1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia menganggap bahwa agama identik dengan seperangkat simbol kebudayaan dan gagasan yang memusatkan perhatian dan memberikan makna pada
kehidupan manusia dan alam yang tidak diketahui. Simbol kebudayaan tersebut menggambarkan visi dan tujuan akhir dari dunia alamiah dan manusiawi serta
mengajarkan pada masyarakat tentang sistem kepercayaan terhadap wujud tertinggi.
1
Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya lewat belajar. Apa yang dipelajari pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan sosial
dan budaya.
2
Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Demikian pula dapat dikatakan
bahwa interaksi atarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi
antarbudaya akan tercapai komunikasi yang sukses, bila bentuk-bentuk hubungan antar budaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk
memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikasi.
3
1
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007 , h. 194.
2
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005,
h. 137.
3
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya ,h. 21.
Keberhasilan agama Islam yang berkembang hingga saat ini nampaknya bergantung pada pencapaian para penyebar ajaran agama yang terampil dalam
berkomunikasi ketika menggunakan strateginya menyebarkan syariat Islam. Strategi pertukaran simbol dalam komunikasi bisa menjadi faktor penunjang
keberhasilan strategi dalam menyebarkan ajaran Islam. Serta mengetahui perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat ketika penyebaran agama Islam
mengenai sasaran. Islam menghimbau kepada setiap muslim untuk mempelajari dan
mengamalkan nilai-nilai normatif yang terkandung dalam Al- Qur‟an dan Al-
Hadits. Nilai tersebut dijadikan konsep bermasyarakat yang diaplikasikan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Namun terkadang menjadi suatu kekeliruan
akibat adanya kesamaan makna antara budaya asli imigran dan budaya pribumi mungkin merupakan faktor terpenting yang menunjang potensi akulturasi.
4
Masyarakat lokal menganggap kebudayaan yang diwariskan kepada mereka memiliki hubungan dengan nilai-nilai agama karena adanya persamaan makna.
Masyarakat lokal memasukkan nilai-nilai warisan kebudayaan dalam kegiatan keagamaan. Memasukkan perilaku budaya dalam menjalankan kegiatan
keagamaan. Terlebih pada masyarakat yang memaknai bahwa warisan kebudayaan merupakan keyakinan yang sejalan dengan syariat Islam. Itulah yang terjadi ketika
pertukaran simbol antar dua pengaruh yang berbeda dalam komunikasi. Hambatan ini terdapat dalam pelaksanaan hari besar keagamaan yang
disertai dengan ritual khusus atas nama warisan dan tradisi. Nampak pada setiap
4
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005,
h. 145.
peringatan hari besar keagamaan seringkali mengandung proses akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudayaan lokal. Akulturasi tersebut telah diyakini
masyarakat karena menjadi warisan nenek moyang mereka. Misalnya dalam peringatan 1 Muharram dengan mengadakan pagelaran wayang. Masyarakat
memperingatinya secara sejajar antara nilai-nilai keagamaan dengan kearifan budaya lokal.
Berbicara tentang akulturasi antara wawasan budaya lokal dan budaya Islam bahwa kebudayaan sebagai karya cipta manusia dalam upaya menyesuaikan
diri atau menjawab tantangan alam sekitarnya
5
. Akulturasi menjadi tantangan baru bagi para pembawa ajaran Islam di sebuah organisasilembaga keagamaan untuk
meluruskan makna yang terkandung hari besar keagamaan. Tantangan tersebut menggerakkan organisasi Islam melancarkan strategi penyampaian yang tepat
kepada masyarakat berbudaya lokal. Dengan harapan, apa yang telah disampaikan mampu meluruskan makna sesuai syariat Islam.
Itulah tantangan yang dihadapi pada organisasi Islam pada saat ini dalam memperjuangkan pemurnian Islam. Seseorang tidak dapat memisahkan kehidupan
manusia dari kesenian dan kebudayaan yang merupakan kecenderungan manusia kepada segala sesuatu yang indah. Namun untuk mengubah kembali pandangan
sesuai ajaran Islam maka diperlukan suatu lembaga atau organisasi yang tepat. Suatu organisasi Islam yang bergerak tanpa memberantas rasa kebudayaan dalam
yang menyertai umat Islam.
5
Rusli Karim, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar Jakarta: Rajawali, 1986, h.371