Faktor Yang Mempengaruhi Awal Musim

2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Awal Musim

Monsun adalah salah satu fenomena iklim global menyebabkan pergerakan titik kulminasi matahari terhadap bumi yang bergerak utara selatan dan terciptanya kontras tekanan dan suhu antara benua dan samudera. Selain itu fenomena monsoon juga mengikuti pola garis pantai karena pada daerah tersebut terjadi pusat pusat konveksi dan juga diakibatkan oleh pola kontras antara benua dan samudera. Sehingga pergerakan daerah fenomena monsoon tidak murni bergerak arah utara selatan. Wilayah Jawa termasuk dalam pewilayahan monsun atau wilayah yang dicirikan dengan pola hujan tahunan satu puncak hujan dan satu puncak kemarau Aldrian Susanto 2003. Hal ini mengakibatkan nilai kontras akumulasi hujan pada puncak musim hujan dan puncak kemarau. Sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BMKG, jika hujan diatas 150 mm, maka dikategorikan musim hujan, sebaliknya apabila curah hujan dibawah 150 mm per bulan akan disebut musim kemarau. Dengan memahami kejadian monsun maka dapat menduga terjadinya awal musim Indonesia Fenomena iklim global lainnya adalah ENSO, dampak dari fenomena ini dapat dirasakan secara global. Fenomena ini berhubungan berturut turut dengan fase hangat dan dingin di wilayah ekuator Pasifik. Secara normal terdapat kolam hangat warm pool di sebelah utara pulau Papua yang merupakan tempat berkumpulnya arus permukaan dari aliran sabuk dunia sebelum dihantar melalui arus lintas Indonesia Arlindo melalui wilayah benua maritim menuju samudera india. Kolam hangat ini juga tempat sirkulasi Walker dimana terjadi pengangkatan masa udara convection center. Pada saat El NiƱo, terjadi perpindahan daerah wam pool menuju ke timur daerah ekuator Pasifik dan meninggalkan daerah di utara Papua. Dinamika fenomena laut tersebut tentunya akan menggangu kondis atmosfer di wilayah lainnya. Sel Walker menyebabkan telekoneksi atmosfer antara wilayah samudera India dan pasifik yang berpusat di wilayah warm pool sekitar Papua Aldrian Susanto.2003. Pada kondisi normal, angin 850 mb atau angin lapisan bawah di perairan India-Pasifik pada periode JJA bertiup dari Timur Gambar 5a. Kejadian ENSO menyebabkan pola angin di lapisan bawah pada periode bulan JJA di perairan India-Pasifik menyimpang dari normalnya. Meningkatnya SML di pasifik tropis membuat arus angin berbalik atau terjadi putaran di Pasifik Tengah Gambar 5b. Implikasinya untuk wilayah Pasifik Tengah-Timur akan terjadi banyak hujan akibat konvergensi efek dari putaran angin pembalikan arah. Sedangkan Jawa atau Indonesia pada umumnya akan terjadi pengurangan curah hujan selanjutnya mengakibatkan awal masuk musim hujan akan mundur dari normalnya. Dengan demikian perlu memperhatikan sinyal kejadian ENSO sebagai faktor yang mempengaruhi AMH di Jawa. Sinyal tersebut yaitu fluktuasi SML periode JJA di wilayah pasifik equator sehingga kejadian AMH maju atau mundur dari normal di Jawa dapat di prediksi. Gambar 5 Pola angin 850 mb JJA Samudera India-Pasifik Saat a Normal dan bENSO Selain faktor tahunan tersebut, pola iklim Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non tahunan seperti harian intra seasonal dan faktor inter tahunan. Untuk skala intra seasonal atau antara 30 sampai 90 hari, terdapat dominasi pengaruh pergerakan daerah konveksi dari samudera India ke arah timur. Pergerakan variabilitas intra seasonal ini membawa akibat daerah hujan yang tinggi pada daerah yang dilaluinya. Variabilitas atau osilasi intra seasonal ini dikenal dengan istilah Madden Julian Oscillation MJO sesuai nama pencetusnya Madden Julian 1994. Untuk daerah benua maritim Indonesia, penjalaran gelombang ke timur gejala ini terjadi di samudera India dan peristiwa yang dimulai di laut akan berakibat pada a b daerah hujan yang mana daerah hujan ini akan bergerak ke arah timur masuk di kepulauan Indonesia melalui propinsi Sumatera Barat dan terus bergerak ke Timur Aldrian 2008. Apabila peristiwa tersebut terjadi pada bulan musim hujan maka pergerakan akan lebih ke arah selatan mengikuti jalur Intertropical Convergence Zone ITCZ atau daerah konvergensi antar tropis yang sedang berada di bumi belahan selatan. Pola mengikuti jalur ITCZ dikarenakan ITCZ merupakan pusat konveksi yang menarik massa udara sekitar. Peristiwa penjalanan dengan gelombang ini terjadi dengan periode antara 30 sampai 90 hari atau periode seasonal dan intraseasonal sehingga gejala MJO ini dikenal juga dengan istilah gelombang intraseasonal. Pergerakan intraseasonal ini mengakibatkan variabilitas curah hujan sehingga terjadi waktu jeda basah wet spell atau waktu jeda kering dry spell, implikasinya akan terjadi kehilangan hari bulan basah atau hari bulan kering antara 20 sampai 50 hari Benjamin Pierre 2006. Kejadian tersebut tentunya akan berpotensi mempengaruhi AMH di wilayah Indonesia khususnya Jawa karena dasar perhitungan AMH adalah akumulasi curah hujan dalam sepuluh harian dasarian. Dengan memahami kejadian MJO maka dapat dihindari menentukan awal musim palsu akibat dry spell atau wet spell.

2.5 Perkembangan Model Prediksi AMH