HASIL PENELITIAN

D. HASIL PENELITIAN

Sebuah desa dengan luas tanahnya 1.163.500 ha (satu juta seratus enam puluh tiga ribu lima ratus hektar) dan dihuni oleh 6975 jiwa menurut ukuran biasa termasuk desa yang sedang, tidak terlalu luas dan juga tidak terlalu kecil. Dari sebanyak itu, hanya tercatat 5 (lima) orang penduduk yang beragama selain Islam, Katolik. Ini artinya 99,043 % penduduk desa ini beragama Islam. Menggali lebih dalam keberislaman mereka utamanya dalam melaksanakan ajaran agama tentang tata cara pembagian harta waris, penelitian ini dilakukan. Penelitian ini ingin melihat bagaimana sesungguhnya komunitas santri desa yang dinakodai oleh seorang nasionalis, Prapto, dan dibimbing oleh empat orang kiyai yang cukup handal. Dikatakan handal karena secara lahiriyah para kiyai ini diparcaya menjadi pengurus organisasi

200 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010

Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

social keagamaan terbesar di kecamatan itu, yakni Nahdhatul Ulama. Ini menunjukkan bahwa kiyai yang berada di desa tersebut paling tidak dituakan di kecamatan yang terdiri dari 12 desa itu. Fatwa-fatwanya juga diikuti di seluruh wilayah kecamatan, bahkan salah satu dari mereka terpilih menjadi pengurus cabang (tingkat kabupaten).

Sehubungan dengan focus penelitian, pertanyaan yang segera muncul adalah apakah fatwa-fatwa para kiyai itu juga menjangkau ke masalah proses pembagian harta warisan ? Dari hasil wawancara yang penulis lakukan kepada para kiyai bersangkutan, dan juga dimintakan konirmasi kepada para tokoh dan kiyai yang lain, menunjukkan bahwa masyarakat tidak pernah mendapat penjelasan tata cara pembagian harta peninggalan. Hal ini sudah barang tentu mengakibatkan pengertian dan pemahaman komunitas santri desa tersebut terhadap hukum kewarisan Islam sangat rendah, untuk tidak mengatakan nol persen. Bukan nol persen karena di antar warga masyarakat ada juga yang belajar ke pondok pesantren yang nota bene di sanalah ilmu waris dipelajari, meskipun tidak ada kewajiban bagi santri untuk mengikuti pembelajaran materi tersebut. Sehingga meskipun status seseorang sebagai alumni pondok pesantren, namun pemahaman tentang tata raca pembagian harta warisan menurut iqh tidak ada jaminan dapat dikuasai.Bisa jadi seorang alumni pondok pesantren sama sekali tidak

pernah mempelajari iqh mawaris. 6 Tidak dibedakannya porsi perolehan dalam pembagian harta

kekayaan orang tua antara anak laki-laki dan anak perempuan ternyata menjadi sangat menarik untuk dikemukakan. Menarik karena alasan yang disampaikan oleh masyarakat awam berbeda dengan argument yang disampaikan oleh kiyai yang sempat penulis wawancarai. Masyarakat awam berpendapat bahwa anak perempuan lebih banyak memberikan sumbangannya kepada orang tuanya, terutama dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Untuk kepentingan ini, anak laki-laki dalam usianya yang sama belum banyak memberikan

6 . Bagian dari ilmu iqh yang khusus membicarakan tata cara pembag - an harta waris, dari bahasan tentang siapa saja yang termasuk ahli waris, hajib mahjub, bagian masing-masing ahli waris sampai dengan aturan main regulasi penghitungannya. Sebagai konsekuensi sebuah iqh yang merupakan hasil jtihad ulama, maka dalam ilmu ini bisa saja terdapat perbedaan pandangan di antara para ulama, misalnya dalam masalah pelaksanaan wasiat dan hutang. Mana di an- tara keduanya yang harus didahulukan manakala harta si mayat tidak mencukupi keduanya.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 201

H. Yasin

kontribusinya terhadap orang tuanya. Inilah yang sesungguhnya yang mendorong agar anak perempuan tidak dibedakan dari anak laki- laki dalam proses pengalihan atau pembagian harta kekayaan orang tua. Sementara argument kiyai mengapa bagian anak perempuan disamakan dengan bagian anak laki-laki, adalah karena pembagian ini bukan “bagi waris”, tapi hibah atau pemberian, dalam pemberian ini, lanjut kiyai tersebut, rasul Allah saw memberikan rambu-rambu, yakni agar menyamaratakan, bahkan kalau mungkin perempuan diberi lebih. Hadis dimaksud adalah:

Upayakan sama-rata di antara anak-anakmu dalam hal pemberian. Bahkan jika aku (rasul Allah saw) berkeinginan memberi lebih, niscaya saya berikan kepada perempuan (Sayyid Ahmad al-Hasyimy, th: 85)

Demikian juga dalam hal waktu pembagian harta kekayaan dilaksanakan semasa orang tua masih hidup, argument yang disampaikan juga berbeda, meskipun nuansanya nampaknya juga sama. Masyarakat awam memberikan keterangan bahwa pembagian sebelum orang tua meninggal dunia untuk menghindari perselisihan, pertengkaran, atau bahkan perebutan di kemudian hari manakala si pewaris sudah meninggal dunia. Alasan ini berbeda dengan yang disampaikan oleh salah seorang tokoh masyarakat yang sekaligus juga pengasuh pondok pesantren, KH. Ilyas Mahfuzhi. Pembagian harta kekayaan sebelum si pewaris mati agar hisab, pengitungan amal pada hari pembalasan tidak dialamatkan kepada orang tua, sebagai pemberi, karena pada saat si pewaris meninggal dunia harta tersebut sudah tidak menjadi miliknya. Harta telah berpindah kepemilikannya kepada anak-anaknya, maka hisab diharapkan dialamatkan kepada anak sebagai penerima pengalihan harta tersebut. Alasan kiyai ini sesungguhnya tidak kuat, tapi inilah pandangan beliau.

Ada satu hal lagi yang juga perlu diangkat dan mendapat perhatian khusus adalah bahwa harta “gawan” atau harta “warisan” dari orang tua oleh masyarakat desa Tanggungharjo tidak dimasukkan ke dalam harta peninggalan yang dapat

202 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010

Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

diwaris. Harta gawan dan warisan ini hanya mengalir kepada kerabat pemilik harta itu, seperti anak, cucu, orang tua, saudara dari si mati, istri tidak dapat ikut mewaris harta gawan sang suami dan sebaliknya.

Yang terakhir, ditemukan bahwa ahli waris kelompok ke

II tidak dapat mewaris bersama ahli waris kelompok ke I. Jadi kewarisan yang dilaksanakan masyarakat desa Tanggungharjo ini tidak mengacu pada system kewarisan Islam yang memungkinkan ahli waris kelompok II mewaris bersama ahli waris kelompok I.

Dari uraian-uraian di muka dapatlah dilihat bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa kesadaran hukum nara sumber

terhadap norma hukum waris re latif kurang. Dibedakannya jenis harta peninggalan yang diikuti pembedaan tata cara dan alur pembagiannya merupakan bukti tersendiri bahwa sistem kewarisan yang hidup di komunitas santri desa Tanggungharjo adalah hukum adat . Harta bawaan akan kembali kepada keluarga manakala suami bersangkutan tidak dikaruniai anak, dan suami atau istri sama sekali tidak mendapat hak dari harta bawaan itu. (Wawancara dengan tokoh masyarakat,

H. Kuswadi tgl.20 September 2009). Hal ini berbeda dengan system kewarisan Islam yang masih memberi hak waris kepada suami atau istri dari harta bawaan patnernya. Artinya ketika sang suami meninggal dunia, dan meninggalkan harta bawaan, maka sang istri tetap mendapat bagian dari harta bawaan milik mantan suaminya itu. Disebut mantan karena sang suami telah meninggal dunia.

Bukti berikut juga mendukung bahwa hukum kewarisan yang hidup di kalangan komunitas santri desa Tanggungharjo adalah bahwa ahli waris garis ke atas (bapak-ibu) tidak dapat mewaris bersama ahli waris garis ke bawah (anak-anak atau cucu). Sebab dalam kewarisan Islam seorang ayah, ibu, atau keduanya dapat mewaris bersama anak, baik laki-laki meupun perempuan, meskipun porsinya tidak sebanyak manakala tidak bersama ahli waris garis ke bawah itu. Jawaban nara sumber sangat meyakinkan bahwa orang tua si pewaris tidak dapat mewaris bersama anak si pewaris.(Wawancara dengan sekretaris desa, Purnomo, pada tanggal 24 September 2009)

Sehubungan dengan pelunasan hutang si mayat, komunitas santri desa Tanggungharjo yang sempat diwawancarai menyatakan

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 203

H. Yasin

bahwa hal itu merupakan kewajiban ahli waris yang harus dipenuhi, berapapun banyaknya. Ini menunjukkan rasa empati keluarga kepada pewaris mereka, meskipun sesungguhnya iqh Islam tidak mewajibkan pelunasan hutang melewati jumlah harta peninggalan si pewaris. Dalam hal pelunasan hutang si mayat ini, nampaknya nilai yang ada pada system kewarisan Islam juga diserap oleh masyarakat desa ini. Belum terlunasinya hutang sebagai tanggungan si mayat akan mengganggu kelancarannya menghadap Sang Maha Agung, hutang itu tetap akan ditagih saat penghitungan amal di hari pembalasan. Inilah yang membuat komunitas santri desa Tanggungharjo merasa berkewajiban membayar hutang keluarganya yang telah meninggal dan belum dapat melunasinya. Penyerapan ini pada hakikatnya menguatkan teori yang menyatakan bahwa pertemuan dua nilai yang berbeda akan selesai dengan wajar atau damai.Bustanul Ariin, 1996: 34)

Penelitian hukum untuk mengetahui kesadaran hukum terhadap beberapa sistem hukum sejenis mempunyai karakte ristik yang berbeda dengan penelitian hukum terhadap satu sis tem hukum saja. Dalam penelitian hukum seperti itu terbuka kemungkinan berbaurnya kesadaran hukum masyarakat terha dap sistem-sistem hukum tersebut. Oleh sebab itu analisis ter hadap setiap indikator kesadaran hukum memerlukan acuan yang bervariasi. Secara umum, analisis tersebut meliputi 2 (dua) hal pokok, yaitu:

1. Seberapa jauh kesadaran hukum komunitas santri terhadap sis- tem hukum kewarisan tertentu (yang dianut);

2. Terhadap sistem hukum kewarisan manakah kecenderungan kesadaran hukum komunitas santri, tempat penelitian

Analisis pertama cenderung untuk melihat kesadaran hu kum masyarakat, yang-menyatakan diri tunduk pada suatu sis tem hukum tertentu, terhadap sistem hukum itu sendiri. Dalam hal itu, sampel dibatasi terhadap responden yang yang menya takan tunduk pada sistem hukum tersebut.

Dari hasil penelitian, ternyata kelompok yang menunduk kan diri terhadap sistem hukum Islam merupakan kelompok terbesar. Hal itu terlihat dari jumlah responden yang memilih sistem hukum Islam, sebagai sistem hukum yang sebaiknya mengatur masalah waris berjumlah 56.% dari keseluruhan sampel. Kelompok kedua terbesar

204 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010

Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

adalah kelompok yang me nundukkan diri terhadap sistem hukum adat, yaitu sebanyak 22.% dari keseluruhan sampel. Namun demikian, dari hasil penelitian diperoleh fakta bahwa kesadaran hukum anggota se tiap kelompok terhadap sistem hukum yang dianutnya tersebut relatif kurang. Pengetahuan dan pemahaman responden terha- dap sistem hukum tersebut tidak menunjukkan hubungan yang erat dengan sikap dan pola perilaku hukumnya.

Apabila dipandang secara sepintas, tampak seolah-olah tidak terdapat hubungan yang nyata antara indikator kesadaran hukum yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi alangkah bijaknya kalau kita mau melihat apa yang terdapat di balik semua itu. Pengetahuan responden tentang sistem hukum yang diketahuinya ternyata relatif rendah, menurut hemat penulis, hal ini adalah wajar karena beberapa alasan, yaitu:

a. Nara sumber atau responden selain Kyai tidak pernah secara nyata mendapatkan pendi dikan tentang sistem hukum yang diteliti, khususnya masa lah waris;

b. Proses kewarisan dianggap merupakan masalah yang jarang terjadi, yaitu umumnya hanya terjadi 2 (dua) kali seumur hidup, yakni ketika orang-tua meninggal dunia, sekali saat ayah meninggal, dan sekali saat ibu meninggal. Meskipun anggapan ini sesungguhnya tidak selamanya benar, karena setiap ada kasus kematian semestinya proses kewarisan (pembagian harta waris) juga terjadi. Itu berlainan de ngan hukum lalu-lintas, pajak, tanah, dan lain-lain, yang dalam kehidupan sehari-hari dialami oleh setiap pribadi.

c. Sistem kewarisan berada pada lingkungan hukum perdata, sehingga peranan aparat hukum dan perundang-undangan tidak tampak jika tidak ada perkara yang diangkat. Diangkat artinya menjadi sebuah sengketa yang perkaranya dilanjutkan ke Pengadilan.

d. Begitu pula tentang pemahaman hukum masyarakat. Se perti disebutkan oleh Soerjono Soekanto:

"... pengetahuan tentang isi peraturan dipengaruhi, oleh proses internalisasi dan imitasi..."maka dapat dipahami kenapa pemahaman hukum masyarakat relatif lebih baik. Faktor imita si di samping mempunyai nilai positif juga dapat mengakibat kan hal-hal yang negatif, yaitu dalam hal yang ditiru

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 205

H. Yasin adalah tindakan-tindakan yang menyimpang, misalnya pergaulan

bebas laki-laki perempuan tanpa batas sama sekali.

e. Sikap mayoritas nara sumber sebagai responden memilih sistem hukum Islam sebagai sistem hukum yang sebaiknya mengatur masalah waris pun tidak menunjukkan sikap yang sebenarnya, karena fakta-fakta lainnya yang berkaitan dengan sikap terhadap sis tem hukum tersebut tidak menunjang, bahkan cukup banyak yang bertentangan. Menurut hemat penulis, sikap responden memilih sistem hukum Islam lebih disebabkan oleh faktor ra- sional beragama yang tidak mencerminkan pengetahuan dan pemahaman tentang hal itu, mereka sebagai umat Islam seyo- gianya tunduk pada sistem hukum Islam, sementara itu bagai- mana sistem hukum Islam mengatur masalah pembagian harta waris, mereka kurang mengetahui dan memahaminya. Di situlah letak hu bungan antara indikator pengetahuan dan pemahaman hukum dengan sikap terhadap hukum dapat ditemukan, yaitu akibat pengetahuan hukum yang rendah serta pemahaman hukum yang salah mengakibatkan sikap terhadap hukum menjadi salah.

f. Selanjutnya, terhadap sistem hukum manakah kecenderungan kesadaran hukum komunitas santri Tanggungharjo? Dengan melihat hasil penelitian terlihat bahwa kecenderungan tersebut adalah terha dap sistem hukum adat. Namun demikian, dengan memperha tikan terhadap masing-masing kelompok para nara sumber sebagai responden, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Kelompok masyarakat Islam yang kesadaran hukumnya cenderung pada sistem hu kum adat disebabkan oleh pengetahuan dan pemahamannya tentang sistem hukum Islam yang rendah. Sementara kelompok masyarakat adat yang kesadaran hukumnya cenderung pada sistem hukum Islam disebabkan salah mengira bahwa sistem hukum adat itu sama dengan sistem hukum Islam. Dengan memperhatikan uraian di atas serta uraian-uraian terdahulu, dapatlah dikemukakan bahwa sistem hukum adat dan sistem hukum Islam, dalam masalah kewarisan, keduanya merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat. Keduanya berjalan beriringan, berbaur, dan kadangkala berbenturan da lam mengisi kebutuhan hukum masyarakat. Penulis berpandangan bahwa hukum

206 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010

Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

waris merupakan salah satu bidang hukum keperdataan, yang penanganannya lebih banyak bergantung pada para pihak yang terlibat (para ahli waris). Proporsi perkara waris yang masuk ke pengadilan sangatlah kecil bila dibandingkan dengan jumlah kematian yang terjadi. Padahal pada setiap kematian di mana si mati meninggalkan harta seharusnya terdapat masalah kewarisan. Di tempat penelitian, ditemukan bahwa pembagian harta waris oleh komunitas santri desa Tanggungharjo selalu terlambat atau bahkan sengaja ditunda. Penundaan ini dilakukan karena salah satu orang tua belum meninggal dunia di samping para ahli waris lain merasa kurang etis manakala menuntut pembagian harta waris dilaksanakan sesegera mungkin padahal salah satu dari kedua orang tua masih hidup.

Dalam kaitannya dengan hukum pertanahan dan kepemilikan barang atas-nama lainnya, hukum waris nasional diperlukan guna memudahkan administrasi dan hal-hal lainnya yang ber- kaitan dengan harta peninggalan. Dari kasus-kasus yang diteli- ti, cukup banyak harta peninggalan yang belum dibagikan ka- rena masih terdapatnya janda atau anak yang belum dewasa. Harta peninggalan seperti itu masih tercatat atas nama almar- hum. Secara hukum itu tidak benar, orang yang sudah me- ninggal tidak lagi merupakan subjek hukum sehingga tidak lagi dipandang sebagai pemilik harta peninggalan. Secara adminis tratif, hal itu pun cukup menyulitkan, seperti kepada siapa penarikan pajak atas harta peninggalan tersebut harus dilaku kan. Karena salah seorang ahli waris, tidak mustahil akan me nolak melakukan itu dengan alasan belum ada pembagian wa ris. Begitu pula hak- hak pihak ketiga, yang mempunyai piu tang pada almarhum, dapat terkatung-katung haknya oleh ala san harta peninggalan belum dibagi. Dari kasus-kasus yang pernah mencuat saat wawancara ternyata mayoritas kasus waris disebabkan oleh penun- daan pembagian harta peninggalan, sehingga harta peninggalan menjadi kabur dan ahli waris tidak mendapatkan haknya. Beberapa hal yang menyangkut masalah kewarisan, khu susnya menyangkut masalah harta peninggalan, ada diatur pada Undang-undang No.

1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Harta benda dalam perkawinan,

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 207

H. Yasin

dalam undang-undang terse-but, dibedakan antara harta bersama dan harta bawaan. Na mun demikian, sekalipun dikemukakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan, undang-undang perkawinan tidak mengatur secara tegas kedudukan atau petunjuk ke arah itu untuk harta bawaan sebagai akibat putusnya perkawinan. Begitu pula tentang harta bersama, pasal 37 undang-undang perkawinan hanya menye butkan bahwa "Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing". Apa yang dimaksud dengan kata "hukumnya masing-masing" tidak ada penjelasan lebih jauh. Namun demikian, dengan mengaitkannya pada pasal-pasal lainnya, dapatlah dikemukakan hal-hal penting dari undang-undang perkawinan yang akan sangat bermanfaat bagi hukum kewarisan, yaitu sebagai berikut.

Pertama, undang-undang perkawinan mengakui adanya pemi sahan/pembedaan harta bersama dan harta bawaan masing-masing. Pads dasarnya harta bawaan masing-masing sepenuhnya merupakan hak masing-masing pihak. Sementara harta bersama merupakan hak bersama, setiap pihak dapat ber tindak atas persetujuan kedua belch pihak. Itu berarti bahwa kedudukan swami dan istri adalah sederajat terhadap harta ber sama.

Kedua, pengaturan harta bersama, dalam hal terjadinya perce- raian diatur oleh hukumnya masing-masing. Apabila itu dikait kan dengan pasal 2 ayat (1) maka yang dimaksud dengan hu kumnya masing-masing tersebut adalah hukum agama atau kepercayaan masing-masing pihak.

Ketiga, apabila terhadap harta bersama diterapkan hukum agama atau kepercayaan masing-masing pihak, apakah itu da- pat diperluas menjadi terhadap harta bawaan pun diterapkan hukum agama atau kepercayaannya itu.

Keempat, apabila terhadap perceraian dapat diterapkan hu kumnya masing-masing untuk pembagian harta dalam perka winan, apakah itu pun dapat diterapkan untuk putusnya perka winan karena kematian atau atas keputusan pengadilan. Bu kankah substansi ketiganya adalah sama, yaitu memutuskan tali perkawinan, sementara perbedaannya hanyalah terletak pada pihak yang berhak menerima bagian harta perkawinan itu, yaitu dalam

208 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010

Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

hal perceraian adalah masing-masing pihak, sementara dalam kematian adalah salah satu pihak dan ahli-warisnya.

Sesungguhnya problema sebagaimana tersebut di atas telah dapat djawab dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang penyebarluasannya dengan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991. Sedikitnya ada 13 (tigabelas) pasal KHI (pasal 85 s/d 97) yang mengatur masalah yang berhubungan dengan harta suami istri dengan bab “Harta Kekayaan dalam Perkawinan”. Misalnya jika terjadi sengketa antara suami istri tentang harta bersama, maka proses penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama; Terhadap harta bersama, suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Dengan 13 pasal tersebut diharapkan problema harta kekayaan dalam pernikahan yang muncul dapat diselesaikan.

Dari hasil penelitian di desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan, pengalihan harta kekayaan kepada para keluarga yang berhak menerimanya sangat jarang terjadi sengketa di antara mereka. Dominasi dan power serta antisipasi dari pihak orang tua ternyata berhasil menekan keinginan anak-anak dan cucu-cucu yang berhak menerima warisan mengajukan protes. Orang tua memiliki hak veto dalam mentasarukan harta yang dimiliki, anak laki-laki tertua yang sudah banyak mengenyam harta dari orang tua (beaya pendidikan dan lain-lain) bisa jadi diberi lebih sedikit dari anak perempuan yang baru saja menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah Tsanawiyah terdekat. Antisipasi dimaksud adalah pengalihan harta kekayaan itu melalui hibah dan wasiat jika dirasa masih ada sisa harta yang dimiliki orang saat usia calon pewaris sudah cukup lanjut.