Komnas perempuan mencatat sebuah proses pelembagaan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang ditandai dengan:
1. Adanya serangkaian jaminan hukum yang bertujuan menangani kekerasan
terhadap perempuan,
mendorong pertanggungjawaban
pelaku, memberdayakan lagi perempuan korban dan mencegah segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan. 2.
Berkembangnya beragam kelembagaan yang dibentuk untuk mendukung akses perempuan korban kekerasan terhadap keadilan, pemulihan dan
kebenaran. 3.
Tumbuhnya bangunan
pengetahuan tentang
kekerasan terhadap
perempuan dalam berbagai konteks konflik, migrasi tenaga kerja, keluarga, dsb yang menggambarkan besarnya komitmen bangsa dalam
gerakan pemberdayaan perempuan, serta pencegahan kekerasan terhadap perempuan.
96
2. Hambatan-Hambatan yang dihadapi Komnas Perempuan
Meskipun telah ada perkembangan yang baik dalam jumlah kebijakan dan lembaga yang menangani korban dan koordinasi lintas instansi, tidak serta merta
kualitas pelayanan dan penanganan sudah memenuhi kebutuhan korban KDRT
Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2007, 10 Tahun…, h. 6-7.
atas kebenaran, keadilan dan pemulihann, baik yang dialami korban danatau pelapor.
97
Hambatannya muncul dalam berbagai lapisan, termasuk diantaranya adalah kapasitas dari lembaga-lembaga. Hambatan-hambatan kendala tersebut adalah:
1 Kendala budaya
Meskipun telah dijamin di dalam UU PKDRT, tidak semua perempuan merasa yakin untuk melaporkan kasusnya, karena masih merasa malu,
bersalah atas kekerasan yang menimpa dirinya dan juga khawatir akan dipersalahkan oleh keluarga dan masyarakat di sekililingnya. Adapula
keraguan korban untuk melanjutkan proses hukum, karena takut akan kehancuran keluarga pertimbangan serupa juga mendasari korban yang telah
melaporkan kasusnya kemudian menarik pengaduannya. Catatan Ruang Pelayanan Khusus RPKUnit Pemberdayaan Perempuan dan Anak UPPA
sejak tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 50 dari total kasus yang dilaporkan dicabut kembali oleh korban dan berarti proses hukum tidak dapat
diteruskan.
98
2 Kendala Hukum
Ibid., h. 12. Ibid., h. 12.
Dari segi substansi hukum, UU PKDRT bukan produk hukum yang sempurna, meskipun demikian undang-undang tersebut merupakan terobosan
yang progresif dalam sistem hukum dan perundang-undangan Indonesia yang terkait dengan upaya perlindungan hukum terhadap korban KDRT. Berikut
hambatan yang terkait dengan substansi hukum yang ada: • Payung kebijakan di bawah undang-undang, seperti peraturan-peraturan
pelaksanaan alokasi anggaran negara masih jauh dari memadai, sehingga mempersulit penanganan yang sesuai dengan apa yang dimandatkan alam
undang-undang No. 23 Tahun 2004. Hal ini terutama terjadai pada tahap awal penanganan yang melibatkan polisi, lembaga layanan kesehatan dan
pendamping korban. • Ancaman hukum alternatif berupa kurungan atau denda, ancaman
hukuman terlalu ringan untuk kasus tindak kejahatankekerasan yang terencana dan kasus yang korbannya meninggal, kekerasan seksual dan
psikis dilakukan suami terhadap istri merupakan delik aduan. • UU PKDRT lebih menitikberatkan proses penanganan hukum pidana dan
penghukuman dari korban. Di satu sisi, UU ini dapat menjadi alat untuk memenjarakan pelaku dan represi terhadap siapa yang akan melakukan
tindakan KDRT. Di sisi lain, penghukuman suami masih dianggap bukan jalan utama bagi korban, khususnya istri yang mengalami KDRT. Ini pula
yang menjadi alasan bagi korban untuk menarik pengaduannya di kepolisian.
99
Sementara itu, kendala dari segi struktur hukum yang sering ditemukan di Peradilan Umum antara lain:
Aparat penegak hukum yang menggunakan peraturan lama. Ada yang masih tergantung pada petunjuk pelaksanaan dari pusat, atau bahkan
masih banyak aparat yang menyelesaikan kasus KDRT dengan peraturan adat.
Aparat hukum belum memahami undang-undang PKDRT. Masalah KDRT masih dianggap aib keluarga, dimana sebagian besar kasus
diselesaikan dengan upaya damai. Interpretasi yang berbeda dalam menggunakan UU PKDRT. Kendati ada
niat baik dari para penegak hukum untuk menggunakan undang-undang baru, masih terlalu banyak perbedaan persepsi antar penegak hukum
sendiri yang mengakibatkan terhambatnaya penerapan undang-undang ini. Sarana dan prasarana, khususnya berkaitan dengan ruang pelayanan, ruang
sidang dan pelayanan, sehingga mengganggu proses persidangan maupun penyelesaian kasus, keterbatasan dana, keterbatasan tenaga dan fasilitas
lain khusus dialokasikan untuk menangani kasus KDRT.
100
Ibid., h. 12. Ibid., h. 13.
Komnas Perempuan mencatat bahwa di antara kendala tersebut di atas ada kendala lain yaitu adanya kebijakan-kebijakan daerah termasuk tetapi tak
terbatas pada peraturan daerah yang bertentangan dengan UUD 1945 hasil amandemen keempat mengenai jaminan hak-hak dasar manusia yang
seharusnya menjadi payung hukum dari semua aturan yang ada di Indonesia. Perda-perda tersebut berdampak pada diskriminasi terhadap perempuan,
melalui pengaturan tubuh, perilaku, dan mobilitas perempuan oleh institusi negara atas nama agama dan moralitas.
101
D. Analisis terhadap Praktek Penanganan Kasus-Kasus KDRT