BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM
A. Segi-segi Hukum Perjanjian
Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku ke III dengan
judul “Tentang Perikatan”. Kata perikatan mempunyai arti yang lebih luas dari perjanjian. Sebab dalam Buku ke III itu, diatur juga perihal hubungan hukum yang
sama sekali tidak bersumber pada persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum dan perihal
perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan, akan tetapi sebagian besar dari buku ke III di tunjukan
pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian.
24
1. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian
Perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai berikut:
25
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
24
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2003, hlm. 122
25
Pasal 1313, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
Terhadap rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana hukum,
diantaranya dikemukakan oleh: R. Subekti, yang memberi pengertian perjanjian:
26
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal,
bahwa dalam bentuknya perjanjian merupakan serangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkannya atau ditulisnya.
”
M. Yahya Harahap, memberikan pengertian perjanjian sebagai berikut:
27
“Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi hak
kekuatan kepada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.
Abdulkadir Muhammad, mengatakan:
28
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan hukum harta
kekayaan”.
26
R. Subekti , Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1987, hlm. 1
27
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Alumni, 1986, hlm. 6
28
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: PT. Alumni, 1980, hlm.77
Universitas Sumatera Utara
R. Setiawan, memberikan pendapat:
29
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih”.
Dari pengertian yang dikemukakan tersebut dapat disimpulkan, bahwa perjanjian merupakan perbuatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak yang melakukan janji tersebut, untuk saling melakukan prestasi dan kontra prestasi dalam lapangan hukum kekayaan.
30
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya peraturan-peraturan hukum perjanjian yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
hanya merupakan peraturan pelengkap saja. Jadi kepada masyarakat diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk membuat suatu perjanjian sesuai dengan
syarat-syarat yang mereka tentukan dan sepakati bersama. Sistem terbuka dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat dalam Pasal 1338 yang
berbunyi:
31
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Jadi setiap orang dapat membuat perjanjian apa saja sesuai dengan yang diangan-angankan, dikehendaki serta disepakati, asal perjanjian yang mereka buat
29
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, 1979, hlm. 2
30
Ibid
31
Pasal 1338, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum pada Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
32
Disamping manganut sistem terbuka, Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga menganut asas konsensualitas. Asas konsensualitas itu penting untuk
menentukan saat lahirnya suatu perjanjian. Adapun dari asas konsensualitas ini menurut R. Subekti, adalah:
33
“Bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul yaitu sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian antara
para pihak”.
Jadi suatu perjanjian dikatakan sah jika kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian itu telah mencapai kata sepakat.
2. Syarat Sahnya Perjanjian