Adversity quotient pada fasilitator program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri [PNPMM] di Kabupaten Boyolali.

(1)

ADVERSITY QUOTIENT PADA FASILITATOR PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI (PNPMM) DI KABUPATEN

BOYOLALI

Oleh : Nastiti Anggarini Wiraputri ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Adversity Quotient pada fasilitator PNPMM di kabupaten Boyolali. Adversity Quotient adalah pola tanggapan yang ada dalam pikiran individu terhadap kesulitan, yang selanjutnya menentukan bagaimana tindakan individu tersebut terhadap kesulitan yang dihadapinya. Fasilitator PNPMM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri) adalah orang yang memudahkan warga untuk membangun proses dialog diantara mereka untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang mereka hadapi. Fasilitator PNPMM dihadapkan pada berbagai kesulitan kerja baik dalam diri sendiri maupun dari lingkungan kerja serta dari masyarakat dimana fasilitator itu bertugas. Kemampuan fasilitator PNPMM dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya dapat diketahui melalui Adversity Quotient (AQ).

Data diperoleh dengan pemberian skala Adversity Quotient yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya kepada 40 orang fasilitator PNPMM di kabupaten Boyolali. Reliabilitas dalam penelitian ini adalah 0,756. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan metode statistik deskriptif melalui program SPSS 11,5 for windows.

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa seluruh subjek penelitian sebanyak 40 orang (100%) memiliki Adversity Quotient dalam kategori sedang. Mean empirik yang diperoleh dalam skala penelitian ini adalah 93,38 sedangkan mean teoritiknya adalah 92,5. Skor minimum yang didapatkan adalah 37, dengan skor maksimum 78.

Kata Kunci: Adversity Quotient dan Fasilitator PNPMM


(2)

ADVERSITY QUOTIENT IN THE PROGRAM NASIONAL

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI (PNPMM) FACILITATOR IN BOYOLALI REGENCY

By: Nastiti Anggarini Wiraputri ABSTRACT

This research is purposed to known the picture of Adversity Quotient in PNPMM facilitator in Boyolali regency. Adversity quotient is defined as a pattern of response in people mind to difficulty and next will determine about how an individual react to the difficulties that they are up against. The PNPMM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri) facilitator is a person who will help and ease the society to build the dialogue between themselves to identify and solve the problems that occurred. The PNPMM facilitator is faced various difficulty of work, both comes from themselves and the work environment and also from the society where the facilitator works. The ability of the PNPMM facilitator in exceed the difficulties could be known by the Adversity Quotient (AQ).

The data was acquired by giving the Adversity Quotient scale which had been tested its validity and reliability to 40 people of PNPMM facilitator in Boyolali regency. The reliability in this research was 0,756. Then the data was analyzed by using descriptive statistic method through the program SPSS 11,5 for windows.

The result of this research describes that all of the research subject as much as 40 people (100%) have the Adversity Quotient in the average category. The empiric mean that had been got in this research scale is 93,38 while the theoretic mean is 92,5. the minimum score is 37, and the maximum score is 78.

Key word: Adversity Quotient and the PNPMM facilitator


(3)

ADVERSITY QUOTIENT PADA FASILITATOR PROGRAM

NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI

(PNPMM) DI KABUPATEN BOYOLALI

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Nastiti Anggarini Wiraputri NIM: 029114084

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

Bapa Surgawi ajarku mengenal betapa dalamnya kasihMu

Bapa Surgawi buatku mengerti betapa kasihMu padaku

Semua yang terjadi di dalam hidupku

Ajarku menyadari Kau s’lalu sertaku

B’ri hatiku s’lalu bersyukur padaMu

Karena rencanaMu indah bagiku

Bahagiaku ini kupersembahkan bagi-Mu yang selalu menemani setiap langkah hidupku...

Bapak Willy…Ibu Made…Yudha…Putri…Keluarga Lembong…dan teristimewa untuk malaikat kecilku Ranggaputra…Skripsi ini juga kupersembahkan untuk kalian. Terima

kasih untuk segala kasih, doa dan dukungannya selama ini… Tuhan memberkati

Jesus never said life is going to be easy

He never tell that you’ll never struggle

But

He promise that He always be there for you


(7)

(8)

ADVERSITY QUOTIENT PADA FASILITATOR PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI (PNPMM) DI KABUPATEN

BOYOLALI

Oleh : Nastiti Anggarini Wiraputri ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Adversity Quotient pada fasilitator PNPMM di kabupaten Boyolali. Adversity Quotient adalah pola tanggapan yang ada dalam pikiran individu terhadap kesulitan, yang selanjutnya menentukan bagaimana tindakan individu tersebut terhadap kesulitan yang dihadapinya. Fasilitator PNPMM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri) adalah orang yang memudahkan warga untuk membangun proses dialog diantara mereka untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang mereka hadapi. Fasilitator PNPMM dihadapkan pada berbagai kesulitan kerja baik dalam diri sendiri maupun dari lingkungan kerja serta dari masyarakat dimana fasilitator itu bertugas. Kemampuan fasilitator PNPMM dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya dapat diketahui melalui Adversity Quotient (AQ).

Data diperoleh dengan pemberian skala Adversity Quotient yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya kepada 40 orang fasilitator PNPMM di kabupaten Boyolali. Reliabilitas dalam penelitian ini adalah 0,756. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan metode statistik deskriptif melalui program SPSS 11,5 for windows.

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa seluruh subjek penelitian sebanyak 40 orang (100%) memiliki Adversity Quotient dalam kategori sedang. Mean empirik yang diperoleh dalam skala penelitian ini adalah 93,38 sedangkan mean teoritiknya adalah 92,5. Skor minimum yang didapatkan adalah 37, dengan skor maksimum 78.

Kata Kunci: Adversity Quotient dan Fasilitator PNPMM


(9)

ADVERSITY QUOTIENT IN THE PROGRAM NASIONAL

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI (PNPMM) FACILITATOR IN BOYOLALI REGENCY

By: Nastiti Anggarini Wiraputri ABSTRACT

This research is purposed to known the picture of Adversity Quotient in PNPMM facilitator in Boyolali regency. Adversity quotient is defined as a pattern of response in people mind to difficulty and next will determine about how an individual react to the difficulties that they are up against. The PNPMM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri) facilitator is a person who will help and ease the society to build the dialogue between themselves to identify and solve the problems that occurred. The PNPMM facilitator is faced various difficulty of work, both comes from themselves and the work environment and also from the society where the facilitator works. The ability of the PNPMM facilitator in exceed the difficulties could be known by the Adversity Quotient (AQ).

The data was acquired by giving the Adversity Quotient scale which had been tested its validity and reliability to 40 people of PNPMM facilitator in Boyolali regency. The reliability in this research was 0,756. Then the data was analyzed by using descriptive statistic method through the program SPSS 11,5 for windows.

The result of this research describes that all of the research subject as much as 40 people (100%) have the Adversity Quotient in the average category. The empiric mean that had been got in this research scale is 93,38 while the theoretic mean is 92,5. the minimum score is 37, and the maximum score is 78.

Key word: Adversity Quotient and the PNPMM facilitator


(10)

(11)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerahNya yang menuntun dan mengarahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini demi meraih gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penulis juga tidak melupakan pihak-pihak yang telah membantu dan memberi dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, hingga memperlancar pengerjaan skripsi ini. Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Jesus Christ, My Savior…Hanya Kau yang selalu setia saat aku mengalami jatuh dan bangun di dalam hidup ini.

2. Bapak Eddy Suhartanto, S. Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

3. Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Santa Dharma yaitu Ibu Sylvia Carolina, S.Psi., M.Si.

4. Pembimbing skripsi saya, Ibu Nimas yang dengan sabar menghadapi keterbatasan saya dan membantu serta selalu memberi pencerahan dan semangat kepada saya. Terima kasih banyak bu...

5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah mengajarkan berbagai pengetahuan.

6. Mas Gandung, Mba Nani, Mas Muji, Mas Doni, Pak Gi dan semua karyawan yang telah membantu selama ini.. Terima kasih.

7. Para fasilitator PNPMM di KMW 13 khususnya fasilitator di kabupaten kebumen dan boyolali. Terimakasih banyak.


(12)

8. Keluargaku tercinta atas dukungannya dalam segala hal; Bapak yang selalu memberi dukungan dan mengajarkan banyak hal dalam menghadapi hidup, terimakasih banyak. Ibu yang tidak pernah lelah memberi semangat dan selalu menerima keluh kesahku dengan kesabaran yang luar biasa berarti untukku. Terimakasih banyak.. Yudha dan Putri, meskipun jarang ketemu tapi aku yakin kalian selalu mendukung aku... (heuheuheu...)

9. Malaikatku, Jan Ranggaputra Wiratama Lembong… Sumber semangatku yang terbesar karena kamu mengajariku banyak hal untuk terus bertahan di dalam hidup ini… Love U !

10.Q, terima kasih.

11.Papa Robby, Mama Edith dan piping, terimakasih banyak atas doa dan dukungannya. God Bless U all.

12. My bestfriend Sentia, Ratih, Ck, Anie…Thanx buat semua dukungan dan persahabatan kita… Love U all...

13. Ci’monic, bita dan mas sigit…terimakasih banyak ya… Tuhan memberkati. 14. Teman-teman yang kusayangi: Laora (trims untuk berbagai pandangan dan

masukan yang berarti..), rosa (makasih banyak atas semuanya ya jeng…), dey, k’bimo, dyah_japlun, gery, stef_epan (thanx idenya), keluarga pelangi (bapak & ibu Gatot, dan semua anak kos), cahya, mitha, ika, epot, andriy_papi kera, anna_jugul, lois, heru, gaban, bang jo, mas aan, don, mba senny, may, dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Tuhan Memberkati.


(13)

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan.

Penulis


(14)

DAFTAR ISI

Halaman Judul……… i

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing……….. ii

Halaman Pengesahan Penguji……….. iii

Halaman Persembahan……….... iv

Halaman Pernyataan Keaslian Karya..……… v

Abstrak………... vi

Abstract……….. vii

Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah……… viii

Kata Pengantar……… ix

Daftar Isi………. xii

Daftar Tabel……… xv

Daftar Lampiran………. xvi

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang………. 1

B. Rumusan Masalah……… 6

C. Tujuan Penelitian………. 6

D. Manfaat Penelitian……… 6

1. Manfaat Teoritis……….. 6

2. Manfaat Praktis……… 7

BAB II LANDASAN TEORI………. 8

A. Adversity Quotient…..………. 8

1. Definisi Adversity Quotient……… 8


(15)

2. Dimensi Adversity Quotient……… 8

3. Faktor-faktor Adversity Quotient……….... 11

B. Fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMM)……… 14

1. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMM)……….. 14

2. Definisi Fasilitator………. 15

3. Kualifikasi Fasilitator PNPMM………. 16

4. Tugas dan Peran Fasilitator PNPMM……….... 16

5. Kesulitan Fasilitator... 18

C. Adversity Quotient pada Fasilitator PNPMM……….. 19

D. Pertanyaan Penelitian... 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………. 23

A. Jenis Penelitian………. 23

B. Variabel Penelitian………... 23

C. Subjek Penelitian……….. 24

D. Metode dan Alat Pengumpulan Data……… 24

E. Kredibilitas Alat Pengumpul Data……… 27

1. Validitas………. 27

2. Seleksi Item……… 27

3. Reliabilitas……….. 30

F. Analisis Data……….… 31

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….. 32

A. Pelaksanaan Penelitian……… 32


(16)

1. Persiapan Penelitian... 32

2. Pelaksanaan Penelitian... 32

3. Subjek Penelitian... 32

B. Hasil Penelitian... 33

1. Deskripsi Data Penelitian………. 33

2. Kategorisasi……….. 33

C. Pembahasan………... 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….……. 38

A. Kesimpulan……….. 38

B. Saran………. 38

C. Keterbatasan Penelitian……… 38

DAFTAR PUSTAKA………. 40

LAMPIRAN……… 42


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blueprint jumlah item sebelum Try Out……….…… 25

Tabel 2. Skor Item berdasarkan Jenis Pilihan Respon………..……… 26

Tabel 3. Distribusi Item Setelah Try Out……….. 28

Tabel 4. Distribusi Item Sahih……….. 29

Tabel 5. Tingkat Relibilitas berdasarkan Nilai Alpha……….. 30

Tabel 6. Hasil Uji Relibilitas Skala Adversity Quotient fasilitator PNPMM… 30 Tabel 7. Deskripsi Data Penelitian……… 33

Tabel 8. Norma Kategorisasi……….. 34

Tabel 9. Kategorisasi Skor Adversity Quotient……….. 34

Tabel 10. Frekuensi Subjek dan Presentase Adversity Quotient……….. 34


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Skala Adversity Quotient pada fasilitator PNPMM (Try Out)………. 43

Data Try Out………. 50

Reliabilitas Try Out………... 52

Skala Adversity Quotient pada fasilitator PNPMM (Penelitian)……….. 54

Data Item Sahih……… 59

Reliabilitas Item Sahih………. 60

Statistik Deskriptif……… 61

Surat Keterangan Fakultas Untuk Melakukan Penelitian………. 62

Surat Keterangan Sudah Melakukan Penelitian……… 63


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan ini ada orang-orang yang lebih berbakat dibandingkan dengan yang lain. Ada yang dianugrahi kecerdasan luar biasa, bakat-bakat khusus, jasmani yang sangat kuat, dan sumber daya yang tidak terbatas, sementara ada yang sangat kekurangan dalam hal-hal tersebut. Dalam bukunya Adversity Quotient, Stoltz (2000) memunculkan pertanyaan inti tentang kesuksesan, mengapa banyak orang yang jelas-jelas sangat berbakat gagal menunjukkan potensi mereka, sementara orang lain yang hanya memiliki sepersekian sumber daya dan kesempatan yang sama bisa lebih unggul dan mempunyai prestasi melebihi yang diharapkan.

Dahulu yang dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan seseorang dalam pendidikan, pekerjaan dan kehidupannya adalah kecerdasan. Konsep kecerdasan pertama dikenal dengan istilah IQ atau Intelligence Quotient (Kecerdasan Intelektual), yang dicetuskan oleh William Stern. Konsep ini muncul pada awal abad ke-20. Secara umum IQ merupakan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah logis / strategis. Pada saat itu, IQ dianggap sebagai faktor penentu kesuksesan seseorang, namun seiring dengan perkembangannya ditemukan banyak orang dengan IQ tinggi tidak mewujudkan potensinya.

Goleman (1996) menjelaskan mengapa beberapa orang yang IQ-nya tinggi mengalami kegagalan, sementara banyak orang lain dengan IQ yang sedang-sedang saja bisa berkembang pesat. Konsep yang dipopulerkannya adalah Emotional Quotient yang sering disebut sebagai EQ. EQ mencerminkan kemampuan untuk


(20)

berempati dengan orang lain, menunda rasa gembira, mengendalikan dorongan-dorongan hati, sadar diri, bertahan, dan bergaul secara efektif dengan orang lain. Dengan kata lain, EQ merupakan kemampuan seseorang untuk mengelola emosinya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, dengan berdasarkan pada pengalaman masa lalunya, sehingga ia dapat membuat suatu keputusan untuk menampilkan tingkah laku yang sesuai dengan keputusan yang akan diraihnya. Goleman (1999) secara meyakinkan mengungkapkan bahwa dalam kehidupan, EQ lebih penting daripada IQ. Namun seperti halnya IQ, tidak setiap orang memanfaatkan EQ yang dimilikinya.

Sejumlah orang memiliki IQ tinggi dengan segala aspek kecerdasan emosional tetapi mereka gagal menunjukkan kemampuannya, misalnya ada orang yang memiliki kemampuan akademis dan empati yang baik tetapi mudah menyerah terhadap hal-hal yang dianggapnya sebagai sebuah kesulitan. Agaknya bukan IQ ataupun EQ yang menentukan suksesnya seseorang, tapi keduanya memainkan suatu peran. Baik IQ maupun EQ, secara terpisah atau dikombinasikan, tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan kompleksitas manusia. Maka pada beberapa tahun belakangan ini muncul konsep-konsep baru, salah satunya adalah Adversity Quotient atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan AQ. AQ digunakan untuk membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan mereka dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari sambil tetap berpegang pada prinsip dan impian mereka (Stoltz, 2000).

Kemampuan untuk mengatasi kesulitan merupakan bagian dari Adversity Quotient. Menurut Stoltz (2000), AQ merupakan pola tanggapan yang ada dalam pikiran individu terhadap kesulitan, yang selanjutnya menentukan bagaimana tindakan individu terhadap masalah yang dihadapinya. AQ menggambarkan pola tanggapan dalam pikiran


(21)

secara seketika atas semua bentuk dan intensitas dari kesulitan, mulai dari kesulitan yang kecil hingga yang kompleks. Semuanya ini mengenai cara menanggapi kesulitan pada tingkat yang paling mendasar di mana otak dan setiap sel dalam tubuh individu bekerja secara otomatis dalam menanggapi kesulitan itu. Seseorang dengan AQ tinggi akan menunjukkan prestasi, produktivitas, kreativitas, ketekunan, daya tahan dan vitalitas yang lebih besar dibandingkan seseorang yang memiliki AQ rendah (Stoltz, 2000). Seseorang dengan AQ tinggi akan lebih optimis dalam menghadapi kesulitan kerja dan juga ketika mengatasi kesulitan. Sebaliknya, seseorang dengan AQ rendah akan merasa pesimis dan tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan yang pada akhirnya membuat seseorang menghindar dan memandang kesulitan sebagai hambatan, beban, atau halangan.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMM) adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja yang berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPMM berada dibawah Departemen Pekerjaan Umum yang pendanaannya bersumber dari Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN), dana daerah, kontribusi dunia usaha dan swadaya masyarakat. PNPMM Perkotaan tahun 2008 akan dilaksanakan di 916 kecamatan perkotaan yang tersebar di 245 kota / kabupaten dari 33 propinsi se-Indonesia (Departemen Pekerjaan Umum, 2008). Program-program yang tercakup dalam PNPMM adalah program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat, dengan ciri-ciri menggunakan pendekatan partisipasi masyarakat, melakukan penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan kegiatan program dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat. Pelaksanaan PNPMM di tingkat


(22)

masyarakat perlu didampingi fasilitator yang merupakan komponen dukungan bantuan teknis untuk pengelolaan dan pengembangan program PNPMM.

Fasilitator adalah orang yang mendampingi warga untuk menggali pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri. Fungsi fasilitator dalam proses pembelajaran untuk memberdayakan warga masyarakat adalah mempermudah proses tukar pengalaman, pengetahuan dan nilai-nilai di antara warga masyarakat untuk menemukan pengetahuan dan pengalaman baru yang akan berguna bagi menuju kehidupan yang lebih baik (Modul Khusus Fasilitator, 2008). Dalam membantu membangun proses pembelajaran di masyarakat, fasilitator harus menjalankan beberapa peran, antara lain sebagai moderator, motivator, narasumber dan mediator. Selain itu, fasilitator juga harus memiliki pengetahuan dan keterampilan sebagai agen perubahan dalam masyarakat.

Fungsi fasilitator di masyarakat adalah agen perubahan dalam membangun masyarakat yang tadinya tidak berdaya menjadi berdaya dan mandiri. Dengan kata lain, fasilitator mempunyai tanggung jawab untuk memfasilitasi proses pemberdayaan di masyarakat (Modul Khusus Fasilitator, 2008). Seorang fasilitator harus mempunyai kepedulian terhadap permasalahan masyarakat dan mempunyai tanggung jawab sebagai karakter yang penting.

Profesi sebagai fasilitator PNPMM di kabupaten Boyolali dihadapkan pada berbagai kesulitan. Dari wawancara pada fasilitator PNPMM, dapat diketahui berbagai kesulitan yang dihadapi oleh fasilitator PNPMM kabupaten Boyolali baik dari dalam maupun dari lingkungan kerja dan masyarakat sekitarnya. Kesulitan yang terjadi dari dalam adalah kemampuan komunikasi yang berbeda antara fasilitator PNPMM dengan masyarakat sehubungan dengan pekerjaan fasilitator yang disebabkan oleh latar belakang


(23)

pendidikan yang berbeda. Rakhmat (1996) dalam bukunya ’Psikologi Komunikasi’ mengatakan bahwa betapa seringnya kita bertengkar hanya karena pesan kita diartikan lain oleh orang yang kita ajak bicara. Hal ini menunjukkan dalam berkomunikasi terkadang seseorang mengalami kesulitan, begitu juga dengan fasilitator PNPMM. Kesulitan dari lingkungan kerja adalah terjadinya penyimpangan terhadap master schedule (acuan pokok para pelaku PNPMM dalam menjalankan setiap proses kegiatan agar selalu berkesinambungan dan tepat waktu). Selain itu, tingkat kepedulian masyarakat yang berbeda-beda terhadap program-program pemberdayaan masyarakat menyebabkan fasilitator PNPMM mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Dari wawancara awal dengan beberapa fasilitator, diketahui bahwa ada fasilitator yang memandang kesulitan sebagai sesuatu yang tidak bisa dikerjakan sendiri dan orang lain juga tidak bisa membantu, sedangkan fasilitator lainnya memandang kesulitan sebagai suatu masalah yang muncul tetapi pasti ada cara untuk mengatasi masalah tersebut meskipun harus dengan bantuan orang lain. Setiap fasilitator PNPMM mempunyai cara yang berbeda dalam menanggapi dan mengatasi kesulitan yang dihadapi. Ada fasilitator PNPMM yang menganggap kesulitan yang ada merupakan tantangan yang akan membawa kemajuan bagi pembentukan mental jika terjadi masalah di masa yang akan datang. Disisi lain, ada fasilitator lainnya yang menjadi patah semangat dan membutuhkan waktu untuk menenangkan diri karena kesulitan yang tidak kunjung selesai. Hal itu menunjukkan perbedaan pandangan fasilitator terhadap kesulitan. Perbedaan tanggapan fasilitator PNPMM dalam menghadapi masalah selama mereka bekerja berkaitan erat dengan kemampuan fasilitator PNPMM dalam mengatasi


(24)

kesulitan yang dihadapinya. Hal itu dapat diketahui melalui Adversity Quotient (AQ). Melalui konsep AQ akan didapatkan fakta tentang kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi selama mereka bekerja di masyarakat dan bagaimana sikap mereka dalam menghadapi dan mengatasi setiap kesulitan yang mereka alami. Bagi konsultan Departemen Pekerjaan Umum, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai masukan mengenai gambaran AQ fasilitator PNPMM yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan bimbingan dalam hal pengembangan diri bagi tenaga fasilitator.

A. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, peneliti mengajukan permasalahan “Bagaimana gambaran Adversity Quotient pada fasilitator PNPMM di Kabupaten Boyolali?”

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Adversity Quotient pada fasilitator PNPMM di Kabupaten Boyolali.

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan Adversity Quotient.


(25)

2. Manfaat Praktis

Dalam prakteknya, penelitian ini bermanfaat bagi khalayak umum, khususnya bagi para fasilitator PNPMM. Bagi konsultan Departemen Pekerjaan Umum, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai masukan mengenai gambaran AQ fasilitator PNPMM yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan bimbingan dalam hal pengembangan diri bagi tenaga fasilitator.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Adversity Quotient

1. Definisi Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa Adversity Quotient (AQ) merupakan pola tanggapan yang ada dalam pikiran individu terhadap kesulitan, yang selanjutnya menentukan bagaimana tindakan individu tersebut terhadap kesulitan yang dihadapinya. AQ menggambarkan pola seseorang dalam mengolah tanggapan akan semua bentuk dan intensitas dari kesulitan, mulai dari tragedi yang besar sampai gangguan yang kecil. Dalam situasi yang penuh dengan perubahan dibutuhkan orang-orang yang tangguh dan memiliki sikap serta kemampuan untuk menghadapi dan menanggulangi rintangan maupun kemalangan yang disebut sebagai adversity quotient (Stoltz dalam Winarno, 2004). Stoltz dalam Kristiyani (2005) mendefinisikan AQ sebagai kemampuan untuk tetap tegar dan tangguh ketika kesulitan datang serta untuk terus berjuang meraih tujuan itu.

2. Dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2000), membagi adversity Quotient menjadi beberapa dimensi, yaitu:


(27)

a. Control ( Kendali).

Control yaitu seberapa jauh seseorang merasa dapat mengendalikan rintangan yang dihadapi. Pada umumnya, kendali bersifat internal dan sering kali sangat individual. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu dapat dilakukan terhadap suatu situasi atau kesulitan.

Menurut Hidayat (2001), seseorang dengan AQ tinggi bila menghadapi kesulitan akan berpikir bahwa ini memang sulit tapi saya pernah menghadapi yang lebih sulit lagi, pasti ada yang bisa saya lakukan, tidak mungkin saya tidak berdaya menghadapi hal seperti ini, selalu ada jalan keluar, atau siapa berani dan tegar berusaha akan berhasil.

Sebaliknya, seseorang dengan AQ rendah akan berpikir bahwa ini diluar jangkauan kemampuan saya, sama sekali tidak ada yang bisa saya lakukan, atau saya tidak berani melakukannya.

b. Origin (Asal-usul)

Origin yaitu pandangan tentang asal-usul atau siapa penyebab rintangan tersebut. Origin berkaitan dengan rasa bersalah. Rasa bersalah dalam ukuran yang tepat akan menggugah seseorang untuk bertindak.

Orang dengan AQ rendah cenderung merasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi dan dalam banyak hal mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal-usul kesulitan tersebut. Tingkat AQ yang rendah akan membuat seseorang berpikir bahwa ini semua kesalahan saya, saya memang bodoh sekali, saya memang orang yang gagal, atau saya sudah mengacaukan segalanya (Hidayat, 2001).


(28)

Sebaliknya, tingkat AQ yang tinggi akan membuat seseorang berpikir bahwa waktunya tidak tepat, seluruh industri saat ini sedang menderita kelesuan, seluruh lingkaran pemerintahan sedang dilanda kemelut, atau tidak seorangpun bisa meramalkan kondisi seburuk itu.

c. Ownership (Pengakuan).

Ownership yaitu seberapa jauh seseorang bertanggung jawab terhadap munculnya rintangan. Rasa bersalah tidak sama dengan tanggung jawab. Mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan mencerminkan tanggung jawab.

Orang dengan AQ tinggi akan berorientasi pada tindakan dan bertanggung jawab. Sebaliknya, orang dengan AQ rendah mungkin sekali akan gagal bertindak dan menyerah, menyalahkan orang lain, tidak berkembang dan kinerja berkurang (Hidayat, 2001).

d. Reach (Jangkauan).

Reach yaitu seberapa jauh suatu rintangan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Membatasi jangkauan kesulitan merupakan hal yang sangat diharapkan karena memungkinkan seseorang untuk berpikir jernih dan mengambil tindakan. Tingkat AQ yang tinggi akan membuat seseorang membatasi masalah hanya pada satu masalah tertentu saja. Sebaliknya, tingkat AQ yang rendah akan membuat seseorang menganggap kesulitan yang sederhana sebagai bencana yang akan menyebar akibatnya ke semua arah.


(29)

e. Endurance (Daya Tahan).

Endurance yaitu seberapa lama suatu rintangan akan berlangsung dan seberapa lama penyebab rintangan akan bertahan. Dengan AQ yang tinggi seseorang dapat melihat suatu cahaya terang di ujung suatu masalah betapapun panjang dan lamanya masalah itu. Seseorang dengan AQ yang rendah akan berpikiran bahwa suatu masalah selalu terjadi dan terjadinya akan lama sekali, segala sesuatunya tidak akan pernah membaik, dan disebabkan karena saya memang pemalas, atau karena saya selalu gagal.

1. Faktor-faktor Adversity Quotient

Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient yaitu: a. Pembelajaran

Tinggi rendah AQ seseorang merupakan hasil dari proses belajar. Psikologi kognitif berperan dalam faktor ini sebagai ilmu yang dipakai untuk belajar merespon / memecahkan masalah, berpikir dan berbahasa. Sengaja atau tidak sengaja orang yang membiasakan diri dengan respon-respon destruktif seperti menyerah terhadap semua kesulitan yang muncul sama artinya dengan belajar untuk tidak berdaya. Orang yang selalu membiasakan diri untuk mengendalikan rasa putus asa, tidak berdaya dan tidak mau berusaha, belajar meningkatkan pemberdayaan diri. Orang yang belajar tidak berdaya mempunyai AQ yang rendah sedangkan orang yang mau belajar meningkatkan pemberdayaan diri mempunyai AQ yang tinggi (Stoltz, 2000).


(30)

b. Motivasi Berprestasi

Motivasi berprestasi adalah suatu dorongan yang membuat orang cenderung menuntut diri sendiri untuk berusaha lebih keras. Orang akan semakin berusaha lebih keras dalam pekerjaan jika orang yang bersangkutan ditantang -dengan alasan kuat- untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi cenderung lebih gigih, realistis dan lebih suka bertindak dibandingkan dengan orang yang mempunyai berbagai pola motivasi lain (Gellerman, 1984). Hal ini dipengaruhi juga oleh ilmu neurofisiologis yang menyumbang pengetahuan bahwa kebiasaan seseorang berespon terhadap kemalangan dapat diinterupsi dan segera diubah sehingga kebiasaan lama akan melemah dan kebiasaan baru dapat berkembang. Hal itu dapat terjadi jika seseorang memiliki motivasi di dalam dirinya untuk menjadi lebih baik.

c. Kreativitas

Kreativitas adalah suatu kemampuan untuk mencipta atau berkreasi. Kreativitas melibatkan dua unsur penting, yaitu kefasihan dan keluwesan. Kefasihan ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan sejumlah besar pemecahan masalah secara lancar dan cepat. Keluwesan mengacu pada kemampuan untuk menemukan gagasan yang berbeda-beda dan luar biasa untuk suatu pemecahan masalah. Hal utama yang mendorong munculnya kreativitas adalah kecenderungan sentral manusia untuk mengaktualisasikan, merealisasi dan mengungkapkan diri.

Orang yang kreatif mempunyai motivasi besar dan kemampuan tinggi untuk mengenali intisari suatu masalah serta mempunyai kemauan untuk


(31)

melibatkan pikiran sadar dan tidak sadarnya dalam usaha pemecahan suatu masalah atau kesulitan tersebut (Olson, 1998).

d. Advertunity

Advertunity adalah kemampuan memegang kendali dalam usaha merubah kesulitan sebagai suatu peluang dengan tujuan tertentu. Tingkat advertunity seseorang dapat dilihat dari cara pandang atau persepsi terhadap kesulitan, sifat tahan banting, keuletan dan efektivitas diri.

Sifat tahan banting adalah suatu perasaan tentang tantangan, komitmen dan pengendalian diri. Hal ini merujuk pada kemampuan manusia dalam menghadapi kondisi kehidupan yang keras. Orang yang memiliki sifat tahan banting cenderung bersikap optimis terhadap suatu kesulitan dibandingkan dengan orang yang kurang memiliki sifat tahan banting. Hal ini didukung oleh ilmu pengetahuan psikoneuroimunologis yang menyumbangkan bukti adanya hubungan fungsional antara otak dan sistem kekebalan, antara apa yang kita pikirkan dan rasakan terhadap kemalangan dengan kesehatan mental dan fisik kita. Bagaimana seseorang menghadapi kemalangan mempengaruhi fungsi-fungsi kekebalan dan kerentanan terhadap penyakit-penyakit yang mengancam hidup.

Keuletan adalah kemampuan menyusun rencana-rencana strategis untuk upaya penyelesaian masalah dan dapat memanfaatkan kesulitan sebagai sebuah peluang belajar. Sedangkan efektivitas diri adalah keyakinan seseorang terhadap penguasaan kehidupan dan kemampuan menghadapi tantangan sewaktu tantangan tersebut muncul. Albert Bandura –pakar psikologi Stanford- merumuskan bahwa orang-orang yang memiliki efektivitas diri


(32)

mampu bangkit kembali dari kegagalan. Orang seperti ini selalu berusaha mencari alternatif pemecahan masalah dan bukan mencemaskan apa jadinya bila nanti terjadi kekeliruan (Stoltz, 2000).

Berdasarkan beberapa konsep yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa AQ adalah kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan, hambatan atau tantangan hidup. Kemampuan ini banyak dipengaruhi oleh faktor pembelajaran, motivasi berprestasi, kreativitas dan advertunity. Kemampuan ini terdiri dari dimensi pokok yaitu Control, Origin, Ownership, Reach, dan Endurance.

A. Fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMM)

1. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMM)

PNPMM adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Program-program yang tercakup dalam PNPMM adalah program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat, dengan ciri-ciri menggunakan pendekatan partisipasi masyarakat, melakukan penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan kegiatan program dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat.


(33)

2. Definisi Fasilitator

Marnia Nes dalam Modul Tugas dan Fungsi Fasilitator (2008) mendefinisikan fasilitator sebagai orang yang memudahkan warga (peserta belajar) untuk membangun proses dialog diantara mereka untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dalam proses dialog melalui berbagai metode seperti diskusi dan musyawarah, fasilitator harus mendorong warga yang biasa terpinggirkan untuk mengungkapkan pengalaman, permasalahan dan pikirannya. Hal itu memudahkan bagi warga yang biasanya mendominasi pembicaraan dan pengambilan keputusan untuk memberi ruang kepada warga lainnya untuk berbicara, terlibat dan berkontribusi dalam pengambilan keputusan. Dengan cara inilah fasilitator memberdayakan semua pihak, memberdayakan yang lemah menjadi kuat dan memberdayakan yang kuat untuk mampu menurunkan dominasinya, sehingga proses pembangunan manusia -yang memanusiakan manusia- terjadi.

Selain itu, fasilitator mendampingi warga untuk menggali pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri, artinya dalam proses pembelajaran untuk memberdayakan masyarakat fasilitator mempermudah proses tukar pengalaman, pengetahuan dan nilai-nilai di antara warga masyarakat untuk menemukan pengetahuan dan pengalaman baru yang akan berguna bagi menuju kehidupan yang lebih baik.


(34)

3. Kualifikasi Fasilitator PNPMM

Kualifikasi fasilitator PNPMM adalah sebagai berikut:

a. Minimal Lulusan Sarjana Muda (D-3), berbagai jurusan; lebih diutamakan jurusan Sosial, Teknik Sipil/Arsitek dan Ekonomi Akuntansi.

b. Mempunyai pengalaman dalam program pemberdayaan minimal 1 tahun. Pengalaman Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) akan lebih diutamakan dan mempunyai kinerja yang baik sebelumnya, dibuktikan adanya surat keterangan dari Team Leader sebelumnya semasa tugas.

c. Wajib bertempat tinggal di lokasi yang strategis untuk menjangkau kelurahan sasaran yang menjadi tanggungjawab selama masa kontrak. d. Mau belajar memahami budaya dan bahasa setempat.

e. Memiliki komitmen dan keberpihakan yang tinggi terhadap masyarakat miskin.

f. Mempunyai motivasi belajar yang tinggi dan dapat bekerja secara tim.

4. Tugas dan Peran Fasilitator PNPMM a. Tugas Fasilitator PNPMM

Untuk menjalankan fungsi sebagai pemberdaya, tugas fasilitator PNPMM meliputi:

1. Menjalankan pendampingan (fasilitasi), mediasi dan advokasi kepada masyarakat untuk mengenali dan memecahkan masalah kemiskinan melalui tahapan siklus PNPMM.


(35)

2. Memberikan pelatihan dan coaching kepada relawan, Lurah/Kades untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam menjalankan peran dan tugasnya untuk penanggulangan kemiskinan.

3. Memberi informasi dan mendorong perubahan di dalam masyarakat melalui kegiatan sosialisasi.

4. Memenuhi kewajiban administrasi proyek yang berupa laporan kegiatan secara tertulis.

b. Peran Fasilitator PNPMM

Beberapa peran yang bisa dijalankan oleh fasilitator dalam membangun proses pembelajaran di masyarakat (Marnia Nes,2008):

1. Moderator

Peran moderator dilakukan apabila didalam proses belajar warga dan fasilitator sama-sama mempunyai pengetahuan dan pengalaman mengenai objek yang sedang dibahas. Fasilitator lebih pada mengatur proses dialog agar mereka dapat mengungkapkan pengalamannya, menganalisis dan mengembangkan gagasan-gagasan berdasarkan pengalaman masyarakat.

2. Motivator

Peran motivator dijalankan apabila pengetahuan dan pengalaman tertentu hanya dipunyai oleh sebagian warga belajar. Fasilitator harus mendorong warga belajar untuk bersedia belajar dari orang lain. Fasilitator harus mendorong keyakinan mereka bahwa setiap orang pasti punya pengetahuan dan pengalaman yang khas yang


(36)

bisa dibagikan kepada orang lain, sehingga pengetahuan dan pengalaman itu sangat berharga dan memperkaya mereka.

3. Narasumber

Apabila topik pembahasan merupakan hal baru bagi warga, fasilitator dapat menjadi narasumber dengan memberi penjelasan dan memberi tahu apa yang baik dan apa yang tidak baik kepada warga, yang penting tidak dilakukan dengan cara menggurui.

4. Mediator

Seorang fasilitator tidak harus mengetahui segala hal, yang paling penting adalah fasilitator mengetahui dan menyadari apa yang tidak dia ketahui. Apabila baik fasilitator maupun masyarakat tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup mengenai topik yang dibahas, maka peran fasilitator adalah memediasi agar bisa mendatangkan narasumber yang dibutuhkan.

5. Kesulitan Fasilitator PNPMM

Dalam menjalankan tugasnya para fasilitator menghadapi berbagai kesulitan, antara lain:

a. Kesulitan masing-masing fasilitator, yaitu kemampuan komunikasi yang berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang berbeda (sarjana teknik, sarjana sosial, dan sarjana ekonomi), latar belakang budaya dan kepribadian yang dimiliki masing-masing fasilitator. Kesulitan lain yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan adalah kemampuan penguasaan teknis dalam melaksanakan program (misalnya, fasilitator


(37)

yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana teknik juga harus dapat menguasai masalah pembukuan keuangan). Selain itu, situasi fasilitator yang jauh dari keluarganya terkadang dapat menimbulkan kesulitan. Hal itu disebabkan karena tugas yang menyita banyak waktu sehingga waktu untuk keluarga sangat kurang dan akhirnya tidak jarang membuat fasilitator menjadi ’kepikiran’ tentang keluarganya yang jauh.

b. Kesulitan dari lingkungan kerja, yaitu tugas yang terlalu banyak yang harus diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Hal itu menyebabkan penyimpangan terhadap master schedule dimana pelaksanaan program-program kerjanya tidak tepat waktu atau melebihi jadwal target yang telah ditentukan.

c. Kesulitan dari masyarakat, yaitu tingkat kepedulian masyarakat berbeda-beda. Ada masyarakat yang peduli terhadap program-program yang direncanakan namun ada juga masyarakat yang kurang peduli bahkan ada yang tidak peduli sama sekali terhadap program-program tersebut. Hal itu menyebabkan relawan untuk berpertisipasi dalam pelaksanaan program yang direncanakan menjadi berkurang.

B. Adversity Quotient pada Fasilitator PNPMM

Fasilitator PNPMM dihadapkan pada berbagai kesulitan kerja baik dalam diri sendiri maupun dari lingkungan kerja serta dari masyarakat dimana fasilitator PNPMM bertugas. Kesulitan kerja yang dialami fasilitator PNPMM antara lain adalah kesulitan masing-masing fasilitator, kesulitan dari lingkungan kerja, dan kesulitan dari masyarakat. Dalam menghadapi kesulitan-kesulitannya, fasilitator PNPMM dituntut


(38)

untuk melakukan perubahan-perubahan yang positif untuk meningkatkan kualitas diri. Ada fasilitator PNPMM yang menganggap perubahan dan perbaikan dalam bidang pemberdayaan masyarakat sebagai hal yang positif dimana akan membawa keuntungan. Ada juga yang menganggap hal tersebut negatif dan lebih membawa kerugian bagi dirinya. Perbedaan tanggapan ini berkaitan erat dengan kemampuan fasilitator PNPMM dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya dan dapat diketahui melalui Adversity Quotient (AQ).

Adversity Quotient yang terdiri dari dimensi Control (kendali terhadap kesulitan), Origin (asal-usul kesulitan), Ownership (pengakuan terhadap kesulitan), Reach (jangkauan dalam menghadapi kesulitan), dan Endurance (seberapa lama kesulitan dan penyebab kesulitan berlangsung) dipengaruhi oleh faktor-faktor Adversity Quotient, yaitu pembelajaran, motivasi berprestasi, kreativitas dan advertunity.

Faktor-faktor Adversity Quotient mempengaruhi setiap fasilitator PNPMM dalam menghadapi kesulitan kerjanya. Fasilitator PNPMM yang mau belajar meningkatkan pemberdayaan diri dan mempunyai motivasi berprestasi biasanya lebih gigih, realistis dan lebih suka bertindak. Fasilitator PNPMM mempunyai kreativitas dalam pemecahan masalah secara lancar dan cepat serta memiliki advertunity dalam memproses, mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesulitan sebagai sesuatu yang bersifat sementara, eksternal dan terbatas pada suatu aspek kehidupan psikologis. Hal itu menyebabkan fasilitator PNPMM tersebut cenderung memiliki AQ yang tinggi. Sebaliknya, fasilitator PNPMM yang kurang memiliki pemberdayaan diri dan kurang memiliki motivasi berprestasi biasanya kurang gigih, kurang realistis dan kurang suka bertindak. Ada fasilitator PNPMM yang kurang dapat melakukan


(39)

pemecahan masalah secara lancar dan cepat serta memiliki advertunity yang kurang dalam memproses, mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesulitan sebagai sesuatu yang bersifat tetap, internal dan meluas ke wilayah lain dalam aspek psikologis. Hal itu menyebabkan fasilitator PNPMM tersebut cenderung memiliki AQ yang rendah.

Dengan demikian, dapat dikatakan fasilitator PNPMM yang mempunyai pembelajaran, motivasi berprestasi, kreativitas dan advertunity yang tinggi memiliki Control, Origin, Ownership, Reach, dan Endurance yang tinggi. Sebaliknya, fasilitator PNPMM yang mempunyai pembelajaran, motivasi berprestasi, kreativitas dan advertunity yang rendah memiliki Control, Origin, Ownership, Reach, dan Endurance yang rendah juga.

Skema Penelitian

Kesulitan Fasilitator PNPMM:

• Kesulitan individu

• Kesulitan dari lingkungan kerja

• Kesulitan dari masyarakat

Adversity Quotient Control Origin Ownership Reach Endurance Faktor yang mempengaruhi

Adversity Quotient: • Pembelajaran

• Motivasi Berprestasi • Kreativitas


(40)

D. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran Adversity Quotient pada fasilitator PNPMM di Kabupaten Boyolali.


(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif selain bertujuan untuk membuat gambaran mengenai situasi, juga untuk menggambarkan ciri-ciri dari suatu populasi (Kerlinger, 2002). Kerlinger juga menambahkan bahwa penelitian deskriptif tidak berusaha untuk menguji hipotesis, menerangkan korelasi, atau menjelaskan makna dan implikasi.

B. Definisi Operasional

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah Adversity Quotient (AQ). Adversity Quotient adalah pola tanggapan yang ada dalam pikiran individu terhadap kesulitan, yang selanjutnya menentukan bagaimana tindakan individu tersebut terhadap kesulitan yang dihadapinya.

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan dimensi Adversity Quotient, yaitu:

1. Control

Control adalah seberapa jauh seseorang merasa dapat mengendalikan rintangan yang dihadapi.

2. Origin

Origin adalah pandangan tentang asal-usul atau siapa penyebab rintangan tersebut.


(42)

1. Ownership

Ownership adalah seberapa jauh seseotang bertanggung jawab terhadap munculnya suatu rintangan.

2. Reach

Reach adalah seberapa jauh suatu rintangan akan menjangkau begian-bagian lain dari kehidupan seseorang.

3. Endurance

Endurance adalah seberapa lama suatu rintangan akan mengganggu (dihadapi) dan seberapa lama penyebab rintangan akan bertahan.

Batasan kesulitan dalam adversity quotient yang digunakan dalam penelitian ini adalah kesulitan dari luar diri atau kesulitan eksternal.

A. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah fasilitator PNPMM di kabupaten Boyolali. P2KP (2008) menyebutkan bahwa dalam pencapaian target proyek, kabupaten Boyolali memiliki progress yang paling lambat dibandingkan kabupaten lainnya. Hal itu yang menyebabkan peneliti memilih kabupaten Boyolali sebagai tempat penelitian.

B. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Data penelitian diperoleh dari skala Adversity Quotient. Skala penelitian ini menggunakan metode tingkat sumatif (summated rating scale) yang berbentuk skala Likert. Skala tingkat sumatif merupakan kumpulan butir pertanyaan dimana subjek memberi respon terhadap setiap butir pertanyaan dengan mengungkapkan taraf (intensitas) kesetujuan atau ketidaksetujuan. Setiap butir memiliki skornya


(43)

sendiri-sendiri, yang kemudian setelah diisi oleh subjek akan dijumlahkan lalu dicari rata-ratanya. Dari situ muncul skor setiap subjek.

Skala Adversity Quotient (AQ) ini digunakan untuk mengungkap tinggi rendahnya tingkat AQ dalam diri subjek penelitian. Secara keseluruhan, skala terdiri dari 60 item yang terbagi menjadi 30 item favorabel dan 30 item unfavorabel.

Dibawah ini adalah blueprint skala Adversity Quotient yang disusun berdasarkan dimensi Adversity Quotient:

Tabel 1.

Blueprint jumlah item sebelum Try Out Nomor Item No Dimensi Indikator

Favorabel Unvaforabel

Jumlah Jumlah Item

(%) 1 Control Seberapa jauh

kesulitan dapat dikendalikan

1, 11, 21, 31, 41, 51

6, 16, 26, 36, 46, 56

12 20%

2 Origin Siapa penyebab kesulitan yang

terjadi

2, 12, 22, 32, 42, 52

7, 17, 27, 37, 47, 57

12 20%

3 Ownership Seberapa jauh tanggung jawab terhadap kesulitan

yang terjadi

3, 13, 23, 33, 43, 53

8, 18, 28, 38, 48, 58

12 20%

4 Reach Seberapa jauh rintangan menjangkau bagian lain dari

kehidupan seseorang

4, 14, 24, 34, 44, 54

9, 19, 29, 39, 49, 59,


(44)

5 Endurance Seberapa lama kesulitan berlangsung dan seberapa lama penyebab kesulitan berlangsung.

5, 15, 25, 35, 45, 55

10, 20, 30, 40, 50, 60

12 20%

Total 30 30 60 100%

Skala dalam penelitian ini diberi skor sebagai berikut: Tabel 2.

Skor Item berdasarkan Jenis Pilihan Respon Jenis Pilihan Respon Favorabel Unfavorabel

SS 4 1 S 3 2 TS 2 3 STS 1 4

Skor tersebut akan menggambarkan tentang Adversity Quotient pada fasilitator PNPMM di kabupaten Boyolali. Semakin tinggi nilai yang diperoleh, maka semakin tinggi kemampuan fasilitator PNPMM dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Prinsip yang sama juga berlaku jika nilai skor yang diperoleh rendah maka semakin rendah pula kemampuan fasilitator PNPMM dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya.


(45)

E. Kredibilitas Alat Pengumpul Data 1. Validitas

Uji validitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah skala penelitian yang sudah dibuat dapat menghasilkan data yang akurat sesuai tujuan penelitian (Azwar, 2001).

Penelitian ini menggunakan validitas isi untuk mengukur validitas pada alat ukur yang digunakan. Menurut Azwar (2001) validitas isi merupakan pengujian validitas yang diperoleh dari pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau professional judgement, yakni orang-orang yang ahli dan professional di bidangnya, supaya item yang dibuat tidak keluar dari tujuan pengukuran yang sudah ditentukan. Pengujian isi skala dilakukan dengan mengkonsultasikan dengan orang yang lebih ahli, dalam hal ini konsultasi item dilakukan dengan dosen pembimbing.

2. Seleksi Item

Seleksi item dilakukan dengan melihat koefisien korelasi item total (rix) yang menunjukkan kesesuaian fungsi item dengan fungsi skala yang digunakan dalam mengungkap perbedaan individual. Menurut Azwar (1999), kriteria pemilihan item berdasarkan korelasi item total biasanya menggunakan batasan rix > 0,30. Namun, penelitian ini menggunakan batasan kriteria rix > 0,25 supaya jumlah item lolos yang diinginkan dapat tercapai.

Dari 60 item yang diberikan diperoleh 34 item yang sahih dan 26 item yang gugur yaitu 6 item pada indikator control, 8 item pada indikator origin, 4


(46)

item pada indikator ownership, 6 item pada indikator reach, dan 2 item pada indikator endurance.

Berikut ini adalah tabel distribusi item dalam tiap dimensi dan kategori sifat item setelah Try Out:

Tabel 3.

Distribusi Item Setelah Try Out

Nomor item

No. Dimensi Sifat item Sahih Gugur Favorabel 11, 41, 51 1, 21, 31 1.

Control

Unfavorabel 26, 36, 56 6, 16, 46 Favorabel 52 2, 12, 22, 32, 42 2.

Origin

Unfavorabel 7, 27, 57 17, 37, 47 Favorabel 3, 13, 33, 53 23, 43 3.

Ownership

Unfavorabel 8, 18, 28, 58 38, 48 Favorabel 14, 24, 34, 54 4, 44 4.

Reach

Unfavorabel 29, 49 9, 19, 39, 59 Favorabel 5, 15, 25, 35, 55 45 5.

Endurance

Unfavorabel 10, 20, 40, 50, 60

30

Karena jumlah item setiap indikator tidak sama, maka peneliti menyamakan jumlah item untuk setiap indikator dengan menambah jumlah item pada indikator yang memiliki jumlah item kurang dari 8. Dari hasil penyetaraan tersebut diperoleh 37 item sahih yang terdiri dari 20 item favorabel dan 17 item unfavorabel.


(47)

Berikut ini adalah tabel distribusi Item sahih: Tabel 4.

Distribusi Item sahih Nomor Item No Aspek Indikator

Favorabel Unvaforabel

Jumlah Jumlah Item

(%) 1 Control Seberapa jauh

kesulitan dapat dikendalikan

11, 31, 41, 51

26, 36, 46, 56

8 21,62 %

2 Origin Siapa penyebab kesulitan yang

terjadi

2, 52 7,27, 57 5 13,52 %

3 Ownership Seberapa jauh tanggung jawab terhadap kesulitan

yang terjadi

3, 13, 33, 53 8, 18, 28, 58 8 21,62 %

4 Reach Seberapa jauh rintangan menjangkau bagian lain dari

kehidupan seseorang

4, 14, 24, 34, 54

29, 49, 59 8 21,62 %

5 Endurance Seberapa lama kesulitan berlangsung dan

seberapa lama penyebab kesulitan

berlangsung.

5, 15, 25, 35, 55

10, 50,60 8 21,62 %

Total 20 17 37 100%


(48)

3. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan keterpercayaan hasil ukur. Jika skala penelitian reliable maka skala tersebut dianggap dapat dipercaya, artinya pengukuran yang didapatkan merupakan ukuran yang benar dari sesuatu yang diukur. Tingkat reliabilitas dapat dikelompokkan menjadi 5 kelas dengan pengukuran skala alpha 0 sampai dengan 1 (Triton, 2006).

Tabel 5.

Tingkat Reliabilitas berdasarkan Nilai Alpha

Alpha Tingkat Reliabilitas

0,00 s/d 0,20 Kurang reliabel > 0,20 s/d 0,40 Agak reliabel > 0,40 s/d 0,60 Cukup reliabel

> 0,60 s/d 0,80 Reliabel

> 0,80 s/d 1.00 Sangat reliabel

Uji reliabilitas skala penelitian ini dilakukan dengan teknik Alpha Cronbach dari program SPSS for windows versi 11,5.

Hasil uji reliabilitas dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 6.

Hasil Uji Reliabilitas Skala Adversity Quotient pada fasilitator PNPM Variabel α Keterangan Kategori Adversity

Quotient pada fasilitator PNPM

0,756 > 0,60 s/d 0,80


(49)

Berdasarkan hasil uji teknik Alpha Cronbach, dapat diketahui bahwa skala Adversity Quotient dalam penelitian ini adalah reliabel dan dapat dipercaya.

F. Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis statistik deskriptif, yang meliputi penyajian tabel, perhitungan nilai maksimum, nilai minimum, pengukuran mean, serta standar deviasi dengan program SPSS 11,5 for windows.


(50)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan Penelitian

Dari hasil dari uji coba penelitian dapat diketahui item sahih dan item gugur. Berdasarkan data tersebut, maka dapat dibuat sebuah alat ukur yang reliable yang akan disebarkan kepada subjek penelitian. Surat ijin penelitian dikeluarkan dengan nomor 100a/D/KP/Psi/USD/X/2008 oleh Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data dilakukan mulai tanggal 24 November 2008 sampai dengan 28 November 2008. Para fasilitator terbagi dalam 9 basecamp yang tersebar di kabupaten Boyolali yaitu; Sawit, Ngemplak, Ngemplak Sawit, Teras 1, Teras 2, Boyolali, Banyudono 1, Banyudono 2, dan Klego. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan skala kepada setiap fasilitator dengan cara mendatangi setiap basecamp setelah membuat janji terlebih dahulu dengan setiap Senior Fasilitator (SF) di tiap basecamp.

3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah para fasilitator PNPM sebanyak 40 orang yang tersebar di kabupaten boyolali. Dari data identitas usia subjek dapat diketahui bahwa usia subjek penelitian ini berada


(51)

dalam rentang 24-38 tahun, dimana rentang usia ini termasuk dalam masa dewasa awal. Menurut Hurlock (1990), masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.

B. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Data Penelitian

Tabel 7.

Deskripsi Data Penelitian

N Min Max Mean SD

Teoritik 40 37 148 92,5 18,5

Empirik 40 78 107 93,38 6,663

Dari tabel diatas dapat diketahui mean empirik yang diperoleh dalam skala penelitian ini adalah 93,38 sedangkan mean teoritiknya adalah 92,5.

2. Kategorisasi

Selanjutnya analisis data dilakukan dengan mengkategorisasikan skor yang diperoleh dari setiap subjek. Kategorisasi ini bertujuan untuk menempatkan subjek ke dalam kelompok yang telah ditentukan. Kategorisasi hanya dilakukan secara umum, tidak dilihat per indikator.

Norma kategorisasi dalam penelitian ini menggunakan lima kategori sebagai berikut:


(52)

Tabel 8. Norma Kategorisasi

Norma kategorisasi Kategorisasi X < X – 1,5 SD Sangat Rendah X – 1,5 SD < X < - 0,5 SD Rendah X – 0,5 SD < X < X + 0,5 SD Sedang X + 0,5 SD < X < X + 1,5 SD Tinggi

X + 1,5 SD < X Sangat Tinggi

Dari hasil data teoritis diatas, maka kriteria kategorisasi diperoleh sebagai berikut:

Tabel 9.

Kategorisasi Skor Adversity Quotient Kategori Skor

Sangat Rendah < 65 Rendah 65 – 83 Sedang 84 – 102 Tinggi 103 – 121 Sangat tinggi > 121

Tabel 10.

Frekuensi Subjek dan Presentase Adversity Quotient Kategori Frekuensi Presentase

Sangat Rendah 0 0 %

Rendah 4 10 %

Sedang 31 77,5 %

Tinggi 5 12,5 %


(53)

C. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 31 orang (77,5 %) memiliki adversity quotient dalam kategori sedang, sebanyak 5 orang (12,5 %) masuk dalam kategori tinggi, dan 4 orang (10 %) termasuk dalam kategori rendah.

Sebagian besar subjek penelitian ini sebanyak 31 orang (77,5 %) berada dalam kategori sedang. Ini berarti pada saat menghadapi kesulitan, sebagian besar subjek memiliki kemampuan yang cukup dalam mengendalikan kondisi diluar dirinya, tidak menyalahkan sesuatu di luar dirinya atau cukup berani bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dilakukannya, cukup mampu menjangkau sesuatu di luar dirinya untuk membantu mengatasi kesulitan, serta memiliki daya tahan yang cukup baik.

Hal ini bisa jadi dikarenakan faktor karakteristik subjek yang termasuk dalam kategori dewasa awal. Menurut Hurlock (1990), sekitar awal atau pertengahan umur tigapuluhan (seperti usia sebagian besar subjek penelitian), kebanyakan orang muda telah mampu memecahkan masalah-masalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional. Subjek melakukan pekerjaannya tidak dengan tingkat emosional yang tinggi tetapi tidak juga mudah menyerah terhadap kesulitan yang dihadapi.

Salah satu faktor yang menyulitkan pilihan pekerjaan menurut Hurlock (1990) juga dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa daya juang atau Adversity Quotient subjek berada dalam kategori sedang. Faktor tersebut adalah tuntutan perubahan yang begitu cepat akan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk memegang suatu pekerjaan yang mengarah ke sistem kerja. Pekerjaan subjek memiliki batas waktu yang cukup singkat untuk diselesaikan sehingga mereka mengalami kesulitan-kesulitan yang cukup banyak pula.


(54)

Kategori sedang yang dimiliki oleh sebagian besar subjek juga disebabkan oleh faktor-faktor Adversity Quotient dalam menghadapi kesulitan kerjanya. Para fasilitator ini cukup fasih dan luwes dalam berkreasi serta cukup mampu memegang kendali dalam usaha mengubah kesulitan sebagai suatu peluang dengan tujuan tertentu. Para fasilitator tersebut memiliki kemauan belajar yang cukup baik untuk meningkatkan pemberdayaan dirinya sendiri.

Faktor lain yang bisa mempengaruhi sedangnya Adversity Quotient pada subjek adalah rasa ketidakpuasan terhadap pekerjaannya. Rasa tidak puas biasanya mulai terjadi selama pertengahan usia duapuluhan sampai menjelang usia tigapuluhan, terutama ketika orang muda tidak dapat menanjak secepat yang mereka harapkan, atau jikalau saat itu terjadi resesi ekonomi dimana pekerjaan sulit ditemukan dan ketidakpuasan pun akan meningkat (Hurlock, 1990). Rasa tidak puas ini bisa jadi berpengaruh terhadap motivasi berprestasi subjek.

Menurut Stoltz (2000), tingkat adversity quotient sedang dapat diartikan bahwa seseorang lumayan baik dalam menempuh liku-liku hidup sepanjang segala sesuatunya berjalan relatif lancar. Namun, seseorang mungkin mengalami penderitaan yang tidak perlu akibat kemunduran-kemunduran yang lebih besar, atau mungkin menjadi kecil hati dengan menumpuknya beban frustasi dan tantangan-tantangan hidup.

Sebanyak 5 orang (12, 5 %) termasuk dalam kategori tinggi. Lasmono (2001) menerangkan bahwa seseorang yang memiliki adversity quotient yang tinggi berarti orang tersebut sudah lebih efektif daripada kebanyakan orang lain dalam menghadapi kesulitan. Orang tersebut mudah pulih dari keterpurukan dan maju terus bila menghadapi kebanyakan tantangan. Menurut Stoltz (2000), seseorang dengan


(55)

adversity quotient tinggi akan lebih optimis dalam menghadapi kesulitan kerja dan juga ketika mengatasi kesulitan. Hal ini sejalan dengan keadaan beberapa subjek yang memandang kesulitan sebagai suatu masalah yang muncul tetapi pasti ada cara untuk mengatasi masalah tersebut meskipun harus dengan bantuan orang lain. Subjek menganggap kesulitan yang ada merupakan tantangan yang akan membawa kemajuan bagi pembentukan mental jika terjadi masalah di masa yang akan datang.

Sebanyak 4 orang (10%) termasuk dalam kategori rendah. Menurut stoltz (2000), tingkat adversity quotient rendah dapat diartikan bahwa seseorang cenderung kurang memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Lasmono (2001) menerangkan adversity quotient rendah dapat diartikan bahwa seseorang akan merasa menderita sia-sia ketika kesulitan yang terjadi semakin kompleks dan menantang. Menurut Stoltz (2000) seseorang dengan adversity quotient rendah akan merasa pesimis dan tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan yang pada akhirnya membuat orang tersebut menghindar dan memandang kesulitan sebagai hambatan, beban, atau halangan. Hal ini sejalan dengan beberapa subjek yang memandang kesulitan sebagai sesuatu yang tidak bisa dikerjakan sendiri dan orang lain juga tidak bisa membantu. Subjek menjadi patah semangat dan membutuhkan waktu untuk menenangkan diri karena kesulitan yang dianggap tidak kunjung selesai.


(56)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan yang dilakukan sebelumnya, peneliti menarik kesimpulan bahwa fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri di Kabupaten Boyolali memiliki tingkat Adversity Quotient yang sedang.

B. Saran

1. Bagi fasilitator PNPMM

Bagi fasilitator PNPMM di kabupaten Boyolali disarankan untuk dapat belajar meningkatkan kemampuan komunikasinya. Selain itu, disarankan juga untuk lebih memotivasi diri dalam meningkatkan pengembangan diri.

2. Bagi peneliti lain

Bagi peneliti lain yang ingin meneliti hal yang serupa sebaiknya dapat melakukan wawancara pada subjek yang diteliti sehingga memperoleh informasi yang lebih mendalam.

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam alat ukur, yaitu:

1. Reliabilitas dalam penelitian ini tidak terlalu tinggi yaitu 0,756 dengan jumlah item sebanyak 37 item.


(57)

2. Terdapat satu aspek yang diukur dengan jumlah item yang lebih sedikit dibandingkan dengan empat aspek lainnya. Hal ini menyebabkan item tidak seimbang yang berarti tidak bisa dibandingkan antar individu yang satu dengan individu lainnya.

3. Terjadi faking / pengelabuan jawaban. Pada saat mengisi skala, beberapa subjek mengisi dengan terburu-buru dikarenakan tugas lapangan yang belum selesai dikerjakan. Ada juga subjek yang mengisi skala bersama-sama dengan subjek lainnya.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. 2001. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gellerman, S.W. 1984. Motivasi dan Produktivitas. Jakarta Pusat: PT. Pustaka Binatama.

Goleman, D. 1996. Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional, mengapa EI lebih penting daripada IQ. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, D. 1999. Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi (working with emotional intelligence). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hidayat, S. 2001. Adversity Quotient. MDI News. Vol.VII. Juli 2001.

Hurlock, E.B., 1990. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Kerlinger, Fred, N. 2002. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Kristiani, T. 2005. Adversity Quotient pada Siswa-Siswi kelas 3 SMUK Xaverius I Jambi. Manasa. Vol.I / No.I. hal.7-11. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Lasmono, H.K. 2001. Tinjauan Singkat Adversity Quotient. Anima, Indonesian Psychological Journal. Vol.17/ No.I hal.63-68. Fakultas Psikologi Universitas Surabaya.


(59)

Nes, M & Sugianto, P. 2008. Fasilitator Perubahan: Modul Khusus Fasilitator. Departemen Pekerjaan Umum.

Rakhmat, Jalaluddin. 1996. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Santrock, J.W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Stoltz, P.G. 2000. Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Supratiknya, A. 2007. Kiat Merujuk Sumber Acuan Dalam Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Triton, P.B. 2006. SPSS 13.0 Terapan: Riset Statistik Parametrik. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Uyanto, S. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Winarno, P.M. 2004. Mengenal Adversity Quotient. Educare. Tahun I/ Nomor 4. Juli 2004.


(60)

(61)

(62)

(63)

(64)

(65)

(66)

(67)

(68)

(69)

(70)

(71)

(72)

(73)

(74)

(75)

(76)

(77)

(78)

(79)

(80)

(81)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)