3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2010-Januari 2011 di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 2, Laboratorium Mikrobiologi Hasil
Perairan, dan Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium
Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Studi Biofarmaka.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah mikroalga Porphyridium cruentum
yang diperoleh dari Laboratorium Marikultur Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Ancol, Jakarta Utara; air laut, media Becker NaCl,
MgSO
4
.7H
2
O, MgCl
2
.6H
2
O, CaCl
2.
2H
2
O, KNO
3
, KH
2
PO
4
, NaHCO
3
, Tris HCl, trace element
, chelated iron yang dapat dilihat pada Lampiran 1, alkohol; aquades untuk ekstraksi pigmen; maltodekstrin untuk mikroenkapsulasi ; DPPH,
metanol untuk uji aktivitas antioksidan, asam sulfat, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, kloroform, anhidra asetat, serbuk magnesium,
amil alkohol, HCl, etanol 70 , FeCl
3
5, pereaksi Molisch, asam sulfat pekat, pereaksi benedict, pereaksi biuret, larutan ninhidrin 0,1 , n-heksana, H
2
SO
4
pekat, NaOH, H
3
BO
3
, selenium, indikator bromcherosol green-methyl red. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah toples kaca ukuran 3L,
tabung reaksi, UV, sentrifus, lampu neon, aerator, selang, mikroskop, haemasitometer, pipet volumetrik, spektrofotometer, freeze dryer, spray dryer,
baterai, timbangan, vorteks, hot plate, UV, gelas ukur, tisu, aluminium foil, kertas label, spidol, sudip, cawan, lemari es, timbangan, sudip, sentrifus dingin,
mikropipet 10-100 µm, bulb, lux meter, labu Kjeldahl, oven, kertas Whatman No. 42, erlemenyer, gelas piala.
3.3 Prosedur Kerja
Penelitian ini meliputi 3 tahapan, yaitu : kultivasi dalam media Becker, pemanenan biomassa, mikroenkapsulasi biomassa Porphyridium cruentum.
Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Diagram alir tahapan proses penelitian
3.3.1 Kultivasi mikroalga Porphyridium cruentum
Penyegaran stok mikroalga perlu dilakukan sebelum dikultivasi. Penyegaran dilakukan selama tujuh hari dalam elemenyer dan media yang
digunakan adalah media Becker. Volume kultur untuk penyegaran adalah 500 ml dan mikroalga yang dimasukkan sebanyak 20 VV. Penyegaran stok mikroalga
dilakukan dalam keadaan aseptik pada suhu ruang di bawah penyinaran lampu neon ± 2000 lux dengan aerasi. Selanjutnya, dilakukan kultivasi pada toples
Penentuan kurva pertumbuhan
P. cruentum
Kultivasi P. cruentum Pemanenan
Penentuan umur panen
Freeze drying Mikroenkapsulasi
Biomassa :
maltodekstrin : aquades : 400 g: 15 g: 200 ml
Analisis zat padat terlarut Analisis proksimat
Analisis komponen aktif Analisis pigmen fikoeritrin
Analisis antioksidan Serbuk biomassa
Analisis komponen aktif Analisis pigmen fikoeritrin
Analisis antioksidan Biomass
Filtrat
Biomassa basah 400 g Biomassa basah 400 g
Produk mikrokapsul
kaca dari 100 ml, 500 ml, 2 L. Selanjutnya, dilakukan scale up 3 L untuk menentukan kurva pertumbuhan.
Selama kultivasi dilakukan pengambilan sampel setiap hari pada pagi hari sebanyak 1 ml. Selanjutnya sampel digunakan untuk menghitung kepadatan sel
mikroalga.
3.3.2 Pemanenan biomassa
Pemanenan dilakukan pada umur 5 hari mewakili fase log, 8 hari mewakili fase awal stasioner, dan 12 hari mewakili fase akhir stasioner.
Selanjutnya biomassa yang diperoleh diekstraksi pigmen fikoeritrin. Waktu panen yang menghasilkan pigmen fikoeritrin terbesar digunakan untuk panen pada
kultivasi selanjutnya.
3.3.3 Mikroenkapsulasi dengan metode spray dryer
Dityanawarman et al. 2009
Biomassa basah sebanyak 400 gr dicampurkan dengan maltodekstrin 15. Kemudian ditambahkan aquades 200 ml dan dihomogenkan. Pengeringan
biomassa basah dilakukan dengan spray dryer suhu inlet dan outlet diatur masing -masing pada suhu 180 ± 5 °C dan 80 ± 5°C.
3.4 Prosedur Analisis
Analisis yang dilakukan, antara lain perhitungan sel, laju pertumbuhan, analisis pigmen fikoeritrin biomassa dan mikrokapsul dengan menggunakan
spektrofotometer, analisis komponen aktif, proksimat, dan aktivitas antioksidan terhadap mikrokapsul.
3.4.1 Perhitungan jumlah sel Hadioetomo 1993
Pertumbuhan Porphyridium cruentum diamati dengan cara mengambil sampel setiap hari menggunakan mikro pipet, kemudian dimasukkan ke dalam
chamber hemasitometer, selanjutnya dihitung jumlah sel secara langsung
menggunakan mikroskop. Hasil perhitungan nilainya dikonversikan ke dalam nilai logaritmik dan dibuat kurva pertumbuhan dengan jumlah sel logaritmik
sebagai sumbu y dan waktu hari sebagai sumbu x. Proses perhitungan jumlah sel ini dengan metode hitung langsung sebagai berikut :
1 Permukaan hitung hemasitometer dan kaca penutup dibersihkan dari sisa-sisa
minyak.
2 Tutup kaca hemasitometer diletakkan pada permukaan hemasitometer.
Suspensi biakan Porphyridium cruentum hasil pengambilan sampel dikocok, kemudian diambil dengan mikropipet sekitar 20 µL. Suspensi tersebut
diteteskan pada tempat menaruh sampel yang terdapat pada hemasitometer hingga suspensi Porphyridium cruentum menyebar pada ruang hitung.
3 Hemasitometer diletakkan di atas pentas mikroskop. Jumlah sel yang terdapat
dalam 80 kotak kecil yang terletak dalam bagian tengah yang mempunyai luas 0,2 mm
2
5 x 16 x 0,0025 mm
2
dihitung dengan mikroskop pada pembesaran 400x. Perhitungan jumlah sel dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.
Formulasi yang dipakai dalam menghitung kepadatan sel adalah sebagai berikut :
N = �1 + �2
2 x
1 0,2mm
2
� 0,1 mm x
1 mm
3
10
−3
ml Keterangan :
N : kepadatan sel selmL
N1 : jumlah sel dalam 80 kotak kecil ulangan ke-1
N2 : jumlah sel dalam 80 kotak kecil ulangan ke-2
0,2 mm : luas hemasitometer dalam 80 kotak
0,1 mm : kedalaman cairan di bawah hemasitometer
Hasil perhitungan diplotkan pada grafik hingga diperoleh kurva pertumbuhan dengan umur kultur hari sebagai sumbu x dan log kepadatan sel
selmL sebagai sumbu y.
3.4.2 Laju pertumbuhan Porphyridium cruentum Chrismadha et al. 1997
Laju pertumbuhan mikroalga diperoleh dari data jumlah kepadatan sel selama kultivasi mikroalga. Rumus laju pertumbuhan mikroalga adalah sebagai
berikut : μ =
ln�� �
� Keterangan :
µ = laju tumbuh pembelahan selhari
Xt = kepadatan sel pada hari t selmL
Xo = kepadatan awal hari selmL
t = waktu hari
3.4.3 Analisis pigmen fikoeritrin biomassa
Metode yang digunakan dalam ekstraksi pigmen adalah berdasarkan metode dari Techernov et al 1993. Sampel sebanyak 80 mg masing-masing
umur panen 5, 8, dan 12 hari dilarutkan ke dalam aquades 10 ml. Selanjutnya kocok menggunakan vortex dan disimpan di dalam refrigerator selama 24 jam.
Sampel kemudian di sentrifugasi selama 30 menit 3000 rpm. Supernatan yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer
3.4.4 Analisis pigmen fikoeritrin mikrokapsul Dityanawarman et al. 2009
Ekstraksi pigmen dilakukan dengan cara sebagai berikut : sebanyak 1 g produk mikrokapsul dan biomassa Porphyridium cruentum yang telah dikeringkan
dilarutkan dalam aquades sebanyak 12,5 ml. Sampel kemudian dikocok menggunakan vortek sampai biomassanya larut dan disimpan pada refrigerator
selama 8 hari. Suspensi sel kemudian disentrifugasi selama 30 menit 3000 rpm. Supernatan yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 546 nm, 620 nm, dan 650 nm.
3.4.5 Analisis komponen aktif Harborne 1987
Analisis fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen -komponen aktif yang terdapat pada Porphyridium cruentum yang memiliki
aktivitas antioksidan. Analisis fitokimia meliputi uji alkaloid, steroidtriterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokiunon, Molisch, Benedict, Biuret, dan Ninhidrin.
1 Alkaloid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff,
pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan
pereaksi Wagner, dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendroff. 2
Steroidtriterpenoid Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi
yang kering. Lalu, 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat ditambahkan ke dalamnya. Larutan berwarna merah yang terbentuk untuk pertama kali kemudian
berubah menjadi biru dan hijau, menunjukkan reaksi positif.
3 Flavonoid
Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,10 mg dan 0,40 ml amil alkohol campuran asam klorida 37 dan etanol 95 dengan volume yang
sama dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Warna merah, kuning, atau jingga yang terbentuk pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.
4 Saponin uji busa
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambhan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan
adanya saponin. 5
Fenol hidrokuinon pereaksi FeCl
3
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70 . Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan
FeCl
3
5 .Warna hijau atau hijau biru yang terbentuk menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan.
6 Uji Molisch
Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molisch dan 1 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif menunjukkan adanya
karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu di antara 2 lapisan cairan
7 Uji Benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Warna hijau,
kuning, atau endapan merah bata yang terbentuk menunjukkan adanya gula pereduksi.
3.4.6 Analisis proksimat
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar
air, lemak, protein, dan abu.
1 Analisis kadar air AOAC 2005
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan oven. Prosedur analisis kadar air dimulai dengan pengeringan cawan porselin dalam oven selama
1 jam. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator selama 20 menit,
selanjutnya ditimbang beratnya sampai diperoleh berat cawan yang konstan XI. Sampel ditimbang sebanyak 2-3 g A, kemudian dimasukkan ke dalam cawan.
Cawan yang berisi sampel diletakkan dalam oven selama 4-6 jam dengan suhu 105°C. Cawan tersebut dipindahkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang
kembali sampai diperoleh berat yang konstan X
2
. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus :
X1 + A − X2 A
X 100 Keterangan :
X1 : berat cawan kosong setelah dikeringkan g X2 : berat cawan + sampel setelah dikeringkan g
A : berat sampel g
2 Analisis kadar lemak AOAC 2005
Sampel sebesar 5 g W
1
dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan ke
dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya W
2
dan disambungkan dengan tabung Soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor
tabung Soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak n-heksana p.a. Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak
didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke
dalam labu lemak, selanjunya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan
W
3
. Perhitungan kadar lemak adalah sebagai berikut : kadar lemak =
�3 − �2 �1
� 100 Keterangan :
W
1
: berat sampel g W
2
: berat labu lemak kosong g W
3
: berat labu lemak dengan lemak g kadar air =
3 Analisis kadar abu AOAC 2005
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105°C, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang
hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijatkan di atas nyala api hingga tidak berasap lagi.
Setelah itu, dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600°C selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu
ditentukan dengan rumus : Berat abu g = berat sampel dan cawan akhir g
– berat cawan kosong g kadar abu =
berat abu g berat sampel awal
� 100
4 Analisis kadar protein SNI 01-2354.4-2006
Tahap yang dilakukan untuk analisis kadar protein terdiri dari tahap destruksi, destilasi, dan titrasi.
a Tahap destruksi
Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g, kemudian dimasukkan ke dalam tabung Kjeldahl.
Satu buah tablet Kjeldahl dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H
2
SO
4
. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410˚C ditambahkan 10 ml air. Proses
destruksi dilakukan sampai warna larutan menjadi bening.
b Tahap destilasi
Proses destilasi terdiri dari 2 tahap yaitu : Tahap pertama adalah tahap persiapan alat yaitu kran air dibuka dan dilakukan
pengecekan alkali dan air dalam tangki, tabung, dan erlemenyer yang berisi akuades diletakkan pada tempatnya. Tombol power pada Kjeldahl system
ditekan dan dilanjutkan dengan penekanan tombol stream dan ditunggu beberapa saat sampai air di dalam tabung mendidih. Steam dimatikan
kemudian tabung Kjeldahl dan erlemenyer dikeluarkan dari alat Kjeldahl system.
Tahap kedua adalah tahap persiapan sampel yaitu tabung berisi sampel yang sudah didestruksi diletakkan ke dalam Kjeldahl system beserta erlemenyer
yang sudah diberi asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlemenyer mencapai 200 ml.
c Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan pada erlemenyer berubah warna menjadi pink, selanjutnya kadar protein dari
sampel dapat diperoleh dengan perhitungan menggunakan : Nitrogen
= HCl − ml blanko x 0,1 N HCl x 14,007
� � ℎ
� 100 kadar protein = Nitrogen x faktor konversi 6,25
3.4.7 Analisis aktivitas antioksidan dengan metode DPPH 1,1-difenil-2- pikrilhidrazil Dityanawarman
et al. 2009
Analisis aktivitas antioksidan dengan DPPH diawali dengan menyiapkan stok BHT sebagai larutan kontrol positif dan larutan sampel produk dalam
metanol p.a. Pada larutan stok BHT yang telah dibuat kemudian dilakukan pengenceran dalam metanol pro analysis dengan konsentrasi 6,25 ppm.
Pada larutan stok sampel dilakukan pengenceran dalam metanol p.a dengan konsentrasi 6,25 ppm. Pengenceran larutan BHT maupun sampel
ditetapkan dalam larutan metanol p.a. Larutan DPPH yang akan digunakan dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut methanol p.a dengan konsentrasi
1mM. Larutan sampel dan BHT masing-masing diambil 4,5 ml dan direaksikan dengan 500 µl larutan DPPH 1mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan diberi
label. Masing-masing larutan kemudian diinkubasi dalam inkubator pada
suhu 37°C yang sesuai dengan suhu normal tubuh manusia selama 30 menit agar DPPH dapat bereaksi. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Visisble UV-Vis pada panjang gelombang 517 nm. Pengukuran kuantitatif terhadap aktivitas antioksidan suatu bahan dapat
diketahui dari terjadinya perubahan warna ungu bahan DPPH menjadi kekuningan karena bereaksi dengan bahan antioksidan. Aktivitas penangkapan terhadap
radikal bebas ditetapkan sebagai persentase penghambatan yang dapat dihitung berdasarkan persamaan :
Inhibisi = [
− �
] � 100
Keterangan ; AB = absorbansi blanko
AS = absorbansi larutan standar atau sampel
3.4.8 Analisis zat padat terlarut, metode gravimetri Purba 2003
Satu gram bahan pengkapsul dilarutkan dalam 150 ml akuades dan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No.42. Sebelum digunakan
kertas saring terlebih dahulu dikeringkan dalam oven 105°C selama 30 menit dan ditimbang. Setelah penyaringan, kertas saring beserta residu dikeringkan dalam
oven 105°C selama tiga jam, didinginkan dengan desikator dan ditimbang. Pengeringan dilakukan hingga diperoleh bobot yang konstan.
Kelarutan = 100 –
−
100 −KAx c
100
x 100 Keterangan :
a = berat kertas saring dan residu gram
b = berat kertas saring gram
c = berat sampel yang digunakan
KA = kadar air sampel bb
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kultivasi dan Pertumbuhan Porphyridium cruentum
Porphyridium cruentum merupakan mikroalga merah dari kelas
rhodophyceae, bersel satu, mempunyai bentuk sel bulat dengan diameter 4 -
9 μm, hidup bebas atau berkoloni Borowitzka dan Borowitzka 1988.
Kultivasi Porphyridium cruentum menggunakan intensitas cahaya antara 2000-3000 lux. Hal ini sesuai dengan penelitian Kusumawarni 1998 yang
menunjukkan bahwa kandungan pigmen Porphyridium cruentum terbesar dengan menggunakan intensitas cahaya 2000 lux.
Suhu yang digunakan adalah suhu ruang sekitar 26-28 °C. Kelembaban udara sekitar 70-90 . Suhu yang digunakan dalam penelitian ini masih berada
dalam kisaran suhu pertumbuhan Porphyridium cruentum. Vonshak 1988 menyatakan bahwa sel Porphyridium dapat tumbuh pada kisaran suhu 10-35°C.
Aktivitas optimum fotosintesis dari kultur Porphyridium cruentum terjadi pada suhu 25°C. Kondisi kultivasi di laboratorium dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Kondisi kultivasi Porphyridium cruentum
Air laut yang digunakan pada kultivasi Porphyridium cruentum memiliki
pH sebesar 7,54 dengan salinitas 3,04. Media yang digunakan untuk kultivasi adalah media Becker dengan pH sebesar 7,31 dan salinitas 6,08. Nilai pH ini
masih berada pada kisaran pH pertumbuhan dan mendekati pH optimum Porphyridium cruentum
7,5. Borowitzka dan Borowitzka 1988 menyatakan
bahwa Porphyridium cruentum dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 5,2-8,3. Derajat keasaman pH optimum untuk fotosintesis Porphyridium
cruentum yaitu 7,5. Pertumbuhan Porphyridium cruentum akan terhambat pada
pH kurang dari 5. Media kultivasi Porphyridium cruentum memiliki salinitas 6,08.
Salinitas ini dua kali lipat dengan salinitas air laut, namun Porphyridium cruentum tetap tumbuh dengan baik. Borowitzka dan Borowitzka 1988 menjelaskan
bahwa Porphyridium dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas yang cukup besar, yaitu 0,5-2 kali konsentrasi air laut 3,5. Richmond 1988 menjelaskan
bahwa salinitas media Becker Porphyridium cruentum pada kisaran 3,5-4,5 dapat memacu pertumbuhan yang optimal namun salinitas 4,6 tidak
menghambat proses pertumbuhan, sedangkan pada kondisi salinitas kurang dari 3,5, Porphyridium tidak mampu bersaing hidup dengan mikroalga lainnya, jika
ditumbuhkan pada kultur terbuka. Kultivasi Porphyridium cruentum menggunakan media Becker. Nutrien
media Becker meliputi MgSO
4
.7H
2
O, MgCl
2
.6H
2
O, CaCl
2
.2H
2
O, KNO
3,
KH
2
PO
4,
NaHCO
3,
Tris-HCl, Chelate iron, dan trace element. Ketersediaan MgSO
4
.7H
2
O berfungsi menyediakan sulfur bagi mikroalga. Borowitzka dan Borowitzka 1988
menjelaskan sulfur memainkan peranan penting pada struktur dan fungsi protein. L-metionin, L-cistein, glutationin dan sulfida bukan termasuk sumber sulfur bagi
Porphyridium cruentum . Sumber sulfur Porphyridium cruentum berasal dari
MgSO
4
, Na
2
SO
3,
atau Na
2
S
2
O
3
antara 5,4 sampai 27 Mm. Senyawa MgCl
2
.6H
2
O berfungsi menyediakan magnesium bagi mikroalga. Becker 1994 menyatakan
bahwa magnesium diperlukan oleh semua spesies mikroalga karena magnesium berperan pada fotosintesis sebagai atom pusat molekul klorofil. Magnesium juga
berfungsi menyatukan ribosom menjadi unit fungsional. Kekurangan magnesium menyebabkan terhambatnya pembelahan sel sehingga sel abnormal. CaCl
2
.2H
2
O berfungsi menyediakan kalsium bagi mikroalga. Kalsium diperlukan selama
pertumbuhan oleh mikroalga. Becker 1994 menyatakan bahwa ion kalsium berfungsi mengatur membran sitoplasma, pembentukan garam dengan koloid, dan
presipitasi CaCO
3
.
Nutrien media Becker lainnya adalah KNO
3
yang berfungsi menyediakan nitrogen pada mikroalga. Nitrogen merupakan elemen terbesar yang penting bagi
mikroalga. Borowitzka dan Borowitzka 1988 menjelaskan bahwa Porphyridium dapat menggunakan KNO
3
dan amonium sebagai sumber nitrogen. Sumber nitrogen diperlukan untuk pertumbuhan sel dan sintesis enzim pada pembentukan
polisakarida. Kelebihan nitrogen umumnya mengurangi produksi polisakarida ekstraseluler. Jika ditumbuhkan dalam media dengan sumber nitrogen terbatas
maka produksi polisakaridanya lebih tinggi. NaHCO
3
dalam media Becker berfungsi menyediakan karbon bagi mikroalga. Vonshak 1988 menyatakan
Porphyridium menggunakan CO
2
sebagai sumber karbon. Borowitzka dan Borowitzka 1988 menjelaskan pertumbuhan menjadi lebih cepat pada kultur
yang diberi cahaya dan aerasi dengan udara yang mengandung CO
2
. Pertumbuhan kultur dengan aerasi mempunyai waktu pembelahan 20 jam, sedangkan ketika
ditambahkan udara sebesar 1 CO
2
vv waktu pembelahan menjadi setengahnya.
Media Becker juga mengandung Tris-HCl dengan pH 7,6 yang berfungsi sebagai bufer. Barsanti dan Gualtieri 2006 menyatakan bahwa sistem bufer
digunakan sebagai pengontrol pH pada media kultur. Selain itu, bufer juga mencegah terjadinya presipitasi.
Porphyridium cruentum juga menggunakan chelate iron sebagai media
kulturnya. Chelate iron yang digunakan berupa Fe dan EDTA. Barsanti dan Gualtieri 2006 menjelaskan chelator berfungsi sebagai bufer trace metal untuk
mengatur konsentrasi ion logam bebas. Ion logam bebas pada mikroalga bisa berfungsi sebagai nutrien ataupun toksik. Tidak semua chelate iron cocok
digunakan, misalnya keberadaan Cu menyebabkan toksik sedangkan Fe dapat mencegah terjadinya presipitasi. Penambahan EDTA pada media kultur berfungsi
untuk mencegah presipitasi terutama Ca dan Mg. Sel Porphyridium cruentum pada penelitian ini berbentuk bulat, berwarna
merah dengan pyrenoid di tengahnya. Setiap selnya dikelilingi oleh dinding sel yang terdiri dari dua lapisan. Lapisan kedua memancarkan cahaya. Sharma 1986
menjelaskan bahwa setiap sel dikelilingi oleh dinding sel yang terdiri dari dua lapisan. Lapisan bagian luar terdiri dari bahan pectic dan lapisan bagian dalam
terbuat dari cellulosic microfibrils. Wanner dan Kost 1980 menyatakan bahwa sel Porphyridium cruentum terdiri dari kloroplas, vakuola, badan golgi, pati,
pyrenoid, dan mitokondria. Sel Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 9.
a b
Keterangan : C
: Kloroplas G
: Badan golgi L1
: Lapisan pertama L2
: Lapisan kedua M
: Mitokondria P
: Pyrenoid S
: Pati V
: Vakuola
Gambar 9 Sel Porphyridium cruentum secara a mikroskop b SEM Wanner dan Kost 1980
Pertumbuhan mikroalga pada kultur dapat ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Penentuan hari panen
pada kultivasi dilakukan berdasarkan kurva pertumbuhan yang diperoleh pada saat kultivasi. Kurva pertumbuhan Porphyridium cruentum dapat dilihat pada
Gambar 10. C
P V
G
M
S L1 L2
V
Gambar 10 Kurva pertumbuhan Porphyridium cruentum a fase lag b fase log c fase stasioner
Porphyridium cruentum yang dikultivasi dengan media Becker memiliki
fase lag adaptasi selama 1 hari. Fase lag terjadi sangat singkat karena inokulum yang ditambahkan berumur 7 hari dan berada pada fase eksponensial. Inokulum
yang berada pada fase eksponensial akan lebih cepat beradaptasi terhadap media kultur dan mampu tumbuh serta membelah dengan cepat. Selain itu karena media
inokulum stok dan media kultur yang digunakan sama-sama menggunakan media Becker. Prihantini et al. 2005 menyatakan bahwa salah satu faktor yang
menentukan lamanya fase adaptasi adalah umur kultur yang digunakan sebagai inokulum. Fase adaptasi akan menjadi lebih singkat apabila sel-sel yang
dinokulasikan berasal dari kultur yang berada dalam fase eksponensial. Inokulasi sejumlah sel mikroorganisme ke dalam media dan kondisi lingkungan yang sama
seperti pada pemeliharaan kultur sebelumnya menyebabkan fase adaptasi tidak terlihat dan kultur lebih cepat memasuki fase eksponensial.
Fase eksponensial Porphyridium cruentum terjadi pada H-1 sampai H-7. Pada fase ini jumlah sel meningkat tajam karena sel telah beradaptasi dengan
media yang baru sehingga metabolismenya berjalan dengan baik. Fogg 1975 menyatakan bahwa pada fase eksponensial logaritmik terjadi percepatan
pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen biokimia menjadi konstan. Fase stasioner Porphyridium cruentum terjadi pada H-8 sampai H-12. Fase
stasioner ini terjadi karena nutrien yang berada pada media kultur dan intensitas cahaya yang diterima oleh sel Porpyridium cruentum berkurang.
5.5 5.7
5.9 6.1
6.3 6.5
6.7 6.9
7.1 7.3
7.5
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 L
o g
j um
la h
selm L
Hari ke-
a b
c
Prihantini et al. 2007 menyatakan bahwa fase stasioner pada kultur mikroalga berkaitan dengan berkurangnya sejumlah besar nutrien dalam media dan
akumulasi senyawa-senyawa beracun sisa metabolisme. Penurunan juga terjadi akibat berkurangnya intensitas cahaya yang diterima oleh sel.
Penentuan hari panen pada penelitian ini dilakukan berdasarkan fase pertumbuhan Porphyridium cruentum. Pemanenan Porphyridium cruentum
dilakukan pada fase log, awal stasioner, dan akhir stasioner. Kultur fase log H-5 mulai berwarna lebih merah jika dibandingkan kultur pada H-0. Kultur pada fase
awal stasioner H-8 berwarna merah, lebih tua jika dibandingkan kultur H-5. Perubahan kultur yang semakin berwarna merah tua disebabkan kerapatan sel
yang semakin tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan laju pertumbuhan pada Tabel 1. Tabel 1 Laju pertumbuhan Porphyridium cruentum
Laju pertumbuhan Jumlah pembelahan selhari
Hari ke-5 0,68
Hari ke-8 1,24
Hari ke-12 0,83
Prihantini et al. 2005 menyatakan bahwa perubahan warna kultur diikuti dengan peningkatan kerapatan sel. Peningkatan kerapatan sel menandakan
terjadinya pemanfaatan media kultur oleh sel Porphyridium cruentum. Kultur pada fase akhir stasioner H-12 berwarna merah semakin tua jika dibandingkan
kultur pada H-8. Kerapatan sel pada akhir stasioner mengalami penurunan namun warna kultur semakin merah tua. Jadi, kerapatan sel yang lebih tinggi pada H-8
tidak selalu menunjukkan warna merah paling tua. Penelitian Prihantini et al. 2007 menunjukkan bahwa kadar klorofil yang tinggi tidak selalu diikuti dengan
kerapatan sel yang tinggi. Kultur Porphyridium cruentum secara visual dapat dilihat pada Gambar 11.
0 hari 5 hari
8 hari 12 hari
Gambar 11 Kultur Porphyridium cruentum umur 0, 5, 8, dan 12 hari
4.2 Pigmen Fikoeritrin