Pengertian Tuna Daksa Tuna Daksa

berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tuna daksa sistem cerebral. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerak lamban, dan kurang merespon rangsangan yang diberikan; dan tidak ada koordinasi , seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan gerakan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis, menggambar, dan menari. 48 Masalah psikologis anak tuna daksa dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari diri anak dan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan keluarga dimana ia tinggal dan lingkungan masyarakat. Anak atau siswa tuna daksa yang satu dengan yang lain belum tentu sama apa yang dipikirkannya. Lingkungan sosial memiliki pengaruh yang cukup besar bagi anak tunadaksa. Lingkungan yang baik akan memberikan respon yang baik, sebaliknya lingkungan yang negatif maka akan menimbulkan sikap yang buruk pula pada pembentukan pribadi anak tuna daksa.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai Religiusitas dan Kecerdasan Emosional sudah pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian dilakukan oleh Desi Anggraini mengenai Hubungan antara Kecerdasan Intelektual, Emosi, Spiritual dengan Penerimaan Diri Dewasa Muda Penyandang Cacat Tubuh di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. dr.Suharso Surakarta. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual dengan penerimaan diri pada dewasa muda penyandang cacat tubuh. Kemudian penelitian oleh Sri Rahayu tentang Hubungan antara Religiusitas dengan Kematangan Emosi pada Siswa SMU Institut Indonesia 1 Yogyakarta. 48 I.G.A.K. Wardani, dkk., op. cit., h. 78 Penelitian ini menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara religiusitas dan kem`atangan emosi pada siswa-siswi SMU Institut Indonesia 1 Yogyakarta dimana semakin tinggi religiusitas siswa siswi SMU Institut Indonesia 1 maka semakin tinggi pula kematangan emosinya, dan sebaliknya semakin rendah religiusitas siswa-siswi SMU Institut Indonesia 1 semakin rendah juga kematangan emosinya. Religiusitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kematangan emosi, karena individu yang menghayati nilai-nilai agamanya tidak akan mudah terpengaruh oleh gangguan-gangguan emosi. Penelitian yang dilakukan oleh Habibah dengan judul Pengaruh Religiusitas dan Dukungan Sosial Team Sebaya terhadap Kecerdasan Emosional Remaja Siswa SMPIT AL-Kahfi. Penelitian ini menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan keyakinan, pengetahuan agama, praktik agama, konsekuesi, pengalaman beragama, appraisal support, tangible support, self esteem support dan belonging support terhadap kecerdasan emosional.

C. Kerangka Berpikir

Goleman menyatakan bahwa Setinggi-tingginya IQ menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan sukses hidup, maka yang 80 persen diisi oleh kekuatan- kekuatan lain diantaranya kecerdasan emosional. Pernyataan Goleman tersebut tidak berlebihan disebabkan oleh banyaknya peristiwa yang melibatkan orang-orang dengan IQ tinggi tetapi dalam kehidupan sosial terasingkan karena perilaku-perilaku negatif yang dimunculkannya. Kecerdasan emosional merupakan lompatan kecerdasan yang tidak sekedar mengandalkan intelektualitas semata, melainkan lebih menonjolkan bagaimana seseorang memahami orang lain, bagaimana memotivasi diri sendiri, bagaimana mendisiplinkan diri, bagaimana menyalurkan emosi dengan baik, dan sebagainya. Seseorang yang cerdas secara emosional mengetahui perbedaan antara apa yang penting bagi mereka dan apa yang penting bagi orang lain. Mereka juga mengetahui perbedaan antara yang mereka perlukan untuk bertahan hidup dan yang harus diabaikan. Yang terpenting mereka dapat menyelesaikan kekecewaan hidup. Oleh karena itu, kecedasan emosional wajib dimiliki oleh semua kalangan termasuk penyandang cacat agar mereka mampu keluar dari berbagai sesuatu yang menekan baik dari dalam dirinya seperti muncul perasaan rendah diri, minder, frustasi, mengisolasi diri, yang mengabaikan munculnya penolakan terhadap diri, maupun juga sikap dari masyarakat entah itu positif maupun negatif. Dalam mengembangkan kecerdasan emosional, tentunya tidak begitu saja dapat terbentuk dengan baik dalam diri pribadi seseorang. Banyak hal yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional seperti kondisi otak, lingkungan keluarga, teman sebaya, masyarakat, pengalaman hidup, faktor psikologis, kepribadian, pola asuh orang tua dan pola asuh lainnya. Mahmud al-Zaki mengemukakan bahwa kecerdasan emosional pada dasarnya mempunyai hubungan yang erat dengan kecerdasan uluhiyah ketuhanan. Jika seseorang memiliki tingkat pemahaman dan pengalaman nilai- nilai ketuhanan yang tinggi dalam hidupnya, maka berarti dia telah memiliki kecerdasan emosional yang tinggi pula. 49 Keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa merupakan bentuk keyakinan yang paling fundamental yang direpresentasikan dalam bentuk agama. Seseorang yang memiliki agama akan meyakini, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran agama secara benar. Sikap keberagamaan ini penting bagi semua orang karena menjadi prinsip dalam bersikap, berpikir, berperilaku, dan bergaul. Semestinya, dengan tingkat keberagamaan yang baik maka akan berpengaruh kepada segala hal tentang kehidupan dan pribadi seseorang. Kecerdasan emosional merupakan salah satu aspek pribadi seseorang yang semestinya tinggi seiring dengan tingkat keberagamaan seseorang yang semakin meningkat.Artinya, 49 Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 2004, Cet. 7, h. 90.