 orang pemaham atau 13,65, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua sebanyak 117 orang pemaham atau 7,50. Universitas Sumatera Utara Perbandingan penyusutan pemahaman leksikal bahasa adat tertinggi diperoleh kecamatan Batunadua dengan rata-rata penyusutan 92,50, yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dengan jumlah penyusutan sebaesar 86,35. Sedangkan yang ketiga Kecamatan Padangsidimpuan Selatan besar penyusutan sebesar 82,38, keempat Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan penyusutan sebesar 77,63. 830 580 349 275 213 117 Gambar 13. Perbandingan Pemahaman Leksikon bahasa adat Pada Setiap Kecamatan di Padangsidimpuan Yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru penyusutan sebesar 62,83, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu dengan penyusutan sebesar 46,80. Perbandingan penyusutan pemahaman remaja terhadap leksikon bahasa adat, dapat dilihat pada gambar 13 histogram di atas. Demikian pula Secara keseluruhan pemahaman Leksikon bahasa adat dapat dipahami konsepsinya sebanyak 2361 orang saja dari 9360 jawaban yang seharusnya, dari 39 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal bahasa adat hanya 25,22. Data ini membuktikan Universitas Sumatera Utara terjadinya penyusutan pemahaman leksikon bahasa adat. Dengan demikian penyusutan Leksikon bahasa adat di Padangsidimpuan sebesar 74,78 untuk lebih jelas lihat gambar 14 histogram di bawah ini: 9360 Penyusutan 74,78 2361 Gambar 14. Persentase Penyusutan Pemahaman Remaja di Padangsidimpuan terhadap Leksikon bahasa adat 4.2.2.7 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Ukuran Waktu Cuaca di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Perbandingan pemahaman leksikon ukuran waktu dan cuaca di daerah Padangsidimpuan, memiliki perbedaan pemahaman. Hal ini karena pengujian pemahaman leksikon ukuran waktu dan cuaca di kecamatan di Padangsidimpuan. Perbedaan di setiap kecamatan terhadap perbandingan pemahaman leksikal ukuran waktu dan cuaca. Perbedaan pemahaman tertinggi diperoleh oleh kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 548 orang, yang berarti rata-rata diperoleh 91,33, yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 543 orang atau 90,50. Sedangkan yang ketiga, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan 448 orang atau 74,66 dan Kecamatan Universitas Sumatera Utara Padangsidimpuan Utara dengan pemaham sebanyak 373 orang atau 62,16. Disusul yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua 300 orang atau 50,00, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara sebanyak 261 orang atau 43,50. Perbandingan pemahaman remaja terhadap leksikon pronomina kekerabatan dapat dilihat pada gambar 15. 548 543 448 373 300 261 Gambar 15. Perbandingan Pemahaman Leksikon ukuran waktu cuaca Pada Setiap Kecamatan di Padangsidimpuan Perbandingan pemahaman leksikon alat musik tradisional, ternyata penyusutan tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, paling banyak mengalami penyusutan sebesar 56,50, sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua dengan besar penyusutan 50,00. Kecamatan Padangsidimpuan Utara penyusutan sebesar 37,84. Kecamatan Padangsidimpuan Selatan dengan penyusutan sebesar 25,34, Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan penyusutan sebesar 9,50. dan terakhir disusul sedikit penyusutannya yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu penyusutan sebesar 8,67. Universitas Sumatera Utara 3600 2464 Penyusutan 31,56 Gambar 16. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon Ukuran Waktu Cuaca di Padangsidimpuan Keseluruhan pemahaman leksikon ukuran waktu cuaca dapat dipahami konsepsinya sebanyak 2464 orang saja dari 3600 jawaban yang seharusnya yang memilih dan memahami leksikon ukuran waktu cuaca, dari 15 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal hanya 68,44. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman leksikon ukuran waktu cuaca. Dengan demikian penyusutan leksikon ukuran waktu cuaca di Padangsidimpuan sebesar 31,56 untuk lebih jelas lihat gambar 16 histogram. 4.2.2.8 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Penunjuk Tempat Arah di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Topografi daerah Padangsidimpuan yang tidak rata dan berbukit-bukit, sehingga daerah yang dilalui harus dengan menunjukkan arah dengan. Leksikon. Perjalanan menuju suatu daerah menjadi titik tumpu dalam menentukan arah. Ada dua posisi arah, yakni julu hulu, jae hilir, untuk menunjukkan arah yang dekat Universitas Sumatera Utara dipakai leksikon jonok dekat, indon ini, di son di sini, dan siani dari sini. Setelah diujikan leksikon penunjuk arah maka diperoleh perbedaan pemahaman di setiap Kecamatan. Perbedaan pemahaman leksikal penunjuk tempat arah di setiap kecamatan, tertinggi diperoleh oleh kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 444 orang, yang berarti rata-rata diperoleh 85,38, yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 430 orang atau 82,69. Sedangkan yang ketiga Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua 329 orang atau 63,26 dan yang keempat Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan pemaham sebanyak 299 orang atau 57,50. Disusul yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Selatan 274 orang atau 52,69, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara sebanyak 240 orang atau 46,15. 444 430 329 299 274 240 Gambar 17. Perbandingan Pemahaman Leksikon Penunjuk Tempat Arah pada Setiap Kecamatan di Padangsidimpuan Perbandingan pemahaman remaja terhadap leksikon penunjuk tempat arah dapat dilihat pada gambar 17 histogram. Perbandingan penyusutan pemahaman di Universitas Sumatera Utara setiap kecamatan di Padangsidimpuan, terhadap pemahaman leksikon penunjuk tempat arah, ternyata penyusutan tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, penyusutan sebesar 53,85, sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Selatan dengan besar penyusutan 47,31, penyusutan leksikon penunjuk arah di Kecamatan Padangsidimpuan Utara sebesar 42,50, Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua dengan penyusutan sebesar 36,74, yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan penyusutan sebesar 17,31. dan terakhir disusul sedikit penyusutannya yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 14,62. 3120 2008 Penyusutan 35,65 Gambar 18. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon Penunjuk Tempat Arah di Padangsidimpuan Keseluruhan pemahaman Leksikon penunjuk tempat arah yang dapat memahami konsepsinya sebanyak 2008 orang saja dari 3120 jawaban yang seharusnya, dari 13 kosakata yang diujikan rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal penunjuk tempat arah hanya 64,35. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman Leksikon penunjuk Universitas Sumatera Utara tempat arah. Dengan demikian penyusutan Leksikon penunjuk tempat arah di Padangsidimpuan sebesar 35,65 untuk lebih jelas lihat gambar 18 histogram di atas. 4.2.2.9 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Perhitungan Angka di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Kehidupan sehari-hari masyarakat tidak jauh dari angka dan penghitungan, sehingga pada upacara perkawinan juga digunakan juga leksikon yang menyebutkan perhitungan dan angka-angka. Sehingga leksikon angka dan penghitungan muncul pada tradisi lisan pada upacara perkawinan adat tersebut, tetapi ketika leksikon tersebut diujikan kepada responden remaja, diperoleh perbedaan pemahaman di setiap kecamatan di Padangsidimpuan, adapun perbedaan sebagai berikut: 787 760 671 564 558 480 Gambar 19. Perbandingan Pemahaman Leksikon perhitungan angka Pada Setiap Kecamatan Di Padangsidimpuan Perbedaan pemahaman leksikon penghitungan angaka di setiap kecamatan tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 787 orang, Universitas Sumatera Utara yang berarti rata-rata diperoleh 85,54, yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 760 orang 82,60. Sedangkan yang ketiga Kecamatan Padangsidimpuan Utara 671 orang 72,93 dan keempat Kecamatan Padangsidimpuan Selatan dengan pemaham sebanyak 564 orang 61,13. Disusul yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara 558 orang 60,65, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua sebanyak 480 orang 52,17. Perbandingan pemahaman remaja terhadap leksikon pronomina kekerabatan dapat dilihat pada gambar 19 histogram di atas. Penyusutan pemahaman bila dibandingkan diantara ke-enam kecamatan di Padangsidimpuan, terhadap pemahaman leksikon perhitungan angka, ternyata penyusutan tertinggi diperoleh Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua dengan penyusutan sebesar 47,83, sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dengan besar penyusutan 39,35, penyusutan di Kecamatan Padangsidimpuan Selatan sebesar 38,87, Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan penyusutan sebesar 27,07, Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan penyusutan sebesar 17,40. dan terakhir dengan sedikit penyusutannya yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 14,46. Universitas Sumatera Utara 5520 3733 Penyusutan 32,38 Gambar 20. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon perhitungan Angka di Padangsidimpuan Demikian pula Secara keseluruhan pemahaman leksikon perhitungan angka dapat dipahami konsepsinya sebanyak 3733 orang saja dari 5520 jawaban yang seharusnya yang memilih dan memahami leksikon perhitungan angka, dari 23 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal hanya 67,62. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman leksikon perhitungan angka. Dengan demikian penyusutan leksikon perhitungan angka di Padangsidimpuan sebesar 32,38 untuk lebih jelas lihat gambar 20 histogram. 4.2.2.10 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Ukuran Sifat di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Pada upacara perkawinan juga digunakan leksikon yang menyatakan keadaan, sifat batin, sifat tindakan, menyatakan bentuk, penilaian baik, buruk dan lainnya. Setelah dianalisis diperoleh leksikon menyatakan sifat sebanyak 9 leksikon, tetapi leksikon sifat ketika diujikan kepada responden remaja terdapat perbedaan di setiap Universitas Sumatera Utara kecamatan di Padangsidimpuan. Setelah diujikan kepada responden sebanyak 240 orang di enam kecamatan di Kota Padangsidimpuan. Perbedaan di setiap kecamatan terhadap perbandingan pemahaman leksikon ukuran sifat. Perbedaan pemahaman tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 298 orang, yang berarti rata-rata diperoleh 82,77, yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 191 orang 53,05. Sedangkan yang ketiga Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru 155 orang 43,05 dan Kecamatan Padangsidimpuan Selatan dengan pemaham sebanyak 151 orang 41,94. Disusul yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua 124 orang 34,44, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara sebanyak 108 orang 30,00. Perbandingan pemahaman remaja terhadap leksikon ukuran sifat, pada setiap Kecamatan dapat dilihat pada gambar histogram 21. 298 191 151 155 124 108 Gambar 21. Perbandingan Pemahaman Leksikon Ukuran Sifat pada Setiap Kecamatan di Padangsidimpuan Universitas Sumatera Utara Setelah dibandingkan di setiap kecamatan di Padangsidimpuan, terhadap pemahaman leksikon ukuran sifat, ternyata penyusutan tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, dengan penyusutan yaitu sebesar 70,00. Sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua besar penyusutan 65,56, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan penyusutan sebesar 58,06, Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan penyusutan sebesar 56,95, Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan penyusutan sebesar 46,95. dan terakhir paling sedikit penyusutannya yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 17,23. Demikian pula secara keseluruhan pemahaman leksikon ukuran sifat dapat dipahami konsepsinya sebanyak 1023 orang saja dari 2160 jawaban yang seharusnya yang memilih dan memahami leksikon ukuran sifat, dari 9 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal ukuran sifat hanya 47,36. 2160 1023 Penyusutan 52,64 Universitas Sumatera Utara Gambar 22. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon Ukuran Sifat di Padangsidimpuan Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman leksikon leksikon ukuran sifat. Dengan demikian penyusutan leksikon ukuran sifat di Padangsidimpuan sebesar 52,64 untuk lebih jelas lihat gambar 22 histogram di atas. 4.2.2.11 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Ukuran Bentuk di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Leksikon yang menyatakan sifat, bentuk dan ukuran ternyata pada upacara perkawinan adat setelah dianalisis diperoleh leksikon yang menyatakan ukuran dan bentuk seperti leksikon Lunjung lonjong atau opal, bolon besar, ginjang panjang, godang besar, sepanjang bandanna sepangjang badannya. Pemaham yang memahami makna leksikal yang menyatakan sifat atau bentuk ternyata belum seperti yang diharapkan. Setelah diujikan kepada remaja diperoleh perbedaan di setiap kecamatan, adapun perbedaan itu antara lain: Leksikon yang menyatakan sifat, bentuk dan ukuran memiliki perbedaan pemahaman disetiap kecamatan, pemahaman tertinggi diperoleh Kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 177 orang, yang berarti rata-rata diperoleh 82,77, yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 104 orang 53,05. Sedangkan yang ketiga dan keempat yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua 85 orang 34,44 dan Kecamatan Padangsidimpuan Selatan dengan pemaham sebanyak 80 orang 41,94. Disusul yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru 73 orang 43,05, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara sebanyak 58 orang 30,07. Universitas Sumatera Utara Perbandingan pemahaman remaja terhadap leksikon bentuk dan ukuran dapat dilihat pada gambar 23 histogram di bawah ini. Perbandingan pemahaman leksikon ukuran bentuk di ke-enam kecamatan di Padangsidimpuan, Penyusutan tertinggi diperoleh Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, dengan penyusutan sebesar 96,25. sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan penyusutan sebesar 56,95. Kecamatan Padangsidimpuan Selatan sebesar 58,06, Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua dengan penyusutan sebesar 55,56, Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan penyusutan sebesar 46,95. dan terakhir disusul sedikit penyusutannya yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 17,23. 177 104 85 80 73 58 Gambar 23. Perbandingan Pemahaman Leksikon ukuran bentuk Pada Setiap Kecamatan di Padangsidimpuan Universitas Sumatera Utara Demikian pula Secara keseluruhan pemahaman leksikon ukuran bentuk dapat dipahami konsepsinya sebanyak 577 orang saja dari 1200 jawaban yang seharusnya yang memilih dan memahami leksikon ukuran bentuk, dari 5 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal hanya 48,08. Terjadinya penyusutan pemahaman leksikon ukuran bentuk, diperoleh dari data yang diujikan pemahamannya kepada responden remaja. Dengan demikian penyusutan leksikon ukuran bentuk dari setiap kecamatan di Padangsidimpuan. Setelah dihitung total skor seluruh kecamatan, kemudian dibagi dengan pemaham yang tidak memahami konsepsi leksikon ukuran bentuk, hasilnya penyusutan konsepsi leksikon ukuran bentuk sebesar 51,92 untuk lebih jelas lihat gambar 24 histogram berikut: 1200 577 Penyusutan 51,92 Gambar 24. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon Ukuran Bentuk di Padangsidimpuan Universitas Sumatera Utara 4.2.2.12 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Ukuran Tokoh Status Kekeluargaan di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Analisis yang dilakukan pada leksikon ukuran tokoh status kekeluargaan yang digunakan pada tradisi lisan pada upacara perkawinan adat diperoleh leksikon sebanyak 8 leksikon seperti leksikon hatobangon, anggi na maranggi, mora, dipabaris, sapanggadongan, sakahanggi, sada panggadongan, pisangraut, dan nipinompar. Perbandingan penyusutan diketahui setelah dilakukan pengujian pemahaman leksikal kepada responden remaja. Perbedaan perbandingan pemahaman leksikon ukuran tokoh status kekeluargaan di setiap kecamatan, pemahaman tertinggi diperoleh oleh kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 210 orang, yang berarti rata-rata diperoleh 65,62, yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 127 orang 39,68. Sedangkan yang ketiga, Kecamatan Padangsidimpuan Utara 107 orang 33,43. 210 127 107 59 36 32 Gambar 25. Perbandingan Pemahaman Leksikon Ukuran Tokoh Status Kekeluargaan Pada Setiap Kecamatan di Padangsidimpuan Universitas Sumatera Utara Keempat, Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dengan pemaham sebanyak 59 orang 18,43. Disusul yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Selatan 36 orang 11,25, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua sebanyak 32 orang 10,00. Perbandingan pemahaman remaja terhadap leksikon leksikon ukuran tokoh status kekeluargaan dapat dilihat pada gambar 25 histogram di atas. Penyusutan tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, paling banyak mengalami penyusutan yaitu sebesar 90,00, sedangkan ke dua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Selatan dengan besar penyusutan 89,75, yang ke tiga Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara sebesar 81,57, dan ke empat Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan penyusutan sebesar 66,57, ke lima Kecamatan Padangsidimpuan 1920 Penyusutan 70,14 574 Gambar 26. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon ukuran tokoh status kekeluargaan di Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan penyusutan sebesar 60,32. dan terakhir disusul sedikit penyusutannya yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 34,38. Universitas Sumatera Utara Secara keseluruhan pemahaman leksikon ukuran tokoh status kekeluargaan dapat dipahami konsepsinya sebanyak 574 orang saja dari 1920 jawaban yang seharusnya yang memilih dan memahami leksikon tersebut. Dari 8 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal hanya 29,89. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman leksikon ukuran tokoh status kekeluargaan. Dengan demikian penyusutan leksikon ukuran tokoh status kekeluargaan di Padangsidimpuan sebesar 57,58 untuk lebih jelas lihat gambar 26 histogram. 4.2.2.13 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Hewan di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Nama-nama leksikon hewan yang dikumpulkan dari tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Padangsidimpuan, merupakan hewan berada di lingkungan tempat tinggal komunitas masyarakat di Padangsidimpuan. Hewan tersebut banyak ditemukan di lingkungan tempat tinggal komunitas Masyarakat di Padangsidimpuan, dekat dengan tempat tinggal komunitas sehari hari. Setelah diujikan kepada responden remaja nama-nama leksikon hewan tersebut, diperoleh perbedaan pemahaman di setiap kecamatan. Universitas Sumatera Utara 378 293 240 160 176 127 Gambar 27. Perbandingan Pemahaman Leksikon Hewan pada Setiap Kecamatan di Padangsidimpuan Pemahaman yang berbeda tentang leksikon hewan, walaupun rentangnya tidak begitu jauh. Pemahaman tertinggi diperoleh kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 378 orang, yang berarti rata-rata diperoleh 85,90, yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 293 orang 66,59. Sedangkan yang ketiga Kecamatan Padangsidimpuan Utara 240 orang 54,54 dan ke empat Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua dengan pemaham sebanyak 176 orang 40,00. Disusul yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Selatan 160 orang 36,36, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara sebanyak 127 orang atau 28,86. Perbandingan pemahaman remaja terhadap leksikon Leksikon hewan dapat dilihat pada gambar 27 histogram di atas. Perbandingan pemahaman di kecamatan pada Kota Padangsidimpuan, penyusutan tertinggi diperoleh Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dengan penyusutan sebesar 71,14, sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Universitas Sumatera Utara Padangsidimpuan Selatan besar penyusutan 63,64, ke tiga Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua penyusutan sebesar 60,00. 2640 1374 Penyusutan 47,96 Gambar 28. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon hewan di Padangsidimpuan Ke empat Kecamatan Padangsidimpuan Utara penyusutan sebesar 45,46, Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan penyusutan sebesar 33,41. Terakhir disusul sedikit penyusutannya pada Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 14,10. Keseluruhan pemahaman leksikon hewan dapat memahami konsepsi leksikon hewan sebanyak 1374 orang saja dari 2640 jawaban yang seharusnya yang memilih dan memahami leksikon hewan, dari 11 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal hanya 52,04. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman leksikon hewan. Dengan demikian penyusutan leksikon hewan di Padangsidimpuan sebesar 47,96 untuk lebih jelas lihat gambar 28 histogram di atas. Universitas Sumatera Utara

4.2.2.14 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Warna di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan

Warna membedakan antara benda-benda, mahluk, tumbuhan, dan ras yang satu dengan yang lain, karena itu warna yang satu dengan yang lain sangat berbeda. Begitu pula dalam tradisi lisan bahasa pada upacara adat di Padangsidimpuan setelah dianalisis ternyata ditemukan penggunaan leksikon warna pada upacara adat tersebut. Konsepsi yang terdeskripsi dalam benak remaja tentang warna, sehingga konsepsi warna diujikan kepada responden remaja. Perbandingan pemahaman leksikon warna di setiap kecamatan pemahaman tertinggi diperoleh oleh kecamatan Angkola Julu dengan pemaham 96 orang, yang berarti rata-rata diperoleh 80,00, yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 58 orang atau 487,33. Sedangkan yang ketiga Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru 47 orang atau 39,16 dan Kecamatan Padangsidimpuan Selatan dengan penyusutan pemahaman sebanyak 39 orang atau 32,50. 96 58 47 39 32 22 Gambar 29. Perbandingan Pemahaman Leksikon Warna pada Setiap kecamatan di Padangsidimpuan Universitas Sumatera Utara Disusul yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua 32 orang atau 26,66, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara sebanyak 22 orang atau 18,33. Perbandingan pemahaman remaja terhadap leksikon warna di setiap kecamatan dapat dilihat pada gambar 29 histogram di atas. Penyusutan tertinggi yang diperoleh Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara sebesar 81,67, sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua dengan besar penyusutan 73,34, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan penyusutan sebesar 67,50, Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru penyusutan sebesar 60,84, Kecamatan Padangsidimpuan Utara dengan penyusutan sebesar 51,67. dan terakhir paling sedikit penyusutannya yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 20,00. 720 288 Penyusutan 60,00 Gambar 30. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon jenis warna di Padangsidimpuan Secara keseluruhan pemahaman leksikon jenis warna dapat dipahami konsepsinya sebanyak 288 orang saja dari 720 jawaban yang seharusnya, rata-rata Universitas Sumatera Utara penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal jenis warna 40,00. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman leksikon jenis warna. Dengan demikian penyusutan leksikon jenis warna di Padangsidimpuan sebesar 60,00 untuk lebih jelas lihat gambar 30 histogram di atas. 4.2.2.15 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon pada Frase di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan Lisan dan tulisan diwujudkan dalam satuan-satuan bahasa, seperti kalimat, klausa dan frase, dianalisis yang dilakukan pada kelompok kata yang akan menimbulkan konsepsi makna sesuai dengan konteks. Begitu pula pada upacara perkawinan adat di Padangsidimpuan setelah dianalisis tradisi lisan pada pelaksaan upacara perkawinan, banyak menggunakan leksikon dalam bentuk frase, klausa, dan kalimat, setelah diujikan kepada remaja terjadi penyusutan yang signifikan di setiap kecamatan. Perbandingan pemahaman leksikon pada frase dan klausa, di setiap kecamatan tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Angkola Julu dengan skor pemaham 500 orang, yang berarti rata-rata diperoleh 56,81, yang kedua Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan jumlah pemaham remaja sebanyak 194 orang atau 22,04. Universitas Sumatera Utara 500 194 185 56 38 32 Gambar 31. Perbandingan Pemahaman Leksikon pada Frase dan Klausa di Setiap Kecamatan Kota Padangsidimpuan Sedangkan yang ketiga, Kecamatan Padangsidimpuan Utara 185 orang atau 21,10 dan penyusutan keempat , lima dan enam sangat jauh sekali rentang pemahaman dengan kecamatan sebelumnya seperti: Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dengan pemaham sebanyak 56 orang atau 6,36. Disusul yang kelima Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua 38 orang atau 4,31, dan keenam Kecamatan Padangsidimpuan Sealatan sebanyak 32 orang atau 3,63. Perbandingan pemahaman remaja terhadap Leksikon pada frase dan klausa dapat dilihat pada gambar 31 histogram di atas. Perbandingan ke-enam kecamatan di Kota Padangsidimpuan, terhadap pemahaman leksikon pada frase dan klausa, ternyata penyusutan tertinggi diperoleh oleh Kecamatan Padangsidimpuan Selatan, paling banyak mengalami penyusutan yaitu sebesar 96,37, sedangkan kedua penyusutan terbesar Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua dengan besar penyusutan 95,69, Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara penyusutan sebesar 93,64, Kecamatan Universitas Sumatera Utara Padangsidimpuan Utara dengan penyusutan sebesar 78,90, Kecamatan Padangsidimpuan Hutalimbaru dengan penyusutan sebesar 77,96. dan terakhir disusul sedikit penyusutannya yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu sebesar 43,19. 5280 Penyusutan 81,16 995 Gambar 32. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon pada Frase dan Klausa di Padangsidimpuan Demikian pula Secara keseluruhan pemahaman leksikon tumbuh-tumbuhan dapat dipahami konsepsinya sebanyak 995 orang saja dari 5280 jawaban yang seharusnya yang memilih dan memahami Pemahaman leksikon pada frase dan klausa. Sebanyak 22 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal hanya 18,84. Data ini membuktikan terjadinya penyusutan pemahaman Pemahaman leksikon pada frase dan klausa. Dengan demikian penyusutan Pemahaman leksikon pada frase dan klausa di Padangsidimpuan sebesar 81,16 untuk lebih jelas lihat gambar 32 histogram di atas. Universitas Sumatera Utara Kesamaan pemahaman semua masyarakat adat memandang dirinya, alam, dan relasi di antara keduanya dalam perspektif yang berbeda, sehingga ada keinginan dan kesamaan cara pandang tentang alam oleh semua masyarakat tradisional, sehingga mewarnai seluruh relasi dari semua ciptaan di alam. Sehingga perlu terjaga harmoni dan keseimbangan antara manusia dengan alam dan lingkungan, tetapi dengan rusaknya alam dan lingkungan maka berpengaruh terhadap pemahaman terhadap istilah-istilah yang berasal dari alam dan lingkungan. Hal itulah yang telah diuraikan dari ke enam belas jenis leksikon di atas, untuk melihat seberapa jauh penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan. Lingkungan hidup sebagai media hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan unsur alam yang terdiri dari berbagai proses ekologi merupakan satu kesatuan hidup yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu kesatuan komunitas yang saling membutuhkan. Tetapi, seharusnya masyarakat tetap menjaga ekosistem lingkungan, sehingga perencanaan dan pengelolaan lingkungan harusnya memperhatikan lingkungan hidup yang sesuai dengan dasar dari pembangunan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan lingkungan hidup harus didasarkan pada prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan, serta tetap mempertimbangkan aspek ekologi dan perlunya analisis dampak lingkungan dalam melaksanakan pembangunan melalui pendekatan holistic, sehingga kita dapat belajar dari kasus- kasus yang tidak menganalisis dampak lingkungan hidup di dalam dan luar negeri. Universitas Sumatera Utara 4.3 Penyebab Terjadinya Penyusutan Pemahaman Leksikon Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan Setelah dianalisis seluruh leksikon yang dikumpulkan sebanyak 15 jenis kemudian leksikon tersebut diujikan kepada komunitas remaja di Padangsidimpuan, maka terjadi penyusutan yang signifikan dan sudah sangat mengkhawatirkan. Ketidakpahaman responden dengan konsepsi makna leksikal disebabkan oleh karena kurang dilibatkannya komunitas remaja dalam upacara perkawinan secara langsung. Keberadaan remaja ketika upacara perkawinan, karena dilibatkan saat pemilik hajat yang membutuhkannya untuk bekerja dengan tenaga untuk mempersiapkan hal-hal yang bersifat teknis, tetapi untuk pelaksanaan seremoni upacara adat secara langsung mereka tidak dilibatkan untuk duduk dengan pelaku adat. Kehadiran remaja pada upacara perkawinan hanya menghidangkan ’mangoloi’ untuk tamu, undangan, dan pelaku adat, dan raja adat hatobangon, harajaon, dan alim ulama. Pelaku adat, ketika upacara perkawinan adat juga tidak melibatkan komunitas remaja untuk terlibat secara langsung untuk duduk dengan mereka pelaku adat, harajaon, alim ulama, hatobangon dan lainnya sebagai upaya untuk mentransformasikan budaya dan adat tradisi kepada remaja, sehingga upaya-upaya untuk mewariskan tradisi adat istiadat kepada remaja dapat terjaga, sehingga remaja dapat memahami hal-hal yang dilakukan ketika upacara adat berlangsung. Penyusutan pemahaman leksikal ekologi lingkungan disebabkan karena, komunitas remaja jarang mendengar leksikon yang diujikan, padahal ketika upacara perkawinan adat, leksikon tersebut kerap mereka dengar ketika dilisankan pada upacara perkawinan adat dilangsungkan. Wawancara yang dilakukan kepada remaja Universitas Sumatera Utara sebagai responden menyebutkan mereka sering mendengar leksikon tersebut, tetapi, memahami makna leksikon secara utuh berdiri sendiri atau ketika dilekatkan pada frase, klausa, dan kalimat, remaja kurang tepat menyebutkan makna konsepsi leksikon yang dimaksudkan. Remaja juga menyadari bahwa, ketidakpahaman mereka terhadap konsepsi makna leksikal lingkungan, tumbuh-tumbuhan, alam, pronomina, bahasa adat, ukuran waktu cuaca, penunjuk tempat arah, perhitungan angka, ukuran sifat, leksikon hewan, leksikon pada frase dan klausa yang diujikan kepada mereka, ada perasaan menyesal yang cukup dalam, apalagi bahasa ibu Bahasa Tapanuli Selatan Mandailing yang mereka gunakan sehari-hari kurang mereka pahami maknanya. Karena itu penyebab terjadinya penyusutan pemahaman konsepsi makna disebabkan oleh beberapa faktor yakni: faktor eksternal dan faktor internal, lebih jauh akan dibahas penyebabnya di bawah ini. 4.3.1 Faktor Internal Penyebab Terjadinya Penyusutan Pemahaman Leksikon Bahasa Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat di Kota Padangsidimpuan Penyesalan yang disampaikan remaja kepada penulis ketika mengambil data lapangan dan wawancara, yaitu: agar muatan lokal seperti bahasa daerah mereka peroleh ketika di sekolah dasar SD saja, tetapi di sekolah lanjutan mereka tidak mendapatkan pelajaran bahasa daerah Bahasa Tapanuli Selatan Mandailing, akibatnya mereka kurang memahami konsepsi makna leksikal yang diujikan. Selain itu di sekolah-sekolah juga diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia, sehingga komunitas remaja sebagai guyub tutur asli Tapanuli Selatan Mandailing dijauhkan dari penggunaan bahasa asli daerahnya. Begitu pula remaja ketika Universitas Sumatera Utara menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi dengan rekan-rekan di sekolah, rekan-rekan yang lain atau sesama pelajar lain akan mengejek pengguna bahasa daerah sehingga dianggap kampungan. Pengguna bahasa Indonesia sebagai penggunaan wajib di sekolah, di samping itu remaja merasa penggunaan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-hari dianggap memiliki pretise, jika dibandingkan dengan menggunakan bahasa daerah Bahasa Tapanuli Selatan Mandailing, akibatnya penggunaan bahasa daerah intensitas penggunaannya sehari-hari semakin berkurang. Remaja menggunakan bahasa daerah Bahasa Tapanuli Selatan Mandailing dalam berkomunikasi, hanya di luar komunitas pendidikan formal seperti di pasar, menggunakan jasa transportasi beca, angkot, dan lainnya. Agar lebih jelas penyebab terjadinya penyusutan pemahaman konsepsi makna leksikal sebagai penyebab internal antara lain: 4.3.1.1 Remaja Tidak Memahami Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan Hasil pengujian pemahaman leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara perkawinan hasilnya terjadi penyusustan yang cukup mengkhawatirkan, sehingga perlu ditelusuri kembali penyebab terjadinya hal tersebut. Oleh karena itu, dilakukan pertanyaan tertulis kepada responden yang telah diujikan ternyata diperoleh hasil berikut ini. Upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan, yang pernah diikuti oleh responden dan mengetahui upacara perkawinan adat tersebut diujikan dengan kuesioner No. 1, ”Pernahkah kamu mengikuti upacara perkawinan adat istiadat Tapanuli Selatan?” Jawaban yang diberikan responden seluruhnya pernah mengikuti upacara perkawinan yaitu sebanyak 35 orang responden pernah Universitas Sumatera Utara mengikutinya, dengan rincian antara lain: a kehadiran responden sebagai tetangga pada upacara perkawinan tersebut sebanyak 24 orang 68,57; b enam orang kehadirannya pada upacara perkawinan adat sebagai famili yang memiliki hajat horja; c kehadirannya pada upacara perkawinan sebagai tamu undangan sebanyak tiga orang 8,57; d ada juga yang kehadirannya pada upacara perkawinan sebagai rekan mempelai pandongani sebanyak dua orang 5,71. Selanjutnya, untuk mengetahui kapasitas remaja pada saat upacara perkawinan adat, maka diujikan dengan kuesioner No. 2 seperti, ”Pada saat upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan kamu sebagai apa posisi adat?” jawaban yang diperoleh adalah: a remaja sebagai muda-mudi ‘naposo nauli bulung NNB’ sebanyak 20 orang 57,14; b remaja yang bekerja menerima mencari upah sebanyak 2 orang 5,71; c remaja yang pada saat upacara perkawinan adat tersebut sebagai tuan rumah atau bagian keluarga kakak, abang,kandung sebanyak 3 orang 8,57; berikutnya d pada upacara perkawinan tersebut keberadaannya sebagai famili yang horja, jawaban tersebut sebanyak 7 orang 20,00; dan terakhir e kehadirannya remaja pada upacara perkawinan sebagai tamu, mereka sebanyak 3 orang 8,57.

4.3.1.2 Remaja Tidak Memahami Urutan Kronologis Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan

Perkembangan teknologi dan informasi membawa perubahan yang cukup besar ke seluruh peradaban manusia, sehingga semua hal begitu pula pada perubahan pelaksanaan upacara adat. Originalitas pelaksaan upacara adat tentu mengalami perubahan, sehingga lebih adaptif terhadap perubahan tersebut. Hal itu dari seperti Universitas Sumatera Utara yang disebutkan oleh S. Siregar Baumi, tidak sedikit timbul bentuk-bentuk baru, yang merupakan campuran adat dan agama, antara adat dan acara nasional dan internasional lainnya. Terutama dari segi giburan, pakaian, hiasan-hiasan dan acara makan-makan dalam upacara. Oleh karena itu upacara adat disingkat dengan menyusutkan atau menghemat susunan tertib acara menurut adat. Acara yang singkat semakin disukai orang, karena orang berpikir efektifitas penggunaan waktu. Menjaring jawaban tentang pemahaman remaja tentang, “Urutan kronologis upacara perkawinan adat?” Remaja tidak memahami Urutan Kronologis Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan sebanyak 25 orang 71,42 tidak tahu, 7 orang 20 kurang tepat jawabannya, 2 orang 5,71 tidak memberikan jawaban; responden hanya 1 orang 2,85 saja yang mengetahui jawabannya. Jumlah jawaban tersebut, remaja sudah tidak begitu peduli dan kurang berkeinginan mengetahui kronologis upacara perkawinan adat. Sehingga hanya satu orang saja dan itupun kurang lengkap pula. Jawaban responden remaja terhadap situasi ini sungguh perlu dipertanyakan apakah mereka memang tidak mengetahuinya, atau mereka memang tidak peduli. Padahal dari seluruh responden yang ditanya apakah pernah berada pada upacara perkawinan jawaban mereka atas pertanyaan kuesioner No. 1, 35 orang menjawab pernah hadir pada upacara perkawian adat, walaupun kapasitas kehadiran pada upacara perkawnan itu berbeda-beda.

4.3.1.3 Remaja Tidak Memahami Macam Jenis Upacara Adat dan Penentu Besar Kecilnya Upacara Adat

Universitas Sumatera Utara Masyarakat etik memiliki kapasitas untuk menyerap apa yang terjadi di sekelilingnya selanjutnya menganalisis dan menafsirkan seluruh pengamatan dan memadukannya dengan pengalaman dan pengamatan, yang pada akhirnya memberikan penilaian. Demikian pula pada kearifan budaya lokal local wisdom suatu kebenaran yang sudah mentradisi dalam masyarakat etnik. Jadi kearifan budaya lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat di Tapanuli Selatan. Sehingga kearifan budaya yang harusnya secara terus menerus dijadikan pegangan hidup dalam menjalani hidup dan kehidupan, sehingga hidup lebih teratur sesuai dengan pola tradisi yang sudah dijalankan dengan sikap hidup dan pola yang teratur. Kenyataaan yang tidak dapat disangkal, kearifan lokal mendapat tantangan yang tidak sedikit dari seluruh elemen yang mempengaruhi perkembangan budaya luar dan dalam, seperti: teknologi, finansial, ekologi, pembangunan, dan pendidikan menyebabkan sehingga budaya lokal yang bersandar pada filosofis adat, etika, dan nilai-nilai yang melembaga mengalami benturan-benturan yang tidak sedikit mengalami akulturasi sehingga terjadi pergeseran, penyusutan, dan bahkan musnah. Data di lapangan yang diperoleh terjadi penyusutan yang cukup mengkhawatirkan bila tidak ditelusuri penyebabnya maka, tidak akan dapat pula dicarikan solusi terhadap persoalan tersebut. Untuk mengurai persoalan maka diajukan pertanyaan tentang upacara adat dengan pertanyaan kuesioner No. 13, “Berapa macamkah upacara adat yang kamu ikuti?” dari jawaban responden umumnya mereka hanya pernah mengikuti satu macam adat yaitu upacara adat pada perkawinan, sedangkan yang lain mereka tidak pernah mengikutinya, yang menjawab pertanyaan tersebut sebanyak 23 orang 65,71, yang mengikuti 2 jenis Universitas Sumatera Utara adat sebanyak lima orang 15,48 uapacara perkawinan dan mengayun anak, yang pernah mengikuti tiga macam upacara sebanyak 3 orang 8,57, dan yang tiddak pernah mengikuti sama sekali sebanyak 4 orang 11,42. Agar diketahui pemahaman remaja tentang upacara adat maka ada alat untuk mengukur besar kecilnya upacara adat perkawinan, maka setelah diajukan pertanyaan pada kuesioner No. 14, “Upacara perkawinan adat tersebut besar kecilnya ditentukan oleh apa?” Jawaban yang diberikan responden diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: a remaja lebih besar tidak mengetahui alat ukur menentukan upacara adat, responden remaja yang menjawab tidak tahu sebanyak 24 orang 68,57 bila dipersentasekan. Yang menjawab ukuran pelaksaan upacara perkawinan yaitu Hewan yang disembelih, yaitu hewan adat yaitu kerbau, dan kambing untuk jawaban tersebut dijawab sebanyak 9 orang yang memahaminya dan sesuai dengan adat, yang bila dipersentasekan 25,71 memahaminya, dan yang sama sekali yang tidak memahaminya dengan menjawab alat mengukur besar kecilnya upacara perkawinan adat yaitu hewan dan undangan yang hadir, tetapi secara adat hal tersebut salah dijawab sebanyak 2 atau bila dipersentasekan 5,71.

4.3.1.4 Remaja Lebih Menyenangi Musik Pop Modern daripada Musik Tradisional

Kehadiran musik popular di belantika musik tanah air, telah menggeser kesenian tradisional walaupun belum sampai hingga kini, keberadaan music popular mampu menghibur masyarakat di seluruh tanah air. Tetapi hal ini cukup memberikan kekahawatiran terhadap musik dan kesenian daerah. hal ini sesuai Universitas Sumatera Utara dengan kuesioner No. 19 Bila ada konser musik pop, dan ada pula pagelaran musik tradisional, mana yang akan kamu tonton pertunjukkannya? Hasilnya cukup membuat kita perlu lebih jauh untuk tetap mempertahankan eksistensi musik dan kesenian tradisional jawaban para remaja adalah mereka lebih menyenangi musik pop modern daripada musik tradisional dengan Jawaban yang diberikan responden secara keseluruhan mereka memilih musik modern sebagai tontonan, dibandingkan dengan musik tradisional, karena responden remaja menjawab sama sebanyak 35 orang atau 100 memilih musik modern sebagai tontonan .

4.3.1.5 Remaja Jarang Mendengar Leksikon Pronomina, karena Hanya disebutkan pada Upacara Adat

Kehadiran remaja pada upacara perkawinan adat, bukan karena keinginan yang kuat remaja dengan pemahaman dan kecintaan pada adat, tetapi karena hubungan yang erat dengan mempelai atau berkerabat. Di samping itu kehadiran mereka, karena tanggung jawab untuk bekerja dan membantu mempersiapkan horja dengan suka rela sebagai muda mudi ‘Naposo Nauli Bulung’ NNB, sesuai tanggung jawab yang diberikan oleh orang yang dituakan “hatobangon” di masyarakat. Kehadiran remaja, sangat jarang mengunjungi pesta perkawinan adat, karena ketidaktahuan mereka dengan leksikon dan adat-istiadat yang dipergunakan pada upacara adat. Di samping itu di upacara perkawinan itu juga remaja tidak menunggu sampai seremonial adat selesai. Jadi ini mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman remaja pada leksikon pronomina yang biasanya diucapkan pada upacara perkawinan Universitas Sumatera Utara adat, padahal leksikon tersebut menjelaskan pertuturan kekerabatan pada suku Tapanuli Mandailing. 5,71; 8,57; 14,28 68,57; 1. 24 orang atau 68,57 mendengar ketika upacara adat 2. 5 orang atau 14,28 tidak mengetahui sama sekali 3. 3 orang atau 8,57 mendengar dari orang tua 4. 2 orang atau 5,71 tidak pernah mendengar sama sekali Gambar 33. Persentase Remaja Jarang Mendengar Leksikon Pronomina hanya pada Upacara Adat Realitas tersebut berimbas kepada pemahaman remaja pada leksikon tradisi lisan upacara perkawinan adat sesuai dengan pertanyaan wawancara No. 21, jarang mendengar leksikon pronomina, karena leksikon tersebut didengar hanya pada upacara adat, hal ini dibuktikan dengan jawaban responden sebanyak 24 orang atau 68,57; tidak mengetahui sama sekali dijwab oleh 5 orang atau 14,28; sebanyak tiga orang atau 8,57 didengar dari orang tua dan tiga orang atau 8,57 tidak pernah sama sekali.

4.3.1.6 Remaja Tidak Memahami Leksikon Adat, Tidak Ada Usaha Mereka untuk Memahami Leksikon Adat

Pemahaman remaja pada leksikon adat sudah pada taraf mengkhawatirkan, karena dari seluruh responden yang diuji kemampuannya pada leksikon adat, hasilnya cukup memprihatinkan. Agar diketahui apa yang menjadi penyebab Universitas Sumatera Utara mengapa hal itu sampai demikian, hasil penelusuran yang digunakan pertanyaan kuesioner No. 18, “Apakah kamu memahami makna kata-kata yang disebutkan pada tradisi lisan upacara adat, bila kamu tidak memahaminya apa usahamu agar mengerti?” ternyata rata-rata remaja tidak memahami makna leksikon, walaupun mereka kerap mendengarnya. Mereka tidak memahami makna leksikon tersebut, yang lebih memprihatinkan mereka tidak berusaha untuk mencari tahu bertanya agar dipahami makna leksikon tersebut kepada pelaku adat. Hal tersebut terus terjadi pada remaja, sehingga kekurangpahaman remaja terhadap leksikon, begitu pula sebaliknya pelaku adat menjalankan adat istiadat sehingga peradatan berlangsung dengan baik, tidak pernah memahami apakah orang lain khususnya remaja memahami yang disampaikan. Jadi dari situasi ini berjalan terus menerus dari waktu ke waktu, tanpa pernah ada yang mengurai persoalan leksikon pada adat dipahami atau tidak. Persoalan ketidakpahaman terhadap leksikon ini akan memblunder seperti bola salju yang dari waktu ke waktu semakin membesar dan akhirnya menghantam adat istiadat itu sendiri semakin jauh dari masyarakat etnik. 4.3.2 Faktor Eksternal Penyebab Terjadinya Penyusutan Pemahaman Leksikon Bahasa Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat di Kota Padangsidimpuan Penyusutan pemahaman remaja terhadap leksikon pada tradisi lisan upacara perkawinan tidak terlepas dari beberapa faktor, terutama faktor yang berada di luar diri remaja sehingga faktor ini terdiri dari: 1 ketua adat pelaku adat belum maksimal mengajari adat; 2 lembaga adat belum mensosialisasikan adat pada remaja; 3 Remaja Tidak mengenal benda-benda adat yang dipakai pada Upacara Adat; 4 Universitas Sumatera Utara Remaja tidak pernah manortor dan tidak mengetahui nama-nama alat musik tradisional; 5 Buku-buku berbahasa daerah jarang terbit; 6 Pagelaran budaya adat sangat jarang kecuali pada upacara perkawinan adat; 7 Perlombaan Budaya daerah tidak pernah ada kecuali lomba busana daerah; 8 Remaja kurang dekat dengan lingkungan alam, karena kegiatan sehari-hari dihabiskan di sekolah. Penyusutan pemahaman konsepsi makna leksikal disebabkan oleh faktor eksternal sehingga, kontribusi negatif, yang menyebabkan terjadinya penyusutan pemahaman untuk lebih jelas akan diuraikan faktor-faktor eksternal sebagai berikut.

4.3.2.1 Ketua Adat Pelaku Adat Belum Maksimal Mengajari Adat

Ketua adat pelaku adat sebagai orang yang ditunjuk untuk menjalankan peradatan, pelaku adat terdiri dari raja panusunan bulung raja beberapa huta sebagai raja adat, raja pamusuk raja disebuah kampung ‘huta’, orang kaya orang yang memimpin jalan paradatan ‘MC’, unsur dalihan na tolu, hatobangon, alim ulama, dan lainnya. Upacara perkawinan tidak dapat berlangsung bila yang ada di atas tidak lengkap, unsur peradatan pelaku adat tersebut dalam menjalankan adat istiadat dengan penuh tanggung jawab. Memang hal tersebut dilakukan dengan penuh tanggung jawab, tetapi pernahkah mereka berpikir, apakah yang mereka lakukan dipahami oleh remaja, sehingga peradatan akan berlangsung dengan baik pada beberapa generasi ke depan setelah mereka tiada. Agar diketahui pemahaman remaja tentang upacara adat maka, maka untuk mengetahui hal tersebut diajukan dengan kuesioner No. 22, “Pernahkah ketua adat pelaku adat mengajarimu berbahasa adat markobar, mangupa, memimpin upacara martahi dan lain-lain?” Jawaban yang diberikan responden Universitas Sumatera Utara diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: a remaja tidak pernah diajari berbahasa adat pada upacara adat, responden remaja yang menjawab tidak pernah sama sekali sebanyak 25 orang atau 71,42 bila dipersentasekan, b Yang menjawab pernah diajari tentang bahasa adat dan adat sebanyak 7 orang atau 20,00 pernah diajari tentang bahasa adat pada upacara perkawinan, c yang tidak tahu sama sekali tentang adat dan tidak pernah terlibat sama sekali sebanyak 3 orang atau 8,58. Realitas yang terlihat pada gambar di bawah, sangat mengkhawatirkan seluruh masyarakat, pelaku adat, lembaga adat, pemerintah, dan stage holder adat untuk duduk satu meja untuk membicarakan kondisi ini, agar dicari solusi terhadap persoalan pewarisan adat dan budaya. 8,58 20 71,42 1. 25 orang atau 71,42 tidak pernah diajarkan sama sekali 2. 7 orang atau 20 pernah diajari tentang upacara adat 3. 3 orang atau 8,57 tidak tahu sama sekali tentang adat Gambar 34. Persentase Remaja Pernah Diajari Ketua Adat Pelaku Adat tentang Upacara Perkawinan Adat Pelaku adat yang pernah diwawancarai pada tanggal 21 Januari 2011 yaitu Bapak Gading Harahap, S.Pd gelar adat Patuan Batara Guru, ketika penulis mewawancarainya dengan pertanyaan, “Apakah ada upaya yang dilakukan pelaku Universitas Sumatera Utara adat untuk memahami adat dan bahasa adat?” Jawaban informan kunci tersebut cukup menggembirakan, karena beliau telah berupaya membina remaja di Kecamatan di Angkola Julu untuk memahami adat, yaitu setiap malam Jumat setelah usai perwiridan. Di samping itu beliau sebagai Pembina Naposo Nauli Bulung NNB ‘Muda Mudi’, beliau juga menjabat kepala SMA Swasta Harapan Kecamatan Angkola Julu Bapak Gading Harahap, S.Pd memasukkan muatan lokal bahasa daerah pada kurikulum mulok. Besarnya kota Padangsidimpuan dengan total jumlah penduduk remaja sebanyak 66.329 orang, jika dibandingkan dengan orang yang mampu dilatihnya untuk memahami adat, hal ini tidak sebanding dengan jumlah remaja yang cukup besar, karena dari seluruh Kecamatan di Padangsidimpuan yang diwawancarai hanya satu orang yang memahami kondisi peradatan di Kota Padangsidimpuan. Hal inilah yang perlu jadi bahan masukan nanti kepada pemerintah untuk memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum SMPMTs, SMASMKMA hal ini akan mampu menjawab permasalahan budaya lokal local wisdom yang memiliki nilai-nilai kearifan tetapi sudah kurang dipahami remaja.

4.3.2.2 Lembaga Adat Belum Mensosialisasikan Adat pada Remaja

Lembaga adat merupakan lembaga yang dibentuk oleh para tokoh adat, yang berfungsi menjembatani pewarisan adat kepada generasi muda, sebagi cikal bakal yang akan meneruskan budaya adat tersebut. Eksistensi lembaga adat untuk bekerja maksimal sebagai lembaga resmi yang dibentuk oleh tokoh-tokoh adat tersebut, belum berbuat banyak sebagai jembatan penerus tongkat estafet adat-istiadat. Universitas Sumatera Utara Hal tersebut diketahui lembaga adat belum berfungsi mensosialisasikan adat pada Remaja, karena dari hasil wawancara dengan kuesioner No. 21 kepada responden remaja diperoleh jawaban bahwa sebanyak 31 orang 88,57 tidak pernah sama sekali disosialisasikan lembaga adat kepada remaja, Sedangkan sebanyak 3 orang 8,58 menjawab lembaga adat pernah mensosialisasikan tentang adat kepada mereka. dan dijawab satu orang 2,85 tidak tahu sama sekali tentang lembaga adat. Angka yang sangat mengkhawatirkan bila ditinjau dengan peran lembaga adat, yang seharusnya mewariskan estafet adat-istiadat kepada remaja, dengan jawaban responden remaja, bahwa lembaga adat belum menjalankan peran dan fungsinya untuk mensosialisasikan upacara perkawinan adat tersebut 2,85 8,58 88,57 1. 31 orang atau 88,57 tidak pernah disosialisasikan oleh lembaga adat sama sekali 2. 3 orang atau 8,58 pernah disosialisasikan oleh lembaga adat tentang upacara perkawinan adat 3. 1 orang atau 2,85 tidak tahu sama sekali tentang lembaga adat Gambar35. Persentase Lembaga Adat tidak pernah Mensosialisasikan tentang Upacara Perkawinan Adat kepada Remaja . Bila dilihat peran tokoh adat yang peduli denga realitas kekinian, hal itu tidak sebanding jumlahnya antara pelaku adat yang mau membina dengan besarnya Universitas Sumatera Utara jumlah 66.329 orang remaja kota Padangsidimpuan, jika dibandingkan dengan peran lembaga adat atau tokoh adat yang terketuk hatinya untuk mewariskan adat-istiadat kepada remaja untuk melatih dan memahami adat . 4.3.2.3 Remaja Tidak Mengenal Benda-benda yang dipakai pada Upacara Adat Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, merupakan budaya yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya, yang sistem pewarisannya dilakukan dengan jalan dari mulut ke telinga istilah. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. Tradisi lisan tidak akan dapat dilaksanakan bila tidak terpenuhi beberapa hal, yang salah satu faktornya adalah benda-benda adat yang seharusnya ada, sebelum upacara adat terselenggara. Benda-benda adat merupakan media yang dipercaya komunitas adat harus tetap ada bila upacara adat berlangsung. Fakta yang diperoleh di lapangan setelah diwawancarai dengan kuesioner No. 16 kepada remaja, ternyata jawabannya banyak remaja kurang mengenal nama benda-benda adat, hasil yang diperoleh ketika dilakukan wawancara maka remaja yang tidak memahami benda-benda adat sebanyak 31 orang 88,57 hanya 4 orang 11,42 yang kenal benda-benda yang dipakai pada upacara adat, dengan rincian 19 orang 54,28 kurang kenal 12 orang 34,28 tidak kenal sama sekali dan 4 orang 11,42 yang kenal benda-benda yang dipakai pada upacara adat.

4.3.2.4 Remaja Tidak Pernah Manortor

Kesenian tradisional merupakan kesenian yang masih dipakai oleh komunitas adat ketika melakukan upacara perkawinan adat. Salah satu kesenian tradisional Tapanuli Selatan yang terus masih dipakai bila upacara perkawinan adat yaitu tarian Universitas Sumatera Utara tortor, tarian ini akan dilakukan bila syarat untuk melakukan upacara adat berlangsung terpenuhi. Upacara manortor merupakan upacara yang dilakukan oleh pihak anak boru menyambut mora-nya, upacara ini dapat berlangsung sehari atau lebih bergantung kepada besar kecilnya pesta ‘horja’ tersebut yang diukur dari binatang adat yang disembelih. 5,71 11,42 82,85 1. 29 orang atau 82,85 tidak pernah manortor pada upacara adat 2. 4 orang atau 11,42 pernah manortor pada upacara perkawinan adat 3. 2 orang atau 5,71 tidak tahu sama sekali tentang manortor adat Gambar 36. Persentase Partisipasi Remaja pada Upacara Manortor pada Upacara Perkawinan Adat Upacara perkawinan adat besar kecilnya diukur dari binatang yang disembelih ‘lahanan na’ ukuran tersebut merupakan sesuatu yang telah dijadikan pegangan para pelaku adat yang berlaku secara turun temurun. Hewan adat tersebut tersebut yaitu kerbau dan kambaing, bila pesta yang besar maka harus ada minimal satu ekor kerbau, dan bila pesta kecil minimal hewan yang sembelih adalah satu ekor kambing horbo janggut. Hasil yang diperoleh dari wawancara dengan responden remaja mengapa mereka kurang memahami leksikon adat, maka perlu dijajaki pemahaman tentang hal tersebu, melalui keikutsertaan remaja pada upacara manortor di upacara perkawinan Universitas Sumatera Utara adat. Hasil jawaban remaja yang pernahkah manortor sebanyak 4 orang atau 11,42, remaja tidak pernah manortor sama sekali sebanyak 29 orang 82,85, yang tidak tahu sama sekali tentang adat dan tidak pernah terlibat sama sekali sebanyak 2 orang 5,71, Bila digambar pada pie cart di atas.

4.3.2.5 Buku-buku Berbahasa Daerah Jarang Terbit

Buku merupakan sumber ilmu pengetahuan, karena buku mempercepat informasi di samping, teknologi lainnya. Buku memiliki peran yang cukup signifikan terhadap percepatan suatu pengetahuan, begitu pula pengetahuan adat dan budaya. Tetapi hal itu belum dapat diperoleh informasi upacara perkawinan adat melalui buku-buku berbahasa daerah, karena buku-buku berbahasa daerah yang berfungsi untuk memudahkan remaja atau siapapun yang ingin belajar serta mempelajari pengetahuan adat dan budaya daerah. Begitu pula dengan buku-buku yang memberikan pengetahuan tentang upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, buku yang memabahas upacara perkawinan sangat terbatas dan jarang terbit dari hasil wawancara dengan responden diperoleh hasil yang menyatakan bahwa 33 orang responden 94,28 mengatakan buku-buku berbahasa daerah jarang terbit dan 2 orang 5,71 mengatakan pernah melihat buku berbahasa daerah, dan itupun dengan jumlah yang sangat terbatas.

4.3.2.6 Pagelaran Adat Sangat Jarang, Kecuali pada Upacara Perkawinan Adat

Salah satu upaya memperkenalkan kesenian adat dan budaya kepada generasi muda adalah dengan pagelaran budaya, pagelaran budaya merupakan salah satu upaya mendekatkan kesenian tersebut kepada komunitas adat. Tetapi hal sangat Universitas Sumatera Utara memprihatinkan adalah sangat jarangnya dilakukan pageran kesenian tradisional Tapanuli Selatan, karena kesenian tersebut hanya akan dilakukan pada saat upacara perkawinan adat saja, di luar upacara adat jarang sekali dipagelarkan kecuali ada hal- hal yang dianggap penting oleh pemerintah, seperti pameran pertunjukan pada saat- saat tertentu dan itupun frekuensinya sangat jarang. Setelah dilakukan wawancara kepada responden maka diperoleh jawaban pagelaran kesenian tradisional sangat jarang kecuali pada upacara perkawinan adat disebutkan oleh seluruh responden 35 orang responden atau 100 .

4.3.2.7 Perlombaan Budaya Daerah Tidak Pernah Ada, Kecuali Lomba Busana Daerah

Kompetisi atau perlombaan merupakan suatu upaya mencari talenta yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam mempertunjukkan kemampuannya dalam menguasai sesuatu sesuai dengan yang diperlombakan. Jadi, perlombaan merupakan suatu upaya yang sangat efektif dalam memasyarakatkan sesuatu kesenian dan budaya daerah, dengan perlombaaan setiap talenta akan mengasah segala keterampilan yang dimiliki dengan mendayagunakan kemampuan yang menjadi bakatnya untuk tampil sesempurna mungkin agar memperoleh hasil yang memuaskan. Kenyataaan yang tidak dapat dipungkiri hal tersebut sangat jauh dari harapan setelah dilakukan wawancara dengan remaja, ternyata tidak pernah ada suatu perlombaan atau kompetisi budaya daerah, kecuali lomba busana daerah hal itu disebutkan seluruh responden sebanyak 32 orang responden atau 91,42, sebanyak Universitas Sumatera Utara dua orang atau 5,71 mengatakan tidak tahu tentang perlombaan, dan 1 orang 2,85 abstain atau tidak menjawab pertanyaan tersebut. 4.3.2.8 Remaja Kurang Dekat dengan Lingkungan Alam, karena Kegiatan Sehari-Hari dihabiskan di Sekolah Rutinitas remaja sehari-hari di Kota Padangsidimpuan sangat sibuk karena sehari-hari mereka menghabiskan waktu belajar di sekolah maupun di tempat bimbingan belajar. Maka tidak heran upaya pemerintah untuk menjadikan Kota Padangsidimpuan sebagai kota pendidikan. Hal itu sesuai dengan realitas di lapangan. Yang menjadi persoalan adalah aplikasi materi ajar agar dekat dengan lingkungan alam sekitarnya, seperti: hutan, sungai, perkebunan, dan daerah di sekitar lingkungan. Mendekatkan diri dengan lingkungan akan menimbulkan kecintaan dengan lingkungan sehingga generasi muda khususnya remaja merasakan kecintaan dengan ligkungan sehingga dianya turut menjaga kelestarian lingkungan di sekitarnya. Jadi bila generasi muda di jauhkan dari lingkungan di sekitarnya akan berdampak beberapa tahun lagi akan pupus sedikit demi sedikit, sehingga habitat asli akan semakin terabaikan, sehingga akan banyak berkurang habitat karena banyak faktor. Perubahan itu perlu ditinjaklanjuti untuk menggapai lingkungan yang bersih dan asri. Wawancara yang dilakukan pada responden hasilnya remaja kurang dekat dengan lingkungan alam disebabkan kegiatan sehari-hari dihabiskan di sekolah hal itu dijawab oleh responden sebanyak 29 orang responden 82,85, dan responden sebanyak 6 orang 17,14 remaja pada kuesioner tersebut tidak memberikan pendapat. Universitas Sumatera Utara 4.3.2.9 Pemerintah Tidak Memasukkan Kurikulum Bahasa Daerah ke Jenjang SMPMTS, SMASMKMA, Kurikulum untuk Muatan Lokal Bahasa Daerah hanya pada SD Sekolah Dasar Pemerintah memegang peranan yang cukup penting dalam mempertahankan budaya dan kesenian daerah tetap lestari sehingga kelestaraiannya tetap terjaga hingga kini. Tetapi realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa remaja sebagai pemegang tongkat estafet pewarisan budaya dan adat-istiadat malah semakin jauh dari budaya daerah tersebut. Salah satu indikator penyebabnya adalah pemerintah kurang memiliki kepekaan terhadap budaya daerah yang mulai redup pewarisnya. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengupayakan agar remaja sebagai generasi penerus budaya daerah dapat memahami budaya sejak dini, dan terus sepanjang bangku sekolah, sehingga kontinuitas pemahaman budaya etnik Tapanuli Selatan dapat terus dipertahankan. Pemerintah sebagai penentu, agar memasukkan budaya daerah, kesenian daerah melalui bahasa daerah dapat dimasukkan sebagai muatan lokal dari jenjang SD, SMP, dan SMA sederajat mendapat muatan kurikulum lokal, yang tujuan jangka panjangnya adalah menumbuhkan kecintaan kepada budaya daerah. pewarisan dengan memasukkan kurikulum berbahasa daerah ke jenjang SMPMTs, SMASMKMA, sementara kurikulum untuk muatan lokal bahasa daerah hanya pada SD saja. Hal ini dijawab oleh 35 orang siswa dengan memperoleh pelajaran bahasa daerah hanya di SD saja. Hal ini juga dipertanyakan penulis kepada Dinas Pendidikan Kota Padangsidimpuan, melalui Kepala Subseksi Kurikulum Dikmenum Drs. Sahiddin Batubara, dan Beliau menjelaskan di Kota Padangsidimpuan SMP dan Universitas Sumatera Utara SMA sederajat belum memasukkan muatan lokal bahasa dan budaya daerah pada kurikulum. Deskripsi penjelasan di atas dapat disimpulkan: Tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 263 kata. Analisis data setelah diklasifikasi sebanyak 15 kelompok. Kemudian diujikan kepada remaja sebanyak 240 orang dengan 40 orang di setiap kecamatan Kota Padangsidimpuan, dengan hasil sebagai berikut: Penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan, karena faktor internal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja: a Kurang memahami upacara perkawinan adat; b Tidak memahami urutan kronologis upacara perkawinan adat; c Tidak memahami jenis-jenis upacara perkawinan adat; d Remaja tidak mengetahui apa ukuran besar kecilnya upacara perkawinan adat; e Remaja lebih menyenangi musik pop modern daripada musik tradisional; f Remaja jarang mendengar leksikon pronomina dan tidak memahami leksikon adat dan mereka tidak berusaha untuk mencari tahu bertanya agar memahami makna leksikon tersebut kepada pelaku adat. Faktor eksternal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan ada beberapa faktor, seperti: a Ketua adat pelaku adat belum maksimal mengajari adat; b Lembaga adat belum mensosialisasikan adat pada remaja; c Remaja tidak mengenal benda- benda adat yang dipakai pada upacara adat; d Remaja tidak pernah manortor; e Universitas Sumatera Utara Buku-buku berbahasa daerah jarang terbit; f Pagelaran budaya adat sangat jarang, perlombaan budaya daerah tidak pernah ada kecuali lomba busana daerah; g Remaja kurang dekat dengan lingkungan alam, karena sehari-hari dihabiskan di sekolah; dan h Pemerintah belum memasukkan kurikulum bahasa daerah ke jenjang SMPMTS, SMASMKMA. Universitas Sumatera Utara BAB V NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRADISI LISAN UPACARA PERKAWINAN ADAT DAN TEMUAN Unsur-unsur kearifan lokal pada tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, dapat ditemukan pada setiap upacara perkawinan dengan adat. Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat yang sarat dengan pesan-pesan yang disampaikan melalui tahapan-tahapan upacara. Tradisi lisan upacara perkawinan adat yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tradisi lisan yang digunakan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Kota Padangsidimpuan yang dikenal juga dengan sebutan mandokkon hata ‘menyampaikan kata-kata pesan’. Seorang pelaku adat atau unsur dalihan na tolu bila tidak diikutsertakan dalam mandokkon hata ‘menyampaikan kata-kata pesan’, maka pelaku adat tersebut akan merasa terhina, begitulah kentalnya tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan tersebut. oleh karena itu, dari tradisi lisan upacara adat Tapanuli Selatan dapat diretas nilai-nilai yang terdapat pada tradisi lisan upacara perkawinan adat.

5.1 Nilai-nilai Kearifan Lokal Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan

Memahami nilai-nilai dengan baik, maka perlu dilakukan perbandingan dengan fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap orang, walaupun menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut dapat berbeda-beda. Tradisi lisan sebagai produk kultural, mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya sistem nilai, kepercayaan dan agama, Universitas Sumatera Utara kaidah-kaidah sosial, etos kerja, bahkan cara bagaimana dinamika sosial itu berlangsung Pudentia, 2003: 1. Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat merupakan bias keyakinan masyarakat kepada tradisi yang telah berlangsung dari generasi ke generasi. Tradisi etnik masyarakat adat memiliki nilai yang terkandung sesuai dengan norma yang diyakini masyarakat, menurut Roland Barthes 1957: 140-142 ada tiga ciri-ciri nilai, yaitu: 1 nilai yang berkaitan dengan subyek; 2 nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu; 3 nilai menyangkut sifat-sifat yang ‘ditambah’ oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek, nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Tradisi lisan pada upacara adat perkawinan Tapanuli Selatan, bila digali secara mendalam terkandung kearifan lokal local wisdom, sehingga terdapat nilai-nilai kearifan yang berguna dalam mengikat hubungan antara masyarakat adat. Unsur nilai tradisi lisan yang terkandung dalam penelitian ini memiliki kearifan lokal pada upacara perkawinan adat, agar lebih jelas nilai-nilai menurut Roland Barthes yang terkandung pada tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan antara lain: 5.1.1 Nilai yang Berkaitan dengan Subyek 5.1.1.1 Nilai kearifan gotong royong pada upacara perkawinan adat; 5.1.1.2 Nilai falsafah Kerukunan pada tradisi lisan ‘nasihat’ pada upacara marpangir di topi raya bangunan: 5.1.1.3 Remaja bangga remaja bangga dengan budaya tapanuli selatan dan upacara perkawinan adat: Universitas Sumatera Utara 5.1.2 Nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu Subyek 5.1.2.1 Nilai kerukunan pada tradisi lisan ‘nasihat’ pada upacara marpangir di topi raya bangunan; 5.1.2.2 Nilai keikhlasan bekerja tanpa pamrih pada upacara perkawinan adat; 5.1.3 Nilai menyangkut sifat-sifat yang ‘ditambah’ oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek, nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. 5.1.3.1 Nilai identitas dalihan na tolu sebagai penguat, dalam mencegah konflik pada upacara perkawinan adat masyarakat Tapanuli Selatan Batak; 5.1.3.2 Nilai estetis leksikon kata-kata nasihat tradisi lisan pada Upacara

5.1.1 Nilai yang Berkaitan dengan Subyek

5.1.1.1 Nilai Bergotong Royong pada Upacara Perkawinan Adat

Gotong royong merupakan budaya bangsa Indonesia sejak zaman dahulu, dengan bergotong royong tercerminkan adanya kesatuan yang bercirikan kekeluargaan. Gotong royong merupakan bekerja secara bersama-sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan secara bersama-sama pula menikmati hasil pekerjaan tersebut. Jadi, bergotong royong merupakan suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa mengharap imbalan tanpa pamrih pekerjaan dilakukan dengan sukarela oleh semua warga masyarakat dan sesuai dengan batas kemampuan masing-masing. Ketika bergotong royong tercermin konsep kebersamaan dan suka menolong untuk melakukan atau menyelesaikan sesuatu. Upacara perkawinan adat memiliki nilai-nilai kearifan lokal bergotong royong terbias dari pelaksanaan pada upacara perkawinan ‘horja’ adat, setelah diamati dari Universitas Sumatera Utara awal pelaksanaan upacara adat sampai kepada seremonial menasihati pengantin. Persiapan horja dimulai dengan memotong hewan yang menjadi ‘lahanan na’ syarat adat untuk melaksanakan upacara perkawinan, hewan yang dipotong dan dimasak ‘digulai’, menggulai gori nangka ‘sibodak’ atau gulai pepaya ‘botik’, memeras santan, menanak nasi di dandang, dan seluruh masakan dimasak secara bersama- sama. Seluruh masakan dimasak dan disajikan kepada seluruh masyarakat, tamu, undangan secara bersama-sama, semua pekerjaan dilakukan secara bergotong royong Begitu pula pada upacara adat mangupa, atau mambutung-butongi mangan adat memberi makan hingga kenyang, di antaranya adalah martahi martahi sabagas, martahi sahuta, martahi saluat, marpege-pege mengumpulkan uang sumbangan untuk pesta adat perkawinan, horja, manortor, dan upacara adat tersebut seluruhnya dilakukan dengan bergotong-royong oleh masyarakat adat serta unsur dalihan na tolu. Warga ‘Tapanuli Selatan’ Padangsidimpuan selalu mentaati dan melaksanakan pekerjaan pesta perkawinan horja setelah diterima pada saat musyawarah martahi pasahat karejo. Setelah pekerjaan diterima maka seluruh unsur yang hadir pada martahi tersebut, akan memikul tanggung jawab hingga seluruh rangkaian upacara perkawinan adat itu selesai. Begitu besar tanggung jawab masyarakat untuk menunaikan pekerjaan tersebut tanpa pamrih. Kebersamaan yang saling mengikat dan berhubungan yang erat antara yang satu dengan lainnya pada upacara perkawinan. Kebersamaan dalam hidup bergotong royong dengan sama-sama bekerja dan bekerja secara bersama-sama ke bawah dan melonpat bersama-sama ke atas seperti pepatah salumpat saindege yang juga Universitas Sumatera Utara menjadi moto kota Padangsidimpuan. Pendeskripsian kebersamaan hidup bergotong royong dalam melaksanakan pekerjaan upacara perkawinan adat tersebut untuk mencapai tujuan tanpa mengharapkan imbalan apa-apa. Melalui upacara perkawinan adat ini tergambar ikatan dalam kesatuan ketika bekerja bergotong royong, terdapat rasa kebersamaan yakni dalam kesusahan siluluton maupun dalam kesenangan siriaon. Dengan demikian, nilai-nilai kearifan gotong royong dapat digali pada upacara perkawinan adat, karena setiap orang pada unsur dalihan na tolu akan merasakan hal yang sama yaitu dapat merasakan kesusahan siluluton maupun dalam kesenangan siriaon karena setiap orang akan merasakan hal itu dan akan berganti-gantian mengalaminya. Ibarat pepatah Tapanuli Selatan seperti mandi di pancuran sangon maridi di pancuran, margonti-gonti, setiap orang akan mengalami kedua hal tersebut. Pada upacara perkawinan adat akan merasakan hidup saling tolong menolong dan hidup bergotong royong, seperti dalam ungkapan, “Marsiamin-aminan songon lampak ni gaol, marsitungkol-tungkolan songon suhat di robean”. Artinya “Saling membantu seperti pelepah pisang, saling menopang seperti keladi di lereng bukit”. Upacara perkawinan adat bagi masyarakat Tapanuli Selatan, memiliki nilai-nilai kearifan seperti saling menopang, saling menolong dalam setiap suka apalagi duka. Unsur dalihan na tolu pada upacara perkawinan adat sampai saat ini masih tetap memberikan partisipasi dalam bentuk tenaga maupun materi bagi mereka yang mengadakan pesta, dimulai dari mempersiapkan hingga tahap akhir upacara perkawinan adat selesai, pekerjaan itu dilakukan secara bersama-sama. Universitas Sumatera Utara Pertanyaan yang diajukan kepada responden remaja membuktikan bahwa pekerjaan pada upacara perkawinan dilakukan dengan bergotong royong, “Bagaimanakah pekerjaanmu pada upacara perkawinan adat tersebut, apakah kamu bekerja sendiri atau bekerja secara kelompok bersama-sama?” dengan kuesioner No. 5 di atas ketika ditanyakan kepada responden, jawaban mereka adalah sebanyak 30 orang 85,71 mengaku bekerja secara gotong royong di tempat Horja pesta adat; sebanyak 3 orang 8,57 menjawab tidak pernah bekerja secara kelompok atau bekerja sendiri pada upacara perkawinan adat, jadi keberadaannya pada upacara perkawinan hanya duduk-duduk saja sebagai tamu. Sedangkan 2 orang 5,71 menjawab kehadirannya pada upacara perkawinan adat karena di ajak oleh kedua orang tuanya. Hasil pertanyaan tertulis dengan responden remaja, dengan kuesioner soal No. 3, “Ketika kamu berada pada upacara perkawinan adat tersebut berusahakah kamu bekerja dengan hasil maksimal?” jawaban responden bahwa mereka akan bekerja maksimal sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan pada mereka untuk bekerja bersama-sama, hasilnya dijawab sebanyak 28 orang 80 mau bekerja secara maksimal sebanyak 3 orang 8,57 dan yang menjawab akan berusaha bekerja dengan maksimal dijawab sebanyak dua orang 5, 71 dan menjadi tamu undangan sebanyak 2 orang 5, 71 dengan demikian 33 orang 94,28 bekerja dengan maksimal. Bergotong royong merupakan suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa mengharap imbalan tanpa pamrih pekerjaan dilakukan dengan sukarela oleh warga masyarakat Tapanuli Selatan sesuai dengan batas kemampuan masing-masing. Universitas Sumatera Utara Ketika bergotong royong tercermin konsep kebersamaan dan suka menolong untuk melakukan atau menyelesaikan sesuatu. Upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan memiliki nilai- nilai kearifan lokal bergotong royong terbias dari pelaksanaan pada upacara perkawinan ‘horja’ adat, setelah diamati dari awal pelaksanaan upacara adat sampai dengan upacara adat seremonial adat menasihati pengantin. Setelah memperhatikan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa upacara perkawinan adat memiliki nilai-nilai kearifan lokal bergotong royong, yang merupakan penopang pada kerukunan hidup bermasyarakat yang masih berlaku hingga saat ini. Hal tersebut terlihat pada upacara perkawinan adat tersebut begitu pula dari hasil jawaban responden, mereka bekerja bersama-sama dengan hasil semaksimal 5.1.1.2 Nilai Falsafah Kerukunan pada Tradisi Lisan ‘Nasihat’ pada Upacara Marpangir di topi raya bangunan Rukun dapat diartikan sebagai hidup yang konsisten dalam menjalankan ajaran agama atau norma-norma yang berlaku, karena rukun berasal dari bahasa Arab ruknun yang berarti asas atau dasar. Rukun dalam arti ajektiva adalah baik atau damai. Dengan demikian, kerukunan dapat bermakna rasa damai, baik, tidak ada pertengkaran, serta bertoleransi bertenggang rasa terhadap sesama. Kerukunan juga merupakan suatu kenyamanan untuk hidup bersama, berdampingan, dengan damai dan tertib. Dengan adanya kerukunan, dalam kehidupan masyarakat akan tercipta suatu kedamaian, ketertiban, dan ketentraman, tanpa ada pertikaian dan pertengkaran. Universitas Sumatera Utara Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat memiliki kearifan lokal kerukunan meliputi kerukunan antarwarga, beragama, dan antaretnis dalam konsep multikulturalisme dan pluralisme. Kerukunan antarwarga berarti kehidupan yang damai dan tertib yang dijalankan oleh sesama warga. Indikator yang berhubungan dengan kerukunan antarwarga antara lain bergotong royong, bermusyawarah, dan kekerabatan. Hal itu terungkap dalam nasihat kerukunan dan pandai berkeluarga dan berfamili seperti, “Sareto maroban jait, dobu so solkot na markoum ’biar akrab yang berfamili’.” Jadi nasihat untuk akrab dan dekat berfamili berkerabat sudah dianjurkan sejak awal berumah tangga, agar saling mengetahui siapa saja kerabat yang kita miliki. Dengan mengetahui kerabat yang dimiliki akan tercipta kerukunan sesama keluarga, dengan kerukunan hidup maka akar konflik sejak dini sudah dapat dicegah. Kerukunan pada masyarakat Tapanuli Selatan terbias melalui upacara adat, sehingga tidak ada perbedaan perlakuan dalam adat, karena posisi adat ditentukan oleh perannya pada adat dalihan na tolu. Sehingga unsur dalihan na tolu dan tokoh adat berarti hubungan sesama komunitas adat yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam melaksanakan adat dan hidup bermasyarakat. Hal tersebut dapat diaktualisasikan dengan saling mempercayai komitmen yang sudah dibangun masyarakat adat sejak dari dahulu songon na dibaen opputta na jolo, dengan perilaku yang ikhlas dalam melaksanakan dan mensukseskan upacara adat, pada tradisi lisan upacara perkawinan adat sepulang dari topi raya bangunan, dapat dianalisis salah satu nasihat tokoh adat seperti: Universitas Sumatera Utara

5.1.1.2.1 Manat markahanggi

Suatu perkawinan yang didasari atas keinginan untuk membentuk mahligai rumah tangga yang langgeng, oleh karena itu, perlu dihindari jarak potensi berselisih pendapat dan mau menang sendiri, karena itu dapat berekses menimbulkan konflik pada rumah tangga yang akan menjalar pada kerabat sakahanggi sehingga akan berdampak pada keluarga kedua belah pihak secara lebih besar. Perilaku kedua mempelai dua simanjujung yang bertenggang rasa, sabar mutlak diperlukan dalam mengarungi hidup dan kehidupan sehari-hari. Agar hal tersebut dapat dicegah unsur dalihan na tolu yaitu kahanggi, perlu lebih berhati-hati dalam menjaga hubungan silaturahmi dengan unsur dalihan na tolu yang lain. Tradisi lisan dalam nasihat pada upacara perkawinan dari tepi raya bangunan: memangir mempelai laki-laki dan mempelai perempuan dengan beras kuning “ Didokkon anak baen dua, antong u hordang mada, U hordang tugal ‘kayu’, alat pelobang menanam bibit jagung ke tanah di ginjang rambut, di son otak dohot pikir, Maro dongan si sada, dua tolu, antong denggan ma ho tu kahanggimu, elek ma ho, maranak boru, sombah ma ho tu moramu. Sada, dua tolu, opat, lima, onom, pitu, pitu cundut sai so soada mara horaskon menyerukan Horas…horas…horas. Nasihat manat markahanggi, manat artinya teliti, hati-hati, bertenggang rasa, dan sabar. Jika dibandingkan dengan potensi dengan anak boru dan mora. Sehingga nasihat ini selalu diberikan hatobangon, harajaon, dan alim ulama pada upacara perkawinan adat. Sifat manat-manat atau hati-hati, tenggang rasa, dan sabar sehingga sebelum memasuki rumah tangga baru, pada upacara adat diberikan Universitas Sumatera Utara nasihat-nasihat hidup berumah tangga markahanggi. Sikap tersebut akan memberikan manfaat agar kerukunan hidup berkeluarga tetap terjaga.

5.1.1.2.2 Elek Maranak Boru

Dalam kehidupan berumah tangga diperlukan sikap untuk pandai-pandai bergaul dengan keluarga, mengambil hati malo mabuat roha keluarga dan pandai menyenangkan hati anak boru, anak boru sebagai tulang punggung dalam kegiatan adat, anak boru sebagai tiang tumpu berjalannya adat seperti dalam adat anak boru manambah na urang manguruk na lobi sehingga pada upacara perkawinan adat dan dalihan na tolu, eksistensi anak boru sangat menentukan suksesnya upacara perkawinan adat tersebut. Elek maranak boru Tabel 3 Q lampiran, no 10 tradisi lisan dalam nasihat pada upacara perkawinan dari tepi raya bangunan: memangir mempelai laki-laki dan mempelai perempuan dengan beras kuning “Didokkon anak baen dua, antong u hordang mada, U hordang tugal ‘kayu’, alat pelobang menanam bibit jagung ke tanah di ginjang rambut, di son otak dohot pikir, Maro dongan si sada, dua tolu, antong denggan ma ho tu kahanggimu, elek ma ho, maranak boru, sombah ma ho tu moramu. Nilai kearifan lokal menjaga kerukunan antar masyarakat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan, karena mora ditempatkan sebagai orang yang memiliki nilai harkat tinggi sahala tondi tidak bisa semena- mena menganggap dan memperlakukan dibarisan anak borunya, tetapi mora harus pandai-pandai mengambil hati anak boru. Mora harus menyadari bila anak boru tidak melakukan pekerjaannya, maka seluruh upacara perkawinan adat tidak akan terlaksana dengan baik, bahkan gagal. Universitas Sumatera Utara

5.1.1.2.3 Somba Marmora

Unsur dalihan na tolu salah satunya adalah mora, pihak mora telah memberikan borunya untuk dipersunting oleh pihak anak boru. Hal tersebutlah yang menjalin hubungan kekeluargaan antara pihak mora dengan anak borunya, oleh karena itu sebagai unsur yang memiliki posisi yang lebih terhormat sahala tondi pada elemen dalihan na tolu. Setelah dianalisis tradisi lisan yang berupa leksikon pada nasihat yang diberikan sepulang upacara adat dari topi raya bangunan pada lampiran tabel 3 B1. 6, anak boru harus somba marmora agar kehidupan yang diciptakan harmonis di antara unsur tersebut. Nilai kearifan lokal pada upacara perkawinan adat, terbias melalui kata-kata nasihat somba marmora Tabel 17 Q, no 11. Tradisi lisan dalam nasihat pada upacara perkawinan dari tepi raya bangunan: memangir mempelai laki- laki dan mempelai perempuan dengan beras kuning “Didokkon anak baen dua, antong u hordang mada, U hordang tugal ‘kayu’, alat pelobang menanam bibit jagung ke tanah di ginjang rambut, di son otak dohot pikir, Maro dongan si sada, dua tolu, antong denggan ma ho tu kahanggimu, elek ma ho, maranak boru, sombah ma ho tu moramu. Secara implisit nilai kearifan lokal adalah nilai-nilai kerukunan, gotong, royong sesuai tugas dan fungsinya sebagai bahagian tatanan dalihan na tolu. Secara tradisional nilai-nilai kearifan lokal pada upacara perkawinan sudah ditanamkan sejak anak boru memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga. Jadi sejak awal kehidupan berumah tangga nilai-nilai kearifan lokal sudah ditanamkan untuk tetap menjaga keharmonian serta kerukunan hidup bermasyarakat.

5.1.1.3 Nilai Kekerabatan pada Upacara Perkawinan Adat

Universitas Sumatera Utara Sistem kekerabatan dalian na tolu merupakan interaksi sosial antara mora kahanggi, dan anak boru terikat pada hak dan kewajiban satu dengan yang lain pada tatanan dalian na tolu. Dalam hal ini, pihak anak boru mengemban fungsi sebagai sitamba na urang siorus na lobi si penambah yang kurang si pengurang yang lebih. Karena kewajibannya yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai na manorjak tu pudi juljul tu jolo yang menerjang ke belakang menonjol ke depan, yang maksudnya pihak anak boru ini sudah semestinya membela kepentingan dan kemuliaan pihak mora. Anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan barisan terdepan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak mora. Semua itu mesti dilaksanakan pihak anak boru karena ia berkewajiban mengangkat harkat dan martabat pihak mora. Sebaliknya, pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru menyayangi dan mengasihi pihak anak boru, hubungan kausalitas itu terpatri sebagai sistem nilai kekerabatan pada komunitas adat. Kahanggi saudara semarga sangat penting bagi setiap individu sebagi bagian komunitas adat, karena berbagai persoalan hidup seperti perkawinan siriaon, kematian siluluton akan dimusyawarahkan dengan kahanggi. Untuk hal ini, para orang tua senantiasa memberi nasihat untuk manat-manat markahanggi bersikap hati-hati terhadap kahanggi agar tidak timbul perselisihan di antara sesama semarga, karena yang markahanggi dapat bekerjasama. Sistem kekerabatan Tapanuli Selatan Angkola, Mandailing, Batak adalah patrilineal, dan hubungan kekerabatannya dapat ditinjau berdasarkan pertalian darah dan perkawinan. Pengelompokkannya menjadi tiga kelompok kekerabatan yang menjadi tumpuan dasar bagi berbagai aktivitas sosial-budaya Tapanuli Selatan Universitas Sumatera Utara Angkola, Mandailing, Batak. Menurut adat-istiadat, ketiga kelompok kekerabatan tersebut masing-masing berkedudukan sebagai mora, yaitu pemberi anak gadis, anak boru, adalah penerima anak gadis, dan kahanggi adalah kelompok kerabat satu marga, yang ketiganya terikat satu sama lain berdasarkan hubungan fungsional dalam satu sistem sosial yang dinamakan dalian na tolu mengatur dan melaksanakan berbagai aktivitas sosial-budayanya serta membentuk suatu persekutuan hukum adattrechts gemeenschap . Selain tiga kelompok kekerabatan di atas, orang Tapanuli Selatan Angkola, Mandailing, Batak juga mengenal kelompok kekerabatan lain sebagai kelompok kekerabatan tambahan yang sebenarnya berasal dari tiga kelompok kekerabatan inti, yaitu mora ni mora dan pisang raut. Mora ni mora adalah kelompok mora daripada mora, dan pisang raut adalah anak boru daripada anak boru. Selain itu ada pula kelompok kekerabatan yang disebut kahanggi pareban, yaitu kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga batih yang berlainan marga namun sama-sama merupakan anak boru dari satu keluarga yang bermarga tertentu. Unsur kearifan lokal kekerabatan pada upacara perkawinan adat merupakan salah satu upaya pencegahan konflik antar sesama komunitas adat. Kegiatan adat yang tetap menjaga kerukunan, sifat gotong royong, keikhlasan tanpa pamrih ketika bekerja sesuai dengan kewajiban masing-masing, dari persiapan sampai dengan selesainya upacara perkawinan adat. Sehingga pada upacara adat, orang tua, hatobangon, alim ulama, dan harajaon memberikan nasihat-nasihat, sebagai bekal untuk menjalani kehidupan bermasyarakat. Seperti yang disampaikan hatobangon pada kata-kata nasihat ketika upacara mangupa, ”Menjaga hubungan dengan Universitas Sumatera Utara manusia, dan menjaga hubungan dengan Allah SWT.” Kemudian pesan hatobangon lebih jauh, ”Muda adong sada-sada siluluton koum sisolkot di jae dohot di julu, .... anak si ahai jot-jot do ro tu son, bope inda didokon, ro do ia.” kalau ada kematian kaum kerabat di tempat yang jauh maupun dekat, anak si anu sering-seringnya dia datang ke mari, walaupun tidak diberi tahu. Lebih jauh, hubungan kekerabatan merupakan hal yang sangat esensial disampaikan oleh harajaon, hatobangon , dan alim ulama hal tersebut perlu dijaga dan tetap terjaganya kekerabatan dan rasa olong kepada koum sisolkot. Hal tersebut pada nasihat Raja Pangundian pada nasihat di Topi Raya Bangunan seperti, ”Denggan ma ho tu kahanggimu, elek ma ho, maranak boru, sombah ma ho tu moramu.” Manat-manat ma ho markahanggi, hati-hati, tenggang rasa dengan saudara semarga kemudian, elek ma ho maranak tabel 2 B1. 6, anak boru harus somba marmora agar kehidupan yang diciptakan harmonis di antara unsur tersebut. Nilai kearifan lokal kekerabatan pada tradisi lisan upacara perkawinan adat, terbias melalui kata-kata nasihat somba marmora Tabel 2 P, No. 11. Ulasan di atas memberikan gambaran, nilai-nilai kekerabatan pada masyarakat telah tertanam sejak melangkahkan kaki pada masa perkawinan. Sehingga nilai-nilai kekerabatan tersebut terpatri pada jiwa hampir setiap orang Tapanuli Selatan Mandailing, Angkola, dan Batak. Dengan demikian nilai-nilai kekerabatan tetap terjaga apalagi unsur-unsur dalihan na tolu tetap menjaga tatanan itu terus jaga hingga kini.

5.1.1.4 Remaja Bangga dengan Budaya Tapanuli Selatan dan Upacara Perkawinan Adat

Universitas Sumatera Utara Kebudayaan etnik di setiap daerah dari waktu ke waktu mengalami perubahan, dan perubahan itu merupakan proses adaptasi terhadap masuknya budaya asing, dan faktor agama, finansial, lingkungan hidup, dan waktu. Oleh karena itu masyarakat adat tetap beradaptasi terhadap faktor-faktor tersebut sehingga, pemertahanan adat tetap berjalan hingga kini, walaupun akulturasi disesuaikan dengan kepentingan masyarakat adat dengan tidak meninggalkan elan vital nilai tradisi yang sudah mengakar. Evolusionistis budaya tradisi, yang oleh sebahagian orang dianggap ketinggalan, tetapi eksistensi adat masih tetap terjaga hingga kini. Walaupun pelaku adat mulai berkurang, yang disebabkan proses pewarisan yang belum dilakukan dengan maksimal, sehingga dari waktu ke waktu pewaris budaya semakin berkurang oleh waktu. Walaupun begitu, signifikannya penyusutan pemaham konsepsi leksikon adat, di dalam hati masyarakat kultur masih berkeinginan untuk tetap melakukan upacara adat pada setiap perkawinan. Hal itu terbukti dari kuesioner No. 8 diberikan kepada generasi muda, ”Seandainya kamu pesta adat horja, akankah dipakai upacara perkawinan adat atau secara nasional?” a Jawaban responden terhadap hal itu cukup positif dengan budaya adat hal tersebut terbukti dengan 28 orang atau 80, memilih tetap menggunakan upacara perkawinan dengan adat. b Sementara 3 orang atau 8,57 memilih dengan menggunakan upacara perkawinan secara nasional. c dari jawaban yang ditanyakan kepada responden 2 orang atau 5,71 menjawab menjawab bahwa boleh menggunakan upacara perkawinan dengan adat dan boleh pula menggunakan upacara perkawinan secara nasional, dan d dua orang atau 5,71 tidak ada pilihan. Universitas Sumatera Utara Sistem nilai-nilai budaya dalam tradisi lisan pada upacara perkawinan Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan pada hakikatnya menyangkut masalah dasar kehidupan, bernilai, berharga, luhur, dan mulia. Begitu pula hakikat hidup, hakikat karya, dan hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu. Menyangkut tentang nilai-nilai budaya adat ternyata remaja memiliki cara pandang terhadap budaya, bahwa pada hakikatnya remaja walaupun pemahaman adat berkurang tetapi memiliki nilai kebanggan terhadap adat dan budaya itu sendiri. Hal itu terjawab dari kuesioner No. 9 yang berbunyi, ”Malukah atau banggakah kamu seandainya dipakai upacara adat, ketika pesta pernikahanmu?” Ternyata remaja secara menyeluruh menjawab, mereka tidak malu, bahkan bangga mengenakan pakaian dan upacara perkawinan secara adat, hal itu secara keseluruhan remaja menjawab tidak malu menggunakan upacara adat pada pernikahan dan bahkan mereka menjawab bangga bila mereka menikah nanti menggunakan upacara adat. Hal ini dijawab oleh 35 orang atau 100 dengan jawaban tidak malu, malah menjawab bangga. Remaja tidak malu bahkan berbangga bila nanti pada upacara perkawinannya menggunakan adat Tapanuli Selatan. Kuesioner berikut menyebutkan tentang, ”Bagaimana sikap remaja dan tanggapanmu terhadap upacara perkawinan?” Dari responden yang diwawancarai mereka menjawab sebanyak 32 orang 91,42 bersikap setuju atau mendukung terhadap upacara perkawinan, yang tidak setuju sebanyak 2 orang 5,71 sedangkan satu orang 2,85 lagi abstain. Begitu pula dengan tanggapan masyarakat tentang adat upacara perkawinan yang digunakan oleh masyarakat di Padangsidimpuan, jawaban terhadap kuesioner Universitas Sumatera Utara No. 10 yang berbunyi, ”Bagaimanakah tanggapan masyarakat terhadap upacara perkawinan adat?” maka jawaban responden bahwa masyarakat di Padangsidimpuan masih menggunakan adat dan suka dengan adat ketika upacara perkawinan. Hal ini dibuktikan dengan jawaban responden sebanyak 30 orang 85,71 menjawab suka dan masih menggunakan adat ketika upacara perkawinan. Sementara 3 orang 8,57 masyarakat tidak suka dengan pengguanaan upacara perkawinan adat tersebut. Sedangkan dua orang tidak menjawab respon masyarakat terhadap upacara adat, apakah masyarakat suka atau tidak suka dengan adat tersebut. Budaya dan adat Tapanuli Selatan tetap bertahan, dan dipakai oleh komunitas masyarakat adat hingga sekarang, tidak terlepas dari tantangan adat tersebut yang terus mengalami penurunan pemaham. Tetapi, sikap remaja terhadap upacara perkawinan adat tetap tinggi, berdasarkan wawancara tertulis kepada komunitas remaja. Rasa bangga remaja tersebut dengan jawaban dari kuesioner a Seandainya kamu pesta adat horja, akankah dipakai upacara perkawinan adat atau secara nasional? b Malukah atau banggakah kamu seandainya dipakai upacara adat, ketika pesta pernikahanmu? c Bagaimanakah tanggapan masyarakat terhadap upacara perkawinan adat?

5.1.2. Nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu Subyek

5.1.3.1 Nilai kerukunan

Nilai kerukunan sesuai dengan kearifan lokal yang dipertanyaan tertulis kepada responden, terbias melalui tradisi lisan pada upacara adat perkawinan, karena ada perbedaan antara perkawinan yang tidak menggunakan adat tradisional nasional Universitas Sumatera Utara dengan yang menggunakan perkawinan adat. Upacara perkawinan dengan menggunakan perkawinan adat, dengan menggunakan adat seluruh penyelenggaraan upacara perkawinan adat, mulai dari musyawarah martahi hingga pesta perkawinan horja semua aktifitas dilakukan oleh masyarakat dan unsur dalihan na tolu, sehingga keramaian pada pesta perkawinan horja, dilakukan seluruh elemen dalihan na tolu dengan penuh keikhlasan. Keikhlasan tersebut karena kehadiran tersebut tanpa unsur paksaan dan semua pelaksaan pesta perkawinan horja dilakukan oleh masyarakat dengan unsur dalihan na tolu. Hasil pertanyaan tertulis dengan 35 orang responden atas pertanyaan No. 6. ”Bagaimana suasana ketika kamu bekerja di upacara perkawinan adat tersebut?” Jawaban responden adalah senang, karena pekerjaan pada pesta perkawinan horja dilakukan secara bekerja bersama-sama sambil bercanda-canda dengan penuh keceriaan di dapur dan oleh muda-mudi Naposo Nauli Bulung NNB dengan jawaban sebanyak 27 orang 77,14 Jawaban kedua menyatakan adakalanya senang adakalanya menyebalkan jawaban responden sebanyak 2 orang 5,71 jawaban ketiga menyatakan tidak tahu sebanyak tiga orang 8,57 jawaban keempat menyatakan abstain sebanyak 3 orang 8,57. Jawaban tersebut memberikan gambaran bahwa upacara perkawinan adat horja dapat membangun kerjasama yang baik antara masyarakat dan dalihan na tolu sehingga nilai-nilai kerukunan di antara masyarakat di Kota Padangsidimpuan terjalin dengan baik, sehingga di Padangsidimpuan dan daerah pemekaran Tapanuli Selatan jarang terdengar adanya perang antar suku, sehingga di tingkat nasional kerukunan masyarakat Tapanuli Selatan masih tetap menjadi contoh, karena Universitas Sumatera Utara walaupun secara religuitas terdapat perbedaan, tetapi menurut dalihan na tolu dan marga di Tapanuli Selatan hal tersebut terikat jalinan hubungan antara setiap marga, pada tatanan dalihan na tolu. Hubungan antara mayarakat pada pesta perkawinan adat akan terjalin dengan cukup baik, karena antara masyarakat yang satu dengan yang lain hubungan cukup baik. Kehidupan bermasyarakat yang terjalin dengan kesadaran saling menghormati dan saling membutuhkan mutualism adat satu dengan yang lain akan menciptakan ketergantungan sebagai manusia sosial. Konsep gemeinsef yaitu suatu masyarakat egaliter yang membutuhkan yang satu dengan yang lain, hanya akan ditemukan di daerah pedesaan dengan kultur yang sudah terpatri sebagai jati diri masyarakat, sebagai bagian suatu komunitas. Pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan hal tersebut ditemukan sesuai dengan pertanyaan No. 7 yang ditanyakan pada responden, ”Dengan adanya upacara perkawinan adat tersebut, bagaimana kekompakan masyarakat?” Jawaban responden atas pertanyaan tersebut yaitu: remaja menjawab, masyarakat terlihat kompak karena bekerja secara bersama-sama jawaban tersebut dijawab sebanyak 29 orang 82,85. Kurang kompak 2 orang 5,71 Abstein 2 orang 5,71, Senang 2 orang 5,71. Pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan memiliki kearifan lokal kerukunan meliputi: kerukunan antarwarga, beragama, dan antaretnis dalam konsep multikulturalisme dan pluralisme. Jadi nasihat untuk berfamili berkerabat sudah dianjurkan sejak berumah tangga, agar saling mengetahui siapa saja kerabat yang kita miliki. Dengan mengetahui kekerabatan yang dimiliki akan tercipta kerukunan Universitas Sumatera Utara sesama keluarga, dengan kerukunan hidup maka akar konflik sejak dini sudah dapat dicegah.Hal tersebut, dibuktikan dengan ungkapan, “Denggan ma ho tu kahanggimu, elek ma ho, maranak boru, sombah ma ho tu moramu.” Unsur dalihan na tolu pada upacara perkawinan adat, mulai dari musyawarah martahi hingga pesta perkawinan horja semua aktifitas dilakukan oleh masyarakat adat dan, pelaksanaan seluruh horja pesta dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat dan dalihan na tolu dengan penuh keikhlasan, tanpa unsur paksaan karena berdasarkan falsafah hidup masyarakat adat yaitu rasa holong dan saling menyayangi.

5.1.3.2 Nilai Keikhlasan Bekerja tanpa pamrih pada Tradisi Lisan Upacara

Perkawinan Adat Keikhlasan berarti ketulusan hati atau kerelaan dengan hati yang bersih, pada upacara perkawinan adat masyarakat adat dalihan na tolu, ketika dianalisis dengan seksama ditemukan nilai kearifan lokal keikhlasan dalam bekerja, mempersiapkan upacara perkawinan adat hingga upacara perkawinan adat selesai. Keikhlasan itu terwujud dengan ikhlasnya masyarakat adat bekerja dengan penuh tanggung jawab dan bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan upacara perkawinan dari mulai ibadat sampai dengan adat yang berlaku, semuanya dilakukan dengan ikhlas. Wujud keikhlasan tersebut diketahui dengan bekerja dengan kerelaan hati yang bersih tanpa mengharapkan imbalan apapun tanpa pamrih dari pekerjaan yang dilakukan. Agar diperoleh data keikhlasan, maka diperoleh dengan wawancara kepada responden tentang makna keikhlasan tersebut dengan pertanyaan, “Adakah imbalan pamrih yang akan kamu harapkan ketika kamu usai bekerja pada upacara Universitas Sumatera Utara perkawinan adat tersebut?” Hasilnya, dijawab responden atas pertanyaan No. 4 tersebut, ternyata hampir seluruhnya menyadari bahwa, ketika upacara perkawinan adat, jarang ada masyarakat adat pada komunitas tersebut yang mengharapkan imbalan atas jasa yang diberikan terhadap pekerjaan yang mereka lakukan selama upacara adat. 1. 33 orang atau 92, ikhlas, tanpa mengharapkan apapun bekerja pada upacara adat 2. 2 orang atau 5 kehadirannya sebagai tamu jadi tidak bekerja pada perkawinan 3. 1 orang atau 3 bekerja, dan mengharapkan imbalan pada upacara perkawinan adat Gambar 37. Persentase nilai keikhlasan bekerja pacara perkawinan adat Hasilnya responden yang menjawab tidak mengharapkan imbalan tanpa pamrih dijawab sebanyak 32 orang atau sebanyak 91,42 dan sebanyak 2 orang atau 5,71 kehadirannya sebagai tamu, dan satu orang atau 2,85 ternyata mengharapkan imbalan atas jerih payahnya membantu di tempat upacara perkawinan adat dan setelah diwawancarai lebih jauh beliau memang sengaja dipersiapkan tuan rumah untuk mengantisipasi, bila ada hal-hal yang sangat urgen untuk dikerjakan, maka satu orang responden remaja memang menerima upahan pada upacara adat itu Gambar 37 di atas. Universitas Sumatera Utara Paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, nilai kearifan lokal keikhlasan bekerja dalam mempersiapkan upacara perkawinan adat hingga upacara perkawinan adat selesai. Keikhlasan itu terwujud dengan ikhlasnya masyarakat adat bekerja dengan penuh tanggung jawab dan bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan upacara perkawinan, dari mulai ibadat sampai dengan adat yang berlaku, semuanya dilakukan dengan ikhlas. Wujud keikhlasan tersebut diketahui dengan bekerja, yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh dengan penuh kerelaan hati yang bersih tanpa mengharapkan imbalan apapun tanpa pamrih dari pekerjaan yang dilakukan. 5.1.3 Nilai Menyangkut Sifat-sifat yang ‘Ditambah’ oleh Subyek pada Sifat-sifat yang Dimiliki oleh Obyek, Nilai tidak Dimiliki oleh Obyek pada Dirinya. 5.1.3.2 Nilai Identitas Dalihan na Tolu sebagai Penguat dalam Mencegah Konflik Identitas merupakan ciri-ciri, keadaan khusus, atau jati diri seseorang. Karakter bangsa merupakan sistem kepercayaan belief system yang telah terpatri dalam sanubari bangsa, merupakan hasil perpaduan dari faktor endogen dan eksogen diri yang mencerminkan identitas masyarakat etnik Tapanuli Selatan Batak. Bentuk kejujuran, ketulusan, dan kelurusan hati merupakan suatu sifat yang mencerminkan nilai-nilai kultur yang terpatri pada setiap individu yang merupakan bagian dari suatu komunitas masyarakat adat. Kebudayaan etnik yang beragam sebagai identitas suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan sebagai kekayaan kebudayaan kultur. Identitas budaya merupakan seperangkat konsep dan nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain di dalam komunitas masyarakat etnik. Terjadinya perubahan-perubahan sebagai akibat adanya interaksi budaya dalam proses yang adaptif pada kultur adat Tapanuli Universitas Sumatera Utara Selatan, sehingga mampu bertahan atau terpinggirkan, dan bahkan hilangnya suatu kultur dengan masuknya budaya-budaya luar. Perubahan tatanan kehidupan begitu juga tatanan sosial budaya yang berdampak pada terjadinya pergeseran, penyusutan, bahkan hilang dari peradaban masyarakat. Identitas nilai-nilai di masyarakat secara mendasar dinyatakan sebagai suatu modus perilaku atau keadaan akhir dari eksistensi yang khas dan lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan dengan suatu modus perilaku atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai mengandung suatu unsur pertimbangan dalam pengertian bahwa nilai mengemban gagasan-gagasan yang terpatri di masyarakat mengenai apa yang benar, apa yang baik dan sudah menjadi yang tidak terpisahkan dalam tradisi. Nilai identitas tradisi mayarakat Tapanuli Selatan di Kota Padangsidimpuan mempunyai atribut isi maupun intensitas, atribut isi mencerminkan bahwa modus perilaku atau keadaan akhir eksistensi yang mencerminkan seseorang kelompok masyarakat diperingkatkan yang menggambarkan nilai individu kelompok masyarakat itu. Masyarakat yang mempunyai hierarki nilai yang membentuk sistem nilai individu kelompok masyarakat ini, diberikan sistem nilai-nilai seperti: kebebasan, kesenangan, rasa hormat, kejujuran, kepatuhan, dan kesamaan yang berlaku untuk semua anggota komunitasnya. Nilai identitas merupakan perilaku dasar untuk memahami sikap dan motivasi, karena nilai mempengaruhi persepsi individu, lebih jauh menyiratkan bahwa perilaku dan kultur masyarakat lebih disukai dibanding yang lain. Hal tersebutlah yang terdapat pada masyarakat Tapanuli Selatan Angkola, Mandailing, dan Batak sebagai sistem nilai kekerabatan. Universitas Sumatera Utara Masyarakat Tapanuli Selatan Angkola, Mandailing, dan Batak dalam struktur kemasyarakatan yang patriat terdapat nilai-nilai identitas kelompok kekerabatan. kelompok kekerabatan sebagai identitas yang dibentuk berdasarkan hubungan darah dan hubungan perkawinan. Kelompok kekerabatan yang oleh masyarakat Tapanuli Selatan Angkola, Mandailing, dan Batak dinamakan marga, hubungan kekerabatan kindship diantara masyarakat Tapanuli Selatan Angkola, Mandailing, dan Batak dalam satu marga disebut kahanggi. Kahanggi pareban masuk dalam kategori ini, yaitu kerabat yang istrinya berasal dari keluarga yang sama dengan istri kahanggi. Kahanggi dan kahanggi pareban dalam sidang adat berada dalam satu barisan atau satu kelompok kerabat. Pareban disebut pula dengan hombar suhut apabila mereka berlainan marga. Kelompok kekerabatan yang terdiri dari satu marga atau satu turunan mempunyai disebut dengan dongan sabutuha dongan samarga Batak Toba, banyak suku yang menggunakan istilah yang masing-masing yang memiliki nama sendiri. Masyarakat Tapanuli Selatan Angkola, Mandailing, Batak Toba, Simalungun, Pakpak, dan Karo yang dibentuk berdasarkan hubungan perkawinan terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok pemberi anak gadis dalam ikatan perkawinan disebut mora dan kelompok yang menerima anak gadis disebut anak boru. Yang paling tua dari jabatan anak boru disebut dengan orang kaya, yang menjadi pemimpin seluruh kerabat anak boru.Sedangkan anak borunya anak boru disebut dengan pisang raut sibuat bere, yaitu anak boru dari anak boru yang mengambil istri dari keluarga anak boru. Universitas Sumatera Utara Julukan untuk anak boru cukup beragam dalam tradisi lisan dalam upacara adat, seperti: sitambai na hurang menutupi kekurangan mora-nya, sihorus na lobi sikap mora yang berlebihan ditutupi oleh anak boru sehingga penghargaan yang tinggi tetap diberikan kepada moranya, sulu-sulu di na golap anak boru sebagai lampu penerang, yang menerangi seluruh persoalan mora-nya, piri-piri manyonging anak boru juga memiliki keterbatasan, sehingga mora tetap menjaga jangan sampai anak boru-nya gusar, dapdap so dahopan mora tidak boleh sembarangan memperlakukan anak boru-nya, goruk-goruk hapinis anak boru berfungsi sebagai penjaga mora- nya, bungkulan tonga-tonga anak boru berfungsi sebagai pendamai,na gogo manjujung anak boru selalu menjujung harkat dan martabat mora-nya, na juljul tu jolo anak boru selalu berada digaris terdepan untuk menyelesaikan berbagai persoalan, na torjak tu pudi anak boru berfungsi sebagai penopang mora, tongkat di na landit fungsi anak boru sebagai tongkat agar mora tidak jatuh tergelincir. Begitu banyak sebutan mora kepada anak boru-nya sebagai suatu ungkapan begitu hormat dan elek tu anak boru na. Hal itu karena tugas dan tanggung jawab anak boru dalam paradatan cukup berat, karena itu pihak mora selalu berusaha bertenggang rasa dengan anak boru-nya. Mora merupakan kelompok kerabat yang memberikan boru-nya anak gadisnya untuk dipersunting menjadi istri oleh anak boru. Mora ni mora disebut pula dengan sebutan hula dongan. Artinya mora dari mora adalah hula-hula. Mora ni mora dalam adat tidak memiliki tugas khusus dalam horja adat, karena mora ni mora memiliki tanggung jawab yang telah diketahuinya. Universitas Sumatera Utara Jadi dalam masyarakat Tapanuli Selatan Angkola, Mandailing, dan Batak terbagi atas tiga kelompok yaitu: mora, kahanggi, dan anak boru. Ketiga kelompok kekerabatan tersebut digunakan sebagai tumpuan yang pada sistem sosial disebut dalihan na tolu sistem sosial inilah yang berfungsi menyelenggarakan upacara adat istiadat. Sehingga bila salah satu dari ketiga unsur ini tidak ada maka upacara adat tidak dapat diselenggarakan. Hal ini membuktikan kehidupan masyarakat bahwa dalam sistem sosial masyarakat Tapanuli Selatan Angkola, Mandailing, dan Batak terikat pada pranata sosial dengan dasar rasa olong holong rasa kasih sayang dan domu keakraban, menjelma atau terwujud dalam kehidupan masyarakat yang dilandasi oleh patik ketentuan-ketentuan dasar atau komandemen, dasar adat itu sendiri diisi dengan uhum kaidah-kaidah dan hukum. Nilai identitas masyarakat Tapanuli Selatan Batak dalam sistem kekerabatan dalihan na tolu adalah bersifat kontekstual, sesuai dengan konteksnya pemilik horja upacara adat berlangsung ’siriaon atau siluluton’ maka setiap masyarakat Tapanuli Selatan Angkola, Mandailing, dan Batak akan pernah menduduki posisi tersebut dan menempatkan diri sesuai konteksnya. Upacara perkawinan adat dapat dilaksanakan berkat kerja sama antara unsur dalihan na tolu, jadi dalihan na tolu bekerja sesuai dengan fungsinya dengan suka rela tanpa pamrih, hingga upacara selesai. Hal ini merupakan kewajiban yang sudah menyatu pada setiap komunitas sesuai dengan perannya pada unsur dalihan na tolu dengan dasar rasa holong olong rasa kasih sayang, domu keakraban yang dilandasi oleh patik ketentuan-ketentuan dasar atau komandemen, dasar adat dengan uhum. Universitas Sumatera Utara Pada tradisi lisan pada upacara perkawinan adat kerap mengucapkan kata-kata penghormatan yang disampaikan oleh pelaku adat dengan mengucapkan kata, ” Bahat hormat nami tu anak ni raja anak ni namora.” Hal ini diucapkan pelaku adat sebanyak 11 kali untuk lebih jelas dapat dirinci berikut: No. Pelaku adat Jumlah 1. Orang kaya 2 2. Raja panusunan 3 3. Suhut 1 1 4. Suhut 2 2 5. Anak boru 2 6. Ompu ni kotuk 1 Total 11 Nilai-nilai penghargaan antara pelaku adat, dalihan na tolu, dengan komunitasnya, tradisi lisan pada tuturan tersebut menunjukkan nilai-nilai penghormatan, kesantunan dalam menghormati hubungan kekerabatan secara garis vertikal dan garis horizontal antara kahanggi kahanggi pareban, anak boru pisang raut, dan mora mora ni mora dan pelaku adat. Struktur kemasyarakatan yang patriat sebagai identitas yang dibentuk berdasarkan hubungan darah dinamakan marga dan hubungan kekerabatan kindship seperti kahangi, anak boru, dan mora, disamping itu masih ada yang disebut dengan kahanggi pareban, pisang raut, dan mora ni mora. Jadi kelompok kekerabatan tersebut sudah berada pada lapisan kedua, yang memiliki fungsi yang berbeda dengan kekerabatan pada lapisan pertama, karena intensitas kekerabatan tetap terjalin dengan cukup baik, tetapi tugas dang fungsinya sebagai dalihan natolu hanya pada lapisan pertama saja. Jadi tugas dalihan natolu hanya berfungsi pada hubungan langsung saja, yaitu pada hubungan langsung pada lapisan pertama. Sedangkan pada lapisan Universitas Sumatera Utara kedua hubungan kekerabatan tetap terjalin dengan baik baik lapisan seterusnya, sehingga ketiga kelompok kekerabatan tersebut. 6 Mora ni Mora Pisang Raut Kahanggi Anak Boru Mora Kahanggi Pareban II I Gambar 38. Hubungan vertikal dan horizontal kekerabatan pada komunitas Lapisan pertama maupun pada lapisan kedua dan begitu pula pada lapisan ketiga dan seterusnya, akan membentuk dalihan natolu sendiri dan dapat diisi oleh elemen unsur dalihan natou yang lain sesuai dengan konteks. Maka, pada suatu kali setiap posisi pada dalihan natolu dapat berubah, sesuai dengan hubungannya dengan yang memiliki hajat horja. Sehingga unsur patriat marga dan kekerabatan dalihan natolu mengikat adat patriat sebagai tumpuan yang pada sistem sosial disebut dalihan na tolu. Nilai identitas masyarakat Tapanuli Selatan Batak dalam sistem kekerabatan dalihan na tolu adalah bersifat kontekstual, sesuai dengan konteksnya maka setiap masyarakat Tapanuli Selatan Angkola, Mandailing, dan Batak akan pernah menduduki posisi tersebut dan menempatkan diri sesuai konteksnya. Universitas Sumatera Utara Tabel 2 Frekuensi Penyebutan Pronomina Adat sebagai Nilai Identitas Penghargaan Dalihan Na Tolu dan pelaku adat Pada Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat RP RU RM OK SH AB MR ONK PR PA AN HT KH KP AK IT AU RPB - - 2 8 1 1 - 2 2 2 1 1 - - - - RPU 3 - - - - - - - - - - - - - - - - RPM - - - - 1 - - - - - - - - - - - - OK 7 - 1 - 1 - - 3 - - - - - - - - - SH1 1 - - - 1 - - - - - - - 1 - - - - SH2 3 - - - 2 2 2 - - - - - - 3 1 1 - AB 1 - - - - 1 3 - - - - 2 - - - - - MR 1 - - - - - - - - - - - - - - - - ONK 4 - - - 3 1 4 - - - 2 - 1 - - 3 - KP 9 1 - - - - - - 2 6 6 1 - - - - 1 JLH 29 1 3 8 9 5 9 5 4 8 8 4 3 3 1 4 1 Kehidupan masyarakat dalam sistem sosial masyarakat Tapanuli Selatan Angkola, Mandailing, dan Batak terikat pada pranata sosial dengan dasar rasa olong holong rasa kasih sayang dan domu keakraban, menjelma atau terwujud dalam kehidupan masyarakat yang dilandasi oleh patik ketentuan-ketentuan dasar atau komandemen, dasar adat itu sendiri diisi dengan uhum kaidah-kaidah dan hukum Deskripsi di atas menunjukkan kesantunan sebagai identitas dalam bertutur antara sesama komunitas adat, yang menyebutkan sebutan pronomina untuk mengingatkan dan mengaitkan tuturan antara masing-masing tokoh adat. Jadi nilai- nilai penghargaan yang disampaikan pada tradisi lisan tersebut jelas telah menunjukkan keterkaitan antara masing-masing pada upacara perkawinan adat pada masyarakat di Padangsidimpuan. Hal ini telah menunjukkan identitas yang jelas dengan etika bertutur yang menunjukkan kesantunan sebagai penutur ketika upacara adat, sehingga yang mendengar sudah dapat memberikan gambaran hubungan antara Universitas Sumatera Utara penutur dengan dengan komunitas adat secara vertikal dan horizontal. keterangan akronim terlampir

5.1.3.2 Nilai Estetis Leksikon Kata-kata Nasihat Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat

Nasihat yang diberikan hatobangon, alim ulama, dalihan na tolu, dan harajaon serta komunitas adat pada tradisi lisan upacara perkawinan adat, memiliki nilai-nilai estetis, bila dikaji secara mendalam disamping pesan-pesan sebagai harapan yang dibebankan ke pundak kedua mempelai yang akan mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga. Nasihat-nasihat yang disampaikan oleh pelaku adat kadang membosankan bagi yang mendengar karena terjadi perulangan dari masing-masing penutur adat, tetapi bila dipetik makna yang tersirat dan makna tersurat mengandung nilai-nilai estetis, ternyata nasihat tersebut memberikan kesan, bahwa pada upacara perkawinan dalam adat Tapanuli Selatan masyarakat adat kaya estetika yang dibalut dengan kesantunan berbahasa, etika, dan penghormatan dalam bertutur pada tradisi lisan pada prosesi upacara perkawinan adat. Nilai kerendahan hati pelaku adat merupakan penghargaan yang tinggi yang berdampak pada kerukunan serta kekompakkan sesama guyub tutur, sebenarnya telihat jelas dalam upacara perkawinan adat tersebut. Pada tradisi lisan tersebut bila diretas banyak leksikon dan kata-kata bijak yang bermakna tinggi yang memiliki nilai-nilai estetis sebagai kearifan lokal etnik yang bisa diungkap, seperti: “lek panghulu pamarai di lombang ni sitaloto, disurdu on do mon disapai rajai na mamboto,” kerendahan hati orang kaya ketika bertanya kepada raja panusunan bulung, kesantunan berbahasa adat memiliki nilai-nilai estetis yang cukup tinggi, padahal mereka sesama pelaku adat sudah memahami alur adat, tetapi dengan Universitas Sumatera Utara kerendahan hati masih bertanya kepada raja adat, agar raja adatlah sebagai penentu kebijakan adat. Nilai-nilai penghormatan kepada hadirin menunjukkan kesantunan berbahasa dan kerendahan hati yang tertuang dalam prosesi adat tersebut jelas, bahwa setiap memulai kalimat-kalimat pembuka selalu mengucapkan salam, “Assalamualaikum hata ni agama sattabi sapulu, sapulu noli au marsattabi hata ni adat.” Penghormatan itu menunjukkan kesantunan guyub tutur adat, menunjuk kerendahan hati, sebagai sikap yang tetap menjaga hubungan antara sesama guyub tutur masyarakat adat, bagitu juga dengan menjaga hubungan dengan pencipta Sang Khalik. Nilai penghormatan yang kedua tetap disampaikan oleh pelaku adat ketika membuka salam kepada hadirin yang berada pada upacara perkawinan adat tersebut, wujud penghormatan kepada hadirin diawali dengan penyampaian tradisi lisan yang kerap menggunakan kalimat, “… bahat hormat, ima tu anak ni raja songoni tu anak ni mora, surung u pa lobi ima tu oppui sian bagas…” yang dihormati kepada anak-anak raja dan bangsawan, terutama kepada raja dari istana, wujud penghormatan tokoh-tokoh adat dengan mengucapkan kalimat di atas kepada guyub tutur adat tersebut, bahwa siapapun yang hadir dianggap sebagai anak-anak raja dan anak bangsawan. Nilai-nilai estetis kerendahan hati dan penghormatan tersebut menunjukkan kesantunan berbahasa pada guyub tutur masyarakat adat Tapanuli Selatan. Nilai estetis kata-kata nasihat pada tradisi lisan menunjukkan nilai-nilai estetis yang disampaikan oleh pelaku adat saat upacara perkawinan, bila dikaji dan Universitas Sumatera Utara dianalisis lebih mendalam, memiliki makna nasihat dan harapan agar perkawinan itu menjadi perkawinan seumur hidup. Perkawinan menurut pemahaman masyarakat bukan hanya perkawinan antara kedua mempelai saja, tetapi pada masyarakat adat Tapanuli Selatan Mandailing, Angkola, dan Batak perkawinan itu upaya mempersatukan dua keluarga besar antara pihak mempelai perempuan dan pihak mempelai laki-laki dan juga mempersatukan kedua kampung, dan juga mempersatukan dua luat seluas kecamatan. Pada perkawinan masyarakat Tapanuli Selatan Mandailing, Angkola, dan Batak pada umumnya hanya sekali seumur hidup dan hal itu seperti nasihat berikut: “…ditutung di ari logo, harana macocok ginjang dohot godang Harana diparnipian kamu so dapoti soda Attong sada ditambah sada Ulang lupa mandokkon dua Pasada ma rohamu inang, inda tola dipadua.” Jadi, setelah perkawinan tidak boleh menduakan hati, perasaan apalagi dalam berumah tangga. Pada masyarakat adat Tapanuli Selatan Mandailing, Angkola, dan Batak perkawinan itu hanya sekali dalam seumur hidup. Nilai estetis nasihat yang berharap agar kedua mempelai dijauhkan dari mara bahaya, hal ini disampaikan oleh Raja Pamusuk pada tradisi lisan seperti, “…Sian topi raya bangunan, di lubuk na sigumuru, madung indon pangirmu dipangirkan ke mempelai laki-laki Attong sada, dua tolu, opat, lima, onom, pitu, Pitu cundut sai soada mara, horaskon menyerukan Horas…horas…horas…kemudian dipangirkan ke mempelai perempuan Ditata ditopi sian bagas godang, ma lalu di topi raya bangunan. Ma make adat na imbago na margading, marhembang mareor- eor. Ung ke manyirbang So ulang bingkang di hari logo Madung indon pangirmu Universitas Sumatera Utara Diamu sada panggadongan. sada, dua tolu, opat, lima, onom, pitu, Pitu cundut sai soada mara, horaskon menyerukan Horas…horas…horas…” Nilai estetis nasihat yang memiliki harapan, tidak saja kepada kedua mempelai tetapi juga kepada anak-anak yang masih dalam gendongan ibunya juga turut di pangir oleh tetua adat, dengan leksikon adat seperti, pindah ke ibu-ibu yang menggendong bayi ,”Lek songoni diamu anak boru bope si suan pandan, bope si suan bulu, sipalkaya ulang bope dompak targuppak, tarsilandit, namancit kotuk bope badan na dioppa na diambit Pir tondi matogu horaskon menyerukan dan memangirkan bayi digendongan Horas…horas…horas… Horas, pir tondi matogu. Selamat, semoga memiliki semangat yang kuat, keras leksikon nasihat yang bersifat abstrak. Ia merupakan metafor yang memiliki lambang kias yang maknanya hanya dapat diinterpretasikan dalam konteks kalimat yang cukup bermakna. Manusia dalam pandangan masyarakat Tapanuli Selatan Mandailing, Angkola, dan Batak terdiri dari tiga bagian yaitu badan, jiwa roh dan tondi. Badan adalah jasad yang kasar dan nyata, jiwa atau roh adalah benda abstrak yang menggerakkan badan kasar dan tondi adalah benda abstrak yang mengisi dan menuntun badan kasar dan jiwa dengan tuah, sehingga seseorang kelihatan berwibawa dan bermarwah. Tondi adalah kekuatan, tenaga, semangat jiwa yang memelihara ketegaran rohani dan jasmani agar tetap seimbang dan kukuh dan menjaga harmoni kehidupan setiap individu. Tondi merupakan zat yang berdiri sendiri. Dalam keadaan tidak sadar tondi seseorang berada di luar badan dan jiwanya Parsadaan Marga Harahap 1993. Universitas Sumatera Utara Begitu pula nasihat yang diharapkan kepada kedua mempelai agar diberi kesehatan dan keselamatan, hal ini juga tidak luput dari tradisi lisan pada upacara adat, permohonan tersebut di sampaikan agar Allah SWT, memberikan perlindungan kepada kedua mempelai hal ini diungkapkan pada upacara perkawinan sepulang dari Topi Raya Bangunan dengan kata-kata nasihat, “Sapulu noli au marsattabi tu anak ni raja anak ni mora, baen madung lalu sian topi raya bangunan, parsidangan anak ni raja anak ni mora… Raja Panusunan Bulung ni haropkan amatta raja. Sotubu mora haka gabe, selamat sepanjang umur.” Harapan untuk memperoleh keselamatan disampaikan oleh tetua adat kepada kedua mempelai. Begitu juga dengan harapan agar dipanjangkan umur, disampaikan oleh raja Panusunan Bulung dengan nasihat, “Sada, dua, tolu lolot jolo umurmu na mangolu.” Masyarakat adat juga menyadari bahwa kedekatan manusia dengan Sang Khalik, disampaikan pada nasihat adat, agar kedua mempelai mendapat umur yang panjang. Legenda sampuraga di Madailing merupakan tamsilan anak yang durhaka kepada orang tua. Sehingga legenda Sampuraga di Mandailing tetap menjadi peringatan bagi anak-anak di daerah Tapanuli Selatan Angkola dan Madailing karena kedua orang tua sebagai orang yang sangat dihargai dan dihormati dalam kehidupan. Kasih sayang kedua orang tua kepada anaknya ditunjukkan dengan membesarkan pesta perkawinan anaknya sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. Masyarakat adat menyadari kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya sepanjang masa, tetapi komunitas itu juga menyadari bahwa seorang anak tidak boleh untuk durhaka kepada kedua orang tuanya, seperti legenda sampuraga. Universitas Sumatera Utara Menyadari arti pentingnya mengingatkan agar anak tidak boleh durhaka dan lupa, maka pada upacara adat mengingatkan agar tetap sayang dan jangan pernah lupa kepada kepada orang tua. Setelah dianalisis tradisi lisan tersebut memiliki nilai estetis nasihat untuk menghormati orang tua, seperti nasihat, “Sareto anak pai dua Madung sodani soda langkitang Ditutung diari udan, di tapian diari logo na martumbuk, Diparnipian kamu so dapoti soda, Attong sada ditambah sada, Ulang lupa mandokkon dua, aha mai sada, ulang lupa tu tua, dia ma na dua, ulang lupa ho tu orang tua.” memangir dengan soda ‘kapur sirih’ disilangkan ke kening mempelai laki-laki dan mempelai perempuan Tradisi lisan hapantunon pantun pada masyarakat adat Tapanuli Selatan kerap digunakan pada upacara perkawinan adat, sehingga pada tradisi lisan tersebut memiliki nilai-nilai estetis yang cukup tinggi dalam bahasa adat. Para tokoh adat tertentu saja yang dapat menggunakannya, tidak semua komunitas adat dapat menggunakan hapantunon tersebut. Tradisi lisan hapantunon tersebut digunakan pada saat memberikat nasihat-nasihat adat pada bahagian-bahagian upacara adat seperti ketika memangir kedua mempelai laki-laki dan perempuan yang diiringi dengan beberapa hapantunon sebagai berikut: a Pantun Sada, dua, tolu lolot jolo umurmu na mangolu Opat, lima tarbolus kamu rukun na lima Onom, pitu patunjuk tu si mara-mara Universitas Sumatera Utara tubu haka gabe dohot tua. Hapantunon pada contoh di atas terdiri dari dua larik sebait, larik pertama berupa sampiran dan larik kedua berupa isi. Sampiran pada hapantunon berupa penyebutan angka-angka, sehingga persajakan akhir a-a a-a, yang isi hapantunon menyebutkan harapan-harapan tetua adat kepada kedua mempelai seperti: lolot jolo umurmu na mangolu ‘panjang umur’, tarbolus kamu rukun na lima ‘dapat menyelesaikan rukun ke lima naik haji menurut ajaran agama Islam’, tubu haka gabe dohot tua ’tubuh yang kuat dan mendapat berkat’ b Perumpamaan ulang ma baen songon kotok batang matua tanggung ulang ma suhut matua tanggung, ulang ma janggal mata dohot modom, ulang maila udang dohot durung, alak pe dapot janggal dibaen ko, alak marnyae sampe lungun, lalu marusu inang-inangon. Tai baen dison do oppu ni kotuk panguaran bisuk antong dison pe anak ni raja anak ni namora u helpaskon mada tu ibana jangan buat seperti tupai dengan kayu yang belum tua; jangan buat tuan rumah yang belum dewasa; jangan buat seperti mata tidak serasi dengan tidur; jangan buat seperti udang malu dengan durung; jangan sampai terganggu kau buat orang sakit karena rindu; jangan buat gundah karena rindu kepada ibu Universitas Sumatera Utara Perumpamaan pada tradisi lisan tersebut, memiliki nilai-nilai estetis, yang memberikan metafor dengan lingkungan ekologi alam seperti tupai dengan dahan, mata dengan tidur, udang dengan durung, sakit karena rindu, jangan anggap tuan rumah belum dewasa. Padahal kedua pertentangan makna yang diumpamakan, sementara keduanya memiliki hubungan makna yang cukup dekat, nilai estetis perumpamaan bukan maksud orang kaya, untuk menyatakan kerendahan hatinya, agar jangan dipersalahkan maka dia berharap agar ompu nikotuk menyampaikan kata-kata mendok hata dengan permohonan yang halus, “Tai baen dison do oppu ni kotuk panguaran bisuk antong dison pe anak ni raja anak ni namora u helpaskon mada tu ibana.’ Tetapi karena di sini ompu ni kotuk maka berikan kesempatan kepadanya,” Kesantunan bahasa adat dirangkai dengan perumpamaan-perumpamaan yang menunjukkan kemahiran memilih pilihan kata diksi yang memiliki metafor kontradiksi yang cukup indah. Leksikon yang dipakai dalam tradisi lisan pada upacara perkawinan adat hanya dipakai pada upacara perkawinan atau upacara adat lainnya, tidak dipakai dalam ragam bahasa sehari-hari, karena leksikon ini berkaitan dengan bahasa baso, contoh pada leksikon berikut, “Mulak tondi tu badan Kembalilah semangatmu” leksikon tuturan ini diucapkan dalam ragam bahasa sehari-hari pada saat seseorang nyaris mendapat musibah kecelakaan atau mendapat mara bahaya. Ucapan dengan menggunakan leksikon ini merupakan pelaksanaan adat masyarakat Tapanuli Selatan Mandailing, Angkola, dan Batak, dengan tujuan penyebutan leksikon tersebut, agar orang yang nyaris mendapat musibah mara bahaya menjadi tenang kembali, sehingga secara psikologis mendapat ketenangan jiwa dan batin dengan ucapan Universitas Sumatera Utara dari tetua adat setelah diupa-upa. Gutub tutur meyakini leksikon tersebut memiliki kekuatan mistis, untuk mengembalikan semangat tondi ke dalam badan raga, yang sebelumnya pergi meninggalkan tubuh, karena musibah mara bahaya tersebut. Dengan demikian, masyarakat Tapanuli Selatan Mandailing, Angkola, dan Batak untuk menciptakan ungkapan yang diungkapkan sebagai lambang metafora dalam tradisi lisan pada upacara perkawinan adat dengan menggunakan language performance, yaitu memilih diksi yang sesuai dengan konteks, karena bahasa memiliki kemampuan untuk mewakili pikiran dan perasaan penutur bahasa secara konkrit dengan merujuk pada bentuk tuturan yang dihasilkan oleh masyarakat adat sebagai guyub tutur tradisi lisan mencerminkan situasi lingkungan yang konkrit “the actual use of language in concrete situations” Chomsky, 1975:4. Leksikon yang diungkapkan masyarakat adat dengan memakai leksikon ekologi yang ada di sekitar mereka, menunjukkan kedekatan masyarakat dengan lingkungan. Jadi, nilai-nilai estetis tradisi lisan bukan hanya sebagai pemanis bahasa dalam tradisi lisan pada upacara perkawinan adat, melainkan merupakan hasil interaksi dan kontemplasi batin masyarakat adat Tapanuli Selatan Mandailing, Angkola, dan Batak dengan lingkungannya. Leksikon yang dipakai dalam tradisi lisan pada upacara perkawinan adat juga menggunakan perumpamaan- perumpamaan dengan berbagai leksikon lingkungan yang memiliki nilai estetis, karena pemilihan leksikon tidak sekedar dirangkai menjadi sampiran, tetapi juga menunjukkan kesantunan, kelembutan sebagai perwujudan nilai-nilai kesopanan, etika, dan penghormatan dengan guyub tutur adat. Universitas Sumatera Utara

5.2 Temuan pada Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan

Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan bila dianalisis lebih mendalam mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan yang terdapat pada upacara perkawinan adalah: a Nilai kearifan gotong royong; b Nilai kerukunan; c Nilai keikhlasan bekerja tanpa pamrih; d Nilai identitas dalihan na tolu merupakan tatanan dasar kekerabatan yang mengikat sebagai penguat yang berfungsi dalam mencegah konflik; e Nilai kekerabatan pada nasihat, manat markahanggi, elek maranak boru, dan somba marmora; f Nilai estetis leksikon kata-kata nasihat memiliki nilai-nilai estetis kerendahan hati, kesantunan berbahasa adat, nilai-nilai estetis penghormatan menunjukkan kesantunan guyub tutur adat, sebagai sikap yang tetap menjaga hubungan antara sesama guyub tutur manusia, begitu pula tetap menjaga hubungan dengan pencipta Sang Khalik. Nilai estetis nasihat yang memiliki harapan, tidak saja kepada kedua mempelai tetapi juga kepada anak-anak yang masih dalam gendongan ibunya juga turut di pangir oleh tetua adat, Masyarakat adat juga menyadari bahwa kedekatan manusia dengan Sang Khalik, disampaikan pada nasihat adat, agar kedua mempelai mendapat umur yang panjang. Perumpamaan pada hapantunon memiliki nilai-nilai estetis, yang memberikan metafor dengan lingkungan alam. seperti tupai dengan dahan, mata dengan tidur, udang dengan durung, sakit karena rindu, jangan anggap tuan rumah belum dewasa. Padahal kedua pertentangan makna yang diumpamakan kedua makna yang dimiliki konsepsi makna memiliki hubungan makna yang cukup erat dan merupakan satu kesatuan, nilai estetis perumpamaan untuk menyatakan kerendahan hatinya. Universitas Sumatera Utara Pemeliharaan dan penguatan upacara perkawinan adat dapat dipertahankan dengan mengoptimalkan elan vital nilai-nilai yang terkandung pada upacara perkawinan adat, sebagai pengikat kekrabatan dan sebagai falsafah hidup masyarakat Tapanuli Selatan. Kemudian mengoptimalkan seluruh elemen adat yang ada di masyarakat, untuk memberikan pemelajaran kepada generasi muda, sehingga generasi muda memiliki pengetahuan dan pemahaman peradatan. Selain itu, ditemukan pula bahwa, pada tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan ditemukan penyebutan pronomina untuk raja adat sebanyak 14 sebutan, dan sebutan tersebut diucapkan oleh seluruh elemen dalihan na tolu, hatobangon, dan pelaku adat, sebutan untuk raja tersebut antara untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 39 di bawah ini: 1. amang raja 2. amang raja nami 3. amang raja nami, raja bolon 4. raja bolon 5. amatta raja 6. amatta raja sian bagas godang 7. oppui 8. oppui sian bagas godang 9. raja Panusunan Bulung 10. tu rajai, ongku raja pinaing 11. Rajai, raja bolon 12. raja di luaton 13.raja pangundian 14.raja pamusuk Raja adat Gambar 39. Penyebutan pronomina raja adat pada tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan Universitas Sumatera Utara

5.3 Model Pelestarian Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan

Pelestarian berarti tetap seperti keadaan semula, tidak berubah, bertahan kekal atau pelestarian dapat juga berarti: 1 proses, cara, perbuatan melestarikan; 2 perlindungan dari kemusnahan dan kerusakan, pengawetan, konservasi; 3 pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Pelestarian tradisi lisan upacara perkawinan adat merupakan suatu perlindungan dari kemusnahan dan kerusakan atau bahkan hilangnya suatu tradisi dari komunitasnya. Setelah melihat paparan penyusutan pemahaman konsepsi makna leksikal, maka diperlukan upaya-upaya pelestarian dari semakin jauhnya remaja dari tradisi lisan pada upacara adat, karena dikhawatirkan tradisi yang bersangkutan akan semakin hilang dan punah. Harapan agar masa yang akan datang tradisi lisan tetap terjaga, walaupun mengalami perubahan sesuai dengan perubahan zaman dan efektifitas kebutuhannya, sedangkan elan vital yang terkandung di dalamnya sebagai kearifan lokal etnik, tetap terjaga. Upaya yang dapat dilakukan adalah pemeliharaan dan penguatan karena seremonial upacara perkawinan adat dapat dipertahankan. Bila komunitas adat menganggap tradisi lisan pada upacara adat perkawinan masih layak digunakan untuk upacara perkawinan adat, sehingga intensitas pemakaiannya cukup bermasyarakat komunitas adat. Dengan kata lain, tradisi ini masih berfungsi sebagai perekat persaudaraan sesama guyub tutur adat, maka upaya yang paling tepat adalah revitalisasi, jika tradisi itu dikhawatirkan hilang atau tidak dikenali lagi oleh generasi muda pada masyarakat Universitas Sumatera Utara adat, khususnya remaja dengan dasar keyakinan bahwa setelah dilakukan contoh model tradisi, bila tradisi lisan tersebut masih digunakan oleh komunitas adatnya maka tindakan yang perlu dilakukan hanyalah dilakukan upaya pemberdayaan dan penguatan eksistensi tradisi lisan tersebut agar tetap terpelihara keasriannya. Tradisi lisan tersebut, perlu dilestarikan dan dihadirkan kembali agar tradisi ini masuk kembali ke masa kini transformasi dengan membawa nilai-nilai tradisi sebagai falsafah hidup way of life masyarakat Tapanuli Selatan. Kemudian, pelestarian tersebut diapresiasi dengan tetap mempertahankan keasliannya oleh masyarakat adat, untuk tetap menjaga nilai-nilai lokal yang dapat menunjukkan kekhasan etnik yang unik dan penting tetap terjaga. Bila perlu tradisi ini dijadikan contoh untuk dihadirkan kembali di luar komunitas etnik tersebut, sehingga ketika kebudayaan dan tradisi lokal daerah lain memiliki nilai dan daya saing yang tinggi sebagai kekayaan budaya nusantara, mengapa tradisi lisan Tapanuli Selatan tidak. Upaya lain adalah penulis menawarkan model kepada seluruh unsur adat, agar mengoptimalkan seluruh elemen masyarakat adat budaya, penulis, dan pemerintah untuk mendokumentasikan adat, kemudian elemen adat tersebut mengoptimalkan peran dan fungsi masing-masing. Sehingga tradisi lisan dapat berfungsi sebagai perekat persaudaraan sesama guyub tutur adat, maka upaya pemberdayaan dan penguatan eksistensi tradisi lisan tersebut agar tetap terpelihara keasriannya dan nilai- nilai yang terkandung di dalamnya. Upaya membuat model pelestarian tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, dengan harapan agar masa yang akan datang tradisi lisan pada upacara perkawinan tetap terjaga, walaupun mengalami perubahan sesuai dengan Universitas Sumatera Utara perubahan dan kebutuhan komunitas adat dengan mempertimbangkan efektifitas dan kemanfaatan dari tradisi lisan tersebut. sedangkan pesan penting yang termaktub di dalam seremonial adat sebagai kekayaan budaya lokal, masih tetap utuh terjaga. Upaya yang dapat dilakukan adalah pemeliharaan dan penguatan untuk memperkenalkan atau menghidupkan tradisi lisan, ada upaya membuat model yang telah dikemukakan, sesuai dengan jawaban responden ketika diwawancarai, agar remaja lebih dekat dengan budaya kultur yang mencerminkan bahwa remaja sebagai pewaris budaya merasa dekat dengan kultur tersebut. beberapa upaya pelestarian untuk menghidupkan kembali tradisi lisan kepada remaja, sehingga menjadi model adalah: 1 Memperkenalkan tradisi lisan pada remaja a. Remaja diberikan diperkenalkan dengan pendidikan bahasa, adat, dan budaya daerah. b. Remaja diperkenalkan dan diajari dengan tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. c. Remaja diberikan pemahaman dengan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada tradisi lisan upacara perkawinan adat dan upacara adat lainnya. d. Remaja diberikan pemahaman kecintaan dan kebanggan memiliki kearifan lokal melalui budaya etnik. 2 Memberdayakan Orang tua dalam meletakkan dasar-dasar adat a. Orang tua memperkenalkan adat kepada anaknya sejak dini. b. Orang tua mengajari adat istiadat kepada anaknya di rumah. c. Orangtua menerjemahkan leksikon adat pada tradisi lisan adat. Universitas Sumatera Utara d. Orang tua menjelaskan dan menanamkan nilai-nilai adat di rumah tangga. 3 Memberdayakan ketua adat dan tokoh-tokoh adat a. Ketua adat atau pelaku adat mengajari generasi muda khususnya remaja upacara adat dan berbahasa adat markobar, mangupa, memimpin martahi dan lain-lain. b. Ketua adat atau pelaku adat membentuk kelompok-kelompok remaja sebagai binaan agar remaja dapat memahami tuturan dan leksikon pronomina adat. c. Ketua adat atau tokoh adat mengajarkan kepada remaja tentang urutan kronologis dan jenis-jenis upacara perkawinan adat, serta cara menentukan besar kecilnya upacara adat. d. Ketua adat dan tokoh-tokoh adat memperkenalkan kepada remaja dengan budaya adat dan benda-benda yang digunakan pada upacara adat. 4 Mengoptimalkan peran dan fungsi lembaga adat a. Mengoptimalkan peran lembaga adat dalam mensosialisasikan budaya adat pada remaja b. Lembaga adat mengadakan pagelaran musik tradisional dan lomba-lomba tradisi lisan dan budaya Tapanuli Selatan kepada remaja c. Lembaga adat memperkenalkan budaya dan kesenian, nama-nama alat musik tradisional kepada remaja. 5 Komunitas adat melibatkan remaja pada saat saat upacara adat a. Komunitas adat melibatkan remaja pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. Universitas Sumatera Utara b. Komunitas adat mengoptimalkan peran dan fungsi remaja pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, sebagai bagian dari komunitas adat. 6 Sekolah mengoptimalkan budaya etnik a. Sekolah memperkenalkan budaya adat sebagai kekayaan etnik sehingga pendidikan di Tapanuli Selatan bercorak etnik yang unik. b. Sekolah menumbuhkan kembali nilai-nilai tradisi etnik di setiap sekolah yang membedakan dengan etnik lainnya. c. Sekolah memanfaatkan lingkungan alam sebagai tempat belajar dan bermain sehingga remaja mencintai dan mengenal lingkungan alam hutan, gunung, bukit, sungai, danau. 7 Mengoptimalkan peran dan fungsinya Pemerintah a. Pemerintah membuat perda untuk memasukkan budaya daerah sebagai kekayaan budaya yang perlu dijaga kelestariannya. b. Memasukkan bahasa daerah, sebagai kurikulum muatan lokal pada setiap jenjang dan tingkatan di Kota Padangsidimpuan. 8 Penulis, pemerhati, dan komunitas adat mengarsipkan upacara adat a. Penulis, pemerhati, dan komunitas adat untuk memperbanyak buku-buku berbahasa daerah tentang upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. b. Mengarsipkan dalam bentuk buku, disain grafis, dan dokumenter budaya dan tradisi lisan yang ada di Tapanuli Selatan. Model pelestaraian, merupakan upaya untuk memudahkan pelaksanaan langkah-langkah konkret dalam mengejawantahkan seluruh persoalan tradisi lisan pada upacara perkawinan adat, yang semakin jauh dari remaja sebagai pewaris tradisi Universitas Sumatera Utara adat ke generasi berikutnya. Sehingga kekhawatiran tokoh adat, lembaga adat, pelaku adat, pemerintah, dan peneliti penulis dapat melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing, untuk lebih jelas lihat model berikut: Model Tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan Pemerintah Tokoh Adat a. Mengikuti pelatihan2 Adat dan Budaya Tapsel b. Mensosialisasi Adat Pada kelompok remaja Binaan c. Mengajari remaja tentang. Tradisi Lisan upacara adat markobar, mangupa, memimpin martahi dan lain-lain. d. Membentuk kelompok-kelompok remaja sebagai binaan e. mengajari remaja urutan kronologis dan jenis-jenis upacara perkawinan adat, serta cara menentukan besar kecilnya upacara adat. f. Memperkenalkan kepada remaja dengan budaya adat dan benda-benda yang digunakan pada upacara adat. Tapanuli Selatan 3. Mengoptimalkan Stage Holder Adat

2. Memberdayakan Stage Holder Adat