Prinsip Perancangan Tempat Kerja Kesesuaian Desain Perabot Kelas di Perkotaan dan Pedesaan

peralatan kerja yang terlanjur digunakan masyarakat perlu didesain ulang atau redesain secara ergonomi Arimbawa, 2010.

3.2 Prinsip Perancangan Tempat Kerja

2 1. Menentukan tinggi permukaan pekerjaan sesuai dengan tinggi siku. Tujuan perancangan tempat kerja, perkakas kerja, dan lingkungan kerja yang sesuai dengan manusia adalah agar meningkatkan produksi dan efisiensi proses operasi serta mengurangi tingkat kecelakaan kerja pada operator manusia. Prinsip perancangan tempat kerja yang dikemukakan Niebel 2003 antara lain: 2. Menyesuaikan tinggi permukaan pekerjaan berdasarkan tugas yang dikerjakan. 3. Menyediakan kursi yang nyaman untuk operator yang bekerja dalam posisi duduk. 4. Melengkapi fungsi penyesuaian pada kursi. 5. Meningkatkan fleksibilitas postur tubuh. 6. Menyediakan alas anti lelah bagi operator yang bekerja dalam posisi berdiri. 7. Memposisikan semua peralatan dan material yang diperlukan dalam urutan yang terbaik. 8. Menggunakan gravitasi untuk proses transportasi sehingga dapat mengurangi waktu menjangkau dan membawa. 9. Menyusun perkakas, alat control dan komponen lainnya secara optimal untuk meminimisasi gerakan. 2 Benjamin W. Niebel dan Andris Freivalds, Methods, Standards, and Work Design New York: McGraw-Hill, 2003, h. 187-196. Universitas Sumatera Utara

3.3 Work Muskuloskeletal Disorders WMSDs

3 1. WMSDs dihasilkan dari aktivitas yang berlebihan Pekerjaan yang berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal bisa dilihat dari berbagai bentuk yang berbeda. Adapun karakteristik WMSDs yaitu: Meskipun mekanisme terjadinya tidak bisa dijelaskan secara detail, umumnya cedera ini diakibatkan jika bekerja secara berlebihan, sehingga bagian tubuh tidak mampu untuk memulihkannya. WMSDs terjadi karena tubuh melakukan aktivitas berulang-ulang dan dipaksa untuk menanggung beban kerja yang tidak bisa ditolerir. 2. Perkembangan WMSDs secara bertahap WMSDs berkembang secara bertahap dan terkadang tidak memiliki gejala yang jelas, hanya saat itu tiba-tiba muncul dan berkembang dengan cepat. Misalnya, mula-mula pekerja merasakan ketidaknyamanan ketika bekerja, lama-lama memburuk dan mengakibatkan pekerja berhenti bekerja. 3. WMSDs harus selalu dicegah Fakta bahwa WMSDs berkembang secara bertahap memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungannya dapat diantisipasi sejak berkembang karena cedera ini tidak seperti kecelakaan, yang terjadi secara tak terduga dan tiba-tiba. Tindakan dapat diambil karena proses berkembangnya sangat lama. Jika bekerja dengan beban yang berlebihan dihentikan dalam suatu waktu, tubuh akan pulih dan penyakit dapat hilang tanpa meninggalkan jejak. Pemulihan secara lengkap bisa terjadi, dan pencegahan dapat dianggap lebih efektif jika 3 Tarwaka et.al., Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas Surakarta: Uniba Press, 2004, h. 50-55. Universitas Sumatera Utara terjadi diawal kegiatan. Sedangkan kerugiannya karena jika tidak disadari, tubuh terbiasa dengan rasa sakit, yang bisa menyalahkan usia atau penyebab lain. Ini menjadi suatu kondisi normal dan perasaan tentang ketidaknyamanan akan hilang. Hal ini memungkinkan resiko semakin memburuk, dan pemulihan lengkap menjadi hal mustahil. 4. Penyebab-penyebab WMSDs Penyebab utama WMSDs adalah bekerja secara berlebihan. Tetapi berlebihan ini umumnya berasal dari kombinasi faktor dan bukan dari satu penyebab tunggal. Baik itu pengulangan, postur atau usaha. Usaha yang tidak sesuai akan mengakibatkan postur kerja yang sangat buruk sehingga menciptakan cedera muskuloskeletal, bahkan pada tingkat pengulangan yang sangat rendah. Sebaliknya, jika bekerja dilakukan dengan postur yang tidak sesuai dapat menyebabkan kerusakan jika diulang ribuan kali setiap hari.

3.3.1 Proses Terjadinya WMSDs

Proses terjadinya WMSDs tidak dapat diketahui secara detail. Akan tetapi hal ini bisa disamakan dengan kotak hitam. Titik awal berupa bekerja secara berlebihan, dalam hal ini banyak faktor yang dapat mempengaruhinya. Hasilnya diketahui dengan identifikasi penyakit. Tapi apa yang terjadi di antara keduanya tidak dapat diketahui secara rinci. Apa pun sifat dan proses yang menyebabkan WMSDs, hal ini tergantung pada lingkup dan sifatnya, sehingga situasinya dapat didiagnosis dengan jelas. Saat ini WMSDs adalah penyakit. Sebelum ada penyakit yang nyata, prosesnya akan dirasakan, karena dapat menyebabkan rasa sakit, Universitas Sumatera Utara ketidaknyamanan atau kelelahan dan sensitif ketika disentuh. Rasa sakit bisa disebabkan oleh gerakan atau usaha yang dilakukan pekerja, bahkan rasa sakit ini bisa dirasakan saat istirahat serta sering terjadi pembengkakan dan kadang-kadang mati rasa. Hal ini tidak selalu mudah untuk menjelaskan perbedaan antara satu situasi yang dapat diterima dan yang menuntut tindakan pencegahan. Penderita sering mentolerir dengan mengatakan pada diri sendiri bahwa hal itu akan hilang, sehingga menimbulkan penyakit yang memaksa mereka untuk berhenti bekerja. Hal ini dikarenakan tidak ada penjelasan secara detail antara situasi yang tidak berbahaya dan situasi berkembangnya WMSDs. Sehingga penilaian harus dilakukan berdasarkan apa yang diketahui tentang terjadinya WMSDs dan faktor resiko yang ditimbulkan. Di sisi yang paling ekstrim, pada saat terjadi WMSD, rasa sakit itu benar-benar hadir. Hal itu kadang-kadang bisa dilihat dari struktur tubuhnya, seperti siku, bahu atau pergelangan yang sakit. Kadang-kadang, rasa sakit dapat menyebar ke bagian tubuh lain misalnya dari bahu ke lengan. Rasa sakit yang disebabkan WMSDs ini sering muncul ketika tubuh tidak bergerak. Jika situasi semakin serius seperti situasi berikut, maka harus diambil beberapa tindakan, yaitu: 1. Ketika rasa sakit sering dirasakan tubuh 2. Ketika penyakit menyebar dari satu bagian tubuh ke tubuh lainnya 3. Ketika ketidaknyamanan berhubungan dengan peningkatan gerakan atau usaha misalnya ketika setiap gerakan lengan atas akan menyebabkan rasa sakit Universitas Sumatera Utara 4. Ketika ketidaknyamanan berlangsung semakin lama setelah bekerja dan pemulihan sangat lambat.

3.3.2 Faktor dan Risiko WMSDs

Faktor dan risiko WMSDs selalu berhubungan dengan usaha gaya dan postur. Kedua faktor ini berkontribusi sama dengan terjadinya WMSDs dan juga berpengaruh satu sama lain. Misalnya, postur yang dibentuk tubuh tergantung dari berapa besar usaha yang dilakukan tubuh. Sebaliknya, usaha yang besar dan kecil secara signifikan dapat mengubah postur seorang pekerja. Resiko WMSDs secara langsung adalah munculnya masalah kesehatan, yang dapat bertindak sebagai pemicu munculnya masalah. Efek yang disebabkan oleh faktor WMSDs tergantung pada beberapa kondisi, termasuk pekerja itu sendiri, sifat individu dan sejarah kerja. Hal ini tidak selalu mudah untuk mengenali sebuah faktor WMSDs. Berikut ada beberapa kategori dari faktor dan resiko WMSDs yaitu: 1. Postur yang kaku Sering terjadi di tempat kerja bahwa pekerja dituntut untuk bekerja dengan postur yang kaku. Bekerja dengan postur yang tidak alami merupakan faktor WMSDs. Hal ini dikarenakan bahwa setiap sendi memiliki sikap dasar. Sikap ini yang biasanya berada pada batas rentang gerak manusia, memerlukan sedikit usaha untuk mempertahankan posisi tubuh dan tidak menempatkan struktur anatomi di posisi yang merugikan. Jika tubuh bergerak dibatas jangkauan gerak tubuh, maka pekerja akan mengalami ketidaknyamanan misal jika tangan ditekuk atau diperpanjang. Rasa sakit yang disebabkan oleh Universitas Sumatera Utara WMSDs tergantung pada seberapa jauh usaha tubuh melakukan pekerjaannya, lama durasi, dan frekuensinya. 2. Usaha dan kekuatan otot Bahasa sehari-hari menyebutkan bahwa kekuatan diperlukan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Hal ini berguna untuk menjelaskan perbedaan antara kekuatan dan usaha. Ketika berbicara mengenai kekuatan, maksudnya adalah kekuatan yang dihasilkan oleh sebuah sistem pada lingkungan eksternal yang dapat diukur. Misalnya dibutuhkan kekuatan untuk memindahkan kotak 20 kg, kekuatan yang dibutuhkan ini tergantung pada individu, posturnya, dan banyak faktor lainnya. Penerapan kekuatan memerlukan usaha yang harus sesuai dengan keadaan. Usaha ini lebih seperti biaya yang harus dibayar tubuh untuk mengerahkan kekuatan. 3. Bekerja statis Resiko ekstrim terjadi jika posisi lengan bekerja melawan gravitasi. Misalnya, ketika lengan bekerja dengan tangan di atas bahu. Situasi ini digambarkan sebagai kerja otot statis. Resiko kerja ini tergantung pada durasi dan postur yang semakin lama akan semakin tinggi resikonya. Kerja otot statis mengharuskan otot berkontraksi tanpa gangguan. Itu merupakan kebalikan dari kerja otot dinamis, yang mengacu pada sebuah pergiliran antara kontraksi dan relaksasi. 4. Pengulangan Pekerjaan dianggap berulang jika siklus terjadinya kurang dari 30 detik atau disebut tindakan pengulangan jika melakukan hal yang sama selama setengah Universitas Sumatera Utara waktu dari waktu kerja. Anggapan pengulangan diatas bukanlah referensi mutlak dikarenakan fakta menyatakan bahwa siklus terjadinya kurang dari 30 detik tidaklah berbahaya. Akan tetapi, pengulangan itu sendiri merupakan faktor WMSDs yang menciptakan efek ganda. Bekerja dengan posisi tetap yang tidak berubah dari waktu ke waktu, erat kaitannya dengan pengulangan. Fitur lingkungan tertentu dapat berkontribusi untuk resiko WMSDs seperti paparan dingin, getaran, dampak dan tekanan mekanis. 5. Faktor organisasi Faktor-faktor yang berhubungan dengan organisasi memiliki efek yang kompleks pada resiko WMSDs. Organisasi kerja sebagian besar menentukan intensitas resiko kerja seperti postur, usaha dan pengulangan. Akibatnya, jadwal kerja, bekerja sendiri atau dalam sebuah tim, pengawasan dan keadaan pekerja adalah parameter yang dapat mempengaruhi resiko WMSDs. Efek organisasi pada resiko WMSDs merupakan fakta bahwa organisasi menentukan kondisi kerja untuk melaksanakan tugas tertentu. Kecepatan kerja, iklim kerja dan kualitas hubungan interpersonal juga dapat mempengaruhi resiko WMSDs atau stress kerja. 6. Beban kerja dan kecepatan kerja Beban kerja adalah faktor resiko ketika jumlah pekerjaan yang diminta terlalu berat. Kecepatan kerja, intensitas usaha dan kurangnya waktu pemulihan umumnya dikaitkan dengan beban kerja yang sangat berat. Selain itu, ketika pekerja berhubungan dengan mesin, pekerja biasanya tidak dapat menyesuaikan kecepatan kerja ketika bekerja setiap hari. Hal ini diakui Universitas Sumatera Utara bahwa kecepatan pekerja dikendalikan oleh faktor eksternal yang tidak hanya satu. Selain faktor resiko yang sering hadir ketika kecepatan kerja dipaksakan, seperti beban kerja berat, tingkat pengulangan tinggi dan tekanan psikologis yang kuat, pekerja harus memiliki sedikit kelonggaran. Namun, kurangnya kontrol yang dimiliki pekerja atas pekerjaan memiliki dampak signifikan pada ketegangan yang dirasakan dan dianggap sebagai faktor utama terjadinya WMSDs. 7. Jadwal kerja Jadwal kerja dapat mempengaruhi tingkat resiko WMSDs karena dapat memperpanjang durasi kerja, yang merupakan peningkatan beban kerja. Jadwal ini juga mewakili faktor stres, shift malam misalnya dapat mempersingkat masa istirahat yang diperlukan untuk pemulihan. Ketika jumlah pekerjaan signifikan, beban muskuloskeletal berasal bukan hanya dari proses kerja yang berkelanjutan, tetapi juga dari ketiadaan atau pengurangan waktu pemulihan. Istirahat selama shift kerja sangat penting untuk memungkinkan otot beristirahat antara periode kerja. Sebagai contoh, tiga menit istirahat mungkin lebih efektif, dalam hal pemulihan, daripada waktu kerja yang dipersingkat selama 30 menit. 8. Perubahan teknologi Sangat sulit untuk memprediksi semua konsekuensi dari pilihan teknologi yang ada pada saat ini. Teknologi baru kadang-kadang membuat masalah baru mengenai beban muskuloskeletal. Beberapa orang telah mengantisipasi bahwa tugas akan berubah dan masalah-masalah baru akan muncul jika Universitas Sumatera Utara adanya perubahan teknologi. Oleh karena itu, sangat penting untuk tetap waspada berkaitan dengan dampak dari teknologi baru. Setiap kali ada perubahan besar dalam metode produksi, dampak yang mungkin terjadi pada proses kerja harus dianalisis. 9. Lingkungan sosial Lingkungan sosial dapat menjadi sumber utama motivasi, tetapi juga sumber keprihatinan dan stres. Dalam lingkungan sosial, pekerja bisa merasakan ketidaknyamanan atau sakit dan mengeluh, walaupun mereka mungkin cenderung untuk menunggu sampai menit terakhir untuk melaporkan masalah muskuloskeletal sehingga konsekuensi semakin lebih serius. Lingkungan yang menumbuhkan ekspresi dan komunikasi akan menguntungkan karena bisa bertukar informasi tentang keahlian pekerja dalam pelaksanaan proses perbaikan terus-menerus.

3.3.3 Penanganan WMSDs

Penanganan WMSDs penting untuk mengurangi resiko WMSDs sehingga dapat meningkatkan efektivitas kerja. Penanganan WMSDs secara tepat harus sesuai berdasarkan tempat kerja. Tempat kerja sistem dapat dilihat dari lima komponen utama meliputi aspek-aspek kerja individu, teknis, organisasi kerja, karakteristik pekerjaan dan lingkungan fisik dan sosial. Jantung dari sistem ini adalah individu atau pekerja, dengan fiturnya berupa fisik atau psikologis berupa interaksi antara pekerja dengan sifat-sifat tertentu, dan komponen-komponen berupa proses kerja. Teknologi dan metode kerja yang digunakan harus sesuai Universitas Sumatera Utara dengan pengetahuan pekerja. Pengaruh organisasi juga memiliki dampak langsung pada individu, stasiun kerja dan kondisi kerja. Organisasi menentukan tingkat partisipasi pekerja, sifat interaksi dengan rekan kerja, jenis pengawasan dan pengendalian di stasiun keja. Karakteristik pekerjaan berpengaruh terhadap individu dan proses kerja, seperti tingkat presisi yang diperlukan, fisik dan mental sebagai persyaratan kerja. Misalnya saja individu bekerja dengan menggunakan tinggi meja kerja yang sama. Penanganan WMSDs yang disetujui para ahli yaitu dengan melakukan pendekatan yang komprehensif tergantung kepada tempat kerja. Dengan cara itu penanganan bisa difokuskan pada masalah utama sehingga resiko bisa ditangani secara keseluruhan.

3.3.4 Metode Pengukuran Keluhan Muskuloskeletal

Suatu cara dalam ergonomi untuk mengetahui adanya keluhan muskuloskeletal adalah dengan mengukur lokasi dan intensitas keluhan WMSDs yang didata dengan menggunakan Standard Nordic Questionnaire yang dimodifikasi dengan empat skala Likert. Selain menggunakan Standard Nordic Questionnaire, keluhan muskuloskeletal juga dapat diketahui dengan RULA Rapid Upper Limb Assessment. RULA adalah suatu alat ukur untuk mengetahui biomekanik dan beban yang diterima oleh keseluruhan tubuh. RULA dikhususkan untuk mengetahui keluhan muskuloskeletal daerah leher, badan, anggota gerak atas, dan sangat sesuai untuk pekerjaan-pekerjaan yang statis atau menetap. Nilai yang dihasilkan dalam perhitungan RULA mengindikasikan tingkat intervensi yang diperlukan untuk mengurangi adanya resiko keluhan muskuloskeletal. Universitas Sumatera Utara Metode pengukuran keluhan muskuloskeletal dengan RULA Rapid Upper Limb Assessment dilakukan dengan mengadakan pengamatan mengenai gerakan badan pekerja saat beraktivitas, mulai dari gerak anggota badan atas, lengan atas sampai kaki pekerja Arimbawa, 2010.

3.4 Postur Kerja

4 Posisi duduk dalam jangka waktu yang lama juga akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Jika kursi dan postur kerja yang dirancang tidak bagus tidak ergonomis, dapat mengakibatkan timbulnya rasa pegal pada leher, tulang belakang, kelainan bentuk pada tulang belakang, dan masalah yang berhubungan dengan fungsi otot. Postur kerja merupakan pengaturan sikap tubuh saat bekerja. Sikap kerja yang berbeda akan menghasilkan kekuatan yang berbeda pula. Pada saat bekerja sebaiknya postur bekerja secara alamiah sehingga dapat Postur kerja merupakan titik penentu dalam menganalisis keefektifan dari suatu pekerjaan yang dilakukan. Apabila postur kerja yang dilakukan oleh pekerja sudah baik dan ergonomis maka dapat dipastikan hasil yang akan diperoleh oleh pekerja tersebut adalah hasil yang baik. Akan tetapi sebaliknya bila postur kerja pekerja salah atau tidak ergonomis maka pekerja tersebut akan mudah mengalami kelelahan dan dalam jangka panjang akan menimbulkan keluhan-keluhan pada bagian tubuh tertentu. Apabila pekerja mengalami kelelahan jelaslah hasil yang dilakukan pekerja tersebut juga akan mengalami penurunan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. 4 Eko Nurmianto, Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya Surabaya: Guna Widya, 2008, h. 113-115. Universitas Sumatera Utara meminimalisasi timbulnya cedera dalam bekerja. Kenyamanan tercipta apabila pekerja telah melakukan postur kerja yang baik dan aman. Postur kerja yang baik sangat ditentukan oleh pergerakan organ tubuh saat bekerja. Untuk itu, perlu adanya suatu penilaian terhadap suatu postur kerja pekerja untuk mengetahui sejauh mana postur ataupun sikap kerja pekerja mampu mempengaruhi produktivitas dan kesehatan fisik pekerja Tarwaka dkk. 2004. Akan tetapi, postur duduk yang benar masih menjadi perdebatan yang terus-menerus dilakukan oleh ahli ergonomi yang profesional. Beberapa orang mengatakan bahwa pada saat duduk penempatan siku dan lutut harus membentuk sudut 90 . Sebagian lagi mengatakan bahwa penempatan siku dan lutut yang bervariasi lebih baik selama penggunanya tidak membungkuk. Akan tetapi, semua ahli ergonomi sepakat bahwa postur tubuh yang baik selama duduk dan yang nyaman jika tidak ada tekanan pada bokong, lengan dan otot pengguna serta kaki pengguna berada di lantai. Lebih baik lagi jika duduk dengan cara yang bervariasi dibandingkan dengan postur yang tetap Openshaw, et al. 2006.

3.4.1 Sikap Kerja Duduk

Sikap kerja adalah proses kerja yang sesuai dengan anatomi tubuh dan ukuran peralatan yang digunakan pada saat bekerja. Sikap tubuh merupakan faktor resiko ditempat kerja. Sikap tubuh dalam bekerja berhubungan dengan tempat duduk dan meja kerja. Posisi duduk pada otot rangka dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat ditahan dengan sandaran kursi agar terhindar dari rasa nyeri dan cepat lelah. Pada posisi duduk tekanan tulang belakang akan Universitas Sumatera Utara meningkat dibanding berdiri atau berbaring, bila posisi duduk tidak benar. Diasumsikan menurut Nurmianto 2004 tekanan posisi tidak duduk 100, maka tekanan pada lumbar 3 dan lumbar 4 akan meningkat menjadi 140 bila sikap duduk tegang dan kaku, dan tekanan akan meningkat menjadi 190 apabila saat duduk dilakukan membungkuk ke depan. Oleh karena itu perlu sikap duduk yang benar dan dapat relaksasi tidak statis. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai lumbar pada tulang belakang dapat dilihat pada Gambar 3.1. Gambar 3.1 Klasifikasi dan Kodifikasi padaTulang Belakang Sumber : Ergonomi Manusia, Peralatan dan Lingkungan Santoso, 2004 Sikap kerja duduk berhubungan dengan kursi. Kegunaan kursi adalah untuk menstabilkan postur tubuh berupa: 1. Nyaman selama periode waktu 2. Memuaskan secara fisiologis 3. Tepat digunakan untuk tugas atau kegiatan yang bersangkutan. Universitas Sumatera Utara Kenyamanan atau lebih tepatnya tingkat ketidaknyamanan akan tergantung pada interaksi antara karakteristik kursi, karakteristik pengguna dan karakteristik tugas seperti Tabel 3.1. Tabel 3.1 Faktor Kenyamanan Kursi Karakteristik Kursi Karakteristik Pengguna Karakteristik Tugas Dimensi kursi Dimensi tubuh Durasi Sudut kursi Penyakit tubuh Kebutuhan penglihatan Profil kursi Sirkulasi Kebutuhan pisik Material Persepsi Kebutuhan Mental Sumber : Handbook Bodyspace Antropometry, Ergonomics and the Design of Work Pheasant, 2003 Kursi yang cocok untuk pengguna dipengaruhi oleh faktor antropometri. Kesesuaian antara dimensi kursi dan pengguna diperlukan untuk kenyamanan dan dalam jangka panjang secara fisiologis akan memuaskan. Di satu sisi, hal ini sulit untuk dilihat bagaimana peristiwa ketidaknyamanan ini terjadi, akan tetapi secara fisiologis istilah ini dianggap sebagai tanda-tanda peringatan akan terjadinya kerusakan jaringan akibat ketidaksesuaian postur tubuh saat duduk. Ketika duduk di kursi yang relatif tinggi, maka lutut dan sudut antara paha dan batang tubuh akan membentuk sudut masing-masing 90 . Oleh karena itu, dalam merancang kursi tujuannya adalah untuk mendukung tulang belakang berada pada posisi netral tanpa perlu usaha otot. Jika sikap kerja duduk yang dilakukan menggunakan meja, berikut rekomendasi tinggi meja kerja dengan beberapa kategori kerja sebagai berikut: 1. Untuk tugas yang memerlukan tingkat ketelitian yang tinggi, tinggi meja kerja yaitu 50-100 mm dibawah tinggi siku Universitas Sumatera Utara 2. Untuk tugas seperti menulis, tinggi meja kerja yaitu 50-100 mm diatas tinggi siku. 3. Untuk tugas berat seperti melibatkan tekanan pekerja, tinggi meja kerja yaitu 100-250 mm dibawah tinggi siku. 4. Untuk tugas panel control, tinggi meja kerja yaitu berada diantara tinggi siku dan tinggi bahu.

3.5 Antropometri

5 Dimensi antropometri setiap populasi diurutkan berdasarkan ukurannya yang disebut sebagai persentil. Hal ini umum dipraktekkan untuk mendesain suatu produk tertentu dengan menggunakan persentil 5 th 5th untuk perempuan dan persentil 95th 95th untuk laki-laki. Persentil 5 th untuk perempuan tersebut hanyalah untuk sebuah dimensi tertentu misalnya tinggi duduk yang biasanya mewakili pengukuran yang terkecil untuk desain produk dalam sebuah populasi. Istilah Antropometri berasal dari anthro yang berarti manusia dan metri yang berarti ukuran. Antropometri adalah ilmu yang mengukur berbagai dimensi tubuh manusia. Ketika merancang produk, antropometri ini sangat penting mengingat bahwa manusia memiliki ukuran dan bentuk tubuh yang berbeda satu dengan yang lainnya. Data antropometri bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya.

3.5.1 Persentil

5 Sritomo Wignjosoebroto, Ergonomi Studi Gerakan dan Waktu, Edisi Pertama Cet. II, Surabaya: Guna Widya, 2008, h. 60-69. Universitas Sumatera Utara Sebaliknya, persentil 95 th untuk laki-laki dapat mewakili pengukuran dimensi terbesar untuk merancang suatu produk. Persentil 5 th sampai persentil 95 th adalah kisaran dari sekitar 90 dari populasi. Untuk desain suatu produk dengan ukuran yang lebih besar dari populasi, kisaran dari persentil 1 th untuk perempuan sampai persentil 99 th untuk laki-laki bisa digunakan.

3.5.2 Antropometri Statis

6 1. Jenis kelamin Pengukuran statis dilakukan pada tubuh manusia yang berada dalam posisi diam. Dimensi yang diukur pada antropometri statis diambil secara lurus dan dilakukan pada permukaan tubuh. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dimensi tubuh manusia, diantaranya: Secara distribusi statistik ada perbedaan yang signifikan antara dimensi tubuh pria dan wanita. Pria dianggap lebih panjang dimensi tubuhnya daripada wanita. 2. Suku bangsa Seperti telah diketahui bahwa perbedaan dimensi tubuh antara suku bangsa yang satu dengan yang lain juga berbeda. Dalam hal ini dimensi tubuh penduduk Indonesia biasanya lebih pendek dari penduduk Amerika. 3. Usia Digolongkan atas beberapa kelompok usia yaitu balita, anak-anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Hal ini jelas berpengaruh terutama jika desain 6 Eko Nurmianto, Op.Cit., hlm. 51-54. Universitas Sumatera Utara diaplikasikan untuk antropometri anak-anak. Antropometrinya akan cenderung terus meningkat sampai batas usia dewasa. Namun setelah menginjak usia dewasa, tinggi badan manusia mempunyai kecenderungan untuk menurun. 4. Jenis pekerjaan Beberapa jenis pekerjaan tertentu menuntut adanya persyaratan dalam seleksi karyawan atau stafnya. Misalnya buruh dermaga harus mempunyai postur tubuh yang relatif lebih besar dibandingkan dengan karyawan perkantoran pada umumnya. 5. Pakaian Hal ini juga merupakan sumber variabilitas yang disebabkan oleh bervariasinya iklim yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya terutama untuk daerah dengan empat musim. 6. Kehamilan pada wanita Faktor ini jelas akan mempunyai pengaruh perbedaan yang berarti kalau dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil, terutama yang berkaitan dengan analisis perancangan produk dan analisis perancangan kerja. 7. Cacat tubuh secara fisik Suatu perkembangan yang menggembirakan pada dekade terakhir dengan diberikannya skala prioritas pada rancang bangun fasilitas akomodasi untuk para penderita cacat tubuh secara fisik. Misalnya ada jalur khusus untuk kursi roda. Universitas Sumatera Utara

3.5.3 Dimensi Antropometri

7 7 Markus Hartono, “Panduan Survei Data Antropometri”, 2012. Dimensi antropometri merupakan ukuran tubuh pada posisi tertentu. Data ini dapat dimanfaatkan guna menetapkan dimensi ukuran produk yang akan dirancang dan disesuaikan dengan dimensi tubuh manusia yang akan mengoperasikan atau menggunakannya. Data antropometri tubuh yang diukur menurut Hartono 2012 dalam panduan survei data antropometri dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Pengukuran Data Antropometri No Dimensi tubuh Definisi 1 Tinggi tubuh Tinggi tubuh jarak vertikal dari lantai ke bagian paling atas kepala. 2 Tinggi mata Jarak vertikal dari lantai ke bagian luar sudut mata kanan. 3 Tinggi bahu Jarak vertikal dari lantai ke bagian atas bahu kanan atau ujung tulang bahu kanan. 4 Tinggi siku Jarak vertikal dari lantai ke titik terbawah di sudut siku bagian kanan. 5 Tinggi pinggul Jarak vertikal dari lantai ke bagian pinggul kanan. 6 Tinggi tulang ruas Jarak vertikal dari lantai ke bagian tulang ruas jari tangan kanan. 7 Tinggi ujung jari Jarak vertikal dari lantai ke ujung jari tengah tangan kanan. 8 Tinggi dalam posisi duduk Jarak vertikal dari alas duduk ke bagian paling atas kepala. 9 Tinggi mata dalam posisi duduk Jarak vertikal dari alas duduk ke bagian luar sudut mata kanan. 10 Tinggi bahu dalam posisi duduk Jarak vertikal dari alas duduk ke bagian atas bahu kanan. 11 Tinggi siku dalam posisi duduk Jarak vertikal dari alas duduk ke bagian bawah lengan bawah tangan kanan. 12 Tebal paha Jarak vertikal dari alas duduk ke bagian paling atas dari paha kanan. 13 Panjang lutut Jarak horizontal dari bagian belakang pantat pinggul ke bagian depan lulut kaki kanan. 14 Panjang popliteal Jarak horizontal dari bagian belakang pantat pinggul ke bagian belakang lutut kanan. 15 Tinggi lutut Jarak vertikal dari lantai ke tempurung lutut kanan. Universitas Sumatera Utara Tabel 3.2 Pengukuran Data Antropometri Lanjutan No Dimensi tubuh Definisi 16 Tinggi popliteal Jarak vertikal dari lantai ke sudut popliteal yang terletak di bawah paha, tepat di bagian belakang lutut kaki kanan. 17 Lebar sisi bahu Jarak horizontal antara sisi paling luar bahu kiri dan sisi paling luar bahu kanan. 18 Lebar bahu bagian atas Jarak horizontal antara bahu atas kanan dan bahu atas kiri. 19 Lebar pinggul Jarak horizontal antara sisi luar pinggul kiri dan sisi luar pinggul kanan. 20 Tebal dada Jarak horizontal dari bagian belakang tubuh ke bagian dada untuk subyek laki-laki atau ke bagian buah dada untuk subyek wanita. 21 Tebal perut Jarak horizontal dari bagian belakang tubuh ke bagian paling menonjol dibagian perut. 22 Panjang lengan atas Jarak vertikal dari bagian bawah lengan bawah kanan ke bagian atas bahu kanan. 23 Panjang lengan bawah Jarak horizontal dari lengan bawah diukur dari bagian belakang siku kanan kebagian ujung dari jari tengah. 24 Panjang rentang tangan ke depan Jarak dari bagian atas bahu kanan ke ujung jari tengah tangan kanan dengan siku dan pergelangan tangan kanan lurus. 25 Panjang bahu genggaman tangan ke depan Jarak dari bagian atas bahu kanan ke pusat batang silinder yang digenggam oleh tangan kanan, dengan siku dan pergelangan tangan lurus. 26 Panjang kepala Jarak horizontal dari bagian paling depan dahi bagian tengah antara dua alis ke bagian tengah kepala. 27 Lebar kepala Jarak horizontal dari sisi kepala bagian kiri ke sisi kepala bagian kanan, tepat di atas telinga. 28 Panjang tangan Jarak dari lipatan pergelangan tangan ke ujung jari tengah tangan kanan dengan posisi tangan dan seluruh jari lurus dan terbuka. 29 Lebar tangan Jarak antara kedua sisi luar empat buku jari tangan kanan yang diposisikan lurus dan rapat. 30 Panjang kaki Jarak horizontal dari bagian belakang kaki tumit ke bagian paling ujung dari jari kaki kanan. 31 Lebar kaki Jarak antara kedua sisi paling luar kaki. 32 Panjang rentangan tangan ke samping Jarak maksimum ujung jari tengah tangan kanan ke ujung jari tengah tangan kiri. 33 Panjang rentangan siku Jarak yang diukur dari ujung siku tangan kanan ke ujung siku tangan kiri. 34 Tinggi genggaman tangan ke atas dalam posisi berdiri Jarak vertikal dari lantai ke pusat batang silinder yang digenggam oleh telapak tangan kanan. 35 Tinggi genggaman ke atas posisi duduk Jarak vertikal dari alas duduk ke pusat batang silinder. Universitas Sumatera Utara Tabel 3.2 Pengukuran Data Antropometri Lanjutan Sumber : Jurnal Panduan Survei Data Antropometri Hartono, 2012 Gambar dari pengukuran data antropometri dapat dilihat pada Gambar 3.2 yang merupakan kelompok dimensi tubuh yang diukur dalam posisi berdiri sedangkan Gambar 3.3 merupakan kelompok dimensi tubuh yang diukur dalam posisi duduk. Sumber : Jurnal Panduan Survei Data Antropometri Hartono, 2012 Gambar 3.2 Kelompok Dimensi Tubuh I No Dimensi tubuh Definisi 36 Panjang genggaman tangan ke depan Jarak yang diukur dari bagian belakang bahu kanan tulang belikat ke pusat batang silinder yang digenggam oleh telapak tangan kanan. Universitas Sumatera Utara Sumber : Jurnal Panduan Survei Data Antropometri Hartono, 2012 Gambar 3.3 Kelompok Dimensi Tubuh II Contoh aplikasi dari antropometri ini dapat dilihat pada perancangan- perancangan produk dimana ukuran produk ditentukan dari nilai dimensi antropometri berdasarkan prinsip perancangan tertentu. Beberapa jenis produk dan dimensi antropometri yang digunakan dalam merancang produk tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.3. Data-data dari hasil pengukuran atau disebut dengan data antropometri digunakan sebagai data untuk perancangan peralatan. Terdapat tiga prinsip dalam pemakaian data antropometri tersebut yaitu: 1. Prinsip perancangan produk berdasarkan individu ekstrim Universitas Sumatera Utara Prinsip ini digunakan apabila fasilitas kerja yang dirancang dapat dipakai dengan enak dan nyaman oleh sebagian besar orang-orang yang memakainya yang biasanya minimal oleh 95 pemakai. 2. Prinsip perancangan produk fasilitas yang bisa disesuaikan Prinsip ini digunakan untuk merancang fasilitas agar fasilitas tersebut bisa dirubah-ubah ukurannya sehingga cukup fleksibel dioperasikan oleh setiap orang yang memiliki berbagai macam ukuran tubuh. 3. Prinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata Dalam hal ini rancangan produk didasarkan terhadap ukuran rata-rata tubuh manusia Sutalaksana, 1979. Kriteria antropometri yang digunakan dalam perancangan terdiri dari 3 kategori, yaitu: 1. Clearence dimensions dimensi ruang yaitu area minimum yang diperlukan operator untuk melakukan aktivitas kerja pada tempat kerja ditentukan dari orang terbesar dalam populasi pengguna. Dalam hal ini digunakan nilai standar normal dengan persentil besar yaitu persentil 90 sampai dengan 99. 2. Reach dimensions dimensi jangkauan yaitu area maksimum yang dapat dilakukan oleh operator yang mengoperasikan peralatan ditentukan dari orang terkecil dalam populasi pengguna. Dalam hal ini digunakan nilai standar normal dengan persentil kecil yaitu persentil 1 sampai dengan 10. 3. Posture merupakan hal yang cukup rumit misalkan meja kerja yang terlalu tinggi tidak diinginkan oleh pekerja yang terlalu rendah. Dalam kondisi ini Universitas Sumatera Utara solusinya adalah merancang stasiun kerja yang dapat disesuaikan Arimbawa, 2010. Tabel 3.3 Aplikasi Dimensi Antropometri No Produk Gambar Produk Dimensi Antropometri 1 Jok Mobil A. Tinggi dalam posisi duduk B. Tinggi mata dalam posisi duduk C. Lebar sisi bahu D. Lebar bahu bagian atas E. Lebar kepala F. Lebar pinggul G. Panjang lutut Panjang popliteal H. Panjang popliteal I. Panjang lutut J. Tinggi bahu dalam posisi duduk K. Tinggi dalam posisi duduk Tinggi popliteal 2 Kaos Lengan Panjang A. Panjang bahu-genggaman tangan ke depan B. Lebar bahu bagian atas C. Tebal dada Lebar bahu bagian atas D. Tinggi bahu Tinggi ujung jari E. Tebal perut Lebar pinggul F. Panjang genggaman tangan ke depan Panjang bahu- genggaman tangan ke depan Sumber : antropometriindonesia.com

3.5.4 Flowchart dan Langkah-langkah Penilaian Data Antropometri

8 1. Start. Langkah-langkah penilaian data antropometri antara lain: 8 Sritomo Wignjosoebroto, op. cit., hlm. 65-69. Universitas Sumatera Utara 2. Masukkan nilai data antropometri berupa ukuran dimensi tubuh manusia yang telah ditentukan anggota tubuh mana yang akan diukur. 3. Pengolahan data antropometri berupa perhitungan rata-rata, nilai maksimum dan minimum serta standar deviasinya. 4. Uji keseragaman data untuk menentukan apakah ada data yang out of control yaitu dimana data terletak di luar nilai BKA dan BKB tidak berada diantara BKA dan BKB. 5. Uji kecukupan data untuk menentukan apakah jumlah pengamatan yang dilakukan telah cukup memenuhi. 6. Penetapan prinsip perancangan produk apa yang akan dipakai, dimana terdapat 3 prinsip perancangan yaitu ekstrim, rata-rata dan yang disesuaikan. 7. Nilai persentil yang digunakan tergantung prinsip perancangan mana yang dipilih. 8. Outputkeluaran berupa data yang berada pada wilayah persentil. 9. Stop. Dari langkah-langkah penilaian data antropometri tersebut maka dapat dibuat sebuah flowchart yang menggambarkan urutan alirnya yang dapat dilihat pada Gambar 3.4.

3.5.5 Uji Keseragaman Data

9 Uji keseragaman data secara visual dilakukan secara sederhana mudah dan cepat. Di sini kita hanya sekedar melihat data yang terkumpul dan seterusnya 9 Sritomo Wignjosoebroto, op. cit., hlm. 194-195. Universitas Sumatera Utara mengidentifikasikan data yang telalu “ekstrim”. Yang dimaksudkan dengan data ekstrim ialah data yang terlalu besar atau terlalu kecil dan jauh menyimpang dari tren rata-ratanya. Data yang terlalu ekstrim ini sewajarnya tidak dimasukkan dalam perhitungan selanjutnya. Start Input Data Antropometri Output Persentil Data Pengolahan Data Uji Keseragaman Data Uji Kecukupan Data Penetapan Prinsip Perancangan Produk Perhitungan Persentil Stop ` N N Y Y Gambar 3.4 Flowchart Penilaian Data Antropometri Langkah pertama dalam uji keseragaman data yaitu menghitung besarnya rata-rata dari setiap hasil pengamatan, dengan persamaan 1 berikut: �� = ∑ � � � �� : Rata-rata data hasil pengamatan � : Data hasil pengukuran Universitas Sumatera Utara Langkah kedua adalah menghitung deviasi standar dengan persamaan 2 berikut: � = �∑� � − �� 2 � − 1 � : Standar deviasi dari populasi � : Banyaknya jumlah pengamata � : Data hasil pengukuran Langkah ketiga adalah menentukan batas kontrol atas BKA dan batas kontrol bawah BKB yang digunakan sebagai pembatas dibuangnya data ektrim dengan menggunakan persamaan 3 dan 4 berikut: ��� = �� + �� ��� = �� − �� Dimana: �� : Rata-rata data hasil pengamatan � : Standar deviasi dari populasi � : Koefisien indeks tingkat kepercayaan, yaitu: Tingkat kepercayaan 0 - 68 harga k adalah 1 Tingkat kepercayaan 69 - 95 harga k adalah 1,96 Tingkat kepercayaan 96 - 100 harga k adalah 3

3.5.6 Uji Kecukupan Data

10 10 J. A. Roebuck,, et al, Engineering Anthropometry Methods New York: John Wiley Sons, 1975, h. 153-155. Universitas Sumatera Utara Penelitian dengan menggunakan seluruh populasi sangatlah sulit untuk dilakukan. Data yang diperlukan untuk menghitung kecukupan data pengukuran yaitu tingkat akurasi dari hasil akhir dan estimasi dispersi variabiltas dari dimensi yang akan diukur. Distribusi dari data antropometri biasanya adalah berbentuk distribusi normal, maka jumlah data yang diperlukan dihitung menggunakan persamaan: N= � K 2 S d � 2 Dimana, N = Jumlah data yang diperlukan S = Standar deviasi data d = Tingkat ketelitian pengukuran ± satuan K 2 = 2,00 100 N i 40 ; 2,05 40 N i 20 ; 2,16 20 N i 10 ; 2,78 10 N i

3.5.7 Aplikasi Distribusi Normal Dalam Penetapan Data Antropometri

11 Untuk penetapan data antropometri ini, pemakaian distribusi normal akan umum diterapkan. Dalam statistik, distribusi normal dapat diformulasikan berdasarkan harga rata-rata mean, X dan simpangan standarnya standard deviation, σX dari data yang ada. Dari nilai yang ada maka persentil dapat ditetapkan sesuai dengan tabel probabilitas distribusi normal. Sebagai contoh 95- th persentil akan menunjukkan 95 populasi akan berada pada atau dibawah ukuran tersebut, sedangkan 5-th persentil akan menunjukkan 5 populasi akan berada pada atau dibawah ukuran itu. Dalam antropometri ukuran 95-th akan 11 Eko Nurmianto, op. cit., h.54-55. Universitas Sumatera Utara menggambarkan ukuran manusia yang terbesar dan 5-th persentil sebaliknya akan menunjukkan ukuran terkecil. Pemakaian nilai-nilai persentil yang umum diaplikasikan dalam perhitungan data antopometri dapat dijelaskan dalam Tabel 3.4 dan Gambar 3.5. Tabel 3.4 Macam Persentil dan Cara Perhitungan Dalam Distribusi Normal Sumber : Buku Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya Nurmianto, 2004 X Sumber : Buku Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya Nurmianto, 2004 Gambar 3.5 Distribusi Normal dengan Data Antropometri Persentil Perhitungan 1-st Χ - 2,325 σ X 2.5-th Χ - 1,96 σ X 5-th Χ - 1,645 σ X 10-th Χ - 1,28 σ X 50-th Χ 90-th Χ + 1,28 σ X 95-th Χ + 1,645 σ X 97.5-th Χ + 1,96 σ X 99-th Χ + 2,325 σ X 1,96 σ X 1,96 σ X Χ 2,5 95 2,5 N X �, σ X 2,5-th percentile 97,5-th percentile Universitas Sumatera Utara Cara pengukuran dari tiap dimensi kursi yaitu: 1. Tinggi kursi Jika tinggi kursi melebihi tinggi popliteal pengguna, tekanan akan dirasakan di bawah paha. Sebaliknya, jika tinggi kursi terlalu rendah dengan tinggi tinggi popliteal maka: a. Kaki pengguna akan terjulur ke lantai b. Pengguna akan mengalami masalah yang lebih besar ketika berdiri dan duduk, karena jarak pusat gravitasi harus bergerak c. Pengguna memerlukan ruang kaki yang lebih besar. Secara umum, tinggi kursi yang optimal harus sesuai dengan tinggi popliteal ditambah dengan kelonggaran sepatu. Adapun kelonggaran untuk sepatu yang digunakan dalam tempat yang formal ditambahkan: a. 25 mm untuk semua dimensi untuk laki-laki b. 45 mm untuk semua dimensi untuk perempuan. Dalam hal ini tinggi kursi tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. 2. Kedalaman kursi panjang kursi Jika kedalaman kursi atau panjang kursi melebihi panjang popliteal, pengguna tidak akan bisa menggunakan sandaran kursi secara efektif tanpa menerima tekanan pada punggung dan lutut. 3. Lebar kursi Lebar kursi harus sesuai dengan lebar pinggul dan harus memadai dan nyaman digunakan jika kursi menggunakan sandaran lengan. Universitas Sumatera Utara 4. Tinggi sandaran punggung Tinggi sandaran punggung lebih efektif digunakan untuk mendukung berat punggung. Tinggi sandaran punggung ini harus sesuai dengan tinggi bahu. 5. Lebar sandaran punggung Lebar sandaran punggung harus sesuai dengan lebar bahu. Cara pengukuran dari tiap dimensi meja yaitu: 1. Tinggi meja Tinggi meja ditentukan oleh tinggi popliteal ditambahkan tinggi siku dalam posisi duduk dan ditambahkan dengan kelonggaran sepatu. 2. Tinggi meja dari bawah meja Tinggi meja dari bawah meja ditentukan oleh tinggi popliteal ditambahkan tebal paha dan ditambahkan dengan kelonggaran sepatu Pheasant, 2003.

3.6 Kesesuaian Desain Perabot Kelas di Perkotaan dan Pedesaan

12 Perabot merupakan fasilitas fisik yang penting di dalam kelas dimana anak-anak menghabiskan kebanyakan waktunya untuk melakukan berbagai aktivitas belajar seperti membaca, menulis, menggambar dan lain-lain. Aktivitas di dalam kelas sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar sekolah dan fasilitas yang menunjang anak-anak untuk bersekolah. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa siswa di pedesaan memiliki kinerja lebih rendah dibandingkan siswa perkotaan akibat pengaruh lingkungan belajar dan fasilitas kelas. Perabot di kelas 12 Shivarti dan U.V. Kiran, “Design Compatibility of Classroom Furniture in Urban and Rural Preschools” 2012, www.researchgate.netpublication236583456_Design_compatibility_of _classroom_furniture_in_urban_and_rural_preschoolsfile72e7e5180e755b21cd.pdf [29102013] Universitas Sumatera Utara TK maupun SD memiliki ukuran yang sama di sekolah pedesaan, sedangkan sekolah di kota menyediakan perabot yang berbeda jenis untuk kelas yang berbeda. Mayoritas sekolah di kota menggunakan perabot yang sesuai dengan dimensi antropometri siswa karena dapat mengurangi kemungkinan organ tubuh terjepit dan kelelahan otot. Selain itu, perabot yang baik dapat mengurangi bahkan menghilangkan stres belajar akibat postur duduk yang salah. Sampel yang digunakan untuk penelitian berjumlah 200 responden dari sekolah di desa dan 200 responden dari sekolah di kota. Pemilihan sampel dilakukan dengan random sampling. Dimensi antropometri yang diukur untuk mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian antara dimensi tubuh siswa dengan dimensi perabot yang ada, antara lain tinggi siku duduk, tinggi popliteal, panjang popliteal, dan lebar pinggul. Dimensi perabot kelas di sekolah yang diukur antara lain tinggi kursi, kedalaman kursi, lebar kursi, tinggi meja, kedalaman meja, dan lebar meja. Parcells 1999 menganalisis ketidaksesuaian dimensi antropometri siswa dengan ukuran perabot yang ada berdasarkan: 1. Ketidaksesuaian tinggi duduk, Tinggi duduk suatu kursi harus lebih rendah daripada tinggi popliteal dapat mendukung lutut dalam posisi fleksi dimana kaki membentuk sudut 5 °-30° terhadap garis vertikal. TBD + 2 cos 30 ° ≤ Tinggi Duduk ≤ TBD + 2 cos 5° 2. Ketidaksesuaian kedalaman duduk, apabila kedalamannya ≤ 80 atau ≥ 99 dari panjang popliteal. 0,8 PP ≤ Kedalaman Kursi ≤ 0,99 PP Universitas Sumatera Utara 3. Ketidaksesuaian lebar duduk, apabila lebar pinggul terakomodasi 10 dan 30 dari lebar pinggul. 1,1 LP ≤ Panjang Kursi ≤ 1,3 LP 4. Ketidaksesuaian tinggi meja, bila tinggi meja di bawah minimum tinggi siku duduk dan di atas maksimum sudut bahu fleksi 25 ° θ dan abduksi 20°β = Tinggi siku duduk TSD + Tinggi bahu dudukTBD – Tinggi siku duduk TSD [1 – cos θ + cosθ1 – cosβ] = TSD + TBD – TSD[1 – 0,9063 + 0,9063 1 – 0,9397] = TSD + 0,1483 TBD – 0,1483 TSD = TSD x 0,8517 + TBD x 0,1483 TSD + [TBD + 2 cos 30 °] ≤ Tinggi Meja ≤ [TBD + 2 cos 5°] + TSD 0,8517 + TBD 0,1483 Tinggi duduk aktual dari kedua sekolah lebih tinggi dibandingkan ukuran usulan yang mengakibatkan kaki anak-anak menggantung di udara dan membuat anak-anak merasa tidak nyaman serta sakit di kaki dan punggung. Ketidaksesuaian ditemukan antara tinggi duduk, kedalaman duduk, dan tinggi meja aktual terhadap dimensi antropometri tinngi popliteal, panjang popliteal, dan tinggi siku duduk. Lebar duduk aktual juga lebih tinggi dibandingkan dimensi usulan. Akan tetapi, lebar duduk ini tidak akan menyebabkan anak-anak merasa tidak nyaman karena dengan dimensi yang lebih besar akan dapat mengakomodasi lebih banyak anak dengan dimensi pantat dan paha yang besar. Perbandingan ukuran perabot usulan dengan aktual ditunjukkan pada Gambar 3.6. Universitas Sumatera Utara Gambar 3.6 Ketidaksesuaian Antara Ukuran Perabot Dengan Ukuran Tubuh Siswa Sekolah di Kota dan Desa

3.7 Perancangan Meja dan Kursi Siswa Berdasarkan Antropometri