Patofiologi Konstipasi 1 Pengertian Konstipasi

dalam makanan. Mengendalikan hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang dan berolahraga secara teratur. 2. Konstipasi 2.1 Pengertian Konstipasi Konstipasi adalah kondisi, dimana proses pengosongan isi usus besar atau feces tidak teratur dan sulit. Dalam kondisi tersebut, penampilan feses agak kering dan keras. Secara normal, besarnya volume feces dan frekuensi laju pergerakan isi usus besar tidak selalu sama antar individu. Lepas dari tingkat frekuensi keluarnya feces, tetapi bila terjadi kesakitan dan ketidaknyamanan sewaktu buang air besar, maka itulah gejala konstipasi dan karenanya memerlukan upaya pengobatan, atau langkah langkah penanganan yang lain Winarno, 2006 Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu keluhan yang muncul akibat kelainan fungsi dari kolon dan anorektal. Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi dari kebiasaan normal. Pengertian ini dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses yang kurang, konsistensinya keras dan kering. Obstipasi bersinonim dengan konstipasi Ulshen, 2000.

2.2 Patofiologi

Karakteristik dinding saluran cerna mempunyai fungsi motorik usus dilakukan oleh berbagai lapisan otot polos. Dinding usus terdiri dari lapisan-lapisan berikut dari permukaan luar ke arah dalam yaitu: serosa, lapisan otot longitudinal, lapisan otot sirkular, submukosa , dan mukosa. Selain itu, lapisan-lapisan mukosa Universitas Sumatera Utara yang lebih dalam terdapat lapisan serat otot polos yang tersusun longgar, muskularis mukosa Guyton Hall, 2010. Otot polos gastrointestinal berfungsi sebagai suatu sinsitium. Serat-serat otot polos di lapisan otot longitudinal dan sirkular secara elektris dihubungkan melalui taut celah gap junctions yang memungkinkan ion-ion berpindah dari satu sel ke sel berikutnya. Setiap lapisan otot berfungsi sebagai suatu sinsitium: jika pada massa otot terpicu suatu potensial aksi, potensial aksi umumnya merambat ke semua arah di otot polos. Pengaturan fungsi gastrointestinal oleh saraf atau sistem saraf enterik, saluran cerna memiliki sistem sendiri yang dinamai sistem saraf enterik. Sistem ini berada seluruhnya dalam dinding usus, dimulai esophagus dan memanjang hingga ke anus. Sistem enterik terutama terdiri dari dua pleksus yaitu pleksus mienterikus, atau pleksus auerbach, adalah pleksus sebelah luar yang terletak antara lapisan-lapisan otot. Perangsangan menyebabkan meningkatnya tonus dinding usus, meningkatkan intesitas kontraksi ritmis, meningkatnya laju kontraksi, dan meningkatnya kecepatan hantaran. Pleksus mienterikus juga bermanfaat untuk menghambat sfingter pylorus yang mengontrol pengosongan lambung dan sfinter katup ileosekum yang mengontrol pengosongan usus halus ke dalam sekum. Pleksus submukosa, atau pleksus Meissner, adalah pleksus sebelah dalam yang terletak di submukosa. Berbeda dari pleksus mienterikus, pleksus ini berkaitan dengan pengendalian fungsi di dinding dalam setiap jengkal usus. Pengaturan Otonom Saluran cerna adalah saraf parasimpatis meningkatkan aktivitas sistem saraf enterik. Persarafan parasimpatis ke usus terdiri dari divisi cranial dan sacral. Parasimpatis cranial mempersarafi melalui: vagus, esophagus, Universitas Sumatera Utara lambung, pancreas, dan paruh pertama usus besar. Sedangkan parasimpatis sacral mempersarafi melalui: saraf panggul, paruh distal usus besar. Daerah sigmoid, rectum, dan anus banyak mengandung serat parasimpstis yang berfungsi pada reflex defekasi. Sistem saraf simpatis biasanya menghambat aktivitas saluran cerna, menyebabkan banyak efek yang berlawanan dengan efek yang ditimbulkan oleh system parasimpatis. Saraf simpatis lebih mempersarafi semua bagian saluran cerna daripada mempersarafi bagian –bagian dekat rongga mulut dan anus. Ujung saraf parasimpatis mengeluarkan norepinefrin, yang menimbulkan efek melalui dua cara: efek langsung yang menghambat otot polos dan efek tak langsung dengan menghambat neuron-neuron system saraf enterik Guyton Hall, 2010. Tanda dan gejala konstipasi menurut Johanson JF, 2007 yaitu kurang dari buang air besar, penurunan jumlah buang air besar, kotoran lebih keras daripada biasanya, usus masih merasa kenyang setelah buang air besar, merasa kembung, tegang selama buang air besar, gerakan usus tidak membaik setelah mengubah diet dan mendapatkan cukup latihan, sakit perut atau dubur sembelit bergantian dengan diare, berat badan menurun.

2.3 Penyebab Konstipasi