WINDROW TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT TKKS SEBAGAI KOMPOS DENGAN PENAMBAHAN PUPUK ORGANIK AKTIF POA

11 menguraikan bahan organik menjadi NH + , CO, uap air dan panas melalui sistem metabolisme dengan bantuan oksigen. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan hingga kembali mencapai suhu normal seperti tanah. Pada fase ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 50 dari bobot awal tergantung kadar air awal [19].

2.5 WINDROW

Windrow merupakan metode tertua yang digunakan dalam pengomposan. Windrow dapat dibuat dengan membuat gundukan setinggi 8 – 10 ft dengan lebar 20 – 25 ft ft. Dimensi dari tumpukan ini dapat dipengaruhi oleh alat pengaduk komposnya. Pengadukan dilakukan untuk mendapatkan suplai udara yang berfungsi dalam pengaturan temperatur dan kelembaban. Pengadukan dapat juga menimbulkan timbulnya bau karena kemungkinan terjadinya proses anaerobik pada tumpukan kompos. Pengadukan tidak dilakukan terus menerus. Setelah 3 – 4 minggu, kompos tidak perlu diaduk untuk mencapai periode curing. Pada periode ini residu materi organik akan didekomposisi oleh fungi dan actinomycetes. Periode ini berlangsung selama 3 – 4 minggu Tchobanoglous, 1993. Adapun gundukan minimum yang disarankan Raabe 2007 pada pengomposan windrow berukuran 36 x 36 x 36 0,9144 m x 0,9144 m x 0,9144 m untuk mencegah kehilangan panas dalam pengomposan [9].

2.6 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES

PENGOMPOSAN Nutongkaew et al 2011 menjelaskan bahwa proses pengomposan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Faktor yang paling penting termasuk suhu, kadar air, karbon-nitrogen rasio, tingkat laju aerasi, pH, dan fisik struktur bahan baku [21]. Menurut Tchobanoglous 1993,untuk menghasilkan produk kompos yang bermutu tinggi, maka dalam proses composting harus juga memperhatikan faktor nutrisi dan faktor lingkungan. Faktor nutrisi mencakup makronutrien, Universitas Sumatera Utara 12 mikronutrien, sedangkan faktor lingkungan dibagi menjadi temperatur dan kadar air, sedangkan faktor lain seperti ukuran partikel, CN, pencampuran dengan bahan lain, penambahan air, penambahan mikroorganisme, kadar air, pengadukan, temperatur, kontrol patogen, udara, pH, derajat dekomposisi, dan lahan pengomposan harus dikontrol [22]. Berikut ini penjelasan dari beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan:

2.6.1 Nutrisi

Carbon C, nitrogen N, fosfor P dan kalium K adalah nutrisi utama yang dibutuhkan oleh mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan, serta nutrisi utama untuk tanaman dan akan mempengaruhi kualitas kompos. Hampir semua bahan organik yang digunakan untuk kompos mengandung semua nutrisi ini di berbagai tingkatan yang menggunakan mikroorganisme untuk energi dan pertumbuhan. Sebuah pasokan nutrisi tidak mencukupi atau berlebihan dapat menyebabkan kompos berkualitas rendah. Tirado 2008 menjelaskan efek menguntungkan dari kompos terhadap pertumbuhan tanaman dikaitkan dengan peningkatan pasokan nutrisi bagi tanaman [23].

2.6.2 Rasio CN

CN adalah salah satu makronutrien dengan kebutuhan relatif dalam proses selulernya sebesar 25 : 1 [24]. Karbon dan nitrogen digunakan dalam metabolisme mikroorganisme dan sintesis membran sel. Pemakaian karbon di dalam pengomposan digunakan sebagai sumber energi. Karbon digunakan pada pembentukan membran, protoplasma dan dinding sel produk sintesis serta mengoksidanya menjadi karbon dioksida. Sedangkan nitrogen digunakan dalam sintesa protein. Nitrogen juga digunakan sebagai nutrien atau senyawa esensial pada protoplasma. Selain itu, bakteri mengandung 7-11 nitrogen dalam berat kering, sedangkan fungi mengandung 4-6 nitrogen dalam berat kering. Oleh karenanya, perbandingan pemakaian karbon akan lebih tinggi dibanding nitrogen sehingga kebutuhannya pun akan lebih banyak [25]. Saat proses pengomposan, perbandingan CN dari waktu ke waktu pengomposan akan terus mengalami penurunan seiring dengan aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik yang ada dalam gundukan kompos. Pada awal Universitas Sumatera Utara 13 pengomposan banyak nitrogen yang digunakan untuk sintesa protein sebagai bentuk aktifitas mikroorganisme dalam menguraikan material organik [25].

2.6.3 Luas Permukaan dan Ukuran Partikel

Ukuran partikel bahan kompos berkaitan dengan nutrien misalnya distribusi nutrien yang tergantung pada ukuran partikel sampah. Secara teoritis, laju dekomposisi akan meningkat dengan partikel organik yang semakin kecil [25]. Reduksi ukuran partikel dapat dilakukan dengan pencacahan. Ukuran partikel mempengaruhi drag force antara partikel sampah, internal friction , dan bulk density . Sebagian besar dari dekomposisi aerobik pengomposan terjadi pada permukaan partikel, karena oksigen bergerak mudah sebagai gas melalui ruang pori tapi jauh lebih lambat melalui bagian cair dan padat dari partikel. Partikel yang lebih kecil mengurangi porositas efektif. Kualitas kompos yang baik biasanya diperoleh ketika ukuran partikel berkisar dari rata-rata diameter 18-2 inci [23]. Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area partikel dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan organik dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan porositas. Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut [26]. Semakin kecil ukuran material, proses pengomposan akan lebih cepat dan lebih baik karena mikroorganisme lebih mudah beraktivitas mengolah dan membentuk koloni pada bahan yang sudah lembut substrat daripada bahan dengan ukuran besar. Ukuran bahan yang dianjurkan untuk pengomposan aerobik berkisar 1-7,5 cm. Oleh karena itu, sebaiknya bahan dicacah dengan mesin sehingga mikroorganisme lebih mudah mencernanya. Pencacahan sebaiknya tidak terlalu lembut seperti bubur karena bahan justru akan mengeluarkan kandungan airnya [27].

2.6.4 Temperatur

Suhu adalah indikator proses yang baik. Pengomposan pada dasarnya berlangsung dalam dua rentang, dikenal sebagai mesofilik 10 –40 °C dan Universitas Sumatera Utara 14 termofilik di atas 40 °C. Kebanyakan pengomposan berlangsung pada suhu antara 45 °C dan 65 °C. Suhu termofilik merupakan kondisi suhu yang menghasilkan dekomposisi yang lebih cepat [23]. Peningkatan temperatur disebabkan oleh reaksi eksoterm dan aktifitas metabolisme mikroorganisme. Pada metode windrow , temperatur akan naik karena pengadukan dan hanya dapat dikontrol secara tidak langsung dengan pengukuran setelah pengadukan. Setelah pengadukan, biasanya temperatur akan turun 5 – 10°C, namun akan kembali naik setelah beberapa jam. Temperatur pada windrow turun 10 – 15 hari setelah oksidasi organik, suhu akan dapat berhenti naik pada hari ke 9 atau ke 10 sehingga aktifitas mikroorganisme pun menurun [22].

2.6.5 pH

Pengontrolan pH sangat penting seperti temperatur dalam mengevaluasi aktifitas mikroorganisme dan kestabilan sampah. pH pengomposan awal sampah organik berkisar antara 5 -7. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5 atau kurang dari itu karena organik akan berada pada temperatur ambien dan aktifitas mikroorganisme mesofil akan meningkat dalam menduplikasi diri sehingga produksi asam organik akan meningkat dan pH akan turun. Pada saat termofilik , temperatur akan naik dan terjadi aerobik proses sehingga pH akan naik sampai 8 – 8,5. Setelah kompos matang, pH akan turun menjadi 7 – 8 [22]. Pada pengomposan bahan dengan kandungan lignin yang tinggi dengan lumpur biologis, pH cenderung rendah yakni sekitar 5,1-5,5 [16].

2.6.6 Kadar Air

Moisture diperlukan untuk mendukung proses metabolisme mikroba dan merupakan suatu paremeter penting untuk dikendalikan dalam pengomposan [23]. Kelembaban yang optimum berkisar antara 50 – 60. Kadar air dapat juga ditambahkan dengan penambahan air. Apabila kelembaban kompos kurang dari 40 maka reaksi akan melambat [22]. Pada saat matang, kadar air yang disyaratkan oleh SNI 19-7030-2004 adalah kurang dari 50 [28]. Kadar air dalam kompos matang tidak baik apabila terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan karena kadar air secar langsung berhubungan dengan nilai water holding capacity Universitas Sumatera Utara 15

2.6.7 Penambahan Air, Mikroorganisme, dan Pencampuran Bahan Lain

Dua faktor desain yang menentukan penambahan air, mikroorganisme, dan pencampuran dengan bahan lain yang mengandung CN yang tinggi adalah kelembaban dan nilai CN. Untuk dapat mencapai CN yang optimum, kompos dapat juga dicampurkan dengan bahan-bahan yang mengandung sumber karbon yang tinggi seperti kertas, daun, kotoran hewan, dan lumpur dari instalasi pengolahan air limbah. Untuk mendapatkan kadar karbon dan nitrogen yang sesuai dengan standar kompos, maka diperlukan informasi mengenai kandungan karbon dan nitrogen awal. Kadar karbon dan nitrogen dapat diatur dengan melakukan pencampuran bahan-bahan kompos. Sebelumnya, bahan-bahan kompos ini telah diketahui kadar karbon dan nitrogen. Kemudian dilakukan perhitungan sebagai berikut : Dimana x adalah perbandingan atau rasio jumlah banyaknya bahan 2 dan bahan 1. Kandungan karbon dan nitrogen ini dihitung berdasarkan kadar kedua unsur tersebut dalam jumlah kering [22]. Pencampuran dengan bahan lain menyebabkan pengontrolan terhadap kelembaban. Penambahan mikroorganisme juga dapat dilakukan untuk menghasilkan dekomposisi yang cepat.

2.6.8 Pengadukan

Pengadukan dilakukan untuk menambah atau mengurangi kelembaban pada kompos agar sampai pada kelembaban yang optimum. Pengadukan juga dapat dilakukan untuk meratakan distribusi nutrien untuk mikroorganisme. Pengadukan merupakan faktor yang penting dalam mengontrol kelembaban, kebutuhan udara atau oksigen untuk keadaan aerob. Untuk kompos dengan menggunakan sampah organik membutuhkan 15 hari periode pengomposan dengan kelembaban 50 -60 dan pengadukan lebih baik dilakukan setelah hari ketiga dan dilakukan setelah hari itu sampai mendapatkan pengadukan 4 – 5 kali [22]. Menurut Schloss et al 1999, pengadukan sangat berpengaruh pada pencapaian suhu yang maksimum dan memperpanjang periode pengambilan oksigen. Pengadukan yang dilakukan dalam penelitiannya adalah setiap hari, 4 hari sekali, dan 8 hari sekali dimana pengadukan yang dilakukan setiap hari akan lebih mengurangi panas dalam gundukan karena proses penguapan. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa Universitas Sumatera Utara 16 pengadukan 4 hari sekali relatif efektif dalam pencapaian suhu maksimum dan pengurangan kadar air [29]. Menurut Tirado sistem pengomposan yang efisien sangat berkorelasi dari pengaruh pengadukan. Oksigen sangat dibutuhkan dalam proses pengomposan aerob. Oksigen dapat diberikan dari proses pengadukan atau suplai oksigen secara langsung melalui diffuser . Pemberian oksigen dilakukan untuk mencapai tiga tujuan yakni : 1. Penguraian bahan organik stoichiometric demands Oksigen dibutuhkan oleh bahan organik dalam proses dekomposisi stoichiometric demands . Penguraian bahan organik tersebut tergantung jenis bahan organik dalam bahan kompos. Kebutuhan oksigen tersebut dapat dihitung dengan menggunakan perhitungan stoikiometri. 2. Pengurangan kadar air dalam kompos drying demands Pengurangan kadar air dalam kompos sangat penting terutama pada jenis pengomposan dengan bahan kompos basah seperti lumpur. Udara dapat dipanaskan oleh bahan kompos dan mengambil kandungan kadar air sehingga terjadi proses pengeringan. 3. Pengurangan panas yang dihasilkan oleh proses degradasi bahan organik heat demands [23]. Pengurangan panas pada proses pengomposan akibat proses degradasi sangat penting dalam mengatur temperatur kompos. Pada temperatur yang tinggi, mikroorganisme mesofilik akan mati sehingga dapat mempengaruhi proses pengomposan. Oleh karenanya, suplai oksigen sangat penting dalam pengomposan [30] .

2.7 TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT TKKS SEBAGAI KOMPOS DENGAN PENAMBAHAN PUPUK ORGANIK AKTIF POA

Peningkatan proses pengomposan dapat dicapai dengan menambahkan bahan amandemen organik seperti kotoran hewan dan limbah pabrik kelapa sawit yang lain [11]. Menerapkan POME sebagai bahan amandemen dapat dianggap menguntungkan karena dapat mengurangi total aliran POME ke pengolahan air limbah. Universitas Sumatera Utara 17 Banyak penelitian terdahulu dilakukan untuk pengolahan kompos dari TKKS. Zahrim dan Asis 2010 melakukan penelitian mengenai produksi semi-kompos tandan kosong kelapa sawit tanpa diparut dengan mencampurkan POME. Penelitian ini dilakukan tanpa memotong TKKS karena dengan memotong dan merobek TKKS dapat menyulitkan, dan limbah cair yang disemprotkan mudah tercuci dari tumpukan. Prosesnya dilakukan dengan metode open turned windrow dengan dimensi area panjang 4 m, tinggi 1,5 mdan lebar 40 m. Setiap windrow berisi sekitar 120 metrik ton TKKS dan 324 metrik ton POME. Setelah inokulasi dengan bakteri, TKKS disemprot dengan POME, proses pembalikan dilakukan dengan menggunakan traktor dilengkapi alat macerator untuk menghomogenkan kompos dan meningkatkan kemampuan aerasi. Proses pembalikan dilakukan pada hari ke-10, 20, 30 dan 40 dan pengambilan sampel untuk analisa dilakukan di sembilan titik pada unit widrow . Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa total waktu pengomposan termasuk persiapan adalah sekitar 40-45 hari, temperatur selama pengomposan mengalami fluktuasi dimana suhu awal pengomposan adalah 53 °C. Setelah dua hari, suhu turun di bawah 50 °C, setelah dilakukan pembalikan pertama, terjadi peningkatkan suhu lebih dari 50 °C. Pada hari 10 sampai hari 25, suhu dipertahankan pada sekitar 45 sampai 55 °C dengan bantuan putar yang kecil, namun pembalikan pada hari ke 40 tidak terjadi peningkatan suhu dan untuk kandungan oksigen dipertahankan di atas 10. Kompos yang dihasilkan memiliki kualitas pH 7,9 ; N 1,9; P 2 O 5 0,6 ; K 2 O 2,0; MgO 0,8 dan rasio CN 20 [11]. Penelitian yang dilakukan oleh Raabe 2007 mengenai metode cepat pengomposan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi metode pengomposan yang baik dan efektif. Dari penelitian ini diperoleh informasi bahwa tinggi minimum untuk pengomposan adalah 36” x 36” x 36” 0,9144 m x 0,9144 m x 0,9144 m [9]. Penelitian yang dilakukan oleh Baharuddin et al ., mengenai pengaruh dari POME anaerobic sludge yang berasal dari 500 m 3 closed anaerobic methane digested tank dengan TKKS yang telah ditekan dan dirobek pada proses pengomposan. POME anaerobic sludge yang digunakan berasal dari pengolahan biogas, limbah ini memiliki nutrisi dan sumber mikroba yang tinggi dan cocok Universitas Sumatera Utara 18 digunakan untuk bahan tambahan proses pengomposan. Proses dilakukan pada unit composter berbentuk blok yang disusun dari batu bata dengan dimensi panjang 2,1 m, lebar dan tinggi 1,5 m. Pada penelitian ini TKKS ditekan dan dirobek dengan ukuran panjang 15 sampai 20 cm, lalu dicampur di blok composter dengan POME anaerobic sludge , rasio penambahan TKKS:POME sebanyak 1:1. Untuk mempertahankan kadar air tumpukan kompos, POME ditambahkan setiap tiga hari dengan menggunakan pompa dan penambahan POME dihentikan seminggu sebelum dilakukan panen, sedangkan pengadukan dilakukan tiga kali seminggu. Hasil yang diperoleh waktu pengomposan singkat, yaitu 40 hari dengan rasio CN akhir 12,4. Suhu pengomposan selama pengolahan terjadi pada fase termofilik yaitu 60-67 C, sedangkan pH tumpukan kompos hampir konstan selama proses berkisar 8,1-8,6. Kadar air kompos mengalami penurunan dari awal sampai akhir composting yaitu dari 64,5 menjadi 52 dan banyaknya jumlah nutrisi serta rendahnya tingkat logam berat yang terdapat pada kompos [7]. Penelitian yang dilakukan oleh Kananam et al. 2011 adalah untuk mengetahui perubahan biokimia pengomposan TKKS dengan lumpur decanter dan kotoran ayam sebagai sumber nitrogen. Pada penelitian ini juga dilakukan penambahan tanah merah yang mengandung Fe, berfungsi untuk acceptor elektron mikroorganisme dalam kondisi anaerobik, dan lumpur decanter yang digunakan berasal dari limbah pabrik kelapa sawit. Prosesnya divariasikan dalam kondisi aerobik dan anaerobik. Untuk kondisi aerobik pada penelitian ini ditambahkan benih mikroorganisme yang terdiri dari jamur Corynascus sp., Scytalidium sp., Chaetomium sp., dan Scopulariopsis sp., belatung dan bakteri Bacillus sp., sedangkan untuk kondisi anaerobik benih mikroorganisme yang ditambahkan mengndung ragi Saccharomyces sp., bakteri asam laktat Lactobacillus sp., dan bakteri katabolisme protein Bacillus sp. TKKS dipotong dengan ukuran 2-5 cm dengan mesin penggiling lalu dimasukkan ke dalam bak silinder, dimana untuk kondisi aerobik diberi lubang pada dinding untuk mengalirkan oksigen, selanjutnya setiap bak silender yang mengandung TKKS divariasikan komposisi penambahan lumpur decanter , kotoran ayam dan tanah merah. Benih mikroorganisme yang telah ditentukan, selanjutnya ditambahkan ke Universitas Sumatera Utara 19 masing –masing komposter baik kondisi aerobik maupun anaerobik. Untuk kondisi aerobik tumpukan dibasahi dengan air dan kelembaban dipertahankan 50-70, sedangkan tumpukan anaerobik juga dibasahi dengan air dengan kelembaban dijaga lebih dari 80. Hasil yang diperoleh penggunaan lumpur decanter dan kotoran ayam dalam kondisi aerob dapat diselesaikan dalam waktu 30 hari sedangkan pada kondisi anaerob waktu pengomposan gagal diselesaikan dalam waktu 90 hari. Suhu awal pengomposan semua tumpukan 28 °C dan mengalami peningkatan setelah 2 hari, pada kondisi aerobik berkisar 49-59 °C dan kondisi anaerobik berkisar 31-34 °C, pH yang diperoleh untuk kedua kondisi selama pengomposan adalah 7,50 – 8,60. Jumlah pertumbuhan mikroba untuk kondisi aerobik meningkat setelah 15 hari pengomposan dan kemudian secara bertahap menurun dan konstan sampai akhir pengomposan, sedangkan untuk kondisi anaerobik pertumbuhan mikroba tidak mengalami perubahan pada saat pengomposan sedangkan bahan organik, karbon organik yang terkandung serta rasio CN untuk semua tumpukan dan kondisi secara bertahap menurun selama waktu pengomposan [8]. Penelitian yang dilakukan oleh Samsu et al. 2010 mengenai pengaruh dari POME anaerobic sludge yang berasal dari 500 m 3 closed anaerobic methane digested tank dengan TKKS yang telah ditekan dan dirobek pada proses pengomposan. POME anaerobic sludge yang digunakan berasal dari pengolahan biogas, limbah ini memiliki nutrisi dan sumber mikroba yang tinggi dan cocok digunakan untuk bahan tambahan proses pengomposan. Proses dilakukan pada unit composter berbentuk blok yang disusun dari batu bata dengan dimensi panjang 2,1 m, lebar dan tinggi 1,5 m. Pada penelitian ini TKKS ditekan dan dirobek dengan ukuran panjang 15 sampai 20 cm, lalu dicampur di blok composter dengan POME anaerobic sludge , rasio penambahan TKKS : POME sebanyak 1:1. Untuk mempertahankan kadar air tumpukan kompos, POME ditambahkan setiap tiga hari dengan menggunakan pompa dan penambahan POME dihentikan seminggu sebelum dilakukan panen, sedangkan pengadukan dilakukan tiga kali seminggu. Hasil yang diperoleh waktu pengomposan singkat, yaitu 40 hari dengan rasio CN akhir 12,4. Suhu pengomposan selama pengolahan terjadi pada fase termofilik yaitu 60-67 °C, sedangkan pH tumpukan kompos Universitas Sumatera Utara 20 hampir konstan selama proses berkisar 8,1-8,6. Kadar air kompos mengalami penurunan dari awal sampai akhir composting yaitu dari 64,5 menjadi 52 dan banyaknya jumlah nutrisi serta rendahnya tingkat logam berat yang terdapat pada kompos [10].

2.8 PUPUK ORGANIK AKTIF DARI