Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

pendidikan yang berbeda. Rakhmat 1996 dalam bukunya ’Psikologi Komunikasi’ mengatakan bahwa betapa seringnya kita bertengkar hanya karena pesan kita diartikan lain oleh orang yang kita ajak bicara. Hal ini menunjukkan dalam berkomunikasi terkadang seseorang mengalami kesulitan, begitu juga dengan fasilitator PNPMM. Kesulitan dari lingkungan kerja adalah terjadinya penyimpangan terhadap master schedule acuan pokok para pelaku PNPMM dalam menjalankan setiap proses kegiatan agar selalu berkesinambungan dan tepat waktu. Selain itu, tingkat kepedulian masyarakat yang berbeda-beda terhadap program-program pemberdayaan masyarakat menyebabkan fasilitator PNPMM mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Dari wawancara awal dengan beberapa fasilitator, diketahui bahwa ada fasilitator yang memandang kesulitan sebagai sesuatu yang tidak bisa dikerjakan sendiri dan orang lain juga tidak bisa membantu, sedangkan fasilitator lainnya memandang kesulitan sebagai suatu masalah yang muncul tetapi pasti ada cara untuk mengatasi masalah tersebut meskipun harus dengan bantuan orang lain. Setiap fasilitator PNPMM mempunyai cara yang berbeda dalam menanggapi dan mengatasi kesulitan yang dihadapi. Ada fasilitator PNPMM yang menganggap kesulitan yang ada merupakan tantangan yang akan membawa kemajuan bagi pembentukan mental jika terjadi masalah di masa yang akan datang. Disisi lain, ada fasilitator lainnya yang menjadi patah semangat dan membutuhkan waktu untuk menenangkan diri karena kesulitan yang tidak kunjung selesai. Hal itu menunjukkan perbedaan pandangan fasilitator terhadap kesulitan. Perbedaan tanggapan fasilitator PNPMM dalam menghadapi masalah selama mereka bekerja berkaitan erat dengan kemampuan fasilitator PNPMM dalam mengatasi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kesulitan yang dihadapinya. Hal itu dapat diketahui melalui Adversity Quotient AQ. Melalui konsep AQ akan didapatkan fakta tentang kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi selama mereka bekerja di masyarakat dan bagaimana sikap mereka dalam menghadapi dan mengatasi setiap kesulitan yang mereka alami. Bagi konsultan Departemen Pekerjaan Umum, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai masukan mengenai gambaran AQ fasilitator PNPMM yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan bimbingan dalam hal pengembangan diri bagi tenaga fasilitator.

A. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, peneliti mengajukan permasalahan “Bagaimana gambaran Adversity Quotient pada fasilitator PNPMM di Kabupaten Boyolali?”

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Adversity Quotient pada fasilitator PNPMM di Kabupaten Boyolali.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan Adversity Quotient. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2. Manfaat Praktis

Dalam prakteknya, penelitian ini bermanfaat bagi khalayak umum, khususnya bagi para fasilitator PNPMM. Bagi konsultan Departemen Pekerjaan Umum, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai masukan mengenai gambaran AQ fasilitator PNPMM yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan bimbingan dalam hal pengembangan diri bagi tenaga fasilitator. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II LANDASAN TEORI

A. Adversity Quotient

1. Definisi Adversity Quotient

Stoltz 2000 mengungkapkan bahwa Adversity Quotient AQ merupakan pola tanggapan yang ada dalam pikiran individu terhadap kesulitan, yang selanjutnya menentukan bagaimana tindakan individu tersebut terhadap kesulitan yang dihadapinya. AQ menggambarkan pola seseorang dalam mengolah tanggapan akan semua bentuk dan intensitas dari kesulitan, mulai dari tragedi yang besar sampai gangguan yang kecil. Dalam situasi yang penuh dengan perubahan dibutuhkan orang-orang yang tangguh dan memiliki sikap serta kemampuan untuk menghadapi dan menanggulangi rintangan maupun kemalangan yang disebut sebagai adversity quotient Stoltz dalam Winarno, 2004. Stoltz dalam Kristiyani 2005 mendefinisikan AQ sebagai kemampuan untuk tetap tegar dan tangguh ketika kesulitan datang serta untuk terus berjuang meraih tujuan itu.

2. Dimensi Adversity Quotient

Stoltz 2000, membagi adversity Quotient menjadi beberapa dimensi, yaitu: 8 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI a. Control Kendali. Control yaitu seberapa jauh seseorang merasa dapat mengendalikan rintangan yang dihadapi. Pada umumnya, kendali bersifat internal dan sering kali sangat individual. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu dapat dilakukan terhadap suatu situasi atau kesulitan. Menurut Hidayat 2001, seseorang dengan AQ tinggi bila menghadapi kesulitan akan berpikir bahwa ini memang sulit tapi saya pernah menghadapi yang lebih sulit lagi, pasti ada yang bisa saya lakukan, tidak mungkin saya tidak berdaya menghadapi hal seperti ini, selalu ada jalan keluar, atau siapa berani dan tegar berusaha akan berhasil. Sebaliknya, seseorang dengan AQ rendah akan berpikir bahwa ini diluar jangkauan kemampuan saya, sama sekali tidak ada yang bisa saya lakukan, atau saya tidak berani melakukannya. b. Origin Asal-usul Origin yaitu pandangan tentang asal-usul atau siapa penyebab rintangan tersebut. Origin berkaitan dengan rasa bersalah. Rasa bersalah dalam ukuran yang tepat akan menggugah seseorang untuk bertindak. Orang dengan AQ rendah cenderung merasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi dan dalam banyak hal mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal-usul kesulitan tersebut. Tingkat AQ yang rendah akan membuat seseorang berpikir bahwa ini semua kesalahan saya, saya memang bodoh sekali, saya memang orang yang gagal, atau saya sudah mengacaukan segalanya Hidayat, 2001. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sebaliknya, tingkat AQ yang tinggi akan membuat seseorang berpikir bahwa waktunya tidak tepat, seluruh industri saat ini sedang menderita kelesuan, seluruh lingkaran pemerintahan sedang dilanda kemelut, atau tidak seorangpun bisa meramalkan kondisi seburuk itu. c. Ownership Pengakuan. Ownership yaitu seberapa jauh seseorang bertanggung jawab terhadap munculnya rintangan. Rasa bersalah tidak sama dengan tanggung jawab. Mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan mencerminkan tanggung jawab. Orang dengan AQ tinggi akan berorientasi pada tindakan dan bertanggung jawab. Sebaliknya, orang dengan AQ rendah mungkin sekali akan gagal bertindak dan menyerah, menyalahkan orang lain, tidak berkembang dan kinerja berkurang Hidayat, 2001. d. Reach Jangkauan. Reach yaitu seberapa jauh suatu rintangan akan menjangkau bagian- bagian lain dari kehidupan seseorang. Membatasi jangkauan kesulitan merupakan hal yang sangat diharapkan karena memungkinkan seseorang untuk berpikir jernih dan mengambil tindakan. Tingkat AQ yang tinggi akan membuat seseorang membatasi masalah hanya pada satu masalah tertentu saja. Sebaliknya, tingkat AQ yang rendah akan membuat seseorang menganggap kesulitan yang sederhana sebagai bencana yang akan menyebar akibatnya ke semua arah.