Pengaruh Sirkulasi Walker TINJAUAN PUSTAKA

lautan maka Indonesia terjadi periode musim kemarau. Gambar 1 menunjukkan daerah monsun yang dibatasi oleh garis bujur 30° Barat dan 170° Timur dan oleh garis lintang 35° Utara dan 25° Selatan Ramage 1971. Namun, belum banyak metode yang digunakan untuk mengidentifikasi datangnya monsun, apalagi biasanya model yang ada tidak melibatkan variabilitas interannual Falluso Webster 2002. Gambar 1. Peta daerah monsoon muka bumi berdasarkan definisi dari Ramage 1971.

2.2 Pengaruh Sirkulasi Walker

Sirkulasi Walker adalah sirkulasi zonal Timur-Barat sepanjang ekuator. Pada tahun normal, sirkulasi ini di tandai dengan kenaikan udara di sekitar pasifik bagian Barat dekat dengan benua maritime Indonesia dan penurunan udara di samudera pasifik bagian Timur lepas pantai Amerika Selatan. Intensitas sirkulasi Walker dikendalikan oleh variasi SML Suhu Muka Laut di samudera pasifik bagian Timur dan bagian Barat Gambar 2. Gambar 2. Skematik dari sirkulasi Walker di bagian atas dan bawah atmosfer dalam keadaan normal dan ENSO Nicholls 1987 Perubahan dalam kadar panas SML kemudian di alihkan kedalam atmosfer dalam bentuk perubahan tekanan atmosfer. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa ada kopel perangkai yang kuat antara lautan dan atmosfer, demikian disebut El Nino Southern Oscillation ENSO. Dalam tahun-tahun ENSO terjadi penurunan subsidensi massa udara diatas benua maritim Indonesia dan awan konvektif bergerak ke pasifik bagian tengah, sehingga sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kekeringan atau musim kemarau panjang. Model dasar interaksi lautan adalah kenaikan temperatur Samudera Pasifik Ekuatorial. Di atas pusat anomali temperatur ini akan terjadi penguapan dan konveksi kuat, akibatnya angin pasat di sebelah barat pusat anomali temperatur akan melemah dan angin pasat di sebelah timur pusat ini akan menguat. ENSO menyebabkan variasi iklim tahunan di Indonesia, keterlambatan musim tanam terjadi pada tahun-tahun ENSO dibandingkan kondisi normal. Tanpa memperhitungkan manajemen air yang baik maka produksi pangan akan turun sehingga mengganggu stabilitas pangan Indonesia. Dari data yang tercatat saat tahun-tahun ENSO mengakibatkan musim kemarau lebih panjang dan musim hujan lebih pendek. Dampak kekeringan Tahun Eq 30 o LS 90 o BB o 90 o BT 180 o 90 o BB Eq 30 o LS 90 o BB o 90 o BT 180 o 90 o BB DJF Normal DJF El Nino ENSO di Indonesia tercatat hampir dirasakan diseluruh wilayah Indonesia kecuali untuk beberapa tempat yang pengaruh ekuatorialnya lebih kuat Penjelasan diatas menunjukkan, bahwa keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Pada saat fenomena ENSO berlangsung, hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal Gambar 3. Pengamatan terhadap tahun El-Nino yang terjadi dalam periode 1896 sampai 1987, diperoleh bahwa untuk setiap peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Nino 3 rata-rata curah hujan wilayah di Indonesia pada musim kering turun sekitar 60 mm. Penurunan curah hujan wilayah dapat mencapai 80 mm dari normal apabila suhu muka laut di Nino-3 naik sampai 1.8 o Gambar 3 . Persen daerah yang curah hujan di bawah normal panah hitam menunjukkan tahun bukan El-Nino C di atas normal Boer 2003. Fenomena ENSO tidak hanya mempengaruhi tinggi hujan tetapi juga mempengaruhi masuknya awal musim hujan atau akhir musim kemarau tergantung pada waktu pembentukan dan lama dan intensitasnya. Pada umumnya pada saat terjadi El-Nino awal musim hujan di wilayah yang bertipe iklim monsun mengalami 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 60 62 64 66 68 70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 Tahun W ilay ah dengan H uj an B aw ah N or m al keterlambatan, sebaliknya pada saat berlangsungnya fenomena La-Nina,akhir musim hujan mengalami keterlambatan atau awal masuknya musim kemarau mundur. Faktor lain yang mempengaruhi keragaman hujan di Indonesia adalah Indian Ocean Dipole Mode IOD. Fenomena ini pertama kali dikemukakan oleh Saji et al. 1999. IOD dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara suhu muka laut di kawasan barat Samudera India 50°-70°BT, 10°LU-10°LS dengan suhu muka laut di kawasan tenggara Samudera India 90°-110°BT, 0°-10°LS. Apabila terjadi indeks sangat negatif dibawah standar deviasi historis yang berarti suhu di tengah samudera Hindia lebih hangat daripada di pantai barat Sumatera, maka wilayah Indonesia barat bagian selatan mendapat resiko kekeringan akibat terjadi subsidensi dan aliran masa udara menjauh daerah ini. Apabila yang terjadi sebaliknya, maka wilayah yang sama akan mengalami curah hujan tinggi. Dampak IOD penting di perhatikan saat periode Juni-Oktober dimana akan memberikan banyak bulan basah di bagian Tenggara Southeast dan Barat Daya Southwest lokasi IOD terjadi Risbey et all. 2009. Selain itu pada akhir Mei potensi terjadi ketidakstabilan musim angin baratan Afrika Hagos Kerry 2006. Sehingga wilayah tengah Samudera india sangat penting diperhatikan pada bulan Juni, Juli, Agustus. Dibandingkan dengan ENSO, fluktuasi dari gejala IOD memiliki periode yang sangat pendek tidak lebih dari satu musim sehingga koherensi gejala ini rendah dan sulit diasosiasikan dengan iklim Indonesia. Selain itu sangat sulit untuk menduga besarnya pengaruh ENSO, IOD atau efek kombinasi keduanya terhadap curah hujan Risbey et all. 2009. Untuk memahami lebih jauh kaitan kejadian ENSO dan IOD terhadap kejadian awal masuk musim hujan di wilayah Jawa, kajian di fokuskan menentukan domain prediktor interaksi lautan-atmosfer yaitu fluktuasi SML di Pasifik ekuator bagian tengah dan timur hinga Samudera India yang merepresentasikan ENSO dan IOD Gambar 4. Gambar 4. Skematik wilayah ENSO dan IOD

2.3 Definisi Awal Musim Hujan