Syarat Sahnya Perjanjian Segi-segi Hukum Perjanjian

tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum pada Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 32 Disamping manganut sistem terbuka, Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga menganut asas konsensualitas. Asas konsensualitas itu penting untuk menentukan saat lahirnya suatu perjanjian. Adapun dari asas konsensualitas ini menurut R. Subekti, adalah: 33 “Bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul yaitu sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian antara para pihak”. Jadi suatu perjanjian dikatakan sah jika kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian itu telah mencapai kata sepakat.

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian berisi syarat-syarat tertentu. Berdasarkan pada syarat-syarat itu perjanjian dapat dipenuhi atau dilaksanakan oleh pihak-pihak karena dari syarat- syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak dan cara melaksanakannya. 34 Perjanjian dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menentukan empat syarat sahnya suatu perjanjian: 35 32 Pasal 1337, Kitab Undang-undang Hukum Perdata 33 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Alumni, 1982, hlm. 15 34 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2011, hlm. 293 35 Pasal 1320, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila perjanjian dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan. b. Kecakapan untuk membuat perikatan Yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian. Menurut Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya. 36 c. Suatu hal tertentu Hal tertentu maksudnya objek yang diatur dalam perjanjian tersebut haruslah jelas, dan dapat ditentukan. Jadi, tidak boleh samar-samar. d. Suatu sebab yang halal Maksudnya isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan kesusilaan. 36 Pasal 330, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara Dua syarat yang pertama a dan b dinamakan syarat subjektif, karena menyangkut orang-orang atau subjek yang mengadakan perjanjian tersebut. Sedangkan dua syarat yang terakhir c dan d dinamakan syarat objektif, karena mengenai objek perjanjian itu sendiri. 37 Sedangkan Abdul R. Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu: 38 a. Syarat subjektif Syarat subjektif adalah syarat yang menyangkut pada subjek-subjek perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yag membuat perjanjian, meliputi: 1 Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, 2 Kecakapan pihak yang membuat perjanjian. Apabila syarat subjektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya perizinannya secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. 39 37 R. Subekti, Op.Cit, hlm. 36 38 Abdul R. Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Perdana, 2014, hlm. 12-13 39 Ibid Universitas Sumatera Utara b. Syarat objektif Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian itu sendiri, yang meliputi: 1 Suatu hal tertentu, 2 Suatu sebab yang halal. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

3. Asas-asas Hukum Perjanjian