daerah hujan yang mana daerah hujan ini akan bergerak ke arah timur masuk di kepulauan Indonesia melalui propinsi Sumatera Barat dan terus bergerak ke Timur
Aldrian 2008. Apabila peristiwa tersebut terjadi pada bulan musim hujan maka pergerakan akan lebih ke arah selatan mengikuti jalur Intertropical Convergence Zone
ITCZ atau daerah konvergensi antar tropis yang sedang berada di bumi belahan selatan. Pola mengikuti jalur ITCZ dikarenakan ITCZ merupakan pusat konveksi
yang menarik massa udara sekitar. Peristiwa penjalanan dengan gelombang ini terjadi dengan periode antara 30 sampai 90 hari atau periode seasonal dan intraseasonal
sehingga gejala MJO ini dikenal juga dengan istilah gelombang intraseasonal. Pergerakan intraseasonal ini mengakibatkan variabilitas curah hujan sehingga terjadi
waktu jeda basah wet spell atau waktu jeda kering dry spell, implikasinya akan terjadi kehilangan hari bulan basah atau hari bulan kering antara 20 sampai 50 hari
Benjamin Pierre 2006. Kejadian tersebut tentunya akan berpotensi mempengaruhi AMH di wilayah Indonesia khususnya Jawa karena dasar perhitungan
AMH adalah akumulasi curah hujan dalam sepuluh harian dasarian. Dengan memahami kejadian MJO maka dapat dihindari menentukan awal musim palsu akibat
dry spell atau wet spell.
2.5 Perkembangan Model Prediksi AMH
Hasil dari model iklim global biasanya diberikan sebagai input untuk model iklim regional dimana dinamika proses yang terjadi kembali dihitung dalam skala
regional. Untuk model prediksi dibutuhkan model iklim laut dan atmosfir yang dijalankan sekaligus dimana terjadi umpan balik antara keduanya. Masing masing
model tersebut tidak dapat jalan sendiri sendiri untuk prediksi karena masing masing saling membutuhkan untuk data di permukaan laut. Untuk model atmosfir global
biasanya membutuhkan data SML, sedangkan untuk model iklim regional model atmosfir membutuhkan data di daerah batas domain di laut atau di atmosfir pada
masing masing lapisan. Saat ini model AMH sudah banyak dikembangkan baik yang berdasar dinamika atmosfer, pemanfaatan data satelit maupun perhitungan statistik.
Kajian data satelit dimanfaatkan untuk menduga anomali curah hujan dalam periode
masa transisi Maret-Juni sehingga akan di ketahui sebaran pola hujan spasial untuk wilayah Indonesia As-syakur Prasetia 2010. Kajian tersebut dapat dijadikan
indikasi awal pertimbangan perkembangan fenomena iklim global untuk kepentingan menduga AMH. Dalam teknk perhitungan statistik Hamada et al. 2002 melakukan
analisa terjadinya AMH di Indonesia kaitannya dengan kejadian ENSO. Model prediksi AMH dengan teknik statistik namun menggunakan data prediktor SML telah
banyak dikembangkan. BoM Australia mengidentifikasi wilayah prediktor SML potensial sebagai prediktor sebelum diaplikasikan dengan teknik statistik Fiona lo et
al. 2008. Demikian juga dengan India Meteorological Departemen IMD telah melakukan dengan teknik yang serupa dan bahkan telah dioperasionalkan Rajeevan
2009. Selain teknik tersebut, Moron Robertson. 2009 juga telah mengembangkan suatu metoda menduga awal terjadinya mosun dengan teknik
pemanfaatan data satelit untuk wilayah India. Pengembangan model iklim atmosfir dan laut berbasis data satelit untuk
Indonesia relatif masih baru. Keterbatasaan sumber daya manusia dan komputer untuk kajian ini merupakan hambatan tersendiri. Untuk kebutuhan data pada wilayah
yang luas, Indonesia membutuhkan pengamatan iklim terpadu sehingga mencakup seluruh wilayah teritorialnya. BMKG masih memanfaatkan data hujan yang ada
untuk operasional utama prediksi AMH. Model dengan teknik statistik dalam hal ini ARIMA masih menjadi tumpuan produk informasi awal musim. Kompleksitas
masalah lingkungan dan iklim di Indonesia akhir akhir ini menambah persoalan tentang akurasinya. Hal itu mendorong institusi ini mencari teknik dan metode yang
tepat dalam mengembangkan model prediksi iklim. Saat ini model prediksi iklim berbasis satelit sedang dikembangkan oleh BMKG sehingga diharapkan dapat
menghasilkan produk informasi iklim yang lebih handal.
2.6 Potensi Aplikasi Prediksi AMH