Tanggung Jawab Menurut Ketentuan Hukum Pidana

Dikarenakan konsumen tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk melakukan pembuktian, apalagi untuk membuktikan adanya ketidakbenaran dalam peredaran makanan yang telah kadaluwarsa. Sebaliknya, pelaku usaha makanan memiliki kedudukan yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan konsumen, karena mengetahui sejauhmana kebenaran dan keakuratan informasi yang disampaikan kepada konsumen. Hal ini yang kemudian didalam UUPK dilakukan perubahan, dengan memposisikan pelaku usaha sebagai pihak yang harus membuktikan kebenaran informasi yang disampaikannya kepada konsumen dengan menganut asas pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUPK yang menentukan pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK yang merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

2. Tanggung Jawab Menurut Ketentuan Hukum Pidana

Dikarenakan adanya perkembangan dunia usaha yang terjadi dengan secara pesat, ditambah lagi dengan adanya persaingan di antara pelaku usaha yang semakin kompetitif yang dapat mendorong pelaku usaha untuk memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperdulikan akibat apakah yang akan terjadi dari perbuatannya tersebut akan merugikan orang lain atau perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungin guna mencapai kesuksesannya dalam berusaha. Universitas Sumatera Utara Penerapan norma-norma Hukum Pidana, seperti yang termuat dalam KUH Pidana atau di luar KUH Pidana, sepenuhnya diselenggarakan oleh alat-alat perlengkapan negara yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk melaksanakan hal tersebut, yakni Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Dalam hukum pidana juga konsumen sering diidentikkan dengan “korban”. Masalah korban bukanlah masalah yang sama sekali baru dalam dunia akademik dan praktek penegakan hukum. 112 Di bidang perlindungan konsumen, tidak jarang sulit menemukan siapa sebenarnya yang menjadi korban pelanggaran norma- norma UUPK, belum lagi penentuan akibat-akibat kebijakan hukum yang ditempuh pada setiap tingkat proses pemeriksaan. Benjamin Mendelson membuat kategori korban ditinjau dari derajat kesalahan yang dibuat, yaitu : 113 a. Korban yang sama sekali tidak bersalah b. Korban yang menjadi korban karena kelalaiannya c. Korban yang sama salahnya dengan pelaku d. Korban yang lebih bersalah daripada pelaku e. Korban yang satu-satunya bersalah dalam hal pelaku dibebaskan. Dalam ketentuan Pasal 99 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHAP berbunyi “Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya 112 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002, hal. 60. 113 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum dh Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995, hal. 73 dalam Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK Teori Penegakan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 117. Universitas Sumatera Utara mendapat kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum yang tetap”. Pasal ini memberi arti bahwa jika terdakwa dalam hal ini yang dituntut pelaku usaha, jika dijatuhi putusan bebas oleh pengadilan, maka tidak akan mendapat ganti kerugian apa-apa. Jadi, nasib tuntutan ganti kerugian korban tindak pidana sangat bergantung pada putusan perkara pidana terdakwa. Ganti kerugian yang dikabulkan hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak ketiga termasuk saksi korban yang dirugikan. Beberapa perbuatan tertentu dan dinyatakan sebagai tindak pidana yang sangat berkaitan dengan kepentingan konsumen yang termuat dalam KUH Pidana maupun di luar KUH Pidana, khususnya yang berkaitan dengan peredaran makanan kadaluwarsa, adalah sebagai berikut : a. Pasal 204 dan 205 KUH Pidana Pasal 204 ayat 1 menyatakan : “ Barang siapa menjual, menawarkan, menerimakan, atau membagi-bagikan barang, sedang diketahuinya bahwa barang itu berbahaya bagi jiwa atau keselamatan orang dan sifatnya yang berbahaya itu didiamkannya dihukum penjara selama- lamanya lima belas tahun”, Ayat 2 dalam pasal ini menentukan : “Kalau ada orang mati lantaran perbuatan itu si tersalah dihukum penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun” b. Pasal 382 bis , 383, 386, dan 387 KUH Pidana Pasal 382 menyatakan : “ Barang siapa melakuan sesuatu perbuatan menipu untuk mengelirukan orang banyak atau seseorang yang tertentu dengan maksud akan mendirikan atau membesarkan hasil perdagangan atau perusahaannya sendiri atau kepunyaan orang lain, dihukum karena persaingan curang dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.13.500,- tiga Universitas Sumatera Utara belas ribu lima ratus rupiah jika hal tersebut dapat menimbulkan suatu kerugian bagi saingannya sendiri atau saingan orang lain. Pasal 383 menyatakan : “ Dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan dihukum penjual yang menipu pembeli, yaitu yang sengaja menyerahkan barang lain daripada yang telah ditunjuk oleh pembeli dan tentang keadaan, sifat atau banyaknya barang yang diserahkan itu dengan memakai alat tipu muslihat”. Pasal 386 ayat 1 menyatakan bahwa: “ Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan atau minuman atau obat, sedang diketahuinya bahwa barang itu dipalsukan dan kepalsuan itu disembunyikan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.” Dalam ayat 2 dari pasal ini menyebutkan: “ Barang makanan atau minuman atau obat itu dipandang palsu,kalau harganya atau gunanya menjadi kurang sebab sudah dicampuri dengan zat-zat lain” Ketentuan sanksi pidana dalam UUPK termuat dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 63 UUPK menegaskan penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha danatau pengurusnya. Ketentuan ini membuka kemungkinan dilakukannya penuntutan pidana terhadap pelaku usaha yang beroperasi secara perorangan, maupun terhadap pelaku berbentuk korporasi. 114 Pengelompokan ketentuan Pasal 62 UUPK tersebut didasarkan jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, terbagi atas 2 dua tingkatan, yaitu sanksi pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau pidana denda paling banyak sebesar Rp.2.000.000.000,- dua milyar rupiah dan sanksi pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau pidana denda paling banyak 114 Dalam perkembangan hukum di Indonesia, penggunaan istilah” korporasi” merupakan sebutan yang lazim digunakan di dalam kalangan pakar hukum pidana untuk menyebutkan apa yang biasanya digunakan dalam bidang hukum lainnya, khususnya dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum rechtpersoon. Hal ini tampak jelas dari pendapat Moenaf .H.Regar yang menyatakan “korporasi adalah badan usaha yang keberadaannya dan status hukumnya disamakan dengan manusia orang, tanpa melihat bentuk organisasinya, Korporasi dapat memiliki kekayaan dan utang, mempunyai kewajiban dan hak dan dapat bertindak menurut hukum melakukan gugatan, dan dituntut didepan pengadilan”.Moenar H. Regar, “ Dewan Komisaris, Peranannya Sebagai Organ Perseroan¸”Dalam Edy Yunara¸Korupsi dan Pertanggungjawaban Korporasi, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2005 , hal 11. Universitas Sumatera Utara Rp.500.000.000,- lima ratus juta rupiah. Kemudian, sanksi pidana berupa denda yang diancamkan Pasal 62 UUPK termasuk dalam jenis hukuman pidana pokok dalam KUHP. Selain dapat dikenakan sanksi pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UUPK, pelaku usaha sesuai ketentuan Pasal 63 UUPK dapat pula diancam dengan hukuman tambahan, berupa : a. Perampasan barang tertentu b. Pengumuman keputusan hakim c. Pembayaran ganti rugi d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran f. Pencabutan izin usaha Dengan dikenakannya sanksi pidana pokok maupun pidana tambahan bagi pelaku usaha maupun pelaku usaha makanan, diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku usaha, serta dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada konsumen dengan dimungkinkannya pembayaran ganti rugi. Dalam ketentuan Pasal 99 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHAP berbunyi “Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum yang tetap”. Pasal ini memberi arti bahwa jika terdakwa dalam hal ini yang dituntut pelaku usaha, jika dijatuhi putusan bebas oleh pengadilan, maka tidak akan mendapat ganti kerugian apa-apa. Jadi, nasib tuntutan ganti kerugian korban tindak pidana sangat bergantung pada putusan perkara pidana terdakwa. Ganti Universitas Sumatera Utara kerugian yang dikabulkan hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak ketiga termasuk saksi korban yang dirugikan. Namun setelah berlakunya UUPK, paradigma dan peraturannya berubah. Dengan paradigma baru ini, tanpa diajukannya tuntutan ganti kerugian oleh saksi korban danatau pihak ketiga lainnya yang dirugikan akibat tindak pidana di bidang perlindungan konsumen, Penuntut Umum ketika mengajukan tuntutan pidana dipersidangan dapat mengajukan tuntutan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti rugi. Hal ini juga termuat jelas dalam Pasal 63 huruf c UUPK. Konsekuensi lainnya adalah dalam mengartikan perbuatan melawan hukum wederrechtelijke daad di lapangan hukum pidana tidak seluas di hukum perdata. Dalam hukum pidana, upaya konsumen sangat terbatas untuk menuntut hak-haknya jika belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sandaran. Dengan demikian, kembali pihak konsumen ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan.

3. Tanggung Jawab Secara Ketentuan Hukum Administrasi Negara