93 Er hat sich ein kleines Stück Land in der Nähe des Tempels von
Tanah Lot gekauft und dort mit Hilfe von Bauern aus der Gegend ein Haus gebaut … Lachaud, 2001: 211
Dia telah membeli sebidang tanah dekat pura Tanah Lot dan di sana, dengan bantuan petani di sebrangnya ia membangun rumah…
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak banyak orang yang memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya pada tingkatan
tertinggi yaitu kesadaran budaya kritis. Hanya Ernst dan Peter yang memiliki kompetensi tersebut. Kesaaran budaya kritis ditandai dengan
sikap menerima dan mau menghargai budaya lain ditunjukkan melalui kebiasaan berkomunikasi dengan orang lain dari budaya yang berbeda.
C. Developmental Model of Intercultural Sensitivity DMIS Bennett
Selain Byram, model kompetensi komunikasi antarbudaya lainnya datang dari peneliti asal Brisbane, Queensland Australia, M.J Bennett.
Model yang ia cetuskan bernama Developmental Model of Intercultural Sensitivity DMIS. Model ini terdiri dari enam tingkatan kompetensi
seseorang dalam melakukan interaksi antarbudaya. Berbeda dengan Byram, model Bennett membagi kompetensi
komunikasi antarbudaya ke dalam dua tingkatan besar yang kemudian diturunkan pada kompetensi yang lebih detail. Meskipun demikian,
kompetensi tersebut merupakan proses perkembangan yang berkelanjutan. Dua hal tersebut adalah ethnocentrism dan ethnorelativism. Ethnocentrism
atau etnosentrisme lebih berkonsentrasi pada bagaimana seseorang memahami serta mengenal budayanya sendiri, sedangkan ethnorelativism
lebih kepada pemahaman seseorang terhadap budaya dalam hubungan
94 dengan budaya lainnya. Meskipun sedikit berbeda, DMIS secara garis
besar memiliki kemiripan dengan Intercultural Communication
Competence ICC yang dikemukakan oleh Byram.
1. Etnosentrisme Ethnocentrism
Tahapan kompetensi paling awal seseorang dalam melakukan interaksi antarbudaya salah satunya masuk dalam kategori ethnocentrism.
Hal ini dikarenakan kompetensi yang dimiliki masih sangat minim. Orang yang jarang atau belum pernah keluar dari lingkungan budayanya,
biasanya akan merasa sangat asing dengan budaya lain yang berbeda dengan budaya mereka.
Menurut The Random House Dictionary dalam Haris dan Moran 2006:70 mendefinisikan etnosentrisme sebagai:
Kepercayaan pada superiorritas inheren kelompok atau budaya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang
lain yang tidak sekelompok; etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang yang dianggap asing; etnosentrisme
memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri.
Etnosentrisme menurut Bennet dibagi menjadi tiga tahapan. Tahap
pertama adalah denial of difference atau penolakan perbedaan. Tahap kedua yaitu defence against difference pertahanan melawan perbedaan
dan yang terakhir adalah minimization of difference minimalisasi perbedaan. Di bawah ini dijelaskan beberapa kejadian yang dialami tokoh
utama maupun tokoh lainnya sebagai gambaran dari model kompetensi komunikasi antarbudaya Bennett.
95
a. Penolakan Perbedaan Denial of Difference
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa komunikasi antarbudaya hanya terjadi jika dua budaya yang berbeda saling
bertemu. Perbedaan ini meliputi perbedaan bahasa, pakaian, kebiasaan dan lain sebagainya. Tidak jarang perbedaan-perbedaan tersebut justru
menimbulkan permasalahan saat seseorang melakukan interaksi
antarbudaya. Salah satunya adalah sikap mementingkan budayanya atau etnosentrisme.
Etnosentrisme yang pada dasarnya merupakan sikap
mengagungkan budayanya sendiri tentu akan mengganggu jalannya proses komunikasi antarbudaya. Seseorang yang memilki sikap demikian akan
sulit menerima orang lain yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda. Sebagai konsekuensi yang lebih buruk adalah seseorang akan
melakukan tindakan-tindakan sebagai bentuk penolakan budaya baru yang ia temui.
Sikap etnosentrisme dalam kisah roman ini banyak ditunjukkan melalui sikap-sikap tokoh tambahan seperti dokter setempat, teman-teman
sekelas Ernst, salah satu guru Ernst bernama Madame Ginimo serta Horst Wommel, ayah Ernst. Kebanyakan dari mereka yang masih memiliki sikap
ethnosentisme disebabkan oleh sedikitnya pengetahuan dan interaksi secara langsung dengan masyarakat dari budaya lain.
Ketidakmampuan menafsirkan perbedaan budaya merupakan inti dari kompentensi pertama yang dimaksudkan oleh Bennet.