pelarut bufer. Pigmen fikoeritrin dengan pelarut aquades memiliki nilai absorbansi 2,15 nm lebih tinggi dibandingkan pelarut bufer 0,80 nm. Perbedaan kadar
pigmen fikoeritrin disebabkan perbedaan pelarut dan kondisi kultivasi. Kumar et al. 2010 menyatakan bahwa pelarut memainkan peranan penting
dalam proses ekstraksi. Pelarut sangat penting dalam penentuan kadar pigmen.
4.3 Mikrokapsul Porphyridium cruentum
Biomassa basah yang diperoleh dari pengendapan 1 L kultur sekitar 160 g. Sebanyak 400 g Porphyridium cruentum yang dibuat mikrokapsul menggunakan
metode mikroenkapsulasi menghasilkan rendemen 24,77 g atau 6,19 dari biomassa basah. Penelitian Dityanawarman et al. 2009 menunjukkan bahwa
mikrokapsul dengan konsentrasi maltodekstrin 15 memiliki rendemen 6,90. Perbedaan jumlah rendemen disebabkan perbedaan suhu pada proses
mikroenkapsulasi. Mikrokapsul
Porphyridium cruentum
menggunakan suhu inlet 180
˚C dan outlet 80 ˚C, sedangkan mikrokapsul Spirulina menggunakan suhu inlet 90
˚C dan outlet 50 ˚C. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka jumlah air yang menguap semakin banyak sehingga bobotnya
menyusut. Produk mikrokapsul dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Produk mikrokapsul Porphyridium cruentum
4.3.1 Zat padat terlarut mikrokapsul Porphyridium cruentum
Analisis zat padat terlarut dengan metode gravimetri pada prinsipnya hampir sama dengan pengujian kadar air. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana produk mikrokapsul dapat larut dalam air. Zat padat terlarut Porphyridium cruentum
berkisar antara 95,40. Hal ini menunjukkan bahwa produk mikrokapsul mempunyai nilai zat padat terlarut yang tinggi sehingga
sangat baik untuk diaplikasikan dalam produk pangan. Nilai zat padat terlarut
produk mikrokapsul Porphyridium cruentum lebih tinggi dibandingkan dengan produk mikrokapsul Spirulina pada konsentrasi maltodekstrin yang sama.
Penelitian Dityanawarman et al. 2009 menunjukkan bahwa produk mikrokapsul Spirulina
dengan konsentrasi 15 memiliki nilai zat padat terlarut sebesar 87,39. Selain itu dijelaskan bahwa semakin kecil ukuran produk mikrokapsul
maka akan semakin cepat dan mudah produk mikrokapsul larut dalam air.
4.3.2 Komposisi kimia mikrokapsul Porphyridium cruentum
Komposisi kimia menunjukkan kandungan gizi suatu produk. Komposisi kimia mikrokapsul Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi kimia mikrokapsul Porphyridium cruentum
Komposisi kimia Mikrokapsul
Porphyridium cruentum
Biomassa Porphyridium
cruentum
1
Kadar air 1,96
11,67
Kadar abu 45,35
38,34
Kadar protein 5,54
5,54
Kadar lemak 0,33
0,33
Karbohidrat
2
49,77
44,12
Ket ;
1
: Biomassa Porphyridium cruentum Rahman 2010
2
: by difference
Kualitas suatu produk yang dihasilkan ditunjukkan dengan kadar airnya. Produk mikrokapsul Porphyridium cruentum memiliki kadar air 1,96 dan lebih
rendah jika dibandingkan dengan biomassa basah 90 serta biomassa freeze dryer
11,67. Hal ini disebabkan proses mikroenkapsulasi serta penggunaan maltodekstrin sebagai pengisi. Maltodekstrin memiliki berat molekul sangat kecil
dan struktur molekul yang sederhana sehingga dapat diuapkan dengan mudah ketika proses pengeringan, yang menyebabkan kadar air rendah Rahayuni 2001.
Kadar air mikrokapsul Porphyridium cruentum 1,96 lebih kecil dibandingkan dengan mikrokaspul Spirulina, hasil penelitian Dityanawarman
2009, yang mana mikrokapsul Spirulina dengan konsentrasi 15 memiliki kadar air sebesar 6,87. Perbedaan kadar air disebabkan perbedaan suhu pada
proses spray drying. Suhu spray drying Porphyridium cruentum menggunakan suhu inlet 180 °C dan suhu outlet 80 °C dengan kadar air biomassa basah sekitar
90, sedangkan suhu spray drying Spirulina menggunakan suhu inlet 90 °C dan suhu outlet 50 °C dengan kadar air biomassa basah 86,61.
Kadar abu mikrokapsul Porphyridium cruentum sebesar 45,34. Kadar abu mikrokapsul lebih tinggi dibandingkan biomassa 38,34 diduga karena
pengaruh proses mikroenkapsulasi. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Fuentes et al. 2000, yang menyatakan bahwa Porphyridium cruentum yang
biomassanya setelah pemanenan dilakukan pembilasan mempunyai kadar abu rata-rata 20 bb.
Mikrokapsul memiliki kadar abu tinggi. Hal ini diduga karena pemanenan biomassa dilakukan dengan cara pengendapan dan tanpa pembilasan, sehingga
mineral pada kultur berada pada biomassa. Fuentes et al. 2000 menyatakan bahwa mineral-mineral yang terkandung dalam 100 gram berat kering biomassa
Porphyridium cruentum diantaranya adalah Natrium 1,130 mg, Kalium 1,1910
mg, Kalsium 1,240 mg, Magnesium 628 mg, Besi 661 mg, Tembaga 7,48 mg, Seng 373 mg, Mangan 47,1 mg, Kromium 0,92 mg, dan Sulfur 1,410
mg. Mikrokapsul
Porphyridium cruentum
memiliki kadar
protein sebesar 5,54 dan kadar lemak sebesar 0,33. Kadar protein dan lemak
mikrokapsul sama dengan biomassa. Hal ini menunjukkan bahwa proses mikroenkapsulasi tidak menyebabkan perubahan pada kadar protein dan lemak.
Komposisi kimia ini berbeda dengan komposisi kimia Porphyridium cruentum menurut Spolaore et al. 2006, yaitu protein 28-39 dan lemak 9-14, menurut
Gouveia et al. 2008 kandungan protein Porphyridium cruentum sebesar 8-18 dan lemak 16-40. Perbedaan protein dan lemak disebabkan adanya perbedaan
kondisi lingkungan kultivasi dan umur kultur. Pemanenan kultur Porphyridium cruentum
pada penelitian ini dilakukan pada fase stasioner. Pada fase stasioner, kondisi nutrien terbatas. Nitrogen yang terbatas menyebabkan kandungan protein
dan lemak rendah. Selain itu, kadar protein dan lemak juga dipengaruhi suhu kultivasi. Colla et al. 2007 menjelaskan bahwa pada kondisi nitrogen rendah
maka kandungan protein dan lemak rendah. Karbohidrat pada mikrokapsul sebesar 49,78 lebih tinggi dibandingkan
karbohidrat biomassa 44,12. Hal ini disebabkan pada proses mikroenkapsulasi
menggunakan bahan pengisi maltodekstrin. Lim et al. 2003 menyatakan bahwa maltodekstrin merupakan jenis karbohidrat hasil dari turunan hidrolisis sebagian
pati jagung atau kentang, sedangkan Spolaore et al. 2006 menyatakan bahwa kandungan karbohidrat Porphyridium cruentum sebesar 40-57.
Kandungan karbohidrat yang tinggi karena biomassa dipanen pada fase akhir stasioner. Pada fase akhir stasioner ketersediaan nitrogen terbatas sehingga
kandungan karbohidrat meningkat. Widianingsih et al. 2008 menyatakan bahwa ketika kultur berada pada fase stasioner, komposisi mikroalga berubah secara
signifikan karena terbatasnya kandungan nitrat sehingga kandungan karbohidrat meningkat. Kandungan karbohidrat total meningkat sesuai dengan umur kultur
mikroalga. Kandungan karbohidrat yang tinggi juga disebabkan proses pemanenan yang tanpa pembilasan. Fuentes et al. 2000 menjelaskan bahwa
pembilasan dapat menghilangkan ekstraseluler polisakarida dan menurunkan kandungan karbohidrat pada biomassa.
4.3.3 Komponen aktif Porphyridium cruentum