sebagainya memiliki jiwa. Yaitu selain mengisyaratkan adanya sifat kasih sayang dan kekuasaan Tuhan yang terdapat di balik ciptaan tersebut juga semua itu
memiliki jiwa emosi.
33
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan suatu kemampuan dan
keterampilan yang dimiliki seseorang dalam hubungannya dengan diri sendiri maupun dengan orang lain dalam hal menilai dan mengelola emosi diri, sehingga
mampu mengatasi kesulitan, tantangan dan hambatan hidup dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
b. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional
Menurut Salovey ada lima aspek dalam kecerdasan emosional yaitu:
1 Mengenali Emosi Diri Kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi
merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan
pemahaman diri.
Ketidakmampuan untuk
mencermati perasaan
yang sesungguhnya membuat individu ada dalam kekuasaan perasaan.
Kesadaran diri adalah kemampuan individu untuk menyadari emosi yang sedang dialaminya, dapat mengenal emosi itu, memahami kualitas, intensitas, dan
durasi emosi yang sedang berlangsung serta tahu penyebab terjadinya.
34
2 Mengelola Emosi Menangani perasaan agar perasaan terungkap dengan baik adalah kecakapan
yang bergantung pada kesadaran diri.Mengelola emosi ini meliputi kemampuan menghibur diri sendiri, melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan
dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan dasar.
33
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003, Cet. 1, h. 49.
34
Netty Hartaty, op.cit., h. 62.
3 Memotivasi Diri Sendiri Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat
penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri.Orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh
lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang dikerjakan. 4 Mengenali Emosi Orang Lain
Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, yang merupakan keterampilan dasar “bergaul”. Kemampuan berempati yaitu
kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan arena kehidupan. Orang yang empatik lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Semakin individu terbuka kepada emosi diri sendiri,
maka individu akan semaki terampil membaca perasaan. Emosi jarang diungkapkan dengan kata-kata, emosi jauh lebih sering
diungkapkan melalui isyarat. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal, diantaranya nada bicara, gerak-gerik, ekspresi
wajah, dan sebagainya. 5 Membina Hubungan dengan Orang Lain
Seni membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan, dan
keberhasilan antar pribadi.
35
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada intinya aspek kecerdasan emosi ada tiga yaitu, mengelola emosi diri sendiri, mengenali emosi orang lain,
dan membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional dapat menstabilkan kondisi psikologis dengan adanya kesadaran seseorang baik pada
diri sendiri maupun orang lain, bagaimana sesorang dapat mengelola emosinya,
35
Daniel Goleman, op.cit., h. 58-59.
dan mereka dapat bertahan dengan berbagai tekanan serta dapat menjalin hubungan baik dalam lingkungan sendirinya.
Dalam mengembangkan kecerdasan emosional, tentunya tidak begitu saja dapat terbentuk dengan baik dalam diri pibadi seseorang. Kecerdasan emosional
ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti otak, keluarga, dan sekolah.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi dapat dilakukan melalui proses pembelajaran. Kecerdasan emosional ini dipengaruhi oleh faktor-
faktor seperti otak, keluarga, dan sekolah. 1 Faktor Otak
Otak manusia terdiri dari tiga bagian yang kompleks pada gambar 3 bagian otak, yaitu batang otak, sistem limbik, dan neokorteks. Bagian otak
manusia yang disebut sistem limbik merupakan pusat emosi. Amigdala menjadi bagian penting dalam mengatur kehidupan yang berkaitan dengan masalah-
masalah emosional. Pemisahan amigdala dari bagian-bagian otak lainnya akan menyebabkan seseorang tidak mampu dalam menangkap makna emosional dari
suatu peristiwa. Ini berarti amigdala dalam dalam struktur otak berfungsi sebagai tempat ingatan emosi dan makna dari emosi.
36
Jika amigdala rusak, maka manusia akan kehilangan perasaan dan emosinya. Akibatnya, ia menjadi manusia yang “cuek”, tidak memperdulikan
orang lain, dan buta emosi. Sebagaimana Firman Allah
….
“…Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
” Q.S Al-Hajj: 46
37
36
Daniel Goleman, op.cit., h. 19.
37
Makmun Mubayidh, op.cit., h. 28.
2 Keluarga Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama kita untuk mempelajari
emosi. Pembelajaran emosi ini bukan hanya melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orang tua secara langsung kepada anaknya, melainkan juga melalui
contoh-contoh yang mereka berikan sewaktu menangani perasaan mereka sendiri atau perasaan yang bisa muncul antara suami dan istri.
38
Bagaimana orang tua mengasuh dan memperlakukan anaknya adalah tahapan awal yang diterima atau
dipelajari oleh anak dalam mengenal kehidupan. Kehidupan emosi yang ditanamkan di keluarga sangat berguna bagi anak di kemudian hari.
3 Sekolah Guru memegang peranan penting dalam mengembangkan potensi anak
melalui teknik, gaya kepemimpinan, dan metode mengajarnya sehingga kecerdasan emosional berkembang secara maksimal. Setelah lingkungan keluarga,
kemudian lingkungan sekolah yang mengajarkan anak sebagai individu untuk mengembangkan keintelektualan dan bersosialisasi dengan teman sebayanya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecedasan emosi seseorang secara fisik dan psikis.
Secara fisik terletak di bagian otak, secara psikis diantaranya meliputi lingkungan keluarga dan sekolah.
3. Tuna Daksa
a. Pengertian Tuna Daksa
Secara etimologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan
fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luar, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh
tertentu mengalami penurunan.
38
Daniel Goleman, op.cit., h. 268.
Secara definitif pengertian kelainan fungsi anggota tubuh tuna daksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan
oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga
untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus.
39
Tuna daksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu akibat ganguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal.
Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.
40
Anak tuna daksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan
gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Salah satu definisi mengenai anak tuna daksa
menyatakan bahwa anak tuna daksa adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlihat kelianan bentuk tulang, otot, sendi maupun saraf-sarafnya .
41
Gangguan fisik atau cacat tubuh mempunyai pengertian yang luas, secara umum dikatakan ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi
tubuh seperti dalam keadaan normal. b.
Klasifikasi Tuna Daksa Secara umum klasifikasi atau kategori gangguan dapat dibagi atas:
1 Anak tuna daksa yang tergolong bagian D SLB D ialah anak yang menderita gangguan karena polio atau lainnya, sehingga mengalami
ketidak normalan dalam fungsi tulang, otot-otot atau kerjasama fungsi
39
Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008, Cet. 2, h. 114.
40
T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: Refika Adintama, 2006, cet. 1, h. 121
41
I.G.A.K. Wardani, dkk.,Pengantar Pendidikan Luar Biasa, Jakarta:Universitas Terbuka, 2011, Cet. 16, h.7.