Peran pemimpin terhadap perubahan sosial

3. Peran pemimpin terhadap perubahan sosial

Pada sisi lain pemimpin agama atau pembimbing agama memiliki peran yang peran bagi perubahan sosial, secara detail dapat dilihat sebagai berikut:

a. Pemimpin agama sebagai motivator Tidak dapat disangkal bahwa peran para pemimpin agama sebagai motivator bagi masyarakat sudah diakui. Dengan

9. Kartini Kartono, Patologi Sosial, Raja Graindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 41-42

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 105

Mubasyarah

ketrampilan dan kharisma yan dimilikinya, para pemimpin agama telah berperan aktf dalam mendorong suksesnya kegiatan-kegiatan pembangunan. Terlibatnya para pemimpin agama bagi perubahan sosial terutama didorong oleh kesadaran untuk ikut secara aktif memikirkan permasalahan-permasalahan

yang sangat kompkles dihadapi umat. 10 Para pemimpin agama dapat memberikan semangat kepada masyarakat untuk selalu giat berusaha.

Watak optimis dalam mengarungi kehidupan hendaklah ditebarkan para pemimpin agama kepada masyarakatnya dengan memberikan harapan-harapan masa depan, sehingga lambat laun harapan-harapan ini dapat mndorong mereka untuk lebih banyak bertindak. Para pemimpin agama dapat memberikan semangat kepada masyarakat untuk selalu giat bersaha. Jangan sekali-kali mengajari masyarakat bahwa takdir dapat diyakini sebagai alasan untuk bersifat fatalis. Dengan demikian para pemimpin agama telah mampu membuktikan kemampuannya untuk berbicara secara rasional dan tetap membangkitkan gairah serta aksi masyarakat dalam meraih susuatu yang dicita-citakannya. 11

b. Pemimpin agama sebagai pembimbing moral Peran kedua yang dimainkan para pemimpin agama di masyarakat dalam kaitannya denga perubahan masyarakat adalah peran berkaitan dengan upaya-upaya menanamkan psrinsip-prinsip etik dan moral masyarakat. Dalam kenyatannya, kegiatan pembangunan umumnya selalu menuntut peran aktif para pemimpin agama dalam meletakka landasan moral, etis, dan spiritual serta peningkatan pengalaman agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Disinilah kemudian nilai-nilai religius yang ditanamkan para pemimpin agama memainkan

peranan penting dalam perubahan sosial. 12 Berangkat dari landasan etis moral inilah perubahan sosial diarahkan pada upaya pemulihan harkat dan martabat manusia, harga diri

10. M.Masykur Amin (ed.), Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemik - ran Islam, LKPSM-NU,Yogyakarta, 1989, hlm. 3-4 11. Hiroko Horikosi, Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987, hlm. 225-226

12. Ibid. Hlm.8

106 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010

Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

dan kehormatan individu, serta pengakuan atas kedaulatan seserang atau kelompok untuk mengembangkan diri sesuai dengan keyakinan dan jati diri serta bisikan nuraninya.

c. Pemimpin agama sebagai mediator Peran lain para pemimpin agama adalah sebagai wakil dari masyarakat dan sebagai pengantar dalam menjalin kerjasama yang harmonis diantara banyak pihak dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingannya di masyarakat dan lembaga- lembaga keagamaan yang dipimpinnya. 13

Untuk membela kepentingan-kepentingan ini, para pemimpin agama biasanya memposisikan diri sebagai mediator 14 diantara beberapa pihak di masyarakat, seperti antara masyarakat dengan elite penguasa dan antara masyarakat miskin dengan orang-orang kaya. Melalui para pemimpin agama, para elite penguasa dapat memahami apa yang diinginkan masyarakat,dan sebaliknya elite penguasa dapat mensosialisasikan program-programnya kepada masyarakat luas melalui bantuan para pemimpin agama, sehingga keduanya terjadi saling pengertian. 15

13. Hiroko,Loc.Cit.hlm.228-229 14. Peran ini sebenarnya diihami oleh nilai-nilai ajaran agama itu sendiri

yang secara tradisional mempunyai fungsi sebagi ”pemersatu”. Sebab sebagian besar sejarah umat manusia yang ada secara empiris, agama telah memainkan per- anan penting dalam memberikan tirai simbol-simbol yang melingkupi segalanya bagai integrsai masyarakat yang berarti. Beraneka macam makna, nilai dan ke- percayaan yang ada pada suatu masyarakat, akhirnya dipersatukan dalam sebuah penafsiran menyeluruh tentang unsur realitas yang menghubungkan kehidupan manusia dengan dunia(kosmos) secara keseluruhan, sehingga secara sosiologis dan psikologis memungkinkan manusia merasa betah tinggal di alam semesta dan terhindar dari penyakit homeless mind, merasa tak berumah atau rasa kesepian di tengah-tengah keramaian . Lihat Peter L.Berger, dan Hansfried Keliner,” Pluralisasi Dunia Kehidupan,” dalam Hans Dieter Eers (peny.)”Teori Masyarakat, Proses Perada- ban dalam Sistem Dunia Modern, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988, hlm.49-51

15. Menurut Wolf, seperti dikutip Horikoshi, konsep mediator ini dapat dideinisikan sebagai orang-orang atau kelompok yang menempati posisi pen- ghubung dan perantara antara masyarakat dan sistem nasional yang bercorak perkotaan. Bergantung pada posisi strukturnya dalam jaringan masyarakat yang kompleks, mediator ini dapat diperankan oleh pemimpin tradisional yang mem- bentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang meghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan serng bertindak sebagai penyangga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpe- liharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan bagi kegiatan- kegiatan mereka. Lihat Hiroko, Loc.Cit.hlm5

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 107

Mubasyarah

Demikian halnya, ketika para pemimpin agama berupaya mengatasi atau mengurangi kesenjangan yang terjadi di masyarakat khususnya

antara orang kaya dan orang miskin. Dalam kaitan ini, para pemimpin agama, sebagai mediator, melakukan pemberdayaan kelompok miskin melalui kerja sama yang mereka lakukan dengan orang-orang kaya. Melalui kompetensi syariat yang dimilikinya, para pemimpin agama melakukan penyadaran kepada orang-orang kaya bahwa pemerdayaan masyarakat miskin tidak mungkin berhasil tanpa bantuan orang-orang kaya; mereka juga tidak akan tentram menikmati kakayaannya jika di sekeliling mereka masih banyak terdapat orang-orang miskin.

Disini para pemimpin agama berusaha menjembatani dua pihak yang status ekonominya sangat berbeda, sehingga gejolak sosial yang tejadi akibat munculnya kecemburuan dari golongan miskin dapat terhindari. Peran pemimpin agama seperti ini sudah sangat mengakar di masyarakat, serta berlangsung terus menerus. Peran seperti ini tampaknya akan selalu dibutuhkan oleh masyarakat.

Munculnya kerjasama antara para pemimpin agama di satu pihak dengan kalangan kaya pengusaha di pihak lain merupakan fenomena sosial yang umum terjadi di kalangan umat beragama. Di Eropa misalnya, persekutuan bahkan kemanunggalan antara gereja dengan kalangan tuan tanah dan elite penguasanya merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan. Hal ini terjadi juga di kalangan umat agama lain, termausk Islam. Persekutuan seperti ini tetap berlangsung sampai sekarang. 16

Dari sudut keagamaan, kerjasama keagamaan, kerjasama para pemimpin keagamaan dengan kalangan hartawan dan penguasa bukan sesuatu yang baru. Sebab, sesungguhnya kerjasama para pemimpin agama dengan kalangan kaya dan penguasa, pada prinsipnya, tidak dinilai buruk. Agama,

bagaimanapun merupakan rahmat bagi selurh alam. 17 Di sinilah para pemimpin agama menyadari bahwa kerjasama

16. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002,hlm.142 17. Masdar Farid Masudi, Agama Keadilan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, hl.202-205

108 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010

Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

merka untuk kepentingan menegakkan keadilan sosial dan untuk membela kepentingan orang-orang kecil, kaum lemah, dan kelompok-kelompok tertindas di masyarakat. Dengan demikian , kekuasaan yang dipegang oleh elite penguasa dan harta kekayaan yang dimiliki oleh orang-orang kaya tidak menjadi itnah dan menimbulkan gejolak di masyarakat ketika mampu membuktikan fungsi-fungsi sosialnya.

Dalam kaitan inilah pentingnya kehadiran para pemimpin agama sebagai mediator pemberdayaan masyarakat lemah melalui kerjasama dengan elite penguasa dan golongan orang kaya. Sehingga, pada gilirannya, kesenjangan sosial dapat ditekan sedemikian rupa, tidak menimbulkan gejolak sosial yang mengancam keharmonisan hubungan masyarakat secara horizontal.